CERPEN #1: Ibumu, Ibumu, Ibumu, Bapakmu? Ibuku

[1302 kata]

Napas menderu. Malam membuta. Sepasang mata terbuka, lalu terpejam. Seorang pemuda menahan tangis diguyur dinginnya hujan. Diamlah, wahai buangan!

Fatre. Nama itu sudah lama ingin ia lupakan. Mengingat kerangkeng yang mencengkeram kaki, dia hanya sanggup menjerit di dalam hati. Menusuk daging, pemuda ini tak boleh mengerang, tak boleh meronta. Oh, Tuhan. Mana pertolonganmu?

Malam ini adalah malam ketiga Fatre berlari di dalam rimba Dakin. Di suatu tempat, pada masa yang akan datang, orang seperti Fatre tak akan sanggup mengubah nasib.

"Dengarkan suara Fatre!" Para pria menggeledah seluruh sudut kota. Mengejar seorang perjaka yang tak berbapak, mereka melolong bagai serigala lapar. "Fatre adalah sang penyelamat. Tangkap dan seret dia ke tempat pembuahan!"

Wanita. Mereka sudah lenyap. Dimakan "hewan-hewan buas" yang bernama pria, tak ada lagi sesosok "dewi" yang menghiasi bumi. Jika tak habis dilalap kebuasan, mereka lenyap dihabisi belati yang tertata rapi di dalam laci.

Aku tak tahu mengapa Bapak mengutukku. Fatre merintih tak bersuara. Ia menggigit kaus lusuhnya dalam-dalam. Menarik jauh kedua mulut jebakan yang menembus kaki, pria berbaju lusuh ini tak mau mengucap pergi kepada tumpuan lari. Ayolah terbuka!

Fatre jenuh kepada sang bapak. Setiap fajar, ia harus berlari pergi, mengangkat tiga balok kayu, dan memakan dua piring nasi. Lelah. Fatre selalu bertanya, kapan ini berakhir. Setahunya, sang bapak selalu benci kepada makhluk gemulai, termasuk wanita. Tak berbeda jauh, bapak Fatre sama seperti hewan buas yang kini menjamuri bumi.

Oh, Tuhan. Mengapa aku tak menjadi hewan buas dan membiarkan kami mati serempak? Fatre bernapas terengah. Dinginnya air hujan tak ia hiraukan. Mata hitam yang sudah kembali memasukkan cahaya mulai menelisik sekitar. Tentang keberadaan para hewan buas, mereka tak mendengar rintihan Fatre. Terjunan air dari langit ini menyelamatkan Fatre.

Tiga hari. Fatre berlari di tengah pepohonan gelap. Merangkak dan mengorek celah-celah, pemuda ini berharap menemukan ganjalan yang bisa menjinakkan rongga perut. Rimba Dakin, hutan kegelapan yang tak pernah disinggahi para hewan buas, Fatre berlari ke sana. Dia memberontak dari kaumnya. Mengapa aku harus melayani para hewan buas?

Fatre adalah lelaki yang diberkati Tuhan. Kepunahan para pemangku janin membuat Sang Pencipta menggerakkan roda timbangan. Tetap dalam aturan, Dia menjadikan seorang anak Adam mampu memeluk seorang makhluk dalam sebuah tubuh keras. Bapak, mengapa kau mengutukku?

Fatre sudah dinodai oleh sang bapak. Hewan buas tetap akan memangsa apa pun. Terbelalak lebar. Bapak Fatre malah mendapati putra semata wayangnya mengandung seorang makhluk di dalam tubuh. Marah, bapak Fatre membunuh hasil kebejatannya. Namun, Fatre tak bisa berbohong, dia juga adalah binatang buas. Pemuda yang berdarah-darah itu memenggal habis kepala sang bapak, lalu pergi ke tengah rimba Dakin.

Para hewan buas mengendus mukjizat Fatre. Mereka tahu, rantai kehidupan tak akan terputus. Fatre harus menimang ratusan keturunan hingga sekumpulan singa sanggup kembali terlelap.

Masa depan. Ini adalah utopia yang tak pernah Fatre harap. Bukannya menemui mobil listrik maupun hidrogen hijau, pemuda yang sudah tak pernah merasakan guyuran air ini malah dihadapi dengan raungan kebuasan para pria.

Pendengaran. Para hewan buas membuka kuping lebar-lebar. Menelusuri suara si pasangan kawin, mereka akan berlomba menerjang 'tuk melahap habis. "Dapatkan Fatre apa pun akibatnya!"

Memasang ribuan perangkap, para pria menebarkannya di seluruh tanah gambut. Berharap Fatre tersandung tak berdaya, mereka akan merenggut pemuda yang sudah dikejar tak kenal hari. Namun, karena kebuasan yang sudah pekat, para pria terlupa, Fatre tak berbeda dengan mereka. Sesama bertaring, akan beradu.

Sudah terlepas. Fatre mengatur napas perlahan. Lubang di kaki ia tutupi dengan celana jeans tebal. Menghalangi derasnya hujan membasahi luka yang menganga, Fatre akan selamat malam ini. Dia adalah lelaki. Dia akan hidup untuk ratusan tahun. Hingga ia beruban dan terbaring lemah, Fatre tidak rida jika menutup mata tanpa hantaran seorang keturunan.

Hening. Dunia sudah bisu. Fatre tak mendengar apa pun. Keheningan adalah seorang sahabat. Dia sudah tak mendengar manusia-manusia, begitu pula lisannya. Ia tak sanggup berbicara. Jika Fatre bersuara, para hewan buas akan mengejarnya kesetanan. Tak apa, aku akan hidup ....

'GRABH!'

Sontak batin Fatre terputus disebabkan sebuah tangan yang berurat mendarat di pundak. Menoleh kencang, pemuda yang lusuh ini berharap tak menemui mimpi terburuknya. Nahas, mata hitam Fatre terbelalak lebar saat melihat apa yang ada di hadapannya, seekor hewan buas, seorang pria.

"Kau tak apa?" tanya sang pria lirih. Fatre tercekat tak karuan. Jantungnya meledak kencang hingga gumpalan daging seakan sanggup naik ke kerongkongan. Hidup yang telah Fatre jaga akan berakhir sebentar lagi.

"Maaf," ucap sang pria menunduk sesal. Fatre terpaku. Pria berbadan yang sama lusuh dengan dirinya malah menjinak lembut bagai kucing rumahan. "Jebakan itu ... aku yang memasangnya."

Mengangguk. Fatre hanya bisa menurunkan kepala. Ia masih tak cukup nyali untuk membuka lisan. Keheningan yang menyelimutinya pecah hari ini. Karena pria berbaju compang-camping di sampingnya, Fatre seakan berjalan di antara surga dan jurang kematian.

"Kau tak bisa berbicara?" tanya sang pria menatap mata Fatre lekat-lekat. Pemuda itu tulus. Tak ada tanda kebuasan terpantul dari sorot matanya. Fatre kembali menimbang keputusan. Meninggalkan keheningan, apakah dia mau?

Menggeleng. Fatre memberikan jawaban.

"Kalau begitu, berbicaralah!" desak sang pria tersenyum ramah. "Kesunyian bisa membuatmu gila."

Fatre ragu. Membuka kedua mulut sangat berat baginya, dia hanya bisa membuka mata, lalu memejamkannya. Diguyur basahan hujan, Fatre kembali menimbang. Hujan turun malam ini. Sebuah ucapan terima kasih tak akan membangunkan siapa pun. Mungkin.

Fatre menatap sepasang mata hitam yang ada di depannya. Membalas senyuman ramah, dia membuka mulut perlahan. "Terima kasih ...."

Hening. Hawa dingin sontak menyelimuti Fatre. Tangan berurat yang mencengkeram lembut berganti menusuk tajam. Senyuman ramah memudar jatuh. Terbuka tak tertahan, saliva terjun deras dari mulut pria yang ada di hadapan Fatre. Oh, Tuhanku.

***

Mimpi buruk kembali muncul. Kegelapan kembali menyelimuti sang pemuda lusuh. Berjalan pincang di tengah derasnya hujan, Fatre beranjak dari dudukan. Meninggalkan sebuah kepala yang terbelalak lebar, Fatre tak mau berbalik menatapnya.

Dunia Fatre kembali sunyi.

Lelaki, kami serupa. Tangan Fatre bergetar mengingat sang pria yang mencengkeram pundaknya. Hewan buas tetap berbahaya meski sudah dikawinkan. Untuk apa percaya, Fatre juga sama buasnya. Dia memenggal kepala pria yang sudah tersenyum ramah kepadanya. Namun, Fatre tak mau mengiba. Dia akan terus hidup.

Dunia Fatre kembali hening.

Rimba Dakin. Tempat itu menjadi rumah Fatre. Dia akan mengorek rezeki, termasuk berbaring di sana. Sendirian. Fatre tak peduli. Patuh kepada Sang Pencipta lebih berharga baginya. Dia tak peduli para manusia—atau hewan buas—akan punah. Fatre akan terus hidup.

Fatre akan diam.

Dia berkuping, tapi tak mendengar apa-apa. Dia berlisan, namun tetap memenjarakan lidah. Keheningan adalah seorang sahabat. Fatre akan terus hidup.

Oh, Tuhan. Kapan ini akan selesai?

***

Lima tahun masih bergulir. Sepasang anak kecil bermain di tengah rimba Dakin, bocah lelaki dan perempuan. Menunggu senja memudar, keduanya memburu belalang di tepian sungai. Gemericik air tak membuat mereka berjinjit. Mereka akan terus tertawa.

"Bukhori, ayo pulang!" ajak Tiblisi memandang bocah lelaki di hadapannya. Memutus Bukhori mengelus-elus belalang yang baru ia patahkan kaki belakangnya, bocah perempuan tadi mulai memohon ketakutan.

"Tunggu, aku mendengar sesuatu," ucap Bukhori menahan gadis yang merengek meminta pulang. Aneh. Bocah berumur empat tahun ini malah meringis lebar. Tawa kecil ia lontarkan keluar dari gigi susu yang mulai tanggal. "Salah! Dia salah!"

Tiblisi menggeleng heran. Sebuah suara aneh sudah menabuh gendang telinga Bukhori. "Pasti kau mendengar suara itu?"

Bukhori mengangguk, masih meringis lebar. "Abah Kyai."

"Dia mengatakan hal yang sama lagi?" tanya Tiblisi memutar bola matanya malas. "Aku tak paham. Bukannya Abah Kyai sudah benar?"

Bukhori menggeleng. Sontak ia berucap lirih. "Ibumu, ibumu, ibumu." Bukhori berhenti.

"Bapakmu?" sambung Tiblisi membenarkan.

"Ibuku." Bukhori berdiri menghadap seorang pria yang berdiri jauh, masuk ke rumah. Ringis lebar memudar hilang. Matanya kembali menghangat. Tersenyum. Bukhori tenggelam dalam kehangatan memandang pria tadi. "Semua lelaki, kami serupa. Namun, berbeda. Pria itu ada di atas kami."

Tiblisi memukul pundak bocah lelaki yang tenggelam dalam senyuman. "Bukhori! Dia sudah pulang, Bapak Fatre."

Tiblisi berlari ke rumah kayu yang ada di ujung sungai. Meninggalkan Bukhori sendirian, bocah lelaki itu sontak tersadar. Ikut berlari. Bukhori kembali ingat.

"Bagaimana Bapak Fatre bisa melahirkan kami?"

[]

Cerpen ini awalnya ditulis untuk memeriahkan event nyepi yang dirayakan Written in Action Indonesia pada 13 Mei 2022.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top