Special Extra-part: OPA & OMA KANANTYA


Trivia about this family:
Nama keluarga Kanantya itu berasal dari gabungan 2 kata; Kanan & Tya.

     Jadi, aku emang pengin nama unik buat keluarga dokter ini dan muncul ide, orang kalau melakukan kebaikan itu dibiasakan menggunakan tangan kanan, sebagaimana dokter bedah bekerja juga dominan penggunaan tangan, then aku mencari padanan kata yang sekiranya cocok dan ketemulah tya yang bermakna Pekerjaan yang sempurna.

     So, it's match! KANANTYA 🫰🏻

--

The timeline:
Risang Kanantya is around 7th!


🦾🐷❤️🦕🐝

-| Opa & Oma Kanantya story |-

Syahreza Lukito Kanantya tersenyum cerah setiap kali menggeser gerbang rumah dan di seberang terlihat putra sekaligus cucunya melakukan hal yang sama. Subuh yang sejuk dengan langkah-langkah pelan mereka bertiga menyusuri jalan komplek, menuju tempat sembahyang.

"Opa," panggil Risang Kanantya seraya mempercepat langkah, menggandeng lengan kanan sang kakek. "Opa katanya Mas Ravel sama Rasya ikut nginep juga ya, tiga hari juga?"

"Iya, tapi masih sore datangnya, Mas Ravel biar istirahat dulu," jawab Lukito dan tersenyum. "Nanti Risang habis antar Ayah, Ibu sama adek juga 'kan ke tempatnya Opa Theo."

"Iya, mau foto dulu buat berkas masuk sekolah."

Lukito mengangguk dan ganti memperhatikan sang anak yang menguap pelan. "Rayi masih demam?"

"Udah enggak, Pa ... tapi masih nemplok, baru bisa ditinggal jam setengah dua tadi," jawab Esa membicarakan anak bungsunya yang memang terkena demam selama tiga hari terakhir ini.

"Ibu tadi gantian temenin adek, Opa," ucap Risang lalu menambahkan. "Terus habis ini aku yang temenin sambil ngaji."

Lukito mengangguk senang, enam bulan berlalu sejak dirinya memutuskan untuk pensiun dan lebih banyak tinggal di rumah untuk membantu mengasuh cucu. Sebenarnya, ia tidak banyak membantu juga, menilik para cucunya yang dibiasakan bersikap mandiri dan patuh. Lukito juga sadar akan banyaknya pola asuh yang sudah berubah, cara berkomunikasi dan problem solving antara orang tua dengan anak yang tidak sekaku dahulu.

Esa jelas berproses menjadi sosok ayah yang bijak, dibalik kesabarannya ada konsistensi agar Risang bisa tumbuh menjadi anak yang baik, saleh, rajin, cerdas dan tetap rendah hati. Lukito menyayangi kelima cucunya tanpa batas, namun memang Risang yang kerap membuatnya terkenang masa-masa terbaik sebagai ayah.

Risang mirip Esa saat kecil yang pintar dan supel, hanya saja Risang jauh lebih kompetitif. Itu sebabnya terkadang rasa ingin tahu dan sikap penasarannya akan segala hal membuat para orang tua seolah butuh belajar lagi.

"Oh iya, Opa, aku udah selesai baca Hematology and Oncology ... selanjutnya berarti versi Clinical Hematology, ya?"

Tuh kan! Batin Lukito lantas memperhatikan Esa yang tersenyum, mengulurkan tangan kiri untuk membetulkan peci di kepala Risang.

"Opa?" panggil Risang.

"Sebelum ke sana, bisa baca soal Immunology dulu. It's the basic section, supaya lebih memahami hal-hal klinis dalam hematologi, kaitan antara immune tubuh dan gen yang dapat terdeteksi melalui pengecekan darah."

Risang mendongak dengan sepasang mata yang antusias. "Ada berapa seri bukunya?"

"Ada empat seri buku untuk usia enam sampai delapan tahun."

"Wah! Asyik," sebut Risang gembira dan lebih dulu melepas lengan sang kakek, mendahului langkah karena menyapa teman seusianya yang sudah menunggu.

"Asyik katanya," sebut Lukito dengan helaan napas pendek. "Papa ini pensiunan yang mau bersantai, Esa."

Esa mengekeh dan menyentuh sudut kepalanya, "The neurons in our brain, its continue to grow and change throughout life. Jadi, selama mungkin Papa memang harus terus berbagi ilmu supaya neuron otak tetap aktif dan Papa selalu sehat."

"Dulu seumur Risang gitu kamu bahkan masih belajar cara menyebut Ophthalmology dengan benar," kata Lukito dengan gelengan kepala.

"Of course, aku berusaha punya versi yang lebih baik dari diriku ..." balas Esa lalu memegangi lengan sang ayah yang melepas alas kaki dan mulai menaiki anak tangga di serambi.

Lukito tersenyum simpul, mantap berpegangan dan menyadari bahwa putranya ini jelas merupakan versi dirinya yang lebih baik juga.

***

"Lhooo si bungsunya ikut juga ..." ujar Soraya Baiharni dengan gembira.

Lyre menghela napas pendek pada bayi dua belas bulan di lengannya. Khareema Pradipandya yang masih mengantuk. "Dari rumah tuh baik-baik aja, pas antar sampai airport, enggak ikutan masuk gate kayak masnya langsung ngamuk, digendong Ravel malah enggak mau turun, mana pegangan terus sama Rasya juga. Ampun."

"Pinternya! Tahu aja Oma kangen Reema juga," ungkap Soraya dan langkahnya tertuju pada cucu sulung yang tengah menurunkan bawaan.

"Mas ..." ucap Rasya yang menyadari sang nenek mendekat.

Ravel menoleh dengan senyum terkembang, menyalami dan mencium tangan Soraya. Rambut sang nenek telah sepenuhnya memutih namun ekspresi senyum itu tetaplah terasa begitu familiar dan hangat.

"Lama nunggunya ya, Oma?" tanya Ravel.

"Enggak, ini kamu tambah tinggi lagi, Mas?" tanya Soraya karena mulai mendongak untuk menatap mata cucu sulungnya ini.

"Iya, udah 160 itu Ma," timpal Lyre.

"Biar gampang bantuin panen rambutan sama kelengkeng," kata Ravel dengan senyum ceria.

Soraya balas tersenyum, beralih pada cucu kedua yang sejenak menyudahi permainan mobile game. "Ini juga cepet tinggi mau nyusul Masnya."

Rasya menyengir dan mencium tangan Soraya lembut. "Risang mana, Oma? Aku mau diukur bareng lagi, sekarang tinggian siapa?"

"Di halaman belakang tuh sama Opa, siapin barbeque," jawab Soraya.

"Ini berarti langsung bawa ke belakang ya?" tanya Ravel kembali mengurus bawaannya yang berupa bahan makanan.

"Iya, Mas, sana ... Mama bobokin Reema dulu di atas baru nyusul ya. Rasya habis salim Opa, salim sama Mbak Anas juga."

"Iyaa," sebut Rasya yang seketika mengikuti langkah Ravel memasuki rumah.

"Ayi ..." ucap Reema saat menegakkan kepala dan memperhatikan ke arah gerbang rumah yang masih terbuka.

"Rayi ikut Om Esa sama Tante Ibee," jawab Lyre lalu tersenyum. "Risang cemburu enggak, Ma, yang diajak ke Bali si Rayi aja?"

Soraya menggeleng. "Enggak, malah kata Bita awalnya Risang kasih ide mau jagain Rayi aja di sini biar ayah-ibu liburan anniversary bisa berduaan kayak dulu."

"Sweet boy," puji Lyre yang kemudian bertukar ciuman pipi dengan Soraya. Sang anak yang kemudian mencondongkan tubuh membuatnya bergegas memegangi lebih erat. "Eh, sabar ..."

Soraya tertawa, berhati-hati kala mengambil alih cucu bungsunya dalam dekapan. "Kangen Oma ya, Reema ... mau sayang juga kayak Mama? Sayang."

"Idih! Clingy kayak bapaknya," ujar Lyre ketika sang putri langsung memeluk ke leher Soraya setelah mendapat ciuman pipi.

"Kaka nyusul nanti malam apa besok pagi, Re?"

"Nanti malam, aku tuh telepon dia tadi biar bujukin Reema mau diajak pulang, malah dia bilangnya udahlah ikut aja nanti aku nyusul juga." Lyre geleng kepala lalu mengadu, "Makin ke sini makin susah klop sama Kagendra, dia tuh kayak Reema mau apa langsung iya gitu lho, Ma. Enggak ada usahanya ngasih pengertian dulu kayak sebelum-sebelumnya."

"Ke anak bungsu memang biasanya begitu, Re. Udah biarin aja, anak perempuan wajar dimanja-manja juga," ungkap Soraya dan tertawa karena putrinya seketika merengut.

"Mas Esa bener, Mama sukanya belain para mantu dibanding anak sendiri," keluh Lyre.

"Ya habis emang dibanding anak sendiri, para mantu Mama yang entengan bawa cucu-cucu main ke sini," kata Soraya dan mengusap-usap punggung Reema. "Sana kamu salim Papa, biar Reema bobok sama Mama."

***


"Waffaaaa!!!! Aarrgggghh!!!"

Soraya hampir melepas cawan berisi telur kukus karena mendengar suara raungan itu. Ia perlahan mundur dan menoleh ke area ruang makan.

"Kenapa itu?" tanya Soraya memperhatikan menantunya yang penuh semangat menekan layar ponsel, tampak emosional.

Mbak Anas menggeleng dengan raut yang sama bingungnya. "Enggak tahu, Bu, tapi dari nada keselnya itu kayaknya berantem lagi sama Pak Waffa lewat hp."

"Oalah," sebut Soraya lalu kembali fokus pada hidangan telurnya, menambahkan irisan alpukat.

"Mereka itu dari kecil udah bareng, kok masih ada aja yang diberantemin, heran!"

Soraya tersenyum kecil. "Ya, anggap aja biar rame ..." katanya lalu membawa mangkuk berisi telur kukus dan potongan alpukat itu ke halaman belakang. Pada meja bundar dekat kolam renang ada tiga bocah lelaki lahap menikmati sarapan berupa sandwich isi telur, selada-tomat, irisan dada ayam panggang, ditambah segelas susu.

"Papa ... ini maemnya Reema udah siap," kata Soraya memberi tahu sang suami yang menggendong cucu bungsu mereka untuk melihat dua anak kucing di kandang, Tobi dan Tora.

"Oma, mau lagi sandwichnya," ucap Rasya.

"Minta Mbak Anas di dalam ya," kata Soraya lalu mengingatkan. "Risang udah telepon Ayah belum?"

"Udah, Ayah sama Ibu lagi sarapan juga terus adek belum bangun." Risang kemudian menghabiskan sisa sandwichnya. "Mas, nanti ajarin aku topik The Electromagnetic Spectrum ya."

Ravel mengangguk. "Habis berenang, ya?"

"Oke."

"Mas Ravel mau tambah sandwichnya enggak?" tanya Rasya yang berseru dari pintu belakang. "Risang, mau juga enggak?"

"Mau ..." jawab Ravel dan Risang kompak.

Senyum Soraya seketika terkembang penuh. Ia paling suka momentum seperti ini, sebagaimana sang suami yang memutuskan pensiun, dirinya juga demikian ... menyudahi bisnis katering dan jualan puding. Soraya sekarang hanya memasak untuk keluarga, sehingga saat anak dan cucu berkumpul di rumahnya, menyukai makanan buatannya itu menghadirkan banyak kebahagiaan.

"Reema duduk sini, maem dulu," kata Soraya.

Lukito Kanantya mendudukkan Reema ke kursi jemur yang dilapisi busa dan kain bercorak buah-buahan tropis.

"Nas!" cetus Reema menunjuk buah nanas dan sebisanya berceloteh tentang gambar buah yang lain.

"Iya, nanas, melon sama jeruk," ucap si kakek yang kemudian mengelap kedua tangan cucunya. "Lyre masih di atas, Ma?"

"Masih, dia mau sortir baju-baju anak yang udah kekecilan ... piamanya Rasya udah pada cingkrang, kemeja kokonya Ravel tinggal satu yang bisa dipakai, ampun."

"Pantesan tadi subuhan Ravel pakai kemejanya Ageng," jawab Lukito lalu menoleh tiga cucunya yang kini menikmati setangkup sandwich tambahan, tinggi dan postur tubuh mereka bertiga tegap, berat badan seimbang, kulit bersih dan barisan gigi rapi. Ketiga cucunya banyak makan, namun juga banyak kegiatan, bahkan meski sedang liburan tetap menyempatkan berenang, bermain bola basket, atau olah raga bela diri, karate.

"Reema sarapan pakai telur kukus sama alpukat," ucap Soraya lalu menunjukkan isi mangkuknya. "Masih agak anget jadi tunggu sebentar lagi, ya ..."

"Anak ini bobotnya makin antep," ujar Lukito dengan gemas, mendekap cucunya yang tergelak.

"Reema sampai suka dikira yang lebih tua dari Rayi, hahahaha ..."

"Ayi!" sebut Reema dengan tatapan mencari.

"Rayi masih di Bali, lusa pulangnya ya ... Reema kangen, ya?"

"Ayi!!" seru Reema lebih keras dan kali ini menatap Risang. "Aaaanggg..."

Risang segera balas menatap, mengulas senyum lebar dan menunjukkan gigitan sandwichnya. "Iya, adek di Bali, Reema maem dulu kayak Mas."

"Am ..." ulang Reema lalu tangannya bergerak.

"Eits, Reema maemnya pakai sendok," ucap Soraya yang sigap menghindari tangan gesit cucu perempuannya. "Berdoa dulu sama Opa, berdoa dulu."

Lukito tertawa, memangku cucunya sembari mengatur posisi tangan, memandu berdoa dan mengawasi sementara sang istri mulai menyuapi sarapan. Sebagaimana para kakak lelakinya, bayi perempuan itu juga lahap dan bersemangat menghabiskan makanannya.

***

"Mas, lihat deh, padahal kata Pak Samadi, Papa mulai suka ngeluh gampang capek, gampang ngantuk ... ini apaan ... malah semangat tuh main bareng cucu," ujar Lyre seraya mengarahkan kamera ponselnya ke halaman belakang. Lukito Kanantya bermain bola basket bersama Risang dan Ravel.

"Mana, Re?" tanya Kagendra yang seketika berdiri di belakang sang istri, mencondongkan tubuh untuk ikut memperhatikan dari jendela.

Lyre mendongak dengan raut lelah. "Aku ngomong sama Mas Esa, ya!" katanya sambil menunjukkan layar ponsel.

Kagendra menyengir ke layar dan langsung memeluk pinggang, menempelkan kepala di bahu Lyre. "Aku diajak ngomong juga dong, Re ..."

"Ih sana, sumuk tau!" protes Lyre, siang ini cuaca kota Yogyakarta cukup terik.

"Aku dingin, Re, butuh pelukan."

Esa seketika melambaikan tangan. "Ngobrolnya nanti lagi aja, Re, urus dulu tuh anak mertua yang lagi clingy."

"Sikut aja Mbak Re kalau diganggu! Apa sekalian susul kita sama Reema," usul Tsabitah cepat lalu menunjukkan diri ke layar ponsel sambil mengangkat Rayi, bayi perempuannya yang ceria.

"Rayiiii, sayangggku ... dikangenin Reema lho," seru Lyre sambil menyikut Kagendra dan melepaskan diri. Ia berlalu ke ruang keluarga untuk melanjutkan obrolan melalui telepon video.

Kagendra yang ditinggalkan akhirnya beranjak ke halaman belakang, mengambil alih anak perempuannya yang sedang bermain gelembung dengan Rasya.

"Cintakuuuu, Khareema dewikuu ... Papa kangen banget, mwaaahhh ..." sebut Kagendra sebelum mendekap dan menyerbu pipi anak perempuannya dengan ciuman berulang.

"Ssaaa," seru Reema dengan dua tangan mencoba kembali menggapai alat pembuat gelembung yang dipegang Rasya. "Aaaaaa ... Ssaaaa."

"Papa ganggu deh!" keluh Rasya karena adiknya jadi merengek dan rewel.

"Papa aja sini yang main gelembungnya sama Reema," pinta Kagendra, mencoba menahan anak perempuannya yang ingin beralih turun.

Rasya segera bertanya pada sang adik. "Reema mau main sama Rasya apa Papa?"

"Ssaaa," jawab Reema semangat.

"Tuh, sana Papa gangguin Mama aja," usir Rasya.

Kagendra seketika cemberut, membiarkan Reema kembali berlari ke arah Rasya dan bermain gelembung sabun.

Soraya yang sedang merapikan tanaman tertawa pelan karena menantunya mulai dirundung kebosanan itu. "Lyre memangnya sibuk apa di dalam?"

Kagendra segera ikut berjongkok, membantu memindahkan tangkai atau daun yang dipangkas ke plastik khusus sampah organik. "Telepon video sama Mas Esa, gosipin Papa tuh, katanya Papa suka ngeluh gampang capek sama ngantuk, tapi itu main sama cucu masih seru."

"Oohh ya begitulah, emang tenaganya disimpan buat main sama cucu," ujar Soraya lantas bertanya, "Papimu katanya liburan kapal pesiar sebulan ya?"

"Iya, hadiah dari teman sosialitanya Mami yang punya bisnis itu. Mama sama Papa pengin liburan kapal pesiar juga?"

"Enggak, kemarin itu diajakin juga. Mama Kikin enggak bisa karena bareng jadwal si kembar check-up terus Mama sama Papa juga enggak bisa, ada reuni, terus mau bantuin Lady juga Makoa mau dikhitan."

"Oh, kapan Ma?" tanya Kagendra. Zyanilo Makoa Cakrawangsa adalah bocah berusia lima tahun, putra tunggal salah satu sepupu Esa dan Lyre, Ratna Lady Kanantya.

"Minggu depan, Lyre bilang mau diusahakan datang walau selesai acara langsung pulang Jakarta."

Kagendra mengangguk. "Iya, kayaknya bisa, terus bagusnya kasih uang apa kado, Ma?"

"Kado aja, dulu pas Ravel sama Rasya juga Lady kasihnya kado."

"Nanti malam aku ajak anak-anak cari kadonya."

Soraya mengangguk, menyelesaikan kegiatannya memangkas tanaman bunga. "Oh iya, itu pada minta dibikinin dimsum sama tahu isi yakiniku, kamu mau juga?"

"Mama enggak capek apa?" tanya Kagendra heran.

"Sambil duduk Mama bikinnya itu," jawab Soraya santai. "Mama suka kalau udah pada request gitu, kapan lagi masak banyak kalau enggak pas begini."

"Yaiya, tapi baru aja selesai ini lho, Ma..."

"Ya kalau kamu nganggur, bantuin Mama aja," usul Soraya dan mendapati menantunya tertawa. "Kalau bukan di sini juga, kapan lagi kamu pegang kulit dimsum sama panci kukus?"

"Mama tapi panggil Lyre biar ikut bantuin juga, ya?  Dia sama Mas Esa udah lama banget telepon videonya, bikin siang-siang tambah gerah aja."

Soraya ganti tertawa, ada banyak hal yang berubah dalam keluarganya sejak delapan tahun terakhir ... namun satu hal tentang sisi kecemburuan absurd dan tidak beralasan menantunya ini tampaknya tetap sama saja.

***

"Kenapa?" tanya Lukito pada sang menantu yang mendadak terlihat galau sembari memandangi layar ponsel.

Ravel yang sedang memperhatikan tayangan film di televisi sejenak menatap sang ayah. "Chatnya Papa masih dicuekin sama Om Waffa?"

"Enggak, tapi balesan chatnya masih bikin Papa kesel," jawab Kagendra lalu meletakkan ponsel, bergeser menjauh dari kasur lantai tempat Rasya dan Risang pulas bersama. "Mas, tolong selimutin adiknya."

"Enggak dibangunin aja nih, disuruh tidur atas?" tanya Ravel sembari mengambil selimut dari sandaran sofa dan beranjak membentangkannya hingga menutupi tubuh kedua adiknya yang saling bergelung.

"Biar aja, dari tadi siang udah pengin bobok bareng di sini," jawab Kagendra dan bertanya  karena jam dinding sudah melewati angka sepuluh. "Kamu belum ngantuk?"

"Belum, selesai satu film ini dulu," kata Ravel kembali ke tempatnya duduk.

"Kamu chat Waffa pribadi apa di grup yang sama Esa itu?" tanya Lukito penasaran.

"Sama Esa juga, sekalian ngabarin Risang udah tidur. Papa ada perlu sama Mas Esa?"

"Iya, kayaknya harus pulang lebih cepat dia, sekolahnya nawarin akselerasi karena Risang juga udah lewat jauh materi elementary kelas 1."

Kagendra mengangguk. "Harus daftar ulang gitu, Pa?"

"Ada semacam wawancara akademis, kata Theo orang tua yang diminta mendampingi. Makanya kayaknya besok ini pulang mereka."

"Baguslah, Reema udah nanyain Rayi terus."

Lukito tersenyum. "Inge bilang produk baby lotion RUBY-kids udah sertifikasi aman dan siap dipasarkan, Bita maunya Rayi yang iklan."

"Janganlah, Pa ..."

"Enggak tampak penuh mukanya, biar tetap privasi juga ... soalnya kulitnya Rayi memang bersih, Inge bilang skin tonenya juga enggak terlalu pucat."

Kagendra memahami itu dan teringat anak bungsunya. "Reema pasti heboh kalau tahu Rayi difoto-foto gitu."

"Reema ikutan aja, pasti bagus nanti promo produknya, bisa meledak kayak waktu Lyre iklanin Youth Essencenya RUBY itu."

"Lihat-lihat dulu konsepnya nanti."

Lukito mengangguk pelan dan memberi tahu, "Karena anak itu enggak semuanya berbakat di pendidikan, beberapa bakatnya di olahraga atau bidang seni ... makanya kalau dari kecil sudah kelihatan tertarik sama suatu bidang, enggak apa-apa dicoba dulu."

Kagendra memahami itu. "Iya, Pa, cuma aku enggak mau kalau Destiny, Rayi sama Reema itu fotonya dipublish terang-terangan. Sosial media itu tempat orang kadang komentar sembarangan, Ravel aja masih suka dikomentari; calon menantuku, masa depan anakku, imamnya anakku, lah enak aja!"

Ravel mendengar itu tertawa geli. "Papa santai dong, mereka paling enggak serius juga."

"Kalau serius gimana? Didoa-doakan ke orang pintar gitu? Ngeri Papa tuh!" ujar Kagendra sambil geleng kepala.

"Ya itulah maka Ravel rajin ibadah sama mengaji, biar dihindarkan dari hal-hal berbau sihir atau buhul begitu," kata Lukito Kanantya dengan ekspresi tenang.

"Iya, benar Opa," sahut Ravel.

Kagendra menyipitkan mata pada sang anak sulung. Ravel sudah memasuki usia awal remaja, jelas menjadi kakak yang penyayang dan selalu bisa diandalkan untuk menjaga atau mengawasi adik-adiknya. "Mas ..."

"Ya?"

"Kamu mimpi basah belum sih?"

Pertanyaan yang bukan hanya membuat Ravel langsung menoleh tapi juga kepala keluarga Kanantya yang sempat melongo.

Ravel mengerjapkan matanya pelan dan menjawab setelah beberapa detik berpikir. "Udah, kayaknya."

Punggung Kagendra segera menegak begitu juga ayah mertuanya. "Kayaknya?" tanya mereka bersamaan.

Ravel mengangguk, tidak terlalu canggung saat berujar lebih lanjut, "Iya, aku mimpi cium-cium Auyi terus pas bangun celanaku lengket dan penisku ereksi."

Kagendra seketika terbatuk, sebagaimana ayah mertuanya yang kemudian beralih dengan canggung, mengambil gelas di meja dan minum perlahan.

Kagendra mencoba tetap tenang dan biasa saja menanggapi, "Beneran sama Auriga?"

"Iya, and I feel bad karena memimpikan dia begitu. She's my bestfriend," ungkap Ravel lalu kembali pada tayangan filmnya.

"O ... ng, ya, it's something that you can't handle or choose, mau memimpikan siapa." Kagendra memberi tahu lalu bertanya lagi, "Terus kenapa kamu ragu dan bilang kayaknya?"

"Soalnya Cato sama Ruhi bilang mereka mimpinya sampai telanjang and doing dirty seksual things, aku enggak begitu. Auyi masih pakai baju."

"O ... o begitu ..." jawab Kagendra lalu melirik sang ayah mertua yang masih berusaha menenangkan diri. "Selain teman-teman kamu sama Papa dan Opa sekarang, siapa lagi yang tahu soal itu?"

"Rolando sama Mama."

"Mama?" tanya Kagendra dengan pekikan kaget.

Ravel sampai terkesiap. "Iya karena aku langsung menghindari Auyi habis mimpi begitu, I feel strange and embarrased. Mama kayaknya sadar aku menghindari Auyi, terus tanya ada masalah apa dan yaa ... aku cerita aja."

"Mama bilang apa?"

"That is not my fault or Auyi's fault, jadi terang-terangan menghindar juga enggak bijak dan pelan-pelan aku perlu belajar mengendalikan diri, terhadap apa yang kupikirkan terhadapnya atau para gadis lain."

"Mama mengatakan hal yang benar," ucap Lukito.

Ravel mengangguk. "Iya, makanya udah biasa lagi sama Auyi, main dengan yang lainnya juga."

"Mama cuma bilang itu?" tanya Kagendra.

"Sama memastikan kalau aku tahu tata cara mandi wajib, sama aku mengurus sendiri celana dalamku yang kotor. Rolando udah kasih tahu duluan soal itu, jadi aman."

"Kamu seharusnya tanya Papa kalau soal begitu," ujar Kagendra yang seketika merasa kecolongan.

Ravel mengerutkan kening. "Papa di Makau, dua minggu waktu itu dan aku merasa konyol juga kalau telepon atau chat ngabarin perkara begitu."

"B ... but I want to know, kalau kamu udah makin dewasa dan siapa tahu, perlu bimbingan soal hubungan percintaan atau—"

"Sorry, but ... Mama bilang kalau aku udah semakin dewasa, aku punya yang namanya personal space dan privasi. Itu termasuk hubungan percintaan yang enggak perlu diketahui siapa-siapa unless ketertarikanku  berkembang ke arah yang lebih serius," ungkap Ravel lalu menggeleng. "Mama juga bilang soal hubungan percintaan, kalau aku butuh advise baiknya tanya ke Mama atau Om Esa aja daripada Papa atau Om Waffa."

"W ...what the  ..." sebut Kagendra agak tidak terima. "You're my son and I am your father."

Ravel mengangguk. "We have no doubt about it."

"Makanya, Papa ini seharusnya orang terdekat kamu untuk segala masalah yang ada dalam hidupmu."

"Mimpi basah bukan masalah, it's a normal thing."

"Y-ya bukan perkara itu aja! Termasuk soal kamu dan hubungan percintaan itu."

Ravel menghela napas pendek. "Papa sendiri yang bilang katanya aku enggak boleh punya pacar sebelum legal age, 20 tahun! Gimana sih?"

"Kamu berniat menurutinya?" tanya Kagendra dengan agak syok. Dahulu ia mendapatkan peringatan serupa dan sudah melanggarnya di usia Ravel sekarang.

"Yeah, menurutku usia legal memang paling tepat memikirkan soal itu. Aku udah kuliah dan pikiranku bakal lebih matang kayak Mas Ageng." Ravel kemudian melirik ke layar televisi. "Yahhh ... beneran jatuh kometnya. It's the end of the earth! That's maybe the same comet that caused the extinction of the dinosaurs."

"Stop talking about dinosaurs, you're teens now."

"I will talk about dinosaurs until my ninety nine birthday," balas Ravel lalu menguap dan berdiri dari duduknya. "Aku mau tidur, malam Opa ... malam Papa ..."

"Malam, Nak," jawab Lukito dengan senyum.

"Malam," jawab Kagendra lalu memijat pelipisnya yang mulai berdenyut.

Lukito bisa memahami perasaan menantunya dan perlahan menepuk bahu Kagendra. "He's gonna be fine ... Ravel memang anak yang baik, dia enggak akan sepertimu."

Kagendra menghela napas pendek. "Papa sebenarnya mau menenangkan atau menghina aku?"

"Menenangkan, of course," kata Lukito sambil mengangguk. "Yah, walau kalau diingat-ingat, tabiatmu dulu memang mengerikan."

"Pa ..."

"Ravel akhirnya juga tahu sendiri, soal kamu menghamili ibunya duluan, ckckck."

"Papa ..." panggil Kagendra dengan melas.

Lukito meringis kecil. "Just sometimes, rasanya cukup adil bagi putriku ketika dia juga lebih disayangi oleh anak-anak kalian ... dahulu kamu menyiakannya begitu rupa."

"I'm so sorry, okay?" sebut Kagendra cepat dan ayah mertuanya tertawa.

"Papa rasa Ravel dan Rasya bukan masalah, Ndra ... kamu justru harus benar-benar mengawasi Reema." Lukito menyudahi tawanya dan balas menatap sang menantu serius. "Papa bakal bangkit dari kubur kalau kamu sampai kecolongan dan gagal menjaga cucu bungsu Papa."

Kagendra nyaris tidak bisa berkata-kata. "P ... Papa dan Mama bakal panjang umur, sama seperti Papi-Mami juga dan Mama Kikin."

"Mau tidak mau, suatu hari penjagaan terhadap generasi selanjutnya bakal sepenuhnya ada di tanganmu dan Esa ... kalian berdua sama-sama telah melalui banyak hal, karena itu Papa juga berharap banyak di masa depan, ya."

Kagendra sadar betapa serius setiap patah kata yang diungkap oleh ayah mertuanya dan ia mengangguk, menanggapi dengan tekad yang sama seriusnya juga. "Iya, Pa ... aku enggak akan berhenti belajar bagaimana harus menjadi ayah dan kepala keluarga yang baik."

***

"Ya, kamu harusnya langsung cerita ke aku dong, Re ... masa aku baru tahu semalam, itu juga aku nanya langsung ke Ravelnya."

"Ya sama, aku tahunya juga nanya langsung dan menurutku itu memang sesuatu yang harus kamu hadapi tanpa intro atau intervensi apa pun dariku."

"Maksudnya gimana?"

"Ravel enggak kehilangan haknya untuk membicarakan itu ke kamu, mengetahui responmu yang paling jujur. Diantara kita berdua, kamu yang tahu soal begituan, bisa membicarakannya sebagai sesama lelaki juga."

"Y-ya tapi akunya yang syok, ternyata udah kelewat momen gitu. Rolando juga kenapa enggak laporan."

"Ya berarti Rolando paham itu privasinya Ravel, emang harus Ravel sendiri yang open-up ke kamu."

Soraya menyimak perdebatan itu dengan kening berkerut, bertanya pada suaminya yang sedang menyeduh teh, "Itu kenapa, Pa? Semalam ada apa?"

"Kagendra baru tahu Ravel udah mimpi basah."

"Oh ya, ngobrol itu semalam?"

"Iya, terus ya begitulah ternyata udah mau lewat setahun hahaha ... udah gitu Lyre tahu duluan, makanya dia merasa ketinggalan."

Soraya mangut-mangut. "Ya gimana, sibuknya bukan main setelah Papinya sama Kinar membagi semua saham mereka. Waffa aja, katanya Dede sampai colongan ngerokok lagi kalau pas stress."

"Tanggung jawabnya memang besar sekali, skala kerja samanya juga udah proyek internasional. Lyre begitu pun maksudnya hanya berusaha mengimbangi dan mengisi saat Kagendra harus absen di rumah," ujar Lukito dengan keyakinan terhadap sang putri.

"Lyre memang rasanya semakin tegas, terutama ke Rasya, hahaha ..."

"Rasya enggak bisa gentle parenting, terlalu Kagendra dia, hahaha Arestio aja tobat kalau itu anak udah mulai ngawurnya," ujar Lukito dan bertepatan dengan itu dari lantai dua terdengar suara gemeresak lalu debuman keras.

Kagendra dan Lyre kompak berseru, "Rasyaaa ... kamu ngapain Syaa ..."

"Baru aku mingkem," kata Lukito kemudian membuntuti naik ke lantai dua.

***

"Rasya tahu aja kalau rak buku atas kudu diganti," ujar Esa yang ketika menginjakkan kaki di rumah, mendapati Pak Samadi tengah membongkar rak buku yang rusak. Tiga bilah penahan terlihat patah jadi dua bagian.

"Tahun lalu rak sepatu depan, ini rak buku lantai dua, terus Bu Yaya mau sekalian ganti rak dapur aja ... udah dua kali juga dipanjat Mas Rasya kalau ngambil pakan kitten."

Esa seketika tertawa. "Untung bapaknya Kagendra."

"Langsung dihukum enggak dapat snack pagi, padahal Bu Yaya bikinin banana pizza kesukaannya."

"Nangis pasti tuh anak," tebak Esa.

"Iya, hahaha masih nemplok terus sama Pak Luki," kata Pak Samadi sambil tertawa pelan, cucu majikannya yang satu itu memang paling unik.

"Loh, rak bukunya kenapa?" tanya Tsabitah yang baru menyusul ke rumah.

Esa lebih dulu menggendong Rayi sebelum putrinya itu memainkan kayu yang sudah dibongkar. "Rasya, Bee ... kayaknya dipanjatin tuh."

"Loh, jatuh dong? Rasya-nya enggak apa-apa?"

"Aman, Non, cuma ya raknya ini patah sama buku-buku masaknya Bu Yaya yang di lantai dua itu beberapa rusak."

"Ayo, masuk, Mas," ajak Tsabitah dan Esa mengangguk, bersama putri mereka beranjak memasuki rumah.

"Adeeekkk," panggil Risang semangat yang langsung mendekat, gantian menggendong adiknya yang gembira.

Tsabitah mengusap-usap kepala sang anak sulung. "Rasya manjat raknya sama kamu?"

"Enggak, aku lagi ambil pewarna, Mas Ravel kan cetak gambar buat diwarnai bareng ... nah Rasya mainan pesawat gitu terus terbangnya sampai ke atas rak, makanya mau diambil, malah patah raknya pas dipanjat."

"Ya ampun, terus kejatuhan buku enggak?"

"Enggak katanya Rasya bisa lompat terus minggir tapi ya beban buku yang jatuh bikin patahan raknya makin parah dan enggak bisa dipakai lagi," jawab Risang lalu menyengir kecil. "Om Kaka udah pesen rak baru kok, habis makan siang diantar buat ganti."

"Baguslah," ucap Esa lantas memeluk anak sulungnya yang tertawa. "Risang kangen ayah sama ibu enggak?"

"Enggak, aku kangen adekku," jawab Risang lalu membawa Rayi masuk. "Reema juga kangen adek lho, tuh sama Oma udah nunggu..."

"Yimaaaa."

"Ayiii ..."

"Gemes amat," sebut Tsabitah saat dua bayi perempuan itu kemudian berpelukan dan selanjutnya menjadi tidak terpisahkan dalam pengawasan sang nenek.

"Udah Ayi Ayi melulu dia, Bit," ucap Lyre yang keluar dari dapur untuk bertukar ciuman pipi.

"Rayi juga, padahal baru berapa bulan sejak playdate di Jakarta bareng Debby juga."

"Tiga bulanan sih, wajar kangen ya, biasanya sebulan sekali bobok bareng sini juga."

"Mbak Re lagi masak apa?"

"Mau bikin soto, baceman, sama goreng kerupuk udang."

"Ayo aku bantuin, Mbak ..."

Esa hanya mengangkat tangan untuk menyapa adiknya. Ia lebih tergoda untuk mendekati keponakannya yang masih muram di pangkuan sang kakek.

"Ada yang enggak makan banana pizza," goda Esa.

Rasya semakin merengut. "Enggak papa! Besok dibikinin sendiri sama Oma!"

"Udah dilihat belum kakinya, ada luka apa enggak?" tanya Esa pada sang ayah.

"Enggak ada, kan lincah ya Rasya langsung satset menghindar," ujar Lukito.

"Opa bilangnya aja itu raknya udah sejak Om Esa seumur aku, jadinya udah tua sama lapuk juga, bukan salah aku jadinya patah! Tapi Papa tetap marah!" keluh Rasya lalu memeluk kakeknya sebelum menangis lagi.

Lukito segera mengangguk dan menepuk-nepuk punggung cucunya penuh sayang. "Iya, yang penting Rasya enggak luka, rak bukunya bisa diganti kok ... shh ... enggak apa-apa, ya."

"Ma ... maaf ya, Opa," ucap Rasya sedih.

"Iya, cucu Opa sayang."

Esa menyengir lantas beralih ke lantai dua tempat Kagendra dan Ravel sedang menyusun ulang buku-buku, memisahkan yang rusak. "Baru mau dibantuin, udah mau selesai aja."

"Bantuin tata ulang aja nanti kalau rak barunya udah datang," ujar Kagendra.

Ravel mengangguk. "Iya, soalnya aku mau ke toko buku."

"Sendirian?" tanya Esa.

"Tadinya mau ajak Rasya sama Risang, tapi ... ya begitulah."

Esa terkekeh. "Ya udah enggak apa-apa, nanti kamu belikan komik baru aja buat Rasya."

"Iya, Risang katanya mau beli pen-tab baru."

"Oh iya, itu punyanya rusak karena sama Rayi dimainin eh ikut kebawa mandi juga, ampun deh."

"Nanti aku aja sekalian beli pen-tabnya Risang, Om."

"Wah, terima kasih, Risang pasti senang banget."

Ravel tersenyum. "Dulu Om Esa belikan aku ebook reader, mana awet banget baterainya sampai empat belas hari."

"Oh iya, tapi enggak ada yang lebih seru dari baca buku langsung," kata Esa lalu beradu high five dengan keponakannya itu.

"Agreed, the smell of a new book is one of the best," ungkap Ravel.

Kagendra memandangi kakak ipar dan anak sulungnya bergantian. "Mas kamu anaknya Papa ya."

"Anaknya Mama juga," timpal Ravel.

"Dan Mama Ravel adiknya Om Esa, jadi wajar kita ada mirip-miripnya," sahut Esa lalu merangkul Ravel dengan tawa kemenangan.

"Malesin ah!" cibir Kagendra sembari merapikan sisa buku yang masih terhampar di karpet.

***

"Lho Kagendra?" tanya Soraya sewaktu selesai menyiapkan makan siang dan menantunya belum terlihat turun dari lantai dua.

"Masih sama Rasya di atas," jawab Lyre dan menambahkan informasi, "Dalam upaya berbaikan."

"Oohhh ..." Soraya mengangguk-angguk.

"Kamu enggak ikutan, Re?" tanya Esa.

"Giliranku nanti sebelum dia tidur, hahaha soalnya kadang Rasya malah enggak tuntas keluh-kesah sama Papanya kalau ada aku juga. Di rumah misal bertingkah gitu enggak ada Papanya juga malah diumpet-umpetin misal ada yang pecah atau rusak. Rasya tuh males karena aku tiap ajak ngobrol suka lama, panjang topiknya."

"Mas Kaka emang enggak lama, Mbak?" tanya Tsabitah.

"Ya kadang lama, cuma kalau sama Papanya kan Rasya lebih bebas mau ngamuk lagi, teriak-teriak lagi ... sama aku enggak bisa gitu."

"Soalnya kalau teriak sama Mama nanti dijewer Papa dan disuruh tinggal apartemen sendiri. Anak-anak Papa enggak boleh disrespect ke Mama. Jadi, kalau masih suka teriak-teriak, apalagi lempar barang sama memukul Mama, nanti enggak jadi anak Papa lagi," kata Ravel membuat Esa segera mengacungkan jempol.

Tsabitah tersenyum karena suaminya juga menetapkan prinsip yang hampir mirip seperti itu, hanya diungkap lebih halus pada sang anak.

"Mas, tolong bantuin geser highchair buat Rayi sama Reema," pinta Lukito Kanantya yang memasuki ruang makan sembari menggendong Reema, Rayi di belakangnya berjalan pelan dalam pengawasan Risang.

"Ayiii ..." seru Reema saat kursinya digeser.

"Iya, Reema mau sebelahan sama Rayi ya," balas Ravel dan pengertian menempatkan dua kursi tinggi itu bersebelahan.

"Ini berdua dibikinin apa, Ma?" tanya Esa sambil menggendong Rayi sejenak sebelum menempatkan ke kursi khusus balita itu.

"Mie bayam, beef sama saus keju-tomat." Soraya kemudian tersenyum. "Tangannya dilap dulu ya, biar maem sendiri, Mama potong pendek minya."

"Oke," jawab Esa.

Tsabitah mengangkat kamera saat Lyre beranjak untuk ikut mengelapi tangan Reema. "Mbak Re sama Mas Esa tuh kompak tanpa sadar, gerakan ngelap tangannya sama lho."

"Baca buku juga sama, sebelum balik halaman pasti telunjuknya udah raba-raba pinggiran buku sama kalau anotasi tulisannya cuma bisa dibaca sendiri. Makanya di rumah sama di sini aku enggak mau baca buku Mama atau Om Esa," ungkap Ravel.

Esa tersenyum lebar. "My dear sister."

"My best brother," balas Lyre dengan senyum lebar yang sama.

"Stop it! I'm already here," kata Kagendra dan menyipitkan matanya, setengah memperingatkan sebelum kakak beradik Kanantya itu saling berpelukan.

"Papa cemburuan parah," sebut Ravel.

"Emang," kata Kagendra, membenarkan tanpa basa-basi dan menempati kursi duduknya.

"Cucu Oma bawa apa tuh?" tanya Soraya memperhatikan Rasya memegangi barang yang segera ditunjukkan.

"Pesawatku tadi Oma, sama Papa disimpan terus dibalikin ... besok pagi pas jalan-jalan mau diterbangin di taman aja," jawab Rasya lalu tersenyum senang saat duduk di sebelah Risang.

Risang memperhatikan bagian sayap pesawat. "Kok tulisannya SR, Sya?"

"Iya, kan aku tukeran pesawatnya sama punya Sara," kata Rasya sambil menyengir.

"Tante Bita ayo foto lagi, mumpung semua udah kumpul," pinta Ravel ketika sang Mama sudah kembali ke tempat duduk.

"Mas Esa tolong, biar dapat gambar semuanya," pinta Tsabitah sambil mengulurkan ponsel.

Esa menerimanya, mengambil posisi di depan sang istri yang langsung memeluknya dari belakang. "Mama geser dikit biar enggak kepotong," pinta Esa dan sang ibu segera bergeser.

"Hitungan ketiga bilang .. Jogjaaa ..." usul Ravel.

"Satuuu," seru Lukito.

"Duaa," sambung Rasya dan Risang.

"Tiga!" cetus Kagendra.

"Jogjaaaaaa ..." seru semua orang dengan raut ceria termasuk dua bayi perempuan yang tertawa mengangkat dua tangan.

"Iii bagus hasil fotonya, terima kasih Mas Esa," ucap Tsabitah lantas menyempatkan mengecup pipi sang suami.

"Kirim, Bit!" pinta Kagendra.

"Makan dulu," kata Lyre lalu memperhatikan sang anak. "Ini siapa yang pimpin doa."

"Rasyaaaa ..." seru Ravel dan Risang mengingatkan urutannya.

Sembari sang cucu memimpin doa, Soraya memperhatikan setiap keluarganya dengan senyum semringah. Ia dan sang suami memang mengalami masa-masa sepi, kosong, hingga kejenuhan akibat pensiun, namun demi hari-hari seperti ini, saat anak-cucu berkumpul bersama, semua sepi, kosong dan jenuh itu dapat dilalui.

"Opa nanti jadi ya bobok barengnya di ruang tengah, Mas Ravel juga," pinta Rasya sambil menunggu giliran mengambil nasi.

"Jadi dong, nanti habis jamaah Isya minta tolong Papa sama Pak Samadi keluarin kasurnya lagi."

"Dibikinin kamar, masih aja sukanya tidur di ruang tengah," ucap Kagendra heran.

"Sendirinya ikutan gitu juga," kata Lyre.

"Ya khawatir kalau Rasya apa Risang kebangun malam, minta minum apa mau ke toilet," ujar Kagendra.

"Kita suka kebangun bukan karena itu, Om Kaka," ujar Risang.

"Iya, kita kebangun kalau Papa mulai bunyi tidurnya," imbuh Rasya membuat semua orang tertawa.

"Udah enggak bunyi! Enak aja," kilah Kagendra cepat.

Ravel geleng-geleng kepala. "Papa beruntung Reema sama Mama kalau tidur kayak orang pingsan."

"Ssttt ... makan dulu!" sebut Kagendra sebelum dirinya semakin jadi sasaran bully ini. Ia sudah memeriksakan diri, tidak ada masalah dengan hidung atau saluran pernapasannya, namun ketika kelelahan memang tidurnya jadi agak bersuara meski hanya sementara.

Lukito tersenyum kecil, memperhatikan raut gembira sang istri kala mengawasi dua cucu perempuan yang lahap menikmati potongan mie bayam. Terkadang, sesekali saat hanya makan berdua di ruangan ini mereka terkenang masa-masa kelam berpisah dari anak sendiri. Namun, saat akhirnya semua orang berkumpul, yang ada hanya rasa syukur.

"Opa, mau setengahan telurnya sama Risang?" tawar cucunya itu dengan ekspresi ramah.

Lukito tersenyum. "Boleh."

"Opa jatah kerupuknya satu aja lho," ucap Tsabitah mengingatkan lembut.

"Satu di depan kita begini, Bit ... nanti kita beres-beres di belakang toplesnya diangkut ke depan coba." Lyre segera mengadu.

"Marahin! Kalau Mama yang bilang soalnya enggak mempan," sambung Soraya dengan senyum kemenangan jika dua putrinya sudah bersuara.

Lukito tertawa dan alih-alih menanggapi itu justru memberi tahu kedua putranya. "Begini nih, nanti kalau tua, istri sama anak perempuan malah tambah galaknya ... untung kalian kasih Papa cucu-cucu yang manis jadi penawar."

Kagendra tertawa. "Cukup adil ya, Pa?"

"Iya, kalau sambil gendong Rayi apa Reema, diomelin Mama juga kayak dinyanyiin gitu, merdu."

Esa menyengir melihat ibu dan adiknya semakin mendelik. "Tenang-tenang, aku yang ngawasin toples kerupuknya nanti pas kalian beres-beres ..."

"Om Esa enggak seru, pijak dua perahu," kata Ravel yang mengamati situasi di sekitarnya.

"Ayah soalnya enggak mau kena omel Ibu," timpal Risang dan sekali lagi membuat semua orang tertawa.

***

Soraya keluar dari kamar untuk mengantar tambahan selimut, sebab di luar hujan begitu lebat ditambah dengan sahutan kilat yang menyambar.

"Oh, baru Papa mau bangun ambil selimutnya," ucap Lukito yang kemudian berdiri, menerima selimut yang diantarkan sang istri.

"Lho, Esa ikutan tidur sini?" tanya Soraya memperhatikan anak sulungnya berbaring miring ke arah Risang yang pulas di sebelahnya

"Kangen anak juga dia," balas Lukito yang kemudian menghamparkan selimut ke tubuh Ravel dan Rasya yang sudah menempeli Kagendra di kanan-kiri. "Kalau begini baru kelihatan mereka anak Papanya, hahaha."

"Sama kalau makan," imbuh Soraya sambil tersenyum.

"Oh iya, hahaha ..." Lukito kembali berdiri untuk mematikan pendingin udara, sebagaimana istrinya yang bergerak ke jendela memastikan tirai menutup rapat.

"Ternyata pakai angin juga hujannya," ujar Soraya yang sekilas memperhatikan keadaan di luar.

Suaminya mendekat untuk memperhatikan hujan tersebut. "Iya, Yaya enggak apa-apa di kamar sendiri?"

"Enggak apa-apa, cuma yaa ... besok itu udah hari terakhir terus anak cucu pulang ke Jakarta."

"Kalau masih kangen kan bisa ikut."

"Iya, tapi mau bantu Lady juga," kata Soraya lantas bergeser untuk memeluk suaminya sejenak. "Sabar lagi sama-sama ya."

Hampir lima dekade menghabiskan hidup bersama, melalui berbagai masalah, termasuk duka cita dan kesedihan mendalam karena kehilangan banyak hal. Namun, apa yang memang terus mereka berdua miliki hingga saat ini adalah pemberi kekuatan terhebat untuk bertahan.

Lukito Kanantya mendekap istrinya penuh sayang. Amukan badai di luar sana tidaklah lagi membuatnya ketakutan atau cemas, karena bersama sang istri, dia merasa mampu menghadapi segala hal. Adanya keluarga yang kembali utuh bersamanya juga, itu merupakan tambahan kekuatan dan semangat yang tidak terkira. Ia dan Istri sampai-sampai merasa mampu hidup hingga seribu tahun lagi.

[ the end ]


🎁

Kedjutan!
ceritanya aku gabut dan kangen
terus iseng ngetik, eh jadi.

✨️ 6.000 kata ✨️

hahaha semoga cukup mengobati
yang kangen keluarga cemara inieh!
mereka sangat rukun guys
a truly happy ending
meski seiring Rayi & Reema dewasa
Kagendra sama Esa juga makin waspada
wkwkwkwkk trauma
Jangan sampai ketemu namja kampret lagi~

.

Thank you ❤️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top