Special Extra-part: Ayah Esa & Ibu Bita
The timeline:
Risang Kanantya is around 8th
🐝
"Tsar Lorien Sanggadarma Kanantya, panjang ya namanya."
Tsabitah tersenyum simpul, itu pendapat yang umum dijumpainya sewaktu mendaftarkan anak sekolah atau les. "Iya, sepanjang harapan saya sebagai ibunya."
"Pastinya, ya, Ibu ... ini mau ambil kelas extra untuk muatan lokal Bahasa Jawa, benar Ibu?"
"Iya, benar."
"Anu, tapi maaf menilik lampiran nilai akademis dan beberapa catatan dari wali kelas ini ya, untuk muatan lokal Bahasa Jawa agak melenceng ya, Ibu? Apa enggak sebaiknya pilih extra di kelas Science Junior saja?"
"Anak saya yang pengin belajar, Miss."
"Oh, memang niatan dari anaknya sendiri?"
Tsabitah mengangguk. "Iya, karena itu tolong dibantu ya, Miss ..." katanya lalu menyerahkan selembar dokumen. "Ini jadwal kelasnya Risang, buat hari Senin sampai Rabu memang padat."
"Oh iya, ada persiapan olimpiade juga ya?"
"Iya, betul, saya lihat di website sekolah untuk kelas tambahan Bahasa Jawa itu hari Jum'at sepulang sekolah."
"Iya, bareng sama jadwal drumband untuk kelas lima dan pramuka untuk kelas tiga. Risang hari Jum'at cukup longgar, tapi ada kelas olahraga, apakah enggak masalah?"
"Iya, Miss."
"Baik, Bu, saya ambilkan formulirnya dulu."
Tsabitah mengangguk, menunggu beberapa detik lalu mengisi formulir seukuran A5 tersebut. Ia paling tidak bisa menahan senyum saat harus mengisi kolom orang tua.
Nama siswa didik: Tsar Lorien S. Kanantya
Kelas & N.I.S : IV A, 10181
Nama orang tua
Ayah: Sangatta Lukesh A. Kanantya
Ibu: Tsabitah Paradina A. Ruslantama
Tsabitah sadar kadang dirinya konyol karena punya kesenangan aneh semacam ini. Namun, dia memang tidak bisa menutupinya, betapa hal-hal sederhana namanya selalu berkaitan dengan sang suami di setiap dokumen legal itu memberi kebahagiaan. Ia bahkan masih menyimpan semua dokumen lawas seperti Kartu Keluarga atau asuransi sejak masih berdua hingga menjadi empat anggota keluarga seperti sekarang.
"Sudah, Miss," ucap Tsabitah kala menyerahkan formulirnya.
"Baik, Ibu, untuk selanjutnya konfirmasi pendaftaran dan informasi kelas tambahan ini saya kirim melalui email, ya?"
"Baik, terima kasih, Miss ..." Tsabitah tersenyum lalu perlahan bangun dari duduk dan pamit keluar.
Kelas Risang selesai sekitar setengah jam lagi, karena itu Tsabitah memilih berjalan-jalan sebentar melihat suasana sekolah anaknya. Berbeda dengan zaman dulu, majalah dinding sekolah sekarang berbentuk digital, dengan tampilan informatif, full colour dan tajuk berita menarik layaknya majalah modern.
Tajuk tentang Sekolah Lintas Generasi membuat langkah Tsabitah jadi tertahan. Risang sudah memberi tahu soal wawancara karena menjadi Kanantya ketiga yang masuk ke sekolah ini.
"Halo teman-teman, aku Risang Kanantya dari kelas IV-A. Sebelumnya terima kasih kepada tim MaDig yang memberi kesempatan wawancara ini sehingga kita bisa lebih mengenal lagi."
"Oh! My boy," ujar Tsabitah karena mendengar suara sang anak lalu layar digital mulai menampilkan sosok anak lelaki yang ramah, dengan potongan rambut pendek dan penampilan bebas rapi di hari Jum'at.
"Halo Risang, terima kasih sudah bersedia diwawancara ... ini terkait topik Sekolah Lintas Generasi dan kami menemukan ternyata Risang adalah Kanantya ketiga yang bersekolah di sini. Apakah kamu mengetahui hal itu juga?"
"Iya, Ayah dan Tante alumni sekolah ini."
"Apakah itu juga alasannya Risang mau sekolah di sini?"
"Sebelum pilih sekolah ini, aku trial enam sekolah, dua di Jakarta, dua di Singapore, dan dua di sini. Semuanya menyenangkan, tetapi alasan kenapa pilih sekolah ini lebih ke suasana sekolahnya."
"Wah, suasana sekolah yang semacam apa tuh?"
"Ayah bilang, sekolah itu tempat siswa belajar dan bertumbuh juga. Enam sampai delapan jam waktuku dihabiskan di sekolah. Jadi, harus punya zona nyaman juga disamping zona produktif belajar, a balancing supaya enggak timbul kejenuhan."
"Waa benar juga, ya! Terus ini 'kan ternyata ayahnya Risang merupakan alumni berprestasi, bahkan peraih nilai sempurna ujian nasional. Tantenya juga, semuanya melanjutkan sekolah terbaik dan terfavorit di Yogyakarta. Itu bikin pressure atau enggak?"
Risang menggeleng. "Itu motivasi, jangan sampai kalah dari Ayah atau Tante."
"Mantap! Jadi, benar sekali ya teman-teman, di lingkungan pendidikan ini kita ubah pressure menjadi motivasi dan terus semangat berkompetisi dalam hal-hal positif. Nah, terakhir nih ... Risang kan hobinya baca buku, ada niat melampaui jumlah peminjaman buku di perpustakaan enggak? Sampai selama ini rekor peminjam terbanyak masih dipegang Lukesh Kanantya juga lho."
Risang tersenyum. "Kata Ayah minimal aku harus surpassing Om Tommy, hahaha karena aku ikut kegiatan extra yang dulu di era Ayah belum ada, terus bimbingan dan persiapan olimpiade juga. Jadi, enggak memaksakan harus sebanyak ayah."
"Om Tommy?"
"Iya, aku Kanantya ketiga yang sekolah di sini dan keturunan Ruslantama atau keluarga ibu kedua yang sekolah di sini ... hehehe, Om Tommy itu satu angkatan sama Ayahku."
"Wahhh, ternyata ya, Risang kayak memang udah ditakdirkan sekolah di sini juga, keren banget sekeluarga berkaitan sama sekolah ini."
"Iya, senang juga memilih sekolah ini, ada kenangan dari anggota keluargaku yang bisa turut aku hargai."
Tsabitah menyentuh degub jantungnya yang terasa meningkat. Sulit membayangkan bahwa dirinya melahirkan anak setampan, secerdas, sebaik dan sekomunikatif itu. "Ini gawat, terlalu keren, padahal anakku sendiri," gumamnya lalu mengeluarkan ponsel dan memotret akhir tayangan saat Risang melambaikan tangan, menyudahi sesi wawancara.
Bita Ruslantama
Permisi, mau pamer anak
keren banget ini lho
(人´ з'*)♪
1 HD picture sent to MAS SAYANG ♡
MAS SAYANG ♡
Oh, udah tayang ya?
Rekam dari awal dong, Bee
Bita Ruslantama
Aku kirim link dari MaDig aja
biar jelas muka gantengnya
anak kita 🥰
MAS SAYANG ♡
Oke 🥰
Nanti ajak anak-anak
makan di luar ya.
Bita Ruslantama
Mas Esa bisa pulang cepet?
MAS SAYANG ♡
Bisa, Bee
Ini pasien terakhir.
Bita Ruslantama
Senengnya, 😘
I love you ssooo much!
seduniaku 💛💛💛
MAS SAYANG ♡
Sedunianya Mas Esa
juga cuma Bita 😘
I love you, Bee 💛💛💛
MAS SAYANG ♡
Kabarin kalau udah sampai
rumah, Bee ...
😘😘😘
"Ibu ..."
Panggilan yang membuat Tsabitah segera menoleh. "Eh, kok tahu Ibu di sini?"
"Kelihatan dari lantai dua kelasku," jawab Risang lantas mendekat. "Ibu udah lihat wawancaraku?"
"Udah, bagus banget lho." Tsabitah menyimpan ponselnya dan sekali lagi menepuk dada. "Bikin jantungnya ibu jempalitan saking bangganya."
Risang menyengir. "Kerenan aku apa ayah?"
Tsabitah tertawa lantas mendekatkan wajah sembari merendahkan suara. "Ssttt jangan bilang-bilang, tapi kali ini kerenan Risang banget."
"Asyik!" sebut Risang senang lalu memeluk sang ibu.
"Ibu udah kirim link Majalah Digitalnya ke ayah, terus katanya nanti diajak makan di luar."
"Berarti Ayah pulang cepet?" tanya Risang sembari mengurai pelukan.
Tsabitah mengangguk. "Iya, katanya. Risang pengin makan di mana?"
"Sushi, Bu, complete boat tambah tamagoyaki!" cetus Risang menyebutkan menu favoritnya. Ia bisa menghabiskan dua belas sajian sushi dalam wadah kapal itu sendirian.
"Oke, ayo kita pulang dulu, adek pasti udah nungguin," kata Tsabitah dan saat sang anak otomatis menggandengnya, itu membuatnya merasa tengah disayang.
Sejak kecil Risang memang banyak meniru apa-apa yang ayahnya lakukan untuk sang ibu. Dia diberi tahu tentang penyakit jantung bawaan, lemah jantung sampai serangan jantung saat berusia enam tahun. Meski sempat sedih dan mengungkap ketakutan, tetapi perlahan jelas memahami alasan keterbatasan Tsabitah. Sejak itulah, Risang jadi semakin mandiri, ekspresif menunjukkan kepedulian dan terkadang, Tsabitah merasa kembali dimanja oleh semua orang.
"Kenapa, Bu?" tanya Risang saat sadar dipandangi ibunya. "Aku berantakan ya?"
"Enggak. I'm just so proud of you," ungkap Tsabitah dengan jujur.
Risang tersenyum lalu mengeratkan gandengannya. "Belum juga menang olimpiadenya."
"Bisa ikut olimpiade aja udah bikin bangga Ibu sama Ayah lho."
"Tapi aku pasti menang dan bikin Ibu sama Ayah lebih bangga lagi ... Ibu doain aku, ya."
"Sure," sahut Tsabitah dan segera mengaminkan hal-hal baik terhadap tekad putranya itu. Ia juga punya keyakinan sebagaimana sang anak, bahwa setiap langkah dan keinginan dalam hidupnya terasa lebih mudah terwujud karena doa ibu. Sebab itulah, selama ini Tsabitah tidak pernah membatin keburukan barang sedikit pun terkait anak-anaknya. Yang ada hanya rasa syukur, telah diberkati segala kemudahan menjadi orang tua.
***
"Ayahku pulang ..."
"Aaaa ... akuuuuu ..."
Terkadang, Esa masih tidak menyangka ada jenis kebahagiaan yang membuatnya sampai sulit berhenti tersenyum. Rasa penuh dalam hatinya setiap kali disambut pulang oleh dua anak yang ceria dan kompetitif berebut pelukannya.
"Wah, udah wangi semua," kata Esa sebisanya mendekap dua anak dan membawanya bergeser ke sofabed di ruang tamu.
"Kyaaakkk!!" seru Rayi karena tubuhnya terangkat saat sang ayah membaringkan diri.
Risang tertawa, ikut berbaring di sisi kiri sang ayah. "Ayah udah lihat tayangan wawancaraku?"
"Sudah dong, lebih bagus daripada ayah waktu pertama kali perkenalan di kelas," puji Esa dengan jujur.
"Aku minta daftar pertanyaannya terus setelah bikin jawabannya latihan dulu sama Opa, hehehe."
"Pintarnya," jawab Esa lalu memperhatikan anak perempuannya yang menatap penasaran. Ia segera menjelaskan, "Mas Risang pintar soalnya latihan dan belajar."
"Beyajal bial pintal," ulang Rayi.
"Iya, Rayi belajar juga ya bobok sendiri?"
"Nggaaaaakkk," jawab Rayi dan serta merta merebahkan kepala di dada sang ayah.
Risang tertawa, menepuk-nepuk punggung sang adik. "Padahal pas masih bayi banget bisa bobok sendiri."
"Iya, lagi manja adeknya Mas Risang," kata Esa.
"Manja kayak Ibu," kekeh Risang membuat Esa ikut tertawa.
"Ibu dengar ya ..." Tsabitah mengumumkan kehadiran dan menghelan napas pendek. "Karena mau makan di luar, Ayah mandi dulu dong ... Risang sama adek juga belum beresin mainan lho."
"Sebentar lagi," kata Risang.
"Iya, cebental agi!" imbuh Rayi lalu menoleh sang kakak dan tertawa bersamanya.
Esa tersenyum, merentangkan tangan kanan. "Sini, Ibu kalau mau ikutan sebentar lagi."
Tsabitah tentu tidak melewatkan undangan semacam itu dan segera mendekat, berbaring sekenanya lalu mengecup pipi sang suami.
"Welcome home, Mas," ujar Tsabitah.
Esa lebih dulu balas mencium ke kening istrinya. "I am home, Bee..."
***
Tsabitah masih ingat momen pertama kali membawa Risang makan di restoran, hanya mereka bertiga tanpa orang tua, atau keluarga lain yang biasanya sigap menggantikan menggendong. Risang berumur delapan bulan waktu itu, pertama kali mencoba cream soup dan tamagoyaki yang bukan buatan neneknya.
Formasinya selalu sama, setiap kali mereka makan di restoran. Esa akan duduk memangku sang anak lalu Tsabitah menyuapi sambil menikmati makanan pesanannya sendiri. Beruntung, karena proses pembiasaan juga, Risang tidak pernah merepotkan ketika diajak makan di luar.
"Adek pakai kursi sendiri, ya?" ucap Esa saat diarahkan petugas restoran ke meja yang sudah dipesan.
"Ngg," tolak Rayi lantas memegangi kemeja ayahnya lebih erat.
Si adik memang berbeda dari sang kakak, yang seusia itu sudah terbiasa duduk dan makan sendiri, karenanya Tsabitah menggeleng saat ditawari highchair oleh pelayan.
"Adekku baru manja," ujar Risang lalu tersenyum saat mencubit-cubit tidak serius ke hidung Rayi.
"Aaa ..." ucap Rayi, berusaha menghindar sambil tertawa.
"Udah pesan ya, Bee?" tanya Esa karena pelayan langsung menempelkan lembaran menu di pinggiran meja.
"Udah, biasanya kan? Risang sushi boat, tamagoyaki, kita carnival platter tambah soup, Rayi salmon dry ramen tambah chawanmushi."
Esa mengangguk setuju. "Oke."
"Dessertnya?" tanya Risang.
"Ice cream mochi tapi berdua sama Ayah, ya?"
"Okee," ujar Risang senang lalu sembari menunggu makanan terhidang mengeluarkan komputer tablet, mengerjakan soal latihan secara daring.
"Tigatiga," ucap Rayi menunjuk layar.
"Segitiga," kata Esa lalu menggambar lingkaran ke telapak tangan Rayi. "Bulat."
"Buyat!"
"Kotak," kata Esa sambil mengambar bentuk kotak.
"Kotak, kotak!" Rayi menunjuk tempat tissue di pinggiran meja.
"Iya, itu kotak tissue."
"Sisuu," ulang Rayi dan kembali menunjuk layar komputer tablet kakaknya. "Yima, nenam."
"Lima, enam, tujuh ..."
Tsabitah menjadi penonton sejati setiap kali suaminya mengajarkan sesuatu pada anak-anak mereka. Tidak ada pertanyaan anak-anak yang tidak bisa Esa jawab, sepele atau serius, Esa menjawab setiap rasa penasaran dengan baik. Bahkan, seingat Tsabitah suaminya itu pernah menjelaskan kala Risang bertanya kenapa bulan disebut bulan, kenapa matahari disebut matahari dan kenapa Risang tahu dirinya adalah Risang. Sungguh menakjubkan!
Suara denting notifikasi dari tas tangan membuat Tsabitah segera memeriksa. Ponsel suaminya yang menerima pesan masuk baru.
"Mas ada chat baru, dari rumah sakit kayaknya."
"Bacain, Bee ..."
Tsabitah membukanya dan membacakan, ternyata ada perubahan jadwal, sehingga sesi terapi dimundurkan. "Berarti Mas berangkat siang dong?"
"Iya, baguslah, bisa bawa Tobi sama Tora ke vet."
"Sama antar aku sekolah," ujar Risang senang. "Naik motor ya, Yah?"
"Enggak, habis antar sekolah 'kan bawa kucing ke vet sekalian, repot kalau naik motor," ucap Tsabitah dan menggeleng.
Esa menyengir, setelah hampir dua dekade pasca kecelakaannya memang belakangan ini ia diperbolehkan naik motor lagi. Namun, tentu saja, hanya dalam jarak dekat dan dalam cuaca bersahabat, selain itu dilarang keras!
"Naik motornya kalau jemput les aja, minggu depan ayah dapat libur midweek hari Kamis," ungkap Esa.
"Okeee." Risang kemudian menunjukkan hasil pengerjaan soalnya. "Udah nih."
Esa mengambil alih pen-tab anaknya, mengoreksi sepuluh soal yang telah dikerjakan sambil menjelaskan cara-cara cepat untuk mempersingkat rumus. Tsabitah tidak paham, tetapi sang anak sulung jelas menyerap penjelasan itu semudah spons mengeringkan tumpahan air di meja.
***
"Itu ada paket dari Noella di ruang kerja, Bee ..." tanya Esa setelah memindahkan Rayi yang pulas ke kamar anak.
Tsabitah mengangguk dari depan meja rias. Ia selesai membersihkan wajah dan menyisir rambut. "Iya, lolos tender buat supply official merchandise AOT-Game, makanya kirim sample sebelum mass produce, besok aja aku cek."
"Itu yang turnamennya di Hangzhou?"
Tsabitah mengangguk. "Enam bulan lagi. Per batch item aja lima ratus ribu pcs, mantap emang Noella."
"Enggak capek, ya?" tanya Esa memastikan.
Tsabitah menjawab dengan menoleh dan mengangkat kedua tangan. "Jatah manjakuuu ..."
"Jatah manja bikin enggak capek, ya?" tanya Esa seraya mendekat, setengah membungkuk untuk melingkarkan lengan kiri ke pinggang istrinya.
"Mas Esa emangnya capek?" tanya balik Tsabitah, mendekap leher saat tubuhnya terangkat dengan mudah.
"Enggak, hahaha easy day for today," ujar Esa sambil berjalan ke tempat tidur.
"Hari-hari Ibu Bita juga so easy today," kata Tsabitah sambil tersenyum, berbagi kesehariannya. "Meeting RUBY lancar, hasil video promo Rayi sama Reema jadinya bagus banget, daftar extra kelasnya Risang udah beres, terus booking liburan buat hadiah pernikahan Ayah sama Bunda juga beres. Enggak ada drama maem enggak habis, enggak ada drama susah mandi juga, yeiyy!"
Esa tersenyum senang mendengarnya. "Good job, Ibu Bita."
Tsabitah berbaring nyaman di tempat tidur dan melepas jam tangannya. "Ayah Esa juga bekerja keras, terima kasih banyak ..."
"Udah pengin liburan tapi persiapan gedung baru juga makin dikebut, program terapi yang baru juga," ungkap Esa seraya menarik napas panjang, mengembuskannya sambil menunduk ke bahu sang istri, sejenak menempatkan kepalanya di sana.
Tsabitah mengusap bahu suaminya lembut. "Enggak apa-apa, sekalian tunggu Rayi agak gedean dan nabung jumlah cuti yang cukup. Jadi proper liburannya."
"Iya, minimal dua minggu full ya, Bee ..."
"Yes, kalau perlu sebulan!" ujar Tsabitah lalu saat suaminya beralih berbaring ke sisinya, ia mengangkat tangan untuk menarik lepas simpul pita di gaun tidurnya. "Sementara, hiburan propernya begini dulu."
Kedipan mata yang kemudian diarahkan padanya membuat Esa tidak kuasa menahan rasa bahagia. It's still same, since the first time they're reunited until today ... together to forever. Apa yang Tsabitah berikan, setiap bentuk cinta, ketulusan, dan kehangatan yang membuat pulangnya menjadi berarti.
Tsabitah bergeser mendekat, mengusap pipi sang suami lembut. "Have you ever feel bored—"
"Never ever feel bored with you," jawab Esa sebelum pertanyaan istrinya selesai. Ia kembali mendekap, mencium bibir lembut yang menyunggingkan senyum bahagia.
***
"Masss!!!"
Tsabitah tertawa, membiarkan anak perempuannya berlari penuh semangat pada Ageng yang keluar dari mobil.
"Yayiiii," panggil Ageng lalu meraup adik sepupunya dalam dekapan. "Kangennyaaaaa..."
"Iya," sahut Rayi dan balas melingkarkan dua lengan ke leher Ageng.
Theo Ruslantama keluar dari mobil dan menjawil hidung cucu perempuannya. "Nungguin ya ini?"
"Iya, begitu Ayah ngabarin lagi jemput Ageng langsung deh," kata Tsabitah lalu beranjak mendekat untuk mencium tangan sang ayah. "Bunda pasti ke Mama dulu?"
"Iya, mau bareng periksa mata, udah dibilang enggak usah pakai bulu mata palsu lagi, enggak percaya," kata Theo dengan nada geli.
"Oma Inge 'kan harus always on point," ucap Tsabitah lalu mengulurkan tangannya pada Ageng.
"Orang tua yang enggak kelihatan menua itu melegakan anak dan cucu, Opa," imbuh Ageng lalu menyalami Tsabitah. "Yang tambah tinggi dan besar, aku, Risang sama Yayi aja yaa ..."
"Iya," sahut Rayi semangat.
"Si paling iya kalau udah sama Mas Ageng," kekeh Tsabitah lalu mempersilakan masuk. "Ayo masuk, sambil tunggu Mas Esa."
"Lho, libur?" tanya Theo.
"Masuk siang, ini antar Risang sama anabul vaksin."
"Tori juga vaksin kemarin," kata Ageng lalu memangku Rayi di sofa ruang tamu.
"Jadi dibawa?" tanya Tsabitah karena dalam waktu dekat ini keponakannya akan pindah, tinggal sementara di Bangkok untuk urusan pameran.
"Jadi, soalnya Ibu beneran enggak mau ikut," jawab Ageng lalu menyengir. "Tapi untungnya selama aku di Bangkok, Ibu mau tinggal di rumah Sewon, setelah dipaksa Bunda sama Tante Rika baru luluh."
Tsabitah mengangguk. "Baguslah, aku juga was-was kalau Mbak Aya di Bali sendirian."
"Sama! Mana udah dua kali juga, pemilik clubhouse itu nekat ke kebun maksa mau kenalan sama Ibu. Untung aku pas di kebun juga, nyebelin banget."
Theo mengekeh, menepuk bahu Ageng. "Kalau besok kalian pulang ke Bali masih ganggu, biar Opa yang maju, Geng!"
"Au maju ga!" ucap Rayi dengan ekspresi serius yang menghadirkan tawa.
Ageng mendekap adik bungsunya itu. "Yayi maju sama Mas, ya?"
"Iya!" sahut Rayi lalu tergelak karena digelitik.
Tsabitah melihat ayahnya tersenyum lembut dengan raut wajah yang meski kian menua, namun rona kebahagiaan itu nyata. Empat tahun lalu setelah Eyang Taher berpulang, selang enam bulan Oma Inggrid menyusul pergi, duka yang mendalam itu sedikit terobati kala Tsabitah berhasil hamil Rayi. Sejenak mereka bergembira menyambut kelahiran si bungsu yang cantik itu, tiba-tiba Ayara mengabarkan bahwa Chaerul Soeryadarma dilarikan ke rumah sakit karena tidak terbangun dari tidur siangnya.
Masa duka cita itu sempat membuat Ayara dan Ageng tinggal cukup lama di Yogyakarta, sampai cukup mampu kembali ke Bali, menjalankan pengelolaan kebun kakao lagi. Tsabitah sadar betapa orang tuanya berharap bisa terus tinggal bersama Ageng dan Ayara, namun pemahaman bahwa setiap orang perlu melanjutkan hidup dan menata ulang masa depan membuat mereka akhirnya berkompromi dengan menjaga komunikasi.
Tsabitah tahu orang tuanya juga tidak ragu memutuskan berkunjung ke Bali setiap kali merasa gelisah atau tidak tenang. Tsabitah juga menyadari betapa serius usaha ayah dan bundanya untuk memastikan Ayara akan selalu menjadi bagian berharga dari hidup mereka, terutama karena hingga detik ini juga Ayara masih menolak perkenalan atau pendekatan dari lelaki lain.
"Mana cucu Oma yang cantik yaaa ..." suara Inge Razi membuat perhatian semua orang teralihkan ke pintu. "Itu diaaa yang senyum-senyum sama Mas Ageng ..."
"Omaa Ngee ..." panggil Rayi.
"Bunda bawa apa?" tanya Tsabitah yang segera berdiri, berciuman pipi dan membawa bungkusan dari sang ibu.
"Pas banget, Yaya bikin lapis legit, masih anget," kata Inge senang.
"Oh iya, kemarin Papa kebanyakan pesen telur sekotak, hahaha," ujar Tsabitah lalu membawa kue itu ke dapur, menemui pengurus rumahnya agar menyiapkan teh dan kudapan kue.
Esa pulang bertepatan dengan sajian itu terhidang dan mereka melewatkan brunch time bersama-sama, bertukar kabar sekaligus melepas rindu karena sedikit-banyaknya jarak yang membentang.
***
Enam bulan kemudian ...
Tsabitah mengatur napasnya dengan sebaik mungkin, ia sudah beberapa kali melalui momen seperti ini, menyaksikan suami atau putranya berada di barisan depan, bersiap-siap dengan pengumuman penghargaan atau pernyataan kemenangan. Namun, situasi yang kali ini berbeda.
"Kejuaraan Debat Bahasa Daerah tingkat SD oleh Yayasan Padmanaba Jaya Yogyakarta bekerja sama dengan Dinas Kebudayaan dan Pendidikan Daerah Istimewa Yogyakarta, dimenangkan oleh Tsar Lorien Sanggadarma Kanantya dari Taqwa Inclusive and Multicultural School dengan perolehan poin 98. Kepada Ananda dipersilakan maju untuk menerima penghargaan." MC yang mengumumkan itu kemudian didekati oleh pengurus acara dan segera meralat, "Oh, karena Ananda Tsar Lorien Kanantya ternyata tengah bertanding untuk kompetisi Junior Young Physicists' Tournament di Tokyo, maka penerimaan hadiah kemenangan ini akan diwakili oleh ayahnya ... Bapak Lukesh Kanantya."
"Ayah ..." sebut Rayi yang duduk di samping Tsabitah.
"Iya, Ayah mewakili Mas Risang terima hadiah," ucap Tsabitah dengan senyum lega dan sebangga suaminya yang berjalan ke atas panggung, menerima piagam dan hadiah uang tunai sebesar dua juta rupiah.
"Bapak, mungkin bisa disampaikan kiat untuk kami semua para orang tua yang hadir di sini ... menilik prestasi Ananda Tsar Lorien Kanantya yang gemilang ini," pinta pengarah acara dengan raut ramah.
Esa sejenak terdiam lalu mengangguk dan bergeser ke microfon yang tersedia. "Selamat siang, salam kenal dari saya kepada Bapak dan Ibu hadirin yang terhormat, adik-adik peserta kompetisi yang enggak kalah hebatnya. Tentu merupakan suatu kehormatan dan kebanggaan atas apa yang dicapai oleh putra saya ini, juga terhadap apa yang senantiasa ia usahakan selama proses belajarnya. Kiat dari saya sebenarnya tidak banyak dan sudah tentu lebih banyak privilese yang memudahkan saya juga istri dalam mendidik anak. Kanantya and Ruslantama privilege dalam arti yang sebenarnya."
Tsabitah tersenyum menyadari orang-orang di sekitarnya langsung tertawa dan sebagian dari mereka juga bertepuk tangan riuh, menghargai kejujuran Esa. Nama besar Lukito Kanantya dan Theo Ruslantama familiar bagi kalangan pebisnis di Yogyakarta. Keduanya bahkan pernah diliput secara nasional dan tampil bersama petinggi negara dalam acara seremonial kebangsaan.
Esa mengangguk singkat. "Risang, nama panggilan untuk anak saya juga memang memiliki bakat dalam mengingat detail, itu anugrah dan rahmat dari Tuhan yang semoga membuatnya senantiasa memanfaatkan itu dalam hal kebaikan. Kiat saya untuk mendidiknya tidak banyak, pertama-tama adalah memastikan bahwa saya dan ibunya adalah orang tua yang hadir dalam hidupnya, ada untuk momentum ketika dia berusaha mengenali diri atau sekitarnya. Saya dan istri juga saling mengingatkan bahwa anak lebih cepat belajar dengan meniru apa yang kami lakukan, karenanya berkomitmen mengenalkan hal-hal positif, saling baik dan sadar apresiasi. Tentu, adakalanya praktik tidak semudah berwacana, disitulah peran keluarga pendukung sangat membantu. It takes a village to raise a child, isn't it?"
Tsabitah kembali tersenyum karena keriuhan di sekitarnya. Rayi bahkan ikut-ikut bertepuk tangan juga.
"Dalam hidup saya setiap kekurangan adalah karena kelalaian saya sendiri dan setiap kelebihan, merupakan kebaikan Tuhan. Saya meyakini bahwa doa-doa tulus, pengharapan yang tidak terputus dan usaha terus menjadi pribadi yang baik adalah kiat sebenarnya untuk mencapai hal-hal luar biasa." Esa mengulas senyum dan perlahan mundur. "Risang memang memenangkan kompetisi ini, tetapi setiap peserta yang hadir di sini juga telah memenangkan keberanian untuk terus maju. Selamat untuk semuanya dan sekali lagi, terima kasih banyak."
"Wohooooo ..." suara sorakan dan tepuk tangan riuh itu membuat Tsabitah hampir terharu. Ini memang pertama kalinya Esa berbicara di muka publik terkait kemenangan anak mereka, di hadapan orang-orang yang lebih mengetahui sedikit banyak rekam jejak dua keluarga di masa lalu.
Esa yang melangkah turun dari panggung juga terus mengangguk formal, menyalami ketua yayasan atau perwakilan dinas yang berdiri dan menghadangnya untuk mengucap selamat secara pribadi.
"Ibu, Ayah hebat!" sebut Rayi yang ikut antusias.
"Iya, ayah hebat ... dan syukurlah semuanya lancar," ungkap Tsabitah lalu menunggu dengan tenang hingga sang suami beralih ke sisinya.
"Ayah," panggil Rayi.
Esa memindahkannya ke pangkuan lalu tersenyum karena lengan Tsabitah kemudian bertaut kepadanya. "Suaraku gemetar enggak?"
"Enggak, and you should know that ... I'm so proud of you too."
Esa mengangguk, kebanggaan dalam dirinya tergenapi karena ungkapan itu. "Thank you, Bee."
***
"Risang Kanantya is one and only spoiled kid that we can't hate! He used his family wealth and reputation in a really good way! God bless his brain!" Risang membaca komentar pada artikel yang memuat berita kemenangannya di Tokyo. Ia cukup terkesiap dinilai demikian dan banyak komentar lain membenarkan itu. "Spoiled kid, me?" ulangnya dengan nada tidak terima.
"Mereka menulis apa yang ingin mereka tulis dan kadang tanpa mengecek kebenarannya dengan baik," kata Esa berusaha menenangkan. "Di postingan iklan produk RUBY-Kids yang ada Rayi dan Reema aja banyak yang bilang mereka talented nepo baby."
"Talented nepo baby?" sebut Risang dengan syok. Ibunya menjadikan Rayi dan Reema sebagai icon RUBY-Kids bukan karena tidak mampu membayar model cilik lain. Tetapi memang menilai interaksi dari kedua bayi cantik itu sangat baik untuk merepresentasikan keunggulan produk.
Esa mengangguk dan mengulurkan tangan, meminta kembali ponselnya. "Nah, udah cukup lihat beritanya dan baca komentar yang enggak penting itu."
Risang mengembalikan ponsel sang ayah dengan patuh. "Kenapa mereka komentarnya begitu?"
"Karena hanya sebatas itu yang mereka pahami, makanya enggak perlu dipikirkan dengan serius juga."
"Aku enggak semanja itu kan, Ayah?" tanya Risang dengan ekspresi penasaran.
"Terkadang ayah dan ibu pengin kamu semanja-manjanya anak yang enggak perlu tunggu demam atau pas sakit gigi untuk clingy dan menempeli kami," jawab Esa jujur dan menyimpan ponselnya.
Risang meringis kecil karena memang merasa harus bersikap dewasa seiring pertambahan usia. "Kenapa mereka komentarnya enggak bisa yang sekadar bilang selamat aja, kenapa harus menyebut soal spoiled kid. Aku mungkin dapat banyak privilese tapi enggak dimanja."
"For some of them, spoiled kid itu maknanya lebih ke peran orang tua yang easily menciptakan kemudahan bagi anak. Kamu bisa dengan mudah mengakses kualitas pendidikan yang baik, enggak pusing beli buku-buku mahal, bisa berkunjung ke museum mana saja di belahan dunia ini atau sederhana bisa fokus belajar tanpa memikirkan uang sekolah." Esa memperhatikan sang anak. "Kamu bahkan enggak tahu berapa biaya sekolahmu, iya 'kan?"
Risang mengerjapkan mata. "Eh ..."
"If you want something to buy, ada dua kartu yang bisa dipakai dan sejauh ini Ayah enggak melihatmu menaruh kepedulian terhadap harga setiap barang atau buku yang kamu beli."
Risang memang tidak melakukan itu, selama ada kartu dari ayah dan kakeknya, tidak ada barang yang baginya terlalu mahal untuk dibeli. "Jadi, aku beneran dimanja, ya?"
"For a good reason, yes." Esa mengakuinya.
"For a good reason?" ulang Risang lantas memperhatikan sang ayah lebih serius.
"Ya, selain memang kewajiban untuk bertanggung jawab terhadap kebutuhan hidup, termasuk menyediakan pendidikan yang baik ... ayah ingin kamu bisa sepenuhnya fokus terhadap cita-cita yang merupakan rencana masa depanmu."
"Because I'm gifted," ujar Risang karena guru-gurunya di sekolah kerap mengatakannya.
"Because you're a learner," ralat Esa dengan senyum. "Kamu suka belajar, mempelajari sesuatu, menjadi mahir dan membuktikannya. I know the feeling of being an expert."
"It's awesome," ungkap Risang senang.
"Karena itulah dengan bakatmu, privilese yang kita punya, Ayah ingin melihat Risang berada di titik pencapaian yang akhirnya memberi rasa bangga terhadap diri sendiri, terhadap apa yang kamu usahakan dan terhadap apa yang kelak bisa kamu bagikan kepada orang lain."
"I wanna be a doctor," kata Risang dan mendadak kikuk dengan pengakuannya. Ia belum pernah secara terang-terangan menyebutkan cita-citanya, meski jelas menunjukkan arah ketertarikan di bidang medis.
"Karena Opa dan Papa seorang dokter juga?" tanya Esa memastikan.
"Itu dan karena jantung adalah organ penentu kehidupan. Ibu bilang ayah dulu cardiologistnya."
Esa ganti terdiam mendengar itu, serasa mengingat dirinya sendiri dalam versi sebelum garis nasib menjungkir-balik kehidupannya.
"I'm lucky and blessed karena lahir dengan sehat, tapi setiap tahun ada puluhan ribu kasus PJB pada bayi lahir yang berjuang tetap hidup ... ya, masih banyak yang perlu dipelajari, since I'm just a spoiled elementary kid tapi Opa bilang impian itu memang harus besar dan luar biasa, harus yang membangkitkan semangat dan antusiasme belajar."
"It's a relief," ungkap Esa lalu mengulurkan tangan, mengusap kepala sang anak lembut. "Melegakan karena pada usia ini kamu memahami itu dengan sikap tenang dan siap. Ya, impian memang harus besar dan luar biasa, tetapi di samping itu juga harus disertai acceptance ketika hidup memberi kejutan diluar perkiraan."
Risang menatap tangan kanan ayahnya. "Ibu bilang ayah adalah orang yang paling keren di seluruh dunia, bisa comeback setelah perjuangan panjang sebagai terapis dan kembali membantu orang-orang pulih, some of them punya hidup baru yang akhirnya disyukuri juga."
"Perjuangan panjang memang kata kuncinya dan meski privilese berguna, membuatmu punya sisi aman tersendiri, tetapi selalu ada hal yang di luar perkiraan dan tidak bisa dikendalikan, contohnya ya komentar menyudutkan seperti tadi."
"Oh, right," kata Risang lalu menghela napas pendek.
Esa segera merangkul sang anak. "Karena itu, Ayah maunya Risang enjoy aja sama proses belajar ini, menikmati masa-masa sekolah, porsi bermain dan belajar juga lebih balance."
"Be a truly spoiled kid?" canda Risang sebelum menertawakan istilah itu bersama sang ayah.
***
Tsabitah menghela napas lega karena sang putri akhirnya pulas tertidur dan tetap tenang ketika dipindahkan ke kamar anak. Ia menyalakan baby monitor lantas beralih ke kamar anak sulung.
Esa ternyata juga sedang menyelimuti Risang yang pulas, berbaring miring memeluk guling.
"Lama ya ngobrolnya?" tanya Tsabitah sembari mengatur suhu ruangan menjadi lebih hangat.
"Iya," jawab Esa lalu tersenyum kecil. "Enggak terima disebut spoiled kid."
Tsabitah menahan responnya, lebih dulu membungkuk untuk mengecup belakang kepala Risang. Ia membisikkan doa singkat dan baru beralih ke pintu.
"Terus Risang marah?" tanya Tsabitah.
"Enggak, setelah Mas jelaskan juga akhirnya bisa ngetawain istilah itu." Esa ganti memasuki kamar Rayi, mencium hidung mungil anak bungsunya. "Capek kali ya, si adek, pulas banget."
"Kata Mama bobok siangnya setengah jam doang, kebangun pas Mbak Re video call, dia juga ngerti mau diajak jemput Risang ... semangat jadinya."
Esa mengangguk, kembali ke pintu dan merangkul sang istri. "Ngantuk enggak, Bee?"
"Enggak dan aku lapar. Jajan bakmi lagi yuk, Mas."
"Lagi?" ulang Esa karena sudah dua malam terakhir menikmati menu yang sama. "Ketahuan Mama pasti diomelin ini, Bee."
"Sekarang pesan online aja. Porsi kenyang buat berdua, extra pangsit rebus sama bakso goreng, minumnya es lemon tea jumbo."
Esa mengekeh. "Oke deh," katanya dan segera memesan.
Tiga puluh menit kemudian pesanan diantarkan dan mereka duduk bersebelahan di meja makan, menikmati semangkuk bakmi berdua, saling menyuapi pangsit atau potongan bakso goreng yang gurih.
"Ih, gila enak banget, belum bosen aku," kata Tsabitah.
Esa mengangguk, menghabiskan sisa kuah dan bersandar ke kursinya. "Tapi kalau sering-sering begini Mas buncit beneran, Bee."
"Aku aja dibuncitin Mas Esa dua kali, hampir tujuh belas bulan lamanya, enggak protes," ujar Tsabitah mengingatkan.
"Eh, itukan happy buncitnya," kekeh Esa.
"Aku juga happy kalau Mas Esa bisa buncit, biar bapak-bapak beneran ... masa tua di umurnya aja, gantengnya sama badannya awet, bikin cemas."
"Apanya cemas." Esa geleng kepala lalu memeluk sang istri dari samping. "Mas kan punyanya Bita doang."
"Masa?" tanya Tsabitah lalu menyedot es lemon tea di gelas dan mengungkit temuan coklat di tas ransel suaminya. "Salam kenal dr. Esa ... Keary dari PT Parma Spectra. Ada nomornya juga dong, mana kertasnya wangi dan coklatnya tinggal setengah."
Esa segera mendongak, tersadar. "Oh ..."
"Oh ..." ulang Tsabitah dengan bombastic side eyes yang menghadirkan tawa suaminya. "Aku udah catat nomor sama namanya, jadi awas kalau disimpan nama aneh-aneh kayak Budi tukang galon atau Pramono bakery, gitu-gitu aku enggak percaya!"
"Kapan Mas begitu, Bee? Enggak pernah ya."
"Ya, siapa tahu nakalnya telat kayak orang-orang bilang."
"Iya nih, telat."
"Mas Esa tuh!" ujar Tsabitah lalu merengut.
Esa segera mengecupi pipi sang istri. "Telat soalnya pakai diajak makan bakmi segala, dicemburuin ini juga ... benar-benar deh, padahal mumpung anak tidur cepet."
"Enggak mempan ya!" kata Tsabitah lalu kembali menyedot es lemon teanya. "Cantik pasti ini 'kan? Makanya percaya diri kasih coklat dan cara kenalannya gitu."
"Istrinya Mas Esa yang paling cantik sedunia."
"Makin menghindar bahas, makin curiga deh."
Esa mengekeh dan meraih gelas di tangan sang istri, menghabiskan sisa minuman dengan sedotan yang sama lalu memberi tatapan serius. "Jadi, kenapa dikasih coklat itu karena pas meeting agak telat sampai melewatkan sesi perkenalan, sudah begitu Mas enggak sempat makan siang. Bu Keary notice karena beliau teringat anaknya yang seumuran Mas juga."
"Eh?" kata Tsabitah sambil menoleh.
Esa memajukan wajahnya, mencium bibir lembab yang sedikit melongo lucu. "Cucunya Bu Keary udah tiga bytheway semuruan Ravel dan secantik apa pun beliau, Mas yakin masih tetap memilih kamu sebagai yang tercantik di dunia."
Tsabitah akhirnya tersenyum meski malu-malu. "Oh gitu, y-ya ... makanya Mas Esa tuh cerita duluan dong."
"Mas aja baru ingat ini ada coklat itu dan yang makan tuh dr. Yusril karena sebelahan duduknya dan perut dia lebih bunyi."
"Rame dong pas meeting."
"Iya, lumayan bikin ketawa."
Tsabitah mengekeh membayangkannya. "Lucu banget."
"Kamu juga lucu banget cemburunya," balas Esa dan tertawa saat istrinya langsung mendusel ke dadanya untuk menyembunyikan rasa malu.
"Maaf ..." ujar Tsabitah pelan.
"Iya, dimaafkan." Esa memeluk erat lalu mengecupi kepala sang istri. "Maaf juga enggak cerita, Mas beneran lupa dan sekadar mengingatkan ... I love you with all my heart, body and soul, Tsabitah Paradina Aubree Ruslantama."
Tsabitah tersenyum lembut, meski masih malu-malu saat kembali menatap Esa. "Cuci mangkuknya besok aja ya, biar kita enggak makin telat ... saling nakalnya."
Esa tertawa dengan kedipan yang ditambahkan sang istri. Itu selalu sukses membuatnya melupakan hampir segalanya. "I really love you, Bee."
"Me too. I love you with all my life, until the very last of my heart beat," balas Tsabitah dan gantian memberi ciuman, saling merapatkan tubuh sebelum sama-sama beralih, secepat mungkin kembali ke kamar dan melanjutkan rajutan cinta mereka berdua.
[ the end ]
🎁
Senank dong ya? Ya kali, enggak~
wajib tibanin love yang banyak ❤️
.
Jujurly, lumayan tengsin sama yang komen; ini lapak ceritanya Esa tapi isinya Kagendra (?) Esa sama Bitanya dikit amat, padahal ini extra cerita Reputation.
Euw, padahal kalau bae-bae bacanya itu tentang Opa sama Oma Kanantya dan kenapa yang dominan dimunculin interaksi keluarga Babi 1, ya karena yang tinggalnya jauh dan perlu diungkap relationship progressnya. Esa sama Bita kan berhadapan rumahnya, always nice dan kind, enggak ada 'dendam' yang perlu diungkit juga sekadar buat bikin ketawa pembaca.
.
Bab tambahan ini ada bukan untuk memuaskan komenan nyinyir itu. Spesial buat pembaca yang emang sayang Repeated-Reputation universe ini, yang bikin effortku ngetik enggak berasa sia-sia, loveyou 🫶🏻
.
Anyway ini 5.000 kata
jadi cukup yagesyaaa~
aku mau fokus menyiksa Lacoste lagi
pfftt see you di lapak Jang Moelia 🐊
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top