10. Depot Kamboja

Sebagai representasi, Wisnu menaman pohon kamboja Plumeria Alba di sudut-sudut taman yang terbilang luas. Sebuah kursi panjang tak bertangkai menempel pada tembok, menghadap bagian samping jalan. Dipayungi tanaman Flame of Irian, Wisnu duduk sambil memandangi ponsel. Sejak tadi jempolnya sibuk menggulir layar ponsel sambil senyum-senyum. Tag Instagram Kafe Cinta penyebabnya. Usai men-tag Instagram sosial media kafe, Wisnu ragu meminta nomor telepon Cahaya. Namun, sepertinya dia harus berterima kasih kepada Angger karena secara tidak langsung menjadi perantara obrolan antara dirinya dan Cahaya. Dan tak disangka-sangka, mereka berakhir bertukar kontak dengan alasan jika bertemu Angger bisa saling berkabar. Cahaya tidak keberatan. Wisnu bungah. Meski baru dua kali bertemu, Wisnu merasa Cahaya memiliki kemampuan untuk mencerahkan suasana hati. Obrolan di kafe beberapa hari lalu masih terpatri dalam benaknya.

"Aku dengar kamu lulusan sekolah memasak di Italia, ya?" tanya Cahaya sambil menyesap cokelatnya.

"Kata siapa?"

"Baskara pernah bilang selintas. Lalu aku cari sendiri informasi dan ternyata benar. Luar biasa."

"Ya, begitulah. Biasa saja, Aya." Wisnu merendah, ikut menyesap cokelatnya kikuk. "Aku cuma dikasih keberuntungan bisa tembus beasiswa sampai ke sana. Bisa belajar teknik memasak yang baik. Ketemu orang-orang baru."

Kedua telapak tangan Cahaya tergerak menyangga dagunya. Pandangannya terarah kepada Wisnu dengan penuh kagum. Wisnu canggung dipandangi lawan bicaranya seperti itu.

"Kenapa?" imbuh Wisnu untuk mengusir canggung. "Ganteng, ya?"

Cahaya segera melepas topangan dagunya. "Pe-de."

"Yah, 11-12 dibanding Baskara, lah"

"Ya, emang gantengan Baskara sedikit." Cahaya terkekeh, lalu mengernyit dalam. "Kenapa setiap kali bahas apaan gitu, kamu selalu berakhir bahas Baskara?"

"Forgive me. I'll never do it again."

"Good." Cahaya mendengkus.

Namun, helaan napas Cahaya menarik minat Wisnu untuk bertanya lebih jauh. "By the way, Baskara masih obsesif kayak dulu nggak sih, soal masak-memasak?"

"Kan!"

"Please."

Cahaya ogah-ogahan membalas. "Kayaknya sudah bawaan dari orok deh, Nu. Nggak bisa diselamatkan lagi!"

Wisnu terbahak. Cahaya memejam sebentar, seperti merasa bersalah telah mengatakan hal yang seharusnya ditelannya sendiri itu. Akan tetapi, mendengar tawa Wisnu barusan seperti menariknya untuk ikut tertawa, meski sedikit canggung.

"Tenang saja, Aya. I'll keep my mouth shut. Nggak bakalan aku bilang soal ini ke Baskara. Promise."

"Syukur, deh. Aku sudah mau ancam kamu kalau sampai berani ngadu soal ini ke Baskara."

"Memangnya kalau berani ngadu, aku mau diapain?"

"Aku cium!" candanya.

"Wah, kalau begitu aku mau ngadu saja ke Baskara. Biar dapat ciuman," balas Wisnu santai.

Seketika Cahaya dibuat melongo mendengar guraun Wisnu. Dia lalu terkikik mendapati wajah malu-malu perempuan itu. Bahkan Cahaya sempat grogi saat menyentuh cangkir cokelatnya kembali.

"Mas... Mas Wisnu!" Seorang pramusaji depot bernama Atmo berhasil membuyarkan lamunannya. Dia berjalan tergesa setelah menemukan keberadaan pemilik depot tempatnya bekerja. Napasnya memburu.

"Selamat siang, Mas," Atmo menyapa setelah berhasil memangkas jarak.

"Iya. Mas Atmo ini bikin kaget saya saja kalau teriak-teriak begitu. Ada apa?" protes Wisnu.

"Maaf, nggak sengaja. Mas, dicari bapak," terang Atmo di antara tarikan napas panjangnya.

Wisnu mengernyit. "Bapak siapa?"

"Ya, bapaknya Mas Wisnu. Pak Brabu. Memangnya bapak siapa lagi?"

Rahang Wisnu mengetat. "Ada apa Papa ke sini?"

"Saya kurang tahu keperluan Pak Prabu. Mohon maaf, saya tidak sempat tanya. Saya cuma disuruh cari Mas Wisnu sampai dapat."

Wisnu sadar keliru mencari jawaban dari seseorang yang jelas-jelas hanya menuruti perintah, lalu tersenyum untuk mereduksi muram di hatinya. Terutama, rasa tidak enak hati kepada anak buahnya itu. "Iya, Mas Atmo. Terima kasih sudah dikasih tahu. Sebentar lagi saya ke dalam."

Atmo membeku. "Anu, itu, Mas―" Dia kebingungan untuk melanjutkan kalimatnya atau tidak. Bibirnya membuka dan menutup tanpa suara. Dia usap wajahnya dengan tangan kanan.

"Ada apa, Mas Atmo? Nggak usah grogi begitu. Aku nggak gigit kok orangnya," canda Wisnu untuk menetralkan suasana. Sejurus kemudian, Wisnu sadar. Melalui bola mata Atmo, dia tahu papanya pasti menyuruh anak buahnya itu dengan ancaman. Dia tidak boleh kembali ke depot jika tidak membawa Wisnu bersamanya.

Alhasil, Wisnu menuruti kata hatinya. Dia mengikuti Atmo yang melangkah kembali menuju depot melalui pintu belakang dengan tergesa-gesa, seolah nyawanya sedang dipertaruhkan.

***

Sembari meneliti masakan yang ada di dalam etalase pajangan, kepala Prabu manggut-manggut. Senyumnya merekah mengetahui menu sayur gori sampai pepes ikan cucut terhidang.

Ketika Prabu mendongak, papan menu tertulis menggunakan kapur tertangkap olehnya. Dia menyengguk sambil menyentuh dagunya. Pegawai Depot Kamboja yang sedari tadi hanya diam, mengikuti gerakannya. Tentu saja sambil tersenyum lebar, barangkali Prabu mengalihkan perhatian dan mematuk pandangannya. Bahkan salah satu pegawai Depot Kamboja membawa piring kosong untuk tempat makan Prabu jika dirasa perlu.

Depot Kamboja hari ini terbilang ramai. Meskipun waktu makan siang telah berakhir, antrean pengunjungnya masih mengular. Jam makan malam pun masih relatif lama.

Dari balik punggung Prabu, Wisnu menyapa alakadarnya. Dia lalu mencium punggung tangan papanya itu dengan hormat. Sebenarnya ada enggan menggelayut, tetapi dilawannya perasaan itu. Dia lebih tidak ingin dianggap tidak sopan atau durhaka oleh beberapa pasang mata dari pengunjung yang sedang menikmati olahan masakan Depot Kamboja dan beberapa anak buahnya jika sampai bersikap tidak hormat kepada papanya sendiri.

"Apa kabar, Pa?" tanya Wisnu, sedikit kagok.

"Jarak rumahmu ke Depot Kamboja ini sama seperti jarak rumahmu ke rumahku kan, Nu? Bisa kan mampir ke rumah untuk mencari tahu kabarku? Kalau tahu kamu nggak akan sering-sering mampir ke rumah setelah pulang dari Italia, sebaiknya aku nggak membuatkanmu rumah itu," Prabu membalas sengak.

"Aku bisa pindah kalau Papa nggak berkenan aku tinggal di rumah itu."

"Kalau itu maumu, bilang sana sama almarhumah Mama!"

Wisnu tidak berkutik begitu Prabu membawa serta almarhumah mamanya ke dalam obrolan. Saking sayangnya dengan sosok tersebut, Wisnu tidak mau merusak memori yang tertanam di kepalanya. Kalau tidak ingat almarhumah Mama yang membuat wasiat untuknya dan papanya karena tahu suatu saat tidak akan akur, kemungkinan besar Wisnu malas berurusan dengan papanya lagi. Mungkin karena itulah, Wisnu selalu bertanya dalam hati, kenapa orang baik selalu pendek umur? Kemudian, dia akan memandang papanya dengan memicing sinis, dan bertanya kembali di dalam hatinya: Terkadang Tuhan itu adil. Orang yang hidup juga bisa jadi ujian kesabaran buat kita. Menjadi ladang amal.

Pegawai Depot Kamboja yang ada di belakang Prabu meminta izin untuk ke belakang, beralasan pekerjaannya masih banyak karena tidak ingin menjadi samsak kemarahan salah satu atau keduanya.

"Kalau Papa ke sini cuma mau adu pendapat, nggak akan kuladeni. Aku mau ke dapur bantu-bantu masak soalnya depot sedang ramai."

"Aku mau makan," tegas Prabu cepat, tanpa memandang Wisnu yang akan berlalu darinya.

"Dahar damel nopo (Makan pakai menu apa)?"

"Aku nggak mau masakan yang ada di etalase," pinta Prabu. "Sepertinya kamu punya menu masakan Nasi Becek sama Teh Uwuh di sini, kan?"

"Sebentar, akan aku siapkan. Papa mau duduk di mana?"

Tidak juga membalas pertanyaan Wisnu, Prabu telah berlalu pergi menuju bangku kosong di dekat pintu keluar Depot Kamboja. Langkahnya yang tidak setangkas dulu sedikit mengurangi kesal di hati Wisnu. Papanya itu sudah sepuh (tua). Bersamaan dengan penampakan tersebut, kelegaan terlihat di wajah pegawai Depot Kamboja. Seseorang yang sedari tadi membawa piring baru berani menyodorkannya kepada Wisnu.

Sejurus kemudian Wisnu berlalu menuju dapur Depot Kamboja yang berbeda letak dengan bangunan utama. Di sana, di atas lubang tungku terbuat dari tanah liat, api sedang menjilat-jilat. Bahan bakar berupa kayu dan peralatan masak tradisional menjadikan aroma khas masakan lebih sedap dibanding resto-resto lain yang memasak menggunakan kompor. Bahkan Wisnu masih memakai arang untuk membakar sate, dan ulekan untuk membuat sambal.

"Mbok," panggil Wisnu kepada Mbok Darmi―senior, sekaligus penanggung jawab dapur utama. Dandanannya mirip tukang jamu. Kebaya kutu baru dipadu jarit gelap. Gelungannya sederhana, "minta tolong disiapin kelengkapan masakan ini. Bapak minta Nasi Becek sama Teh Uwuh."

"Bapak siapa, Mas Wisnu?"

Wisnu memutar bola matanya. "Papa, Mbok. Pak Prabu."

"Oh, beliau ada di sini?" Mbok Darmi sudah akan beranjak dari tempatnya kalau saja Wisnu tidak segera menghentikan pergerakannya dengan mengadangnya.

"Mbok mau nyusul ke depan? Sebaiknya nggak usah nemuin bapak dulu. Orangnya lagi mode...." Wisnu meletakkan dua jari telunjuknya di atas kepala tanpa meneruskan perkataannya. Mirip antena atau tanduk setan. Mbok Darmi langsung paham.

"Kalau begitu, tunggu sebentar. Mbok siapkan dulu rikues-nya. Biasanya, Pak Prabu maunya masakan Mas Wisnu, betul?"

"Iya. Makanya aku ke dapur," tukasnya enggan. Wisnu menempelkan punggungnya di tembok dapur yang bersih sembari mengangguk pelan. Dia menghela napas panjang. Pandangan keduanya menumbuk. Mbok Darmi hanya menggeleng-geleng, sementara bos kecilnya itu hanya mengerjap. Tanda agar Mbok Darmi cuek saja mengenai keberadaannya.

Kemudian Wisnu bergerak mengambil pisau kesayangannya yang tidak pernah disentuh oleh penghuni dapur lain untuk mengolah makanan pesanan papanya.

Tidak berapa lama, Wisnu menghidangkan sendiri pesanan Prabu. Saat dia meminta izin untuk kembali ke dapur, Prabu memintanya duduk untuk menemaninya makan. Semalas apa pun, Wisnu tidak kuasa menolak permintaan semacam itu.

Sebagaimana yang sudah-sudah, Prabu memulai suapannya sesendok demi sesendok. Dia lantas berbasa-basi, "Aku rasa depotmu sekarang lumayan ramai. Padahal opening-nya sudah cukup lama, ya. Dan sepertinya kamu nggak akan mengundangku kalau aku nggak tanya." Dengkusnya terdengar, tetapi tak lama Prabu melanjutkan kalimatnya. "Menurutku hal tadi bisa jadi indikasi kalau sudah mulai ada kastemer loyal," Dia berkata sambil mengedarkan pandangan. Lagi-lagi, pegawai Depot Kamboja mengangguk sungkan saat beradu tatap.

"Terima kasih. Memang itu yang kami harapkan supaya depot ini mampu bertahan lama." Wisnu terpaksa tersenyum.

"Untuk keuangan dan marketing, kamu serahkan ke siapa?"

"Ada yang atur sendiri. Papa nggak kenal orangnya."

Prabu sempat menghentikan suapannya ketika mendengar balasan Wisnu yang terkesan dingin itu, tetapi hanya berjalan sekian detik. Sambil mengangguk lambat, dia teruskan kunyahannya. "Bagus. Memang harus ada orang lain yang urus. Kamu tinggal tunggu dan periksa laporannya. Kalau begini, sepertinya aku nggak perlu terlalu khawatir dengan masa depanmu, meskipun aku masih mengharapkanmu meneruskan Rumah Makan Daharan."

"Nggak dulu, Pa," Wisnu menggumam.

Keriput Prabu tertarik ke dalam. "Tapi aku merasa ada yang kurang sama depotmu ini, Nu."

"Apalagi?"

"Nasi becekmu masih kalah jauh dibanding buatan Resto Kenanga."

Bola mata Wisnu membulat. Punggungnya menegak. Napasnya menderu. Susah payah ludah melewati kerongkongannya. Wisnu tidak sempat memprediksi, Prabu akan membandingkan olahan depotnya dengan restoran milik Baskara. Seharusnya dia sadar waktu Prabu memesan masakan yang sedang dikunyahnya itu.

"Memangnya Papa sudah pernah makan di tempat... Baskara?"

"Sebelum ke sini, Papa mampir dulu ke Resto Kenanga." Prabu tersenyum tipis. "Menunya sama dengan yang aku pesan di tempatmu, tapi ada sentuhan masakan Baskara yang terasa berbeda ketika dikecap. Lebih sedap. Bumbunya medok, tapi nggak sampai bikin enek." Dia kunyah kembali suapannya pelan sambil mengangguk-angguk sendiri menyetujui pemikirannya.

Wisnu memasang telinganya baik-baik. Dia tahu papanya tidak akan berhenti sampai di situ.

"Pantas saja kalau Baskara mewarisi tangan terampil Hadi. Bakat salah satu pegawai setiaku itu benar-benar menitis padanya." Tawa Prabu merembes, penuh kemenangan. Dia sesap teh uwuhnya untuk membasahi tenggorokannya. "Jujur saja, masakan kamu levelnya masih di bawah Baskara. Apalagi dengan mimpi omong kosongmu dulu soal―apa katamu waktu itu? Michelin Star? Jauh!"

Tangan Wisnu mengepal di bawah meja. Dia memejam, mencoba menenangkan lonjakan emosi. Yang perlu Wisnu ingat adalah depotnya saat ini dalam keadaan ramai. Dia tidak mungkin membalas perkataan Prabu dengan sama culasnya. Alhasil, dia telan bulat-bulat pil pahit bernama kenyataan. Bahkan jauh sebelum pertengkaran hebat antara dirinya, Prabu, dan Baskara pecah, Wisnu telah merasakan getirnya dibanding-bandingkan dengan sosok yang disanjungnya karena keuletannya. Namun kini, entah kenapa terasa berkali lipat sakitnya saat mendengar langsung dari mulut papanya sendiri.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top