1. Resto Kenanga

Beberapa kali Baskara memeriksa kemeja batik Sido Mukti Tungkak-nya. Celana hitam dan sepatu boatnya juga tidak luput dari perhatian. Rambut lurusnya ber-gel, tersisir rapi ke samping untuk menyambut tamu undangan istimewa. Seseorang yang sangat dia kagumi. Seseorang yang berjasa, dan berani bertaruh untuknya.

Di tengah kesibukan mempersiapkan acara, karangan bunga berdatangan dan ditata rapi berjajar di sekitar pagar depan sebagai ucapan selamat dari kolega, penyuplai bahan makanan, sponsor event wedding dan penikmat sajian restonya, Resto Kenanga. Khusus hari ini, resto akan tutup lebih larut.

Tepat pukul lima sore, sedan warna hitam metalik masuk pelataran resto yang akan merayakan ulang tahun pertamanya. Baskara telah bersiap di depan pintu geser ber-air curtain. Dia sedang mengukir senyum, menampik canggung. Di sebelahnya, perempuan berparas ayu dengan pipi merona ikut tersenyum setelah meneleng kepadanya. Secara khusus perempuan itu bertugas memastikan Baskara masih layak bertemu orang atau tidak. Setelah sedan warna hitam metalik berhasil parkir, Baskara langsung melangkah mendekat. Sengaja dia membukakan pintu penumpang. Kemudian, seseorang bersetelan jas keluar dari mobil, tersenyum hangat dan menjabat tangan Baskara, mengguncangnya dengan bersemangat.

"Selamat datang di warung saya yang sederhana ini, Pak," sambut Baskara sambil membalas jabat tangan orang itu.

"Ini bukan warung sederhana!" balas orang yang dipanggil Pak oleh Baskara itu dengan berdecak. Lalu dia tergelak, menepak bahu Baskara. "Dari dulu sukanya merendah."

"Bapak bisa saja." Baskara ikut tertawa.

"Sebelah kamu siapa, Bas?" tanya laki-laki yang sedikit membuncit karena kancing jasnya dia lepas, berbisik setelah mencondongkan badannya.

"Sugeng rawuh (Selamat datang), Pak Angger." Perempuan yang berdiri di sebelah Baskara mampu mendengar perkataannya. Dia ulurkan tangan, ikut menyambut kedatangan Angger dengan senyum yang tak juga luntur sedari mula. "Nama saya Cahaya. Bapak bisa panggil saya Aya."

Angger menjabat tangan Cahaya. Pandangannya kembali kepada Baskara. Seringai jail pun muncul dan Baskara bisa menebak ke arah mana obrolan ini akan berakhir. Duda satu itu memang licin soal asmara. "Pintar juga kamu pilih pasangan, Bas. Seleraku sepertinya menitis juga padamu."

Tebakan Baskara meleset. Dia gelagapan saat membalas, "Ka-kami―"

"Saya anak buahnya Pak Baskara, Pak Angger," potong Cahaya, "sengaja saya minta ke Pak Baskara buat ikut menyambut Bapak. Saya benar-benar ingin ketemu langsung dengan sosok yang saya kagumi sejak dulu sampai sekarang."

Tatapan Angger terasa lekat. Dia coba mengingat sosok rupawan di hadapannya. "Apa kamu salah satu muridku di PHI dulu, sama seperti Baskara?"

"Saya salah satu pembaca setia buku-buku masakan Pak Angger."

"Oh, I see." Angger mengangguk-angguk. "Saya kira buku saya itu cuma jadi bualan. Bakal jadi ganjalan pintu. Atau, jadi bungkus gorengan. Ternyata masih bisa menghasilkan uang juga, tho."

"Saya tahu persis kalimat ini. Saya juga sering mendengarnya di kantor."

"Dengar dari siapa?" tanya Angger penasaran.

Cahaya mengerling. Baskara salah tingkah. "Ternyata rendah dirinya juga menurun dari Bapak."

Mereka bertiga tertawa dan segera memasuki resto yang sedang ramai-ramainya pengunjung. Anggukan serta senyum mereka bertiga tidak surut saat berselisih jalan dengan pengunjung yang sedang menikmati jamuan. Beberapa kenalan mulai mendekat dan ikut menyalami Baskara sambil mengucap selamat.

Dari jauh, seseorang melambaikan tangannya. Baskara jelas tidak menyukainya, tetapi wajib memulas senyum di hadapan Angger. Dia melirik kepada Cahaya, bergumam, "Aku nggak tahu kalau monyet satu ini ada di sini. Kenapa kamu mengundangnya?"

"Nggak mungkin aku undang seseorang tanpa info ke kamu. Dia datang ke sini mungkin sebagai pengunjung Kenanga. Memangnya ada yang salah?" balas Cahaya sama pelannya.

Belum sampai Baskara membuka mulutnya kembali, orang itu sudah berdiri di hadapannya, memberinya senyum terbaik, tetapi Baskara merasa ada ledekan di matanya yang segaris ketika tersenyum lebar. "Pak Angger. Baskara. Apa kabar?" Tangannya mengulur, menagih sambutan.

Tak diragukan lagi, sambutan Angger sama hangatnya seperti menyambut Baskara di depan resto. "Kabarku baik, Cah Bagus (Anak ganteng). Kamu juga apa kabarnya? Bagaimana kabar papamu? Sehat?"

"Saya sehat. Papa juga sehat. Beliau kirim salam buat Pak Angger." Orang itu mengalihkan perhatiannya kepada Baskara, bersama uluran tangannya. "Kamu apa kabarnya, Bas?"

"Baik," jawab Baskara cekat tanpa memandang penanya. "Mari, Pak Angger. Saya antar ke meja supaya bisa dilanjut obrolannya."

Angger mengangguk lambat. "Bas, Wisnu nanti semeja saja sama kita. Biar enak ngobrolnya."

Baskara dan Cahaya saling menatap.

Entah kenapa, perasaan Baskara tidak baik-baik saja melihat tamu tak diundang itu seperti meminta persetujuannya untuk ikut. Baskara merasa kecolongan. Dia tidak mungkin menolak permintaan Angger agar Wisnu semeja dengannya. Baskara merasa, serigala berbulu ayam itu tengah bersiap menerkamnya hidup-hidup. Sungguh licik, tetapi Baskara tidak bisa berbuat apa-apa. Sekadar mengusir dari tempatnya pun tidak mungkin bisa dia lakukan.

***

Tidak ada yang tahu sejak kapan Baskara membenci Wisnu. Atau, sejak kapan Wisnu mulai merenggangkan pertalian pertemannya. Tiba-tiba saja semua itu terjadi.

Awal setelah perang dingin meletus, Baskara cukup tenang dengan menghindar bertemu Wisnu. Sengaja atau tidak sengaja. Namun akhir-akhir ini, dia lelah bermain kucing-kucingan. Baskara tidak lagi sungkan memperlihatkan ketidaksukaannya. Contohnya hari ini, tidak ada undangan untuk Wisnu. Tidak akan ada undangan untuk bekas sahabatnya itu. Tidak sekarang, tidak juga di masa yang akan datang. Sampai-sampai, Baskara menolak duduk di sebelah Wisnu. Dia memilih duduk bersebelahan dengan Cahaya yang mendadak salah tingkah. Antipati itu diperlihatkannya secara halus, tanpa perlu Angger tahu. Dan saat Angger mulai menyentil masa lalu mereka, Baskara cepat-cepat mengalihkannya ke obrolan lain. Masa lalu yang hanya untuk dikenang benar-benar diterapkannya sekarang.

Gelagat basa-basi Wisnu terus menggulir. Saat Baskara melontarkan bahasan mengenai kuliner yang sedang naik daun, Wisnu ikut nimbrung sampai akhirnya tersadar hanya Angger yang menyahut atau Cahaya yang menambahkan. Baskara memilih diam, menyesap segelas air putih, memandang ke arah lain, atau apalah, alih-alih menimpali obrolan.

"Tinggal tiga tahun di Jakarta, tetap tidak ada yang bisa mengalahkan aroma Surabaya," Angger berceletuk setelah bahasan mengenai kerak telor mengudara dari mulut Wisnu. Tangkapan matanya terarah kepada Baskara. "Kira-kira, sajian apa yang mau kamu berikan padaku malam ini, Bas?

"Tunggu sebentar, Pak." Baskara mencoba tenang saat berdiri, sementara detak jantungnya bergerak liar. "Akan kami siapkan segera."

Baskara beranjak dari tempat duduk. Dia ingin Angger mabuk kepayang dengan menu andalan restonya. Terlebih, bekas sahabat yang kini jadi musuh bebuyutannya ada di hadapannya. Wisnu harus tahu bahwa Baskara tidak main-main dengan masa depannya. Malam ini, dia berjanji tidak akan mempermalukan dirinya sendiri.

Seolah sedang unjuk kebolehan, Baskara memberi petunjuk kepada salah satu pelayan yang berdiri di sebelah meja kasir supaya mendekat. Selesai memberinya instruksi, pelayan itu bergegas ke dapur. Tidak berapa lama, mereka muncul dengan membawa bagian masing-masing. Kereta dorongan mengekor.

Sesuai perintah Baskara, mereka suguhkan empat gelas wedang jeruk dan air putih. Mereka lanjutkan pergerakan dengan menghidangkan hidangan utama resto Kenanga. Malam ini, menu spesialnya adalah Sego Becek (Makanan khas Nganjuk, kampung halaman ibunya. Berbahan dasar gulai daging kambing dengan bumbu kuning dan bumbu kacang. Sate setelah dibakar dilepas dari sunduknya, diletakkan di atasnya).

"Silakan dinikmati Sego Becek-nya selagi masih panas," Baskara mempersilakan Angger untuk mencicipi masakannya.

Seperti biasa, Angger memejam untuk mencerna makanan pada suapan pertama. Hal yang paling ditunggu-tunggu oleh Baskara selanjutnya, termasuk Wisnu, adalah penilaian dari gurunya itu. Koki andal yang mereka hormati.

"Rasa makanan ini tidak asing begitu sampai di lidahku. Bumbunya pas, tidak seperti jamu. Pulen nasinya juga pas, seperti ditanak di tungku. Kematangan daging kambingnya pun juga pas, gurih, lemaknya seperti menempel dalam bakaran. Sebenarnya aku sudah tahu makanan yang kamu sajikan ini akan seenak itu, Bas. Dan untungnya kamu juga menuruti kata-kataku untuk buka restomu sendiri. Sama sekali tidak mengecewakan. Kamu pantas berbangga dengan pencapaianmu ini."

Pujian setinggi langit tersebut memancing lengkung di bibir Baskara sampai tertarik ke atas.

Wisnu turut merasakan sensasi mengunyah makanan yang disajikan setelah Angger memberikan penilaiannya. Disendoknya pelan kuah gulai kambing bersama nasi. Lidahnya seperti meleleh saking enaknya. Ingin rasanya Wisnu memuji masakan Baskara, tetapi bekas sahabatnya itu tidak akan mungkin mau menerimanya. Jadi, dia hanya tersenyum sendiri dan melanjutkan kunyahannya dengan suka cita.

"Kamu juga harus makan, Bas, Aya. Kalau sudah dingin nanti nikmatnya berkurang," imbuh Angger.

"Baik, Pak," jawab Cahaya yang hampir menetes liurnya karena kelamaan menunggu dipersilakan.

"Terima kasih, Pak," balas Baskara. Kebanggaan terlihat jelas dari sorot matanya.

"Menu andalan restonya Baskara enak kan, Nu?" Pertanyaan Angger bergeser saat Wisnu tidak juga bersuara.

"Enak, Pak."

Nafsu makan Baskara langsung menghilang. Sebenarnya dia ingin mendengar pujian lebih dari bekas sahabatnya itu, tetapi mendapat kata "enak" saja dari mulutnya seperti mencecap hinaan.

"Nu, aku dengar kamu mau buka resto di daerah sini? Jadi tahun ini kan, ya?" tanya Angger tiba-tiba sambil menyesap segelas air putih untuk menggelontor rasa daging kambing yang tersisa di mulut.

Baskara melirik, satu tangannya mengepal di atas pahanya. "Re-resto baru?" katanya pelan, cenderung menggumam.

Lirikan Baskara berakhir bertemu dengan anggukan kecil Wisnu. Baskara serasa ingin merobek senyum tipis di bibir Wisnu yang tidak juga raib sejak tadi.

Di hari yang seharusnya membahagiakan ini, menjadi hari paling sial dalam hidup Baskara. Pembahasan mengenai resto lain di ulang tahun restonya sendiri, berhasil memperkeruh suasana hatinya. Dia menyesal mengundang Angger datang ke pestanya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top