Bab 6 HIDUP BARU II
Andrew ada di bawah ketika akhirnya aku menemukan jalan keluar dari koridor. Yang mengejutkan, ia telah menjadi bagian dari kesibukan.
Ada sekitar dua puluh orang di dalam Ruang Pusat Pengoperasian, kebanyakan terlihat sedang berdiskusi. Ada yang mengelilingi peta, ada yang sibuk membandingkan data pencarian di layar komputer, atau bahkan ada beberapa yang duduk di atas anak tangga.
Aku menuruni tangga perlahan, melihat Andrew yang ikut bergabung dengan kelompok Marthin dan beberapa orang lainnya yang tak kukenal. Anak itu berbaur secepat bunglon yang berkamuflase.
Terdapat selembar peta besar di atas meja persegi yang mereka kelilingi. Baru melangkah turun dari anak tangga terakhir, Marthin seolah memiliki radar alami dan langsung melihat tepat ke arahku.
"Becky, sini!" Ia menggerak-gerakkan tangannya agar aku mendekati mereka.
Beberapa orang lainnya mengangkat kepala mereka dan menatap langsung padaku, mengawasi tiap langkahku menuju meja mereka.
"Nah Becky, akan kukenalkan kau satu per satu. Mulai dari San. Becky, ini Paman San. Salah satu seniorku," Marthin memperkenalkanku sambil menunjuk.
Paman San yang berdiri di sampingnya tersenyum ramah. Ia gemuk, usia tak lagi tergolong muda, dan bertopi. Cukup dari cembungan perut gemuk serta jajaran gigi putih bersih yang muncul dari senyumannya, karakternya yang jenaka dan riang terpampang jelas.
"Salam kenal, Paman San."
"Ayoyo, Becky. Putri Michael sudah besar," ia terkekeh..
Lanjut pada pada orang di sebelah Paman San, seorang wanita yang mungkin usianya kurang lebih dengan Ibu.
"Becky, ini Yena." Kata Paman Marthin.
Seorang wanita tangguh yang memiliki garis-garis wajah keras dan aura tubuh seorang petarung. Ia punya rambut berwarna hitam dan berkeriting, dibiarkan terurai di bahu. Senyuman dan salamannya yang kuat menunjukkan kemampuannya tidak main-main.
Selanjutnya adalah seorang wanita muda yang kelihatannya baru berusia 20-an.
"Aku Venessa," ucapnya sebelum Marthin mengenalkan.
Ia tersenyum simpul, tubuhnya ramping dan rambut hitamnya yang pendek diikat ekor kuda. Ia terlihat modis, meski dirinya hanya tengah mengenakan tanktop polos. Sejujurnya, ia lebih mirip dengan seorang model daripada mata-mata.
"Jadi Becky, kita akan berangkat ke gurun besok. Pesan dari orang tuamu sih, kau dan Andrew akan ikut dengan kami." Marthin berkata lagnsung.
Aku terdiam.
Masih belum beradaptasi dengan tempat ini, kini aku dan Andrew akan ikut dalam misi?
Rasanya seperti sedang berlari marathon.
"Andrew sudah memtuskan, ia ikut dengan kami," lanjut Marthin, "Kalau kau tak ingin ikut, kau tinggal bilang saja."
Semua mata tertuju padaku, mereka tak memiliki waktu banyak untuk menunggu jawaban. Kulirik Andrew, ia terlihat seolah sudah menjadi bagian dari mereka
"Baik," aku mengangguk tanpa berpikir.
"Kau yakin?"
Aku mengangguk-angguk sekali lagi.
"Bagus! Kalau begitu, sebaiknya kau berkemas-kemas karena kita akan berangkat besok."
"Besok? Berangkatnya besok?"
"Yes, besok pagi-pagi sekali, pukul 04.30 sebelum matahari terbit."
"Ah, yang lain sudah boleh bubar," ia mengumumkan, "Selain Becky dan Andrew tentunya. Aku bertugas jadi pengasuh kalian disini."
Semuanya menurut, bubar dan berpencar. Kini, di sekeliling meja tersisa kami bertiga.
"Jadi," katanya, "Besok kita akan pergi ke oase."
"Meneliti? Jadi besok kita meneliti di oase? Mengambil sampel pasir atau semacamnya untuk memastikan apa ini bencana alam atau hasil tangan manusia, mirip buat karya ilmiah," Jawabku.
"Bukan, bukan seperti itu. Kalau kasus ini, jelas ada campur tangan manusia di dalamnya. Itu sudah pasti," Paman Marthin menekankan, "Besok kita akan mencari petunjuk."
Seisi orang dalam ruangan ini yakin sekali dengan kesimpulan mereka atas kasus oase.
"Dunia ini bukan seputar karya ilmiah yang kau bikin di sekolah," ledek Andrew.
"Siapkan tenaga kalian," potong Marthin, "Itu yang paling penting."
Setelah menekankan hal-hal apa saja yang perlu kami bawa, ia menyudahi percakapan dan pergi terburu-buru. Aku masih tak percaya kalau hari ini aku dan And baru saja sampai di antah berantah ini, dan besoknya kami harus ke belahan dunia lain. Hal-hal tak terduga selalu saja datang setiap saat.
Aku menahan Andrew sambil menerornya dengan berbagai macam pertanyaan akan informasi yang kulewatkan selama berguling dalam kamar.
"Andrew, Becky," sebuah suara memanggil dari jauh.
Ibu melambaikan tangannya, meminta kami mendekat.
"Kalian berdua pergi dengan tim Marthin besok? Becky juga kan?" tanyanya penuh perhatian.
"Eng, iya," jawabku canggung, diikuti dengan anggukan dari Andrew.
Setelah keadaan berubah, rasanya canggung berbicara bersama. Hingga selamanya, kami takkan bisa membicarakan apa makan malam nanti atau bisakah kami menginap di rumah teman akhir pekan nanti. Dengan celana kulit hitam dan kemeja, ibu tak terlihat berbeda.
"Ini bukan main-main seperti di sekolah. Kalian paling aman kalau ikut dengan tim Marthin. Tugas mereka tak terlalu beresiko. Selain itu, kalian perlu mengenal cara kerja UNS secepatnya."
Kami mengangguk dalam diam. Aku tak tahu apa yang dipikirkan Andrew, namun ia jelas-jelas amat bergairah dengan rencana ke padang gurun esok, bagai anak kecil yang tak sabar menunggu acara pesta ulang tahun dimulai.
"Kalau begitu kita berjumpa lagi nanti di jam makan malam," ibu melangkah pergi dengan terburu-buru, kembali pada tugasnya yang seolah tak bisa ditinggalkan untuk lima menit saja.
Sementara kami berdua, lagi-lagi hanya mengangguk dalam diam.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top