𖠵៸៸ ❛ ¹³ ' instead of a boyfriend જ armin arlert ⸝⸝
𓏲࣪ ،، Instead of A Boyfriend ˊˎ-
"It would rather be friends, instead of a boyfriend."
🦋ꪶ Armin Arlert x You ˒༢
⌨ ⋮ Shingeki no Kyojin © Hajime Isayama
✎ ⋮ Story © BadassMochi
────────────
Banyak yang menganggap bahwa (Y/n) dan Armin adalah sepasang kekasih, bukan teman. Tetapi, mereka selalu menyangkalnya. Baik (Y/n) maupun Armin sendiri. "Tidak ada hubungan yang seperti itu di antara kami." Begitulah yang mereka katakan ketika ada orang yang langsung menodong mereka dengan pertanyaan: "Apakah kalian sepasang kekasih?".
Bagi (Y/n), Armin adalah teman baiknya. Memang mereka bukanlah teman sejak kecil. Karena jika mereka adalah teman sejak kecil, cerita ini akan berubah menjadi begitu klise. Ah, tetapi tidak juga.
Kedua insan itu telah berteman semenjak duduk di sekolah menengah pertama. Saat itu, Armin merupakan korban bully. Namun, suatu ketika (Y/n) datang. Tentu saja untuk mem-bully lelaki itu juga. Bukan sebagai penolongnya. Untuk apa gadis itu bersusah payah menolongnya padahal ada pilihan lain yang lebih mudah, yakni ikut mem-bully juga?
Jika ditelaah kembali, kisah pertemanan mereka berdua sungguh tidak dapat ditebak. Jauh dari ekspektasi. Pun tentunya jauh dari kata 'klise'.
Di masa lalu, setelah beberapa bulan (Y/n) mem-bully Armin, seketika gadis itu merasa lelah. Ia lelah bertindak sebagai peran antagonis. Karena pada akhirnya, peran antagonis tidak memiliki banyak scene jika dibandingkan dengan sang main character. Akhirnya pun pasti selalu tragis. Sehingga ia memutuskan untuk menjadi anak baik dan memilih untuk berteman dengan Armin, lelaki yang ia bully.
Akibat keputusan (Y/n) yang antiklise itu, gadis itu pun ikut di-bully bersama dengan Armin. Namun, karena pada dasarnya (Y/n) memang merupakan tukang bully yang andal, alhasil merekalah yang dirundung oleh (Y/n).
Mejanya telah dibalik, Kawan.
Rupanya pertemanan yang (Y/n) duga hanya berlangsung selama duduk di bangku sekolah menengah pertama, kini dibawa pula hingga ke jenjang yang lebih tinggi. Bukan pernikahan, mereka masih sekolah dan tidak berniat untuk menikah muda. Melainkan hingga di bangku sekolah menengah atas. Hanya kata 'pertama'-nya saja yang diganti menjadi 'atas'. Mudah, bukan?
"(Y/n)."
Panggilan itu membuat (Y/n) segera melupakan apa yang sebelumnya ia pikirkan. Segera ia menoleh dan bersitatap dengan orang yang ia tunggu sejak tadi.
"Hei, Armin."
Armin beranjak untuk duduk di hadapan (Y/n). Ia masih menatap gadis itu ketika bertanya, "Kau sudah lama menunggu?"
"Tidak. Belum lama."
Netra Armin melirik ke gelas minuman milik (Y/n). Sesaat kemudian ia tersenyum samar. Menyadari kebohongan temannya itu. "Tetapi, es batu di gelasmu sudah mencair," katanya.
Inilah alasan lain mengapa (Y/n) tidak paham bahwa Armin pernah di-bully dulunya. Lelaki itu begitu pintar. Termasuk di bidang lain, bukan akademiknya saja. Lantas, mengapa ia mendadak menjadi bodoh dan membiarkan dirinya pasrah ketika di-bully?
"(Y/n)? Mengapa kau melamun?"
(Y/n) tersentak akibat ucapan Armin. Ia menggeleng pelan seraya meneguk habis minuman di gelasnya itu. Gerak-geriknya diperhatikan oleh Armin selama beberapa saat. Hingga kemudian dirinya menatap (Y/n) dengan rasa bersalah.
"Maaf. Aku tidak marah jika kau berbohong padaku," ujar Armin tiba-tiba. Hampir saja membuat (Y/n) tersedak es batu. Well, ia memang berniat untuk memakan es batu itu. Maka, jangan heran apabila ia tersedak karena benda yang bisa mencair tersebut.
"Kau seharusnya marah padaku, Armin. Jika kau memiliki seorang kekasih dan ternyata ia berselingkuh, apakah kau tidak akan marah? Jangan bodoh."
Armin hanya bisa menyengir dengan kikuk. Tetapi, saat ini ia tidak memiliki kekasih manapun. Armin selalu berpikir bahwa dirinya hanya membutuhkan (Y/n) seorang saja. Tidak perlu kekasih ataupun orang lain. Namun, ia tak pernah mengungkapkannya.
"Maaf."
(Y/n) menghela napas panjang. Ia mendengus pelan sebelum melemparkan senyum simpul pada Armin. "Apa kau sudah memesan?" tanyanya.
Anggukan kepala itu membuat (Y/n) kembali bersandar pada sandaran kursi. Kini giliran dirinya yang menatap gelas kosong di hadapannya. Minumannya baru saja ia tandaskan beberapa saat yang lalu. Apakah ia harus memesan lagi?
***
"Apakah kalian merupakan sepasang kekasih?"
Lagi-lagi pertanyaan basi seperti itu. Jujur saja (Y/n) merasa muak setiap kali ia ditanya demikian. Ingin sekali ia memakai kaus dengan tulisan "I DON'T HAVE A BOYFRIEND" di tengah-tengahnya. Namun sayang, di sekolah tidak ada peraturan yang memperbolehkan muridnya menggunakan pakaian bebas.
Yang bertanya tadi adalah anak baru di kelas. Saat ini adalah saat istirahat. Sehingga anak baru itu bisa bertanya pada mereka. (Y/n) memang tidak tahu siapa namanya, karena ia pun tak peduli. Toh mereka tak akan akrab. Untuk apa ia memperhatikannya?
"Ah, bukan. Kami hanya teman."
Armin-lah yang menjawab, bukan (Y/n). Ketika (Y/n) melihat Armin menjawab dengan senyuman di wajahnya, ia pun lantas berpikir. Apakah Armin tidak merasa lelah mendapatkan pertanyaan seperti itu terus-menerus? Lagi pula, dari mana pemikiran mereka itu berasal sehingga bisa melontarkan pertanyaan yang begitu menjengkelkan itu?
Pada akhirnya anak baru itu pun pergi setelah mengucapkan maaf. Salahnya sendiri karena langsung menduga demikian. Sepertinya anak baru itu mudah terhasut oleh rumor yang beredar di sekolah.
"Armin."
Kala (Y/n) menoleh karena tak kunjung mendapat jawaban, rupanya Armin sudah tak ada di sisinya. Kursi yang sebelumnya diduduki oleh lelaki itu telah kosong. Ke mana ia pergi? Ke kantin?
Yang terpenting dari semua itu adalah: mengapa Armin tidak mengajak dirinya? Atau bahkan memberitahunya?
***
Sisa hari ini pun sama. Sikap Armin terhadap (Y/n) benar-benar berbeda. Lelaki itu menjauhkan jarak dengan dirinya. Meskipun jarak di antara kursi mereka di kelas tidak begitu jauh, namun jarak yang dirasakan terasa lebih jauh dari itu.
Hal itu pun membuat (Y/n) menghela napas. Pasalnya, Armin selalu berbuat seenaknya tanpa mempedulikan pendapat (Y/n). Hal itulah yang merepotkan dirinya.
Ketika pulang sekolah, (Y/n) hendak mencegah Armin pergi lebih dahulu. Namun, sama seperti sebelumnya, lelaki itu sudah berjalan lebih dahulu hingga ke depan gerbang sekolah. Meninggalkan (Y/n) yang langsung menyusulnya dengan terburu-buru.
"Oi, Armin!"
Sekencang apapun panggilan (Y/n), nyatanya Armin tidak menyahut. Lelaki itu hanya terus berjalan dan mengabaikan (Y/n) yang masih berdiri di belakangnya, menyerukan namanya.
Kala Armin berbelok di ujung jalan, barulah (Y/n) berhenti mengejarnya. Karena sia-sia saja. Lelaki itu benar-benar menghindarinya. Tidak peduli apapun yang dirinya lakukan.
***
Hari ini (Y/n) sudah bertekad untuk berbicara dengan Armin. Tidak peduli jika lelaki itu akan mengabaikannya. Ia akan tetap memaksanya untuk berbicara. Tak peduli apapun itu.
Dengan sengaja, (Y/n) datang lebih pagi dari Armin. Tentu saja, temannya itu tidak mengajaknya pergi bersama ke sekolah. Entah apa yang ada di pikirannya itu. Kini (Y/n) hanya perlu menunggu kedatangan Armin saja.
Tepat ketika surai pirang miliknya terpampang di ambang pintu, (Y/n) langsung bangkit dari duduknya. Melihat (Y/n) yang mengejarnya, Armin sontak berlari. Kedua saling mengejar hingga Armin berhenti di atap sekolah yang tersiram sinar matahari yang begitu terik.
"Armin, aku ingin berbicara denganmu."
Sesaat Armin meneguk saliva-nya dengan susah payah. Ia sudah dapat menebak apa yang akan (Y/n) bicarakan. Namun, ia tidak berani untuk menebaknya. Khawatir apabila tebakannya salah dan membuat gadis itu semakin marah.
"Mengapa kau menghindariku sejak kemarin?"
"I-Itu karena..."
Armin menghindari tatapan (Y/n). Sepertinya bakat mem-bully milik (Y/n) memang sudah ada sejak dulu. Tanpa perlu diasah lebih lagi.
"Jawab aku, Armin."
Dengan perlahan, Armin kembali menatap (Y/n). Sepertinya ia memang harus menjelaskannya pada temannya itu. Padahal dua puluh empat jam pun belum berlalu.
"Aku melihat bahwa kau merasa kesal ketika mendapatkan pertanyaan kau-tahu-maksudku dari mereka. Karena itu, aku sengaja menjauhimu agar mereka tidak bertanya-tanya tentang hal itu lagi." Armin menunduk. Tampak menyesali perbuatannya.
(Y/n) memijat pelipisnya. Untuk sesaat, ia hanya bisa mengakui kebodohan Armin, bukan kepintaran lelaki itu. Mengapa ia berpikir bahwa tindakannya bisa membuat orang-orang berhenti bertanya demikian? Masalahnya, rumornya saja masih beredar di sekolah. Yang seharusnya Armin lakukan adalah membasmi rumor sialan itu, bukan menjauhi dirinya!
"Aku tidak senang ketika kau menjauhiku seperti itu. Kau tahu 'kan kalau aku tidak memiliki teman baik selain dirimu?" ujar (Y/n) dengan serius. Yah, faktanya memang demikian.
Ada alasan mengapa (Y/n) hanya ingin berteman saja dengan Armin. Ialah karena lelaki itu terkadang tidak bisa melindungi dirinya sendiri. Yang pada akhirnya membuat (Y/n) harus turun tangan. Sementara, apabila mereka menjadi sepasang kekasih dan suatu saat mereka akan putus, yang ada ialah (Y/n) tidak dapat menjadi pelindungnya lagi.
Perlahan, Armin pun mengangguk. Ia masih menunduk ketika berkata, "Maaf, (Y/n)."
"Tidak apa-apa, asal kau tidak mengulanginya lagi." Dengan perlahan, (Y/n) menepuk-nepuk kepala Armin dengan lembut. Tentunya akan tidak melukai otak pintar temannya itu. Kepada siapa ia akan menyontek jika bagian penting itu terluka?
"(Y/n), a-apa aku boleh memelukmu?"
(Y/n) mendengus. Kemudian, ia membuka tangannya. Mengiyakan pertanyaan Armin. Untuk apa lelaki itu meminta izinnya segala? Sungguh aneh.
Masih dengan ragu, Armin mendekap tubuh (Y/n). Namun, karena (Y/n) yang bersikap biasa saja, pada akhirnya Armin pun terbawa untuk bersikap serupa. Ia dapat merasakan kehangatan di antara dirinya dan (Y/n).
"Aku tidak ingin kehilanganmu, Armin."
Ujaran (Y/n) itu membuat Armin sontak melepaskan pelukan mereka. Ia menatap (Y/n) setelahnya.
"Tentu saja aku tidak akan meninggalkanmu lagi."
(Y/n) pun tersenyum. Netranta tertuju pada Armin. Senyumannya itu kian melebar.
"Kita adalah teman, untuk selamanya."
━━━━━━━━━━━━━━━━
Permisa, diharapkan untuk tenang karena ini bukanlah friendzone.ygy
Terima kasih.
⸙;; pencintahh_beel ⊱
Thank you for your request, sweetie!! ♡
I luv ya!
Wina🌻
06.29.22
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top