Bab 8 OASE II


Kami memerhatikan bagaimana Marthin mengeluarkan tali panjang dari ranselnya, yang ujungnya berupa sebuah kait tajam. Ia mengaitkan talinya pada bebatuan besar lainnya, lalu meluncur dari tali dengan gesit.

Hanya dalam sekejap, ia telah menghilang dari hadapan kami.

Kami menunggu dalam hening sekitar lima menit,namun tak ada suara apapun dari lubang bawah.

Sejujurnya, menunggu sungguh adalah kegiatan yang paling tidak mengenakkan.

"Paman San, bagaimana kau bisa tahu ada lubang di bawah sini?" tanyaku penasaran.

"Karena batu itu kelihatan janggal."

"Benarkah?" Untukku, bebatuan tadi tak ada bedanya dengan endapan batu yang ada di belakang halaman sekolah, atau reruntuhan markas UNS.

"Pengalaman, Becky. Aku sudah berpuluh-puluh tahun lamanya menggali tanah, mencari fosil, dan mengangkat kerangka mumi. Aku sudah kenal sekali dengan tanah atau pasir. Kenapa aku bisa menyuruh Marthin menggali di tengah oase ini? Karena tanahnya terasa janggal, tak alamiah. Rasanya seperti pernah digali, lalu dikubur ulang. Batu itu, pasti jalan pintas keluar masuk ke dalam sana." Jelasnya sambil menunjuk bebatuan yang telah hancur berkeping-keping dengan tongkatnya.

"Hei!" terdengar suara Marthin dari bawah sana sebelum siapapun sempat berbicara.

"Aman! Kalian turunlah!"

Paman San memerintahkan agar kami menuruti Marthin. Berdasarkan rencana, Yena yang akan turun terdahulu, lalu Venessa, lalu giliranku, diikuti Andrew dan Paman San. Tapi Venessa menolak, ia bersikeras agar Paman San duluan, membiarkan dirinya jadi yang terakhir.

Tampaknya wanita itu memikirkan Paman San sudah berusia, tak terlalu beretika namanya kalau membiarkannya turun yang terakhir. Tak akan ada yang bisa berbuat apapun kalau terjadi sesuatu padanya.

Kami mengambil ransel masing-masin dan memakainya di punggung. Lalu Yena langsung merosot turun, disusul Paman San. Kemudian Venessa menyuruhku dan Andrew untuk turun dahulu, membiarkannya jadi yang terakhir.

Andrew berhasil merosot turun dengan mulus, meskipun ini adalah pertama kali untuknya. Ia berhasil turun ke bawah sana, disambut dengan pujian dari Marthin.

Tiba giliranku,dan saat ini aku baru menyadari bahwa jarak dari sini ke bawah sana teramat tinggi.

Seketika, aku berkeringat dingin.

"Jangan pikirkan tingginya," bisik Vanessa di samping telingaku.

Aku menuruti sarannya, menjepitkan kedua kakiku pada tali dan berpegangan erat-erat. Sambil menutup mata, aku menjatuhkan diriku ke bawah.

"Eh!" Venessa berteriak ketika aku meluncur. Tapi ia terlambat, karena aku sudah meluncur turun dengan sangat berantakan.

Telapak tanganku terasa panas sekaligus perih karena bergesekan dengan tali, maka spontan aku melepaskan pegangan.

Hasilnya, aku terjatuh ke bawah dengan kasar.

Untungnya aku jatuh saat hampir sampai, dan Yena serta Marthin sigap menangkapku. Jadi, aku tidak benar-benar terjatuh, melainkan menabrak kedua orang itu dengan keras.

"Tak apa-apa,Becky," Marthin menenangkan ketika mereka berhasil menangkapku.

Tanganku masih panas dan makin perih, keringat dingin mengucur deras di sekujur tubuh. Aku menarik nafas dalam-dalam, berusaha agar tak merintih.

Tak seberapa lama, Venessa meluncur turun dengan cekatan dan selicin belut. Gampang sekali buatnya.

"Becky tak apa-apa?" Tanya Venessa penuh perhatian ketika ia mendarat.

"Tak apa, tadi aku hanya kaget," wajahku memerah.

"Kau yakin tak apa-...."

"Tak apa, Becky. Kau bisa belajar pelan-pelan." Marthin berusaha menghiburku.

"Ya," aku berusaha menutupi kegugupanku dengan tawa.

"Belajar pelan-pelan, nak," hibur Paman San sambil menepuk-nepuk bahuku.

Aku mengangguk-angguk dan berpura-pura tenang, namun wajahku semakin memanas.

"Tadi aku sempat keliling ke sekitar, tak ada orang. Kelihatannya tak dijaga."

Akhirnya Marthin mengubah topik pembicaraan.

"Tak mungkin tak dijaga," kata Paman San.

"Ya, tak mungkin tak dijaga." Venessa mengangguk setuju.

"Kusarankan kita berhati-hati. Jangan buat keributan. Kita tak tahu ada apa saja di tempat ini." Paman San memperingatkan.

Semua orang mengangguk. Paman San dan Marthin berjalan memimpin di depan, sementara sisanya mengikuti dari belakang dengan penuh was-was.

Tempat ini luar biasa luas dan gelap. Saking kurangnya penerangan disini, mataku tak bisa menjangkau titik penglihatan terjauhnya. Penerangan yang kami dapat hanya berasal dari lubang tempat kami turun tadi. Tapi seiring kami berjalan makin jauh, penerangan semakin sedikit. Sebelum cahayanya hilang tertinggal jauh di belakang, Marthin mengeluarkan dua buah senter kecil dari ranselnya. Senternya kecil, tapi daya penerangannya luar biasa. Cukup buat kami untuk melihat ke sekitar. Sayangnya, dilihat dari sudut manapun, tempat ini sepertinya kosong.

"Aku dengar suara." Kata Yena was-was.

Serentak kami semua berhenti dan mendengarkan. Aku hanya mendengar detak jantungku yang sedang berpacu.

"Aku juga dengar." Venessa mengumumkan.

Yang lainnya mengangguk setuju, selain diriku dan Andrew yang kebingungan dalam bisu.

Aku mencoba memejamkan mata dan berkonsentrasi penuh. Dan ya, selain suara detak jantung, masih ada suara lainnya yang samar-samar terdengar di kejauhan.

"Sebelah kiri?" Tanya Paman San pada Yena.

"Ya, menurutku juga di sebelah kiri." Jawab Yena sambil berpikir.

Maka kami semua pun berjalan ke arah yang mereka tunjuk. Sekarang, Yena yang memimpin di depan.

Kami berjalan dalam bisu, mengikuti aba-aba dari Yena. Makin lama, suaranya terdengar makin nyata. Tapi semakin dalam kami berjalan, kegelapan semakin membayangi kami.

Sesekali aku menoleh ke belakang, hanya tersisa kehitaman yang tak ada batas. Suatu ketakutan merayapiku. Bagaimana jika kami takkan bisa naik dan melihat matahari lagi?

"Air, suara air." Suara Yena memecah keheningan.

"Kalau begitu, ayo cepat." Perintah paman San.

Kami berjalan cepat mendekati sumber suara. Dan ya, itu adalah suara air. Seperti air yang sedang mengucur deras. Suara itu seolah tengah memberi semangat pada kami, membuat kami berjalan semakin cepat.

Setelah sekian lama berjalan di tengah kegelapan, suara air tersebut terdengar seolah pas berada di depan. Dan benar saja, cahaya senter Marthin menunjukkan kami hanya berada kurang lebih dua puluh meter dari sumber air itu.

"Hati-hati, jangan gegabah!" pesan Paman San saat Marthin dan beberapa orang lainnya berlari ke depan.

Aku dan Paman San yang sampai terakhir di sumber air itu, dan barulah kulihat kalau sumber ini berupa sungai buatan. Kedalamannya tak perlu ditanyakan, cahaya senter Marthin tak mampu menembusnya. Air ini terlihat bagai aliran kematian yang bisa menelan siapapun bulat-bulat ke dalamnya.

"Ini air yang mereka ambil dari oase?" Tanya Andrew.

"Pastinya begitu." Jawab Marthin.

"Venessa, Yena, kalian tahu arah aliran ini ke mana?" Tanya Paman San.

Venessa mengutak-atik GPSnya, sementara Yena terlihat berpikir keras.

Aku mengernyit, peralatan apa yang mereka miliki? Paman Sam mengendarai pesawat siluman, dan GPS Venessa memiliki sinyal yang mampu menembus hingga kedalaman ini?

Setelah beberapa lama, Yena berkata : "Oase ini letaknya di sebelah timur, dan aliran air juga mengalir dari barat ke timur. Sedangkan di sebelah timur gurun ini adalah...."

"Laut merah." Kata Venessa melengkapi.

"Ya." Yena mengangguk.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top