CERPEN #5: Happier Than Ever
SPRING MENDARATKAN ciuman ke atas bibirku. Apa yang ada di pikirannya? Butiran air mata bersarang di pelupuk pria ini, tapi dia terpejam. Hentikan ini semua! Spring, kau sudah terlambat—
"Billie, bangun!" Finneas membangunkanku. Dia selalu melakukannya. Aku bersyukur bisa punya kakak laki-laki yang rajin bangun pagi. Thank God, aku tak pernah melewatkan sarapan berkat Finneas.
"Makasih ..., Finneas," ucapku yang masih menguap.
"Sama-sama." Finneas bangkit dari kasurku. Tunggu, dia rapi sekali? Masih pagi, dan pria ini sudah memakai kemeja putih dengan celana panjang abu-abu. Hari apa ini? Bukannya sekarang hari Sabtu, tak ada kegiatan seharusnya—ini weekend! Aku menelusuri tiap jengkal tubuhnya sembari menyipitkan mata. Finneas tentu menyadari gelagatku. "Hey, Billie! Stop it! Kenapa kamu melihatku seperti sedang menangkap basah diriku membawa majalah dewasa?"
"Kau mau ke mana? Rapi sekali."
"Oh, kencan. Pacarku sudah menunggu di bawah."
Yeah, kencan. Bagaimana bisa aku lupa kalau sekarang adalah awal bulan April. Secara teknis, ini masih musim semi. Aku dan Finneas sangat sibuk di Bulan Maret karena Academy Award. Beruntung, kami memenanginya. Well, saking beruntungnya, kami sampai tidak bisa menghabiskan awal musim semi dengan normal. Banyak wawancara yang harus kami hadiri. Kami seharusnya mencium semerbak bunga daisy di taman yang ada di perempatan, tapi malah menikmati aroma steril ruangan ber-AC. Hm, kalau dipikir-pikir, sekarang, bunga-bunga masih bermekaran. Tentu, nikmat sekali jika dihabiskan dengan jalan-jalan bersama orang yang kaukasihi. "Ok, semoga lancar kencannya!"
"Thanks," Finneas meninggalkanku yang masih berbaring di atas kasur, tapi dia sontak menghentikan langkah. "Billie, cepat turun! Aku lupa, aku tadi terlambat membangunkanmu. Sekarang sudah pukul dua belas. Segera habiskan sarapanmu!"
"APA!!?" Aku segera melompat dari kasur, lalu bergegas turun ke ruang makan. Aku tak lagi mempedulikan Finneas—sarapanku lebih penting. Pria itu mungkin sedang menyusul pacarnya yang ada di ruang tamu. Nah, itu, itu dia! Suara derum mobil membumbung tambah menjauh dari rumah. Tin! Tin! Klakson ganda mengikutinya. Finneas memberikan tanda kepadaku. Yeah, dia biasa melakukannya. Tinggalkan saja aku! Meski aku sendirian, setidaknya, aku senang melihat Finneas bahagia. Eh, tunggu! Mengapa rumah sepi sekali? "Mom? Dad?"
Tak ada jawaban. Ternyata benar, hanya aku yang tertinggal di rumah.
Aku tersenyum 'tuk menertawai diriku sendiri. Ya, aku memang sudah memiliki seorang kekasih, tapi ada yang aneh. Semenjak kehadiranmu, aku tak pernah merasakan getaran yang menggelitik di sekujur tubuh. Tak ada lelaki yang bisa menyaingimu. "Spring, apakah hari itu tak bisa terulang?"
Aku menjatuhkan wajahku ke atas meja makan yang berwarna hitam. Air mata tak terasa keluar dari pelupuk. Hari ini adalah waktu yang sama dengan kejadian itu. Sabtu pertama di Bulan April ..., kita pergi ke taman yang tidak biasa aku datangi. Aku memutuskan hal yang salah-betapa bodohnya aku.
Aku memutuskan hubungan kita saat kau melamarku, Spring.
.
.
.
Hari ini adalah Sabtu pertama di Bulan April, dua tahun lalu.
Spring mengajakku kencan untuk kedua belas kalinya. Dia selalu membawaku jalan-jalan ke taman. Katanya, dia suka melihat bunga-bunga. Sejujurnya, aku pun begitu. Spring berhasil membuatku suka kepada bunga-bunga yang bergantian mekar di setiap musim. Semerbak harumnya mengelus-elus hidungku, sampai membuatku tak menjadi orang yang gelap lagi. Kau hebat sekali, Spring.
Spring adalah pria muda yang manis dan berhati lembut. Dia punya suara sehalus kain sutera. Rasanya hangat ketika memasuki rongga telinga. Pria itu tidak pernah menggunakan suara tinggi kepadaku, apalagi membentakku. Sama sekali tak pernah! Dia memperlakukanku bagai seorang ratu. Spring memiliki bau kayu wangi yang menempel di badan. Ketika dia memelukku, aroma rempah dan mawar ikut merangkul. Nyaman, aku sampai bisa terlelap sampai ke alam mimpi ketika berada di dalam dekapan Spring. Dia juga memiliki senyum yang manis. Spring hampir mirip seperti Finneas. Mereka punya tinggi dan postur yang sama, begitu pula dengan warna rambut: coklat keemasan. Satu-satunya hal yang membedakan Spring dengan Finneas adalah wajahnya: bersih tak memiliki janggut dan kumis (dia rutin mencukurnya). Karena itu, aku suka setiap Spring menciumku. Tak ada rasa geli yang menggelitik wajahku.
Waktu itu, kau tetap seperti biasa, Spring. Dia berdiri di depan pintu rumah dengan setelan jas berwarna coklat muda, senada dengan rambutnya. Dia mengenakan kemeja putih dengan dasi berwarna hitam, sama seperti sepatu pantofelnya. Dia gagah sekali, apalagi ketika tersenyum. Aku sampai ingin sekali memeluk dan menciumnya, lalu tak melepaskannya. Dia seperti bukan manusia. Spring adalah malaikat. Kau tahu, aku sempat menanyainya, "Apakah kau itu alien? Kau tak memiliki nama belakang, bahkan aku tidak tahu asal tempat tinggalmu, X12AU apalah itu namanya."
Spring tertawa. Dia mengguratkan senyum semanis biasanya. Sepasang lesung pipi menghiasi wajah putihnya. "Kalau aku benar alien, bagaimana? Kau akan tetap mencintaiku 'kan, Billie?"
Hahaha! Aku menertawai Spring, lalu menyenggol pundaknya. "Mana mungkin kau alien, Spring? Masa ada alien semanis dirimu?" Aku mencubit pipi Spring. Dia pun ikut tertawa bersamaku, tapi jika aku bisa mengulang waktu, aku tak akan tertawa kala itu. Spring mengatakan hal yang sebenarnya.
Spring bukanlah manusia.
Pagi itu, dia membawaku ke taman yang tak pernah kuketahui keberadaannya. Masa ada taman di pusat California yang bernama Love or Leave? Mengerikan sekali! Aku jadi teringat judul film-film horor yang isinya pembantaian manusia. Aku pun menuruti Spring. Aku tak memiliki kecurigaan apa pun kala itu. Spring adalah seorang pencinta tanaman, tentu dia akan mengetahui seluruh taman yang ada di California, bahkan di dunia (mungkin).
Aku menuruti Spring. Kami menuju ke taman Love or Leave menggunakan mobil Spring. Kau tahu, bentuk mobilnya aneh, tapi keren. Warnanya perak dengan kaca kurus. Gayanya begitu futuristik seperti kendaraan detektif dari masa depan. Saat aku menanyai Spring, dia berdalih mobilnya dibeli dari Jepang. Jadi, pantaslah modelnya sangat ... unik. Sebagaimana bentuknya yang tak kukenal, Spring 'lah yang menyetir. Hanya dia yang bisa mengendari mobil canggih semacam ini.
Aku melirik gedung-gedung tinggi di pusat California. Mataku menyipit seakan meragukan lelaki yang terus tersenyum di kursi pengemudi. Aku—jujur—meragukan Spring yang ada di sampingku. Mana mungkin ada taman di daerah perkotaan? Setiap aku menanyai Spring, dia hanya mengedik, lalu menjawab sudah tunggu saja. Aku pun meninggalkannya, dan mengetuk-ketuk jendela dengan punggung tangan. Yeah, untuk mengobati rasa bosan. Aku benar-benar tak memiliki ide tentang rencana pacarku ini, aku mau dibawa ke mana, tidak, hingga mobil yang kami naiki berhenti.
Sebuah gedung berkaca hitam menjulang ke langit dengan peluntiran dari dasar ke puncak.
Aku terperangah. Wow! Gedung ini pasti dibangun oleh arsitek yang genius. Aku bahkan baru menyadari gedung semacam ini ada di California. Kau tahu, beruntung Spring menepuk pundakku. Kalau tidak, aku pasti sudah dicap kampungan karena terlalu lama menelisik sekujur gedung futuristik. Spring menggenggam tanganku untuk menuntun. Aku pun menyambutnya dengan senang hati. Aku pertama kali berkencan menggunakan sebuah gaun. Hanya karena ini adalah kencan kami yang kedua belas, sekaligus anniversary, aku memilih dress putih berumbai dari pinggang sampai lutut. Well, ini bukan gayaku, tapi kali ini, aku dan Spring sangat serasi.
Kami memasuki lift yang ada di ujung aula tanpa ada seorang pun yang lalu lalang. Gedung ini kosong, hanya ada aku dan Spring. Aula setinggi lima kali tubuh manusia normal meliputi kami. Lampu berlian dan lantai marmer coklat menjadi kemewahan yang menyambut. Pilar-pilar berwarna putih keemasan juga memancang di sekitar kami, hanya saja berbeda. Pilar di gedung ini terbuat dari ... kaca. Mengagumkan. Aku tak bisa berkata-kata selama kami di lift. Spring menekan tombol yang mengarah lantai dua belas. Dia tersenyum kepadaku, dan berkata, "Lantai itu kupilih karena sekarang adalah kencan kita yang kedua belas."
Aku membalas senyumannya. Dia sangat manis sampai sanggup menyiapkan hadiah semewah ini— tunggu, tapi bukannya Spring mau membawaku ke taman? Mengapa kami malah berakhir di sebuah gedung futuristik? Apakah tamannya indoor? Hatiku berdegup. Aku tak tahu apa yang akan kulihat. Apa pun itu, Spring pasti bisa membuatku terperangah. Dia adalah lelaki yang gila.
Ting!
Lift membunyikan bel. Pintu aluminium yang dilapisi emas perlahan bergeser membuka. Aroma semerbak bunga sontak melayang ke dalam hidungku. Hamparan hijau dengan langit biru yang menyala terang-bagai disinari mentari, menjadi pemandangan yang menembus ujung mataku. Lagi-lagi aku terperangah. Di mana aku?
Aku seperti berada di surga.
"Billie, ayo kita nikmati kencan kita yang kedua belas," ajak Spring. Ia menjulurkan tangan kepadaku. Aku yang masih berkaca-kaca hanya sanggup menutup mulut, lalu meraih tangan Spring dengan tangis bahagia. Kami berjalan mengikuti hamparan hijau yang terbuat dari rumput-rumput bertekstur amat lembut. Bagaimana bisa Spring menciptakan taman ini? Berapa banyak uang yang harus ia kucurkan untuk menyelesaikannya? Matahari? Langit biru? Bunga-bunga yang bermekaran? Ini, tidak mungkin dibuat oleh manusia. Spring, kau memang seorang alien.
Aku tertawa, dan berlari menyusuri keindahan taman yang (kata Spring) bernama Love or Leave. Ini adalah kencan terindah dari dua belas yang sudah pernah kami lalui. Kala itu adalah hari yang terindah bagiku. I'm happier than ever! Aku ingin berterimakasih kepada Spring. Aku seharusnya ikut mengajaknya berlari bersama, lalu memeluk dan mencium pria itu. Aku pun berbalik, dan berkata, "Spring, terima kasih-"
Spring ternyata sudah berada di hadapanku, dan dia ... berlutut. Pria itu menyodorkan sebuah kotak hitam berkulit bludru. Di dalamnya, ada sebuah cincin berlian yang terukir namaku di atasnya. Aku terperangah. Aku tak pernah berpikir Spring akan melakukan ini. Dia berkata, "Billie, maukah engkau menjadi pasangan hidupku sampai ajal menjemput?"
Spring melamarku.
Getaran tiba-tiba merambati sekujur tubuhku. Senyumanku berganti menjadi mulut yang menganga. Kedua tanganku spontan menutupinya. Aku tak tahu harus menjawab apa. Iya, aku mencintai Spring. Namun, apakah harus secepat ini? Aku baru berumur delapan belas tahun? Apalagi, aku sedang berada di puncak karir bermusik. Apakah Spring sanggup meladeniku yang hidupnya jauh dari kata tenang. "Spring, aku mencintaimu ..., tapi mengapa harus secepat ini?"
"Tak ada waktu lagi bagiku. Musim semi ini adalah kesempatan terakhirku di sini. Aku harus segera pulang," ucapnya. "Billie, menikahlah denganku, dan ikutlah aku. Ayo kita menghabiskan sisa umur kita di sana."
Tunggu, apa yang Spring katakan? "Mengapa kau tak bisa di sini lagi? Apakah kau harus pulang ke tempat asalmu yang namanya sulit kueja itu?" Aku berusaha mengembalikan senyuman di bibir Spring. "Ayolah, Spring. Kau bisa tinggal di bagian bumi mana saja. Ini bukan zaman abad pertengahan yang melarangmu masuk ke daerah musuh! Spring, manusia sudah sangat baik sekarang! Kau tidak perlu takut kepada apa pun, tidak, jika kau bukan manusia-"
"Bukan," seru Spring, "aku memang bukan manusia!"
Aku terdiam. Aku seakan ditampar oleh perkataanku sebelumnya. Guyonanku yang tadi, Spring ..., benar-benar bukan manusia? Mana mungkin! Namun, aku tak melihat kebohongan di mata hitamnya. Kau tahu, dia sampai menanggalkan senyumnya. Seorang lelaki berhati lembut yang selalu tersenyum, tiba-tiba berwajah datar. Dia khawatir. Oh tidak, aku tak sanggup. Kini, semuanya berubah. "Maaf, Spring, aku tak bisa menerima lamaranmu. Aku rasa, hubungan kita ... sampai sini saja."
Spring sontak menangis.
Air mata mengalir di sepanjang pipinya. Lelaki yang selalu tersenyum, kini menitikkan kesedihan, dan aku adalah wanita yang bertanggung jawab atasnya. Oh Tuhan, jangan masukkan aku ke neraka. Walau begitu, Spring bergegas bangkit. Dia mengusap air matanya. Pria itu mengerjap untuk menghilangkan sembab. Dia tertawa, tapi kesedihan masih ada di dalam hatinya. Kau tahu, Spring menatapku lekat-lekat. Dia ... tersenyum. "Billie, karena aku tak bisa bersamamu lagi, izinkan aku melakukan ini."
Spring mendaratkan ciuman ke bibirku.
Apa yang ada di pikirannya? Butiran air mata bersarang di pelupuk pria ini, tapi dia terpejam. Hentikan ini semua! Spring, kau sudah terlambat—
Dhoom! Buurst!
Sebuah ledakan mendentum dari dalam tubuh Spring. Juluran kayu menjulang sangat cepat sampai menyentuh langit-langit. Cabang dan ranting yang jumlahnya miliaran berlomba-lomba mencuat. Dedaunan hijau menyirip tumbuh dari ujung setiap kayu coklat sampai memayungi seisi taman dengan rona hijau tua. Akar raksasa menjulur dari kaki Spring. Bagai sulur yang mencari sumber air, rambatan itu terus meliuk sampai menabrak dinding ruangan. Tubuhku bergetar melihat badan Spring yang berubah menjadi batang pohon raksasa. Aku meronta untuk melepaskan ciuman Spring, tapi tak ada gunanya.
Tangan Spring berganti menjadi cabang pohon yang merangkul. Rimbunan kambium menjalar dari setiap lubang tubuhnya: telinga, hidung, dan mata. Sepasang matanya menumbuhkan cabang coklat yang berurat keras. Aku meneriakkan nama Spring sekeras yang kubisa, tapi itu sia-sia. Mulutku tak bisa terbuka karena ciuman Spring berubah menjadi kayu raksasa berumur ratusan tahun. Oh Tuhan, apakah aku akan mati hari ini? Aku sudah membuat Spring marah. Namun, aku membatalkan persangkaanku. Terjunan air mata keluar dari sepasang cabang yang keluar dari Netra Spring. Dia tidak marah.
Spring menangis.
Dekapan tangan yang berubah menjadi cabang pohon keras, tiba-tiba melonggar. Aku melangkah mundur dengan derap gontai. Mataku terbeliak. Perlahan aku melihat wujud kesedihan Spring: sebuah pohon raksasa. Aku bisa melihat mana kedua tangan yang tadi merangkulku, juga wajah yang mendaratkan ciuman ke bibir. Matanya, berubah menjadi juluran batang yang menjulang ke langit. Aku terperangah, tapi bukan karena ketakutan. Aku ... menyesal.
Air mata mengalir dari setiap netra Spring. Semburan itu tak berhenti, terus mengucur seakan sebuah mata air. Spring, apakah kau adalah seorang makhluk musim semi? Yang menumbuhkan segala kehidupan, lalu menjaganya? Kalau benar begitu, mengapa kau memilih makhluk sepertiku: seorang manusia yang hanya bisa merusak, bahkan melukai makhluk selembut dirimu. Apa yang sudah aku lakukan? Lihatlah itu, hasil dari perbuatanku!
Mata air yang diciptakan dari air mata, menggenang enggan berhenti.
Aku bodoh. Aku hanya sanggup menunduk, lalu melarikan diri. Aku pergi setelah kejadian hari itu. Kakiku bergetar, dan aku tak bisa tidur semalaman. Aku sampai mendatangi gereja untuk berdoa semalaman. Aku sudah melakukan sebuah dosa besar. Tuhan, maafkan aku. Kau tahu, tak sadar, aku sampai tertidur saat bermunajat.
Aku terbangun di aula gereja yang hanya berisi kursi kayu panjang. Mimbar masih kosong. Aku harus segera keluar dari sini. Orang-orang tak boleh melihat Billie Eilish sedang menangis ketakutan. Namun, aku sendiri masih dihantui oleh Spring. Untuk pulang, aku mau tak mau harus berpapasan dengan gedung itu. Kuberanikan mobilku melalui tempatku melakukan sebuah dosa besar, tapi apa yang aku lihat sekarang?
Gedung futuristik itu berubah menjadi gudang tua yang tak berpenghuni.
.
.
.
Kembali ke masa sekarang, aku mengerjapkan mata. Kuangkat kepalaku dari meja makan yang menjadi sasaran pelampiasanku. Aku menyesal mengatakan itu kepada Spring. Pria itu tak tertandingi. Rasa cintanya begitu besar, sampai aku tidak bisa mencintai lelaki seikhlas saat aku bersama dengan Spring. Ini adalah hukuman untukku. Setiap musim semi, aku akan sengsara—
Tunggu, aku menyadari sesuatu. Tiap musim semi, ya?
Aku sontak mengambil kunci mobil. Kunyalakan cepat-cepat, lalu kusetir ke arah tempat itu: gedung futuristik yang menjadi penampung dosa besarku. Aku ragu, ini konyol, tapi aku tak mau seperti ini terus. Aku tidak mau Spring sengsara di tempatnya. Aku mencintainya, sama sepertinya. Namun, mengapa Engkau menciptakan rasa seperti ini di antara kami, Tuhan? Aku harus menyelesaikannya— benar, dugaanku benar!
Sebuah gedung hitam dengan peluntiran menjulang di depan mataku.
Aku bergegas mengarah ke aula megah yang kosong. Kumasuki lift, dan menekan tombol ke lantai dua belas. Saat pintunya terbuka, pohon raksasa masih menjulang mengeluarkan air mata. Spring masih menangis. Aku merangsak melalui genangan yang membanjiri taman-taman. Aku harus melakukannya.
Aku mendaratkan ciuman ke bibir Spring.
Air mata itu berhenti. Spring gembira setelah sekian lama; aku pun tersenyum untuknya. Aku bisa merasakan kehadirannya. Aroma kayu manis dan rempah-rempah tiba-tiba memenuhi ruangan. Meski aku tak bisa mencintai lelaki sepertimu, Spring, aku harap kita bisa tersenyum bersama ... di setiap musim semi.
Right now,
I'm happier than ever ....
Tertanda,
cintamu,
— Billie Eilish
"Spring of Tears"
S E L E S A I
Cerita ini ditulis untuk memeriahkan Spring of Love yang diadakan oleh Ambassadors ID Fanfiction pada April 2022.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top