CERPEN #3: Penduduk Langit
[910 kata]
Hidup berakhir, senyum getir menghampiri. Senyuman tak kunjung mampir, pintu langit terkunci untuk Qarni.
Hidupku berubah sepi.
Kemarin, Qarni masih bisa memikirkan ternak-ternak yang harus ia giring. Kemarin, pemuda bergamis ini masih berpikir tentang cita-cita yang ia dambakan. Kapan diriku bertemu dengan sang utusan Ilahi?
Hari ini, semua berubah sepi. Qarni tak mendengar kicauan para teman gembala yang membicarakan uang dinar dan gadis-gadis. Hari ini, dunia menjadi tak bersuara.
Betapa baik Tuhanku.
***
Hidup berakhir, senyum getir menghampiri. Senyuman tak kunjung mampir, pintu langit terbuka untuk Qorin.
Hidupku berubah benderang.
Kemarin, Qorin masih mengira timbangan emas yang harus ia pikir. Kemarin, pemuda berjas putih ini masih berpikir tentang hari akhir. Kapan diriku bertemu dengan sang Ilahi?
Hari ini, semua berubah sepi. Qorin tak lagi menghitung kepingan emas yang bergemerincing ia lindungi. Hari ini, dunia menjadi tak bersuara.
Betapa tega Tuhanku.
***
Qarni pulang membawa seiris daging kambing. Ia tenteng otot kemerahan itu di punggung yang sudah dibanjiri peluh. Wajah kelelahan dan mata belum terlelap, Qarni masih tersenyum untuk menjamu orang yang sudah menunggunya. "Ibu, aku pulang."
Sang ibu diam tak menjawab.
Wanita yang diajak bicara oleh sang putra itu hanya menaik-turunkan dadanya. Tak sanggup menoleh, tak kuat berceloteh. Matanya hanya berkedip. Ingin menangis, tapi udara dingin malah yang menitik.
Tidak apa. Aku memang ditakdirkan kesepian.
Pasar memanggil-manggil, tapi Qarni tak bisa menghampiri. Mata teduhnya melihat sang ibu. Meski tak terbalas, senyuman terus ia guratkan. Tak apa dilupakan, tak apa diabaikan.
Tidak apa. Qarni memang ditakdirkan kesepian.
"Betapa baiknya Tuhanku."
***
Qorin pulang membawa segepok dolar yang memberatkan lengan. Jas jutaan yang ia kenakan masih wangi dan dingin terkena ruangan steril. Ia pulang dengan bibir melengkung ke bawah. Dia tak mau bertemu dengan orang yang ada di rumah. "Ibu, kapan kau berpulang?"
Sang ibu diam tak menjawab.
Wanita yang diajak bicara oleh sang putra itu hanya menaik-turunkan jari telunjuk. Tak sanggup menoleh, tak kuat berceloteh. Mulutnya hanya terbuka menganga. Ingin mengais, tapi mesin penjepit malah yang berderit.
Ini masalah. Aku tak mau ditakdirkan kesepian.
Gedung pencakar langit memanggil-manggil, tapi Qorin tak bisa melipir. Mata berapinya melihat sang ibu. Meski tak terbalas, dengusan terus ia luncurkan. Tak mau dilupakan, tak mau diabaikan.
Ini masalah. Qorin tak mau ditakdirkan kesepian.
"Betapa teganya Tuhanku."
***
Mendung bergulung menghampiri. Langit kelabu berubah menjadi hitam tak tertembus. Urat-urat dan peluh masih bertengger di sekujur leher. Ibu, mengapa engkau tidak berkedip hari ini?
Sepi masih menemani Qarni.
Lima ratus lima belas hari. Qarni sudah menyepi di dunia yang semakin berdering. Kerasnya lantunan melodi yang berhasrat tak sanggup mengubah sunyi di hidup Qarni. Kuping pemuda bergamis ini hanya tertuju untuk sang ibu. Sayang, gendang telinga Qarni tak lagi digetarkan oleh napas wanita yang sangat ia sayangi. Ibu, mengapa engkau tidak melirikku hari ini?
Air mata menitik kecil dari sela-sela netra yang sudah dirundung kelelahan. Memandikan sang ibu agar bisa tetap cantik dan indah dipandang, Qarni tidak akan melakukannya lagi. Sedih. Hari ini, Qarni akan menyucikan sang ibu untuk terakhir kali. Ibu, mengapa engkau tidak memandangku hari ini?
Kesepian Qarni malah semakin menjadi-jadi. Meski mimpi untuk menatap sang utusan Ilahi dapat terjadi, apa daya pintu surganya sudah menghilang dikubur tanah kelabu.
Betapa tega Tuhanku.
***
Mentari menarik awan tanpa henti. Langit biru tetap menaungi kepala-kepala yang menangis dan meringis. Senyuman tergurat lebar, tapi air mata turun bersulur-sulur. Ibu, mengapa engkau tidak berkedip hari ini?
Sepi kini tak lagi menemani Qorin.
Lima ratus lima belas hari. Qorin terpaksa menyepi di dunia yang semakin mengering. Kerasnya dering ponsel yang berisik tak sanggup mengubah depresi di hidup Qorin. Kuping pemuda berjas putih ini hanya tertuju untuk laptop yang terbuka di seberang sang ibu. Beruntung, gendang telinga Qorin tak lagi digetarkan oleh napas wanita yang selalu ia tangisi. Ibu, mengapa engkau tidak melirikku hari ini?
Cahaya benderang menyorot polos dari sela-sela netra yang sudah dirundung kelelahan. Memandangi sang ibu agar bisa tetap bertahan di sisa hukuman yang tak pernah ia minta, Qorin tidak mau melakukannya lagi. Sedih, tapi tak menitik. Hari ini, Qorin akan mencium kening sang ibu untuk terakhir kali. Ibu, mengapa engkau tidak memandangku hari ini?
Kesepian Qorin perlahan semakin memudar. Meski mimpi untuk menatap sang Ilahi masih belum terjadi, apa daya pintu surganya sudah menghilang dikubur tanah kelabu. Tak apa. Qorin akan lupa dalam empat puluh hitungan.
Betapa baik Tuhanku.
***
Empat ribu tujuh ratus enam puluh tiga. Matahari dan bulan sudah saling berganti sebanyak lingkaran merah di atas tanggalan.
Qarni sudah berakhir. Tubuhnya kaku tak bersuhu. Matanya kelabu dengan mulut menganga. Peluh membanjiri kening. Ketakutan tergambar di tatapannya yang hampa. Orang-orang pasar berkata tanpa menimbang. "Pintu langit sudah tertutup untuk Qarni."
Qorin sudah menyelesaikan tugas. Tubuhnya kaku tak bersuhu. Matanya terpejam dengan mulut mengatup. Peluh membanjiri lengan dan kaki. Kekhawatiran tergambar di atas arloji perak yang mengilap. Orang-orang bergaun rapi bangga tanpa menepi. "Pintu langit sudah terbuka untuk Qorin."
"Bodohnya, oh bodohnya!"
Sekumpulan makhluk perkasa menunggu di atas pintu angkasa. Putih dan tak kasatmata, mereka memandang bumi, menyambut sebuah hal gaib yang akan menghampiri.
Orang-orang meninggalkan Qarni. Orang-orang memuja Qorin.
"Kami akan menjemput kaum kami." Sang makhluk perkasa yang ada di bibir pintu langit turun menyucikan pemuda yang selalu tersenyum kepada sang ibu. Dia mengistirahatkan tenang pemuda yang menangis pedih ketika wanita yang ia sayangi pergi. "Dia adalah kaum kami."
Qarni ketakutan memandang dosa. Qorin ketakutan melirik dunia.
Penduduk langit terdiam memandang kedua pemuda yang sudah menjalankan takdir. Berdiri memandang sebuah bayi yang baru dilahirkan, mereka hanya membatin.
Siapakah ia kelak, Qarni atau Qorin?
[]
Cerpen ini ditulis untuk memeriahkan event nyepi yang diadakan oleh Written in Action Indonesia pada 20 Mei 2022.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top