𖠵៸៸ ❛ ¹⁰ ' hello and goodbye જ noé archiviste ⸝⸝
𓏲࣪ ،، Hello and Goodbye ˊˎ-
"You were the one who said 'hello', while I'm the one who will say 'goodbye'."
🦋ꪶ Noé Archiviste x You ˒༢
⌨ ⋮ Vanitas no Carte © Jun Mochizuki
✎ ⋮ Story © BadassMochi
────────────
Tubuhnya menggigil akibat kedinginan. Namun, rasa dingin itu kian lama tidak lagi terasa. Mungkin tubuhnya telah mati rasa akibat terus-menerus merasakannya.
Tetes-tetes air telah berhasil membasahi pakaiannya hingga basah kuyup. Jika dibiarkan lebih lama, dirinya bisa terkena demam dan berakhir dibiarkan terbaring begitu saja di atas tempat tidurnya. Diacuhkan dan dianggap tidak ada.
"Hei."
Masih dapat ia ingat dengan jelas bagaimana suara anak perempuan itu menggema di dalam kepalanya. Tetesan air yang sebelumnya ia rasakan di permukaan kulitnya kini telah tiada. Ia sontak menengadahkan kepalanya dan langsung bertemu dengan sebuah payung yang rupanya menahan tetesan hujan itu.
"Kau bisa demam jika berdiam di bawah hujan terus-menerus," katanya lagi.
Seketika anak lelaki itu mematung mendengar perkataannya. Sudah berapa lama waktu yang berlalu semenjak ia dikhawatirkan seperti saat ini? Dua tahun? Lima tahun? Ah, ia ingat. Ialah sejak ibunya tiada, tepat tujuh tahun yang lalu. Sungguh, ia merindukan momen seperti ini.
Menyadari perubahan air muka anak lelaki itu, pada akhirnya si anak gadis pun menarik tangannya. Dapat dirasakan rasa dingin pada permukaan kulit anak lelaki itu. Berbeda dengannya, yang dirasakan oleh si anak lelaki ialah rasa hangat yang sudah hampir ia lupakan.
"Hangat..."
"Hah? Apa? Suaramu begitu kecil dan tidak terdengar karena hujan," ujar anak gadis itu dengan cara berseru.
"Bukan apa-apa," sahutnya.
Ia menatap anak lelaki di sebelahnya itu. Kemudian, dengan santai ia mengajaknya.
"Ayo ke rumahku. Kaa-san pasti akan menjagamu juga. Sama seperti menjaga aku."
***
Hujan.
Tetes-tetes air membasahi permukaan kaca jendela di bagian luar mobil. Manik (e/c) itu sejak tadi tak mengalihkan pandangannya dari sana. Terpukau akan keindahan hujan yang membuat panik setiap orang di balik kaca jendela mobil.
Pandangan kagum tak henti-hentinya ditujukan ke arah tetesan air yang sangat banyak di luar sana. Suara hujan yang turun dengan deras menjadi musik latar belakang di dalam kepalanya. Dari tempat yang sama, ia memajukan kepalanya. Menatap ke arah langit berwarna kelabu dengan awan hitam yang menyelimuti.
Dapat disimpulkan bahwa gadis itu merupakan seorang penyuka hujan.
Dirinya pun larut dalam fantasinya. Seraya berharap bahwa setelah hujan akan ada sebuah pelangi yang cantik di atas sana. Selalu demikian. Faktanya, sang pelangi tak kunjung muncul bahkan setelah hujan mereda hingga perlahan menghilang. Menyisakan genangan-genangan air di atas permukaan bumi.
Kekecewaan itu perlahan berubah menjadi rasa hambar. Tidak lagi berarti pada dirinya. Hal ini sudah terlalu biasa hingga tak ada maknanya lagi. Begitulah yang ia rasakan.
"(Y/n), kita sudah sampai."
Sebuah rumah minimalis terpampang di depan wajah (Y/n) setelah ia keluar dari mobil. Tatapannya seketika terpaku pada bangunan kokoh di hadapannya itu. Untuk sesaat, ia tidak berpaling dari sana.
"Mengapa kau melamun, (Y/n)? Ayo masuk."
Perkataan ibunya itu berhasil membuat lamunan (Y/n) buyar. Gadis itu pun mengikuti langkah sang ibu masuk ke dalam rumah. Sebuah bangunan yang akan menjadi tempat tinggal barunya. Mungkin, untuk selamanya.
***
"Whoa! Kau benar-benar pindah ke rumah ini, ya?!"
Seruan itu menggema di dalam ruangan yang cukup besar itu. Meskipun ruangan itu merupakan ruang tengah, namun ukurannya yang begitu luas tidak bisa dianggap demikian. Well, rumah ini merupakan wujud nyata dari hasil kerja keras kedua orang tua (Y/n).
Tawa geli keluar dari bibir (Y/n). Ia melirik lelaki di sebelahnya itu. "Kau memang mudah takjub pada suatu hal ya?" ujarnya seolah-olah baru menyadari hal tersebut.
"Apakah sebegitu kelihatannya?" tanyanya balik.
"Sangat terlihat jelas, Noé."
Noé hanya meringis. Ia memang tidak bisa menutupi rasa kagumnya itu. Bertingkah seperti anak kecil yang selalu merasa takjub pada hal yang dilihatnya. Padahal usianya sudah bukan lagi seorang anak kecil. Di tahun ini, ia akan menginjak angka lima belas. Sudah bukan seorang anak-anak, 'kan?
Suara petir di luar seketika mengejutkan (Y/n) dan Noé. Secara refleks, mereka saling menggenggam tangan satu sama lain. Genggaman itu begitu erat seolah sama-sama tak ingin melepaskan diri. Ketika petir itu sudah tak lagi menggelegar, barulah (Y/n) tersadar akan apa yang terjadi.
Tidak hanya (Y/n) saja yang salah tingkah. Melainkan Noé pun demikian. Keduanya sama-sama memalingkan wajah dan tak ingin bersitatap satu dengan yang lainnya. Hingga suara (Y/n) pun memecahkan keheningan yang canggung itu. Mengeluarkan sebuah pertanyaan bodoh.
"A-Apa kau ingin teh chamomile?" Dengan wajahnya yang terlihat semakin bodoh akibat senyuman itu, (Y/n) bertanya demikian. Sebuah pertanyaan yang seharusnya tak perlu ditanyakan dan hanya perlu langsung menyodorkan teh yang dimaksud. Atau setidaknya ditanyakan sedetik setelah sang tamu menginjakkan kakinya di sana. Bukan beberapa belas menit setelahnya.
"Boleh."
Setidaknya jawaban Noé itu berhasil meredakan kecanggungan sesaat.
***
"Tadaima."
Ah, ia lupa. Meskipun bibirnya mengucapkan salam itu, tentunya tidak akan ada sahutan yang Noé dapatkan. Yang ada hanyalah penampakan sosok ayahnya sendiri di ruang tengah.
Noé melirik pada televisi yang dibiarkan menyala. Menampilkan sebuah acara yang tidak membuatnya tertarik. Sementara, pria tua yang merupakan ayahnya itu tengah berbaring di atas sofa.
Lelaki itu tersentak kala ayahnya mendadak bangkit dari sofa dan berjalan ke arahnya. Dengan sigap Noé menutupi wajahnya menggunakan kedua lengannya. Ketika ia melirik ke jendela, ia baru tersadar jika hujan sudah berhenti. Astaga, mengapa ia begitu bodoh dan bisa tidak menyadarinya sama sekali?
"Kemari kau, Wanita Sialan. Kau mengkhianati aku dan pergi begitu saja! Apakah kau tidak tahu diri?!"
Lagi-lagi hal yang sama diucapkan. Noé sudah sangat mengingat bagaimana bentuk kalimat itu. Sesaat setelahnya, yang ia ingat adalah pukulan demi pukulan yang bersarang pada tubuhnya. Ia hanya diam. Pernah suatu kali Noé melawan ayahnya. Namun, yang ia dapatkan adalah pukulan yang semakin menjadi. Membuat luka tercipta di sekujur tubuhnya. Sehingga Noé tidak bisa pergi ke sekolah dan bolos dari kerja part time-nya.
Kini, Noé hanya memilih untuk diam. Ia sudah tak ingin melawan. Lebih baik dirinya melindungi apa yang sudah ia miliki saat ini. Itu saja cukup.
Pukulan itu pun berhenti. Noé membuka matanya perlahan. Kemudian, yang ia dapati adalah ayahnya yang telah tergeletak di atas lantai. Selalu begitu. Noé harus selalu menunggu hingga ayahnya kelelahan dan tertidur sehabis memukulinya.
Dengan langkah gontainya, Noé beranjak menuju kamar. Ia sudah tidak memedulikan hal lain. Selain memikirkan bagaimana cara untuk segera tiba di kamarnya secepat mungkin.
***
Desir angin yang berhembus terasa begitu menenangkan. Yang kemudian disusul oleh tetes air di wajahnya. Tetesan itu tak sendiri. Sama seperti dirinya saat ini. Ia tidak sendirian seperti dulu. Ada seorang gadis yang bersamanya sekarang. Setidaknya hal itu sudah cukup membuatnya bersyukur.
"Hei, Noé."
Noé pun menoleh. Lalu, menangkap wajah (Y/n) yang terlihat dari sisi kirinya. "Hm?" gumamnya.
"Aku penasaran suatu hal tentangmu. Jika kutanyakan, apakah kau akan menjawabnya?" tanya (Y/n) memastikan. Ia baru saja menyadari hal itu beberapa bulan belakangan ini. Namun, kerap ia pendam seorang diri saja.
"Apa yang membuatmu penasaran tentangku?"
Seketika suasana berubah menjadi hening. Begitu sunyi dan hanya terdengar suara tetesan hujan yang terjatuh ke atas kumpulan genangan air.
"Mengapa kau hanya bertemu denganku ketika hujan turun?"
Untuk beberapa detik, Noé tersentak. Namun, kemudian ia kembali terlihat biasa saja. Ah, mungkin inilah saatnya. Saat yang tepat di mana ia harus menjelaskannya pada (Y/n). Dua tahun setelah pertemanan mereka, mungkin inilah saat hal itu akan terjadi. Begitu pikir Noé.
"Aku pikir kau tidak akan menanyakan hal itu, (Y/n)," komentar Noé. Membuat (Y/n) menoleh.
"Apa kau merasa kecewa?"
"Tidak. Hanya sedikit terkejut."
(Y/n) menengadah. Menatap ke arah jumantara yang tampak begitu kelabu. Sekaligus membiarkan tetesan air hujan membasahi wajahnya. "Lalu, apa kau akan menjawabnya?"
Lelaki itu mengangguk. "Ketika hujan turun, ada suatu keajaiban yang terjadi."
Kalimat yang Noé ucapkan membuat (Y/n) mengernyit. Keajaiban macam apa yang memangnya bisa terjadi? Pelangi berwarna merah semua? Atau hujan tanpa air?
"Kau tampak kebingungan." Noé terkekeh. Lalu, ia melanjutkan, "Keajaiban itu adalah momen yang paling tepat untuk menemuimu. Adalah saat di mana ayahku melupakan keberadaanku. Keren, 'kan?"
Beberapa saat, (Y/n) termangu. Apalagi setelah ia mendengar penjelasan Noé. Mengapa Noé tampak begitu bahagia ketika ayahnya sendiri melupakannya? Ia justru memilih untuk menemui (Y/n). Bukankah hal itu cukup gila?
"Mengapa demikian? Mengapa kau malah menemuiku dan membiarkan hal itu terjadi? Mengapa, Noé?" cecar (Y/n). Ia tidak paham. Ia tidak bisa mengerti.
Noé tertawa hambar. Kemudian, tersenyum miris dengan tatapan sendunya. "Ayahku adalah seorang pemabuk. Ia selalu memukuli aku setelah meminum minuman beralkohol itu. Menganggap aku adalah istrinya, yakni ibuku sendiri. Padahal aku 'kan seorang laki-laki, bukan perempuan.
"Hal itu terjadi sejak ibuku tiada. Aku sudah pernah mencoba untuk melaporkannya kepada polisi. Dengan bukti yang kubawa ialah luka di sekujur tubuhku. Namun, bukti itu masih kurang. Mereka hanya berpikir bahwa luka itu kudapat akibat kenakalan remaja. Bahkan akulah yang hampir tertangkap saat itu." Noé meringis. Namun, tak dapat dipungkiri ia merasakan kesedihan yang begitu mendalam.
Tak disangka, (Y/n) langsung menghambur untuk memeluk Noé. Ia mendekap lelaki itu erat. Bahkan hingga membuat Noé tak dapat berkata-kata.
"Maaf karena aku tidak mengetahui apa masalahmu. Maafkan aku, Noé! Maaf karena aku terlalu bodoh untuk menyadarinya. Gomen..."
Di balik punggung (Y/n), Noé pun tersenyum. Ia mengusap surai milik gadis itu dengan hati-hati. "Bukan sepenuhnya salahmu, (Y/n). Selama ini aku pun telah menyembunyikannya darimu. Benar, 'kan?"
Tetapi, (Y/n) menggeleng. Ini adalah salahnya. Ia terlambat menyadari hal itu. Jika ia tahu sebelumnya, mungkin ia akan memohon kepada orang tuanya untuk membiarkan Noé tinggal bersama mereka. Toh rumah barunya itu terlalu besar hanya untuk dirinya dan kedua orang tuanya, bukan?
"Noé."
Mereka melepas pelukan yang terasa begitu hangat itu. Keduanya bahkan tidak sempat untuk merasa salah tingkah.
"Sebenarnya, aku pun menjadi penyuka hujan sebab dirimu. Karenamu, aku jadi menyukai hujan. Karenamu, aku merasa bahwa hidupku tidak lagi kesepian. Kau tahu 'kan kalau kedua orang tuaku selalu sibuk? Mereka memang mampu membelikanku apa saja, namun mereka tidak mampu memenuhi kasih sayang yang kubutuhkan. Tetapi, di saat itulah aku bertemu denganmu. Kau tahu? Aku begitu bahagia."
Penjelasan (Y/n) yang tiba-tiba itu membuat Noé terkejut seketika. Namun, kemudian dirinya tersenyum. Membalas senyuman (Y/n) yang pula ditujukan padanya.
"(Y/n), mari kita berjanji."
"Janji apa?" balasnya.
"Berjanji bahwa tidak akan ada lagi rahasia di antara kita berdua."
***
Dusta.
Awalnya, (Y/n) menduga bahwa Noé tidak pernah berbohong pada dirinya. Namun, apa yang menjadi fakta di hari ini adalah sebaliknya. Ia merupakan pembohong. Pembohong yang begitu besar.
Hujan kembali turun membasahi Bumi. Menciptakan tetesan-tetesan air di atas makam yang baru saja dibuat itu. Makam dengan nama milik seseorang yang begitu ia sayang. Yang ia pikir tidak akan meninggalkannya secepat ini. Mendahului dirinya, di usianya yang masih belia.
Karena ayahnya, kini Noé telah tiada. Karena pertolongan yang terlambat itu, Noé pergi secepat ini. Karena ketidaktahuan (Y/n), Noé sudah tak lagi berada di sisinya.
"Noé bodoh. Aku membencimu."
Meskipun untaian kata itu begitu menyiratkan kebencian, nyatanya air mata (Y/n) ikut mengalir. Mengutarakan isi hatinya sendiri. Bahkan lebih jujur dari bibirnya yang berdusta.
Pada saat yang berbeda, dua tahun yang lalu, hujan pun turun. Kembali mengguyur kota Tokyo. Sekaligus menjadi pertemuan pertama di antara (Y/n) dan Noé. Pertemuan yang akan membawa keduanya ke dalam sebuah hubungan pertemanan.
Kini hujan kembali datang. Dengan ribuan tetesan air bersamanya, ia menjadi saksi bisu antara perpisahan dua insan itu. Perpisahan yang begitu memilukan dan terasa menyakitkan. Membuat salah satu yang ditinggalkan menolak untuk percaya begitu saja.
(Y/n) memang menyukai hujan akibat Noé. Ah, namun kini ia memiliki alasan lain mengapa dirinya menyukai hujan. Adalah karena hujan itu sendiri yang membawa air matanya pergi. Sekaligus ia harap bisa menyingkirkan duka dan sendu dalam benaknya.
━━━━━━━━━━━━━━━━
Dari judulnya pun sudah sangat jelas kalau cerita ini akan berakhir sad, bukan? ༎ຶ ͜ ༎ຶ
⸙;; Sacharozie_ ⊱
Thank you for your request, sweetie!! ♡
I luv ya!
Wina🌻
06.15.22
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top