[ Epilog ]
[ Epilog ]
Tsabitah POV
Aku dan Mas Esa sama-sama terpaku menatap cuplikan berita dan kiriman video dari Noella. Astaga, ini … benar-benar mengerikan, proses pendaratan itu bukan hanya darurat karena panjang landasan atau runway yang tidak memadai, ditambah kepulan asapnya juga.
“Mama,” kataku cepat meski Mas Esa lebih dulu meraih tanganku, menggenggamnya selama beberapa detik lalu menggandengku turun ke ruang tengah.
Mama terpaku memegang gagang telepon dengan tangis yang mengalir di wajahnya. “Ternyata udah dari kemarin kecelakaannya itu, sama Ravel juga, Waffa retak rusuk dua dan masih sesak napas.”
Aku langsung beralih memeluk Mama sementara Mas Esa mengambil alih telepon, kedengaran melanjutkan berbincang dengan Papa.
“Terus Lyre gimana, Pa? … oh, syukurlah. Iya, Bita enggak apa-apa. Aku antar Mama kalau udah tenang.”
“Gimana, Mas?” tanyaku begitu gagang telepon ditutup.
“Lyre enggak apa-apa, Kagendra juga, Ravel sama Dede enggak luka cuma kaget dan syok. Waffa minta rawat jalan aja, soalnya enggak suka rumah sakit.”
“Lah, gimana cederanya?” tanyaku heran.
“Aman,” kata Mas Esa lalu menatap Mama yang mulai tenang. “Ma, Papa mau langsung ke Jakarta … Mama mau dibantu packing apa?”
“Oh, iya, iya. Tapi, kalian gimana?”
“Aku ada kerjaan yang deadline-nya mepet, Bita juga. Jangan khawatir, ada Mbak Anas sama Simbok di sini,” ujar Mas Esa lalu berlutut di hadapan Mama dan tersenyum. “Mama bantuin Mama Kinar aja, Lyre juga harus dijaga tetap tenang … kalau ada Mama di sana dia pasti lega.”
Aku mengangguk. “Iya, Mama jangan khawatir sama aku dan Mas Esa … ada Ayah-Bunda juga.”
“Ya udah, Mama siap-siap dulu.”
Mama beranjak pergi ke kamarnya dan aku memastikan ke Mas Esa yang sekarang sibuk mengetik. “Situasinya beneran aman ‘kan di Jakarta, Mas?”
“Iya, ini Waffa udah balasin chatku di grup, katanya waktu beralih ketinggian, two birds hit the left engine, muncul nyala api makanya langsung pilih option pendaratan darurat. Semuanya selamat.” Mas Esa menunjukkan bukti chat di ponselnya dan aku membaca cepat.
“Untung ada private runway yang bisa diakses, ya ampun, pasti gila banget pengambilan keputusannya.”
“Waffa memang enggak mungkin nekat kalau urusannya Desire dan Ravel,” ujar Mas Esa lalu menghela napas panjang dan beralih memelukku. “Ya, Tuhan … syukurlah.”
Aku mengucap syukur yang sama dalam hati, setelah itu mengusap-usap lengan kiri Mas Esa yang mendekap pinggangku.
“Mas Kaka belum balas chat ya? Itu tadi cuma ada Mas Esa sama Waffa yang komunikasi.”
“Kagendra bisa jadi terguncang, atau kalaupun udah tenang, urusan ini pasti panjang dan harus dibereskan juga. Rich people’s problem.”
Aku mengangguk paham. Dulu, Ayah dan Bunda juga sempat ada di fase kewalahan mengurus RUBY sekaligus protektif berlebihan kepadaku. Butuh waktu nyaris dua tahunan sampai mereka cukup tenang membiarkanku menjajal rencana hidup baru.
“Bee, jangan sakit, ya?” ucap Mas Esa saat kemudian menundukkan wajahnya ke bahuku.
“Enggak,” jawabku tenang, meski aslinya gugup banget, dari kemarin enggak yakin sama keadaanku sendiri. Hufftt.
***
“Masa hamil?”
Aku bertanya pada diri sendiri karena untuk pertama kalinya, setelah biasanya siklusku yang berantakan ini selalu maju, sekarang malah telat, baru sehari sih. Tapi kalau ingat bulan lalu majunya kebangetan, ini beneran aneh.
Wow! Tapi memangnya hamil semudah ini? Aku agak tidak yakin, karena tidak ada gejala penyerta kayak mual-mual, lemes-lemes mau pingsan, atau dada tambah besar. Aku meraba-raba dada untuk memastikan. Iya, benar, ukuranku segini-gini aja, ck!
Tapi aku memang kayak orang ngidam selama beberapa hari terakhir, mendadak juga hobiku bikin rujak sampai Mama nyetokin buah bengkuang dan mangga muda. Ini badanku masih enak-enak aja, rasanya malah sehat banget, sungguh ajaib.
Mas Esa memang tipe suami yang tekun dan sabar menghadapi aku. Aktivitas hariannya selalu teratur, dia enggak menuntut aku sepenuhnya begitu, hanya selalu memastikan aku ada kegiatan olahraga ringan, makan dan minum obat tepat waktu dan jam tidurku terpenuhi. Nah, jam tidur ini yang emang bikin aku kayak pemalas, terutama kalau malamnya kami berhubungan badan. Tepar maksimal.
Dua bulan menikah, aku masih belum sepenuhnya beradaptasi, benar kata Dede rasa sakitnya semacam timbul tenggelam. Mas Esa juga kayaknya masih kelewat fokus mengamankan aku dibanding mencari kepuasannya sendiri. Enggak jarang kalau aku kebangun gitu, dia lagi periksa jamku, beberapa kali aku bangun juga dibantu hirup oxycan dulu karena menurutnya napasku kurang teratur. Aku demam, anget sedikit aja langsung enggak boleh turun dari tempat tidur.
Ck, jadi kepikiran gimana kalau aku beneran hamil, ya? Bisa disuruh full bedrest, hii ...
***
Besoknya juga masih belum ada tanda-tanda lemes kayak biasanya kalau mau mens. Aduh, aku makin gugup rasanya. Kalau hamil beneran gimana?
“Bee … masih lama?”
“Enggak, Mas, ini udah selesai.”
Aku merapikan anakan rambut lalu membuka pintu kamar mandi. Mas Esa udah siap pakai jaket denim dan bawain tasku.
“Bunda udah telepon, nanya sampai mana, pas Mas jawab masih di rumah terus minta agak cepetan. RUBY sibuk banget.”
Aku mengangguk, memakai cardigan pelapis setelan kerjaku lalu mengikuti Mas Esa keluar kamar. Kami berpamitan ke Mbak Anas dan Simbok dulu, memastikan bekal sama kotak jajanku terisi baru berangkat.
Walau buru-buru, Mas Esa menyetirnya tetap sesuai batas kecepatan. Aku menoleh sesaat, memperhatikan profil wajahnya yang serius.
“Kenapa, Bee?”
Aku menyengir. “Uhm, ya, mendadak kepikiran … Mas Esa siap punya anaknya kapan?”
“Punya anak?”
“Iya.”
“Kalau Bita udah siap juga, kenapa memangnya?”
Aku menggeleng. “Enggak apa-apa.”
“Kepikiran pas malam terakhir di resort itu, ya? Mas enggak sempat pakai pengamannya.”
“Emang kenapa?” tanyaku lalu tersenyum cerah, mengingat betapa romantis dan indahnya momen itu. Sampai nyaris telat subuh karena pulas banget kami tidurnya, mana bangun juga masih telanjang bareng.
“Oh!” Aku terkesiap sadar. “Soalnya lebih enak waktu itu, ya.”
Mas Esa tiba-tiba terbatuk, memalingkan wajah sebentar dan baru berbicara lagi. “Emang beneran lebih enak?”
“Iya, Mas Esa enggak enak?”
“Bukan gitu, tapi berisiko tinggi kalau enggak pakai pengaman … Mas khawatir kelepasan terus enggak sengaja bikin hamil Bita.”
Astaga naga! Itu dia, kemungkinannya! “E … emang bisa langsung hamil kalau lepas pengamannya, itu kan cuma sekali, ya?”
“Ya tergantung kesuburan dan kondisi sperma pasangan. Kalau kita ‘kan soalnya harus konsultasi dokter dulu, memungkinkan hamil kapan terus prosesnya juga.”
Ah benar juga, bagiku, hamil enggak semudah melakukan berhubungan badan terus bayinya langsung jadi. Tapi, ini siklusnya telat beneran, duh gimana?
“Ng, misal enggak sengaja aku hamil gitu, Mas Esa mau gimana?”
Mas Esa diam agak lama. “Enggak gimana-gimana tapi pasti ada takut dan khawatirnya juga.”
Dan sejujurnya tampang suamiku sekarang udah kayak was-was. Itulah sebab aku memilih senyum aja dan mengganti topik ke informasi rentetan pekerjaanku hari ini. Aku dalam kondisi sehat aja udah bikin khawatir banyak orang, gimana kalau tahu aku enggak sengaja hamil tanpa perencanaan, bisa heboh dua keluarga.
Untuk sementara, baiknya aku diam aja. Eh, tunggu, beli testpack bisa online! Minimal aku cari tahu sendiri dulu.
***
“Anak ini, bisa-bisanya … ternyata investor asli RUBY itu Bu Kinar. Astaga!”
Aku tertawa-tawa melihat tampang Bunda yang mendelik dan kesal, hahahaha akhirnya drama misteri soal investor RUBY ini terbongkar juga. Ibu peri juga akhirnya bisa mulai senyum, setelah dari kemarin tegang dan khawatir menghadapi masalah kecelakaan itu. Media masih ramai membahas meski perwakilan perusahaan sudah keluar pernyataan kalau Desire dan yang lain selamat, dalam keadaan sehat.
Ayah geleng kepala. “Mana kata Bu Kinar kamu awalnya menuntut ganti rugi, astaga, Bita …”
“Ya ‘kan aku benar.” Aku berkilah cepat lalu tersenyum ke layar video conference yang sudah mati. Sebelumnya, kami mengobrol dengan Ibu peri selama hampir dua jam. “Lagian, Mama Kikin enggak bakal mau invest kalau enggak meyakinkan. Jadi, ini bukan semacam investasi bodong atau gimana.”
“Iya, bukan investasi bodong, tapi investasi nodong! Ya ampun, beneran enggak habis pikir.” Bunda masih geleng-geleng kepala.
“Tadi Mama Kikin kan bilang kita udah on track dan tinggal melanjutkan kerjasama ini sebagaimana mestinya. Bunda jangan malah minder,” kataku mengingatkan.
“Ya, gimana enggak minder, astaga …”
Ayah tampaknya sudah lebih tenang dan sekarang menepuk-nepuk bahu Bunda. “Ini karena kita juga, Bunda. Dulu, merencanakan perjodohan untuk Bita dengan mengikutsertakan masa depan RUBY.”
“Iya, aku enggak mau dijodohin, makanya jalur cepat nodong investasi,” kataku sambil terkekeh. “Bunda udah, jangan malah down, harusnya kita makin semangat berbenah dan memajukan RUBY … jadi todongan investasiku ada hasil yang bisa dipamerkan.”
“Esa tahu soal ini enggak?” tanya Ayah.
“Tahu dong, Mas Esa tuh malah udah nebak duluan.” Aku tersenyum-senyum saat kemudian memutar laptop menunjukkan grafik peningkatan RUBY setelah enam bulan terakhir fokus pada konten marketing berkualitas. “Profit lima ratus juta per cabang udah achieve dan sekarang tinggal matengin The Icon concept.”
Ayah dan Bunda langsung fokus lagi membahas sisa pekerjaan kami, merampungkannya dalam dua jam sebelum aku dijemput Mas Esa dan pulang ke rumah.
***
Mama jadinya menetap di Jakarta sampai Mbak Re lahiran dan aku tahu, perubahan rencana itu bikin Mas Esa makin kelihatan cemas, khawatir sama keadaan Mbak Re. Setiap habis video call juga ketara banget pengin nyusul ke Jakarta dan memastikan keadaan.
Aku juga penginnya begitu, tapi lusa jadwalku check-up dan sekarang ini badanku mulai terasa agak-agak anehnya. Aku gampang ngantukan, tadi pagi habis sarapan juga mual. Aku beneran telat, ya ampun, nervous banget ini.
“Mas, kalau mau nyusul ke Jakarta enggak apa-apa, besok aku check-up sama Ayah dan Bunda aja.”
“Enggaklah, Bee … Mas temenin kamu dulu, baru sama-sama ke Jakarta, ya?”
Aku menggeleng. “Kayaknya aku bakal enggak boleh kemana-mana.”
“Demam lagi, ya?” tanya Mas Esa dan wajahnya langsung tegang waktu tangan kirinya beralih memeriksa keningku. “Belakangan memang agak dingin dan AC kamar terlalu—”
“My period is late.” Aku segera mengaku dan wajah Mas Esa beralih dari tegang ke pucat. “I feel nervous, karena kalau siklusku berantakan itu selalu maju, bukan mundur, udah lima harian.”
“O … oke, it’s fine, you’re gonna be okay.”
Aku hampir tertawa karena Mas Esa ngomong begitu. “Mas Esa ngaca deh, pucat banget, astaga! Aku bikin kaget, ya?”
“B … because we need to discuss first and let doctor, ah, iya, tes dulu aja, sebentar Mas beli—”
“Masih garis satu,” kataku cepat lalu mengangkat bahu. “Aku tahu kok kalau situasiku enggak menentu dan enggak boleh berharap banyak juga … karena itu, Mas Esa juga tenang, ya? Kita periksa sesuai jadwal check aja, hamil enggak hamil, itu bukan kesalahan siapa-siapa, ya ‘kan?”
Mas Esa mengangguk dan langsung memelukku. “I love you so much.”
I know, batinku lalu balas memeluknya. “Mas Esa berangkat ke Jakarta, pastiin sendiri keadaan Mbak Re setelah itu pulang sini.”
“Enggak usah aja, toh ada Mama di sana dan—”
“Aku bakal baik-baik aja di rumah, enggak bakal ngeyel atau macam-macam. Ayah sama Bunda juga pasti ngawasin aku,” selaku lantas meyakinkannya. “It’s okay, Mas Esa nyusul sebentar ke Jakarta buat lihat Mbak Re.”
“Mas telepon Ayah dulu.”
“Oke.”
***
Aku tinggal di Ambarketawang selama Mas Esa ke Jakarta. Ayah sama Bunda kayak senang banget dan sebenarnya aku juga kangen mereka. I mean, kangen beneran as their daughter gitu, yang leluasa manja-manja kayak sebelum diperistri Mas Esa.
“Manjanya,” kata Bunda waktu bergabung di ruang tengah.
Aku nonton film sambil dipijat kakinya sama Ayah. “Jangan iri ya, Bunda.”
“Ck! Udah telepon Mas Esa belum?”
“Udah dong, lagi sama Ravel.”
Bunda duduk di sofa sebelah sambil mengemil potongan buah. “Bita mau enggak ini?”
“Enggak.” Aku fokus nonton film yang sudah setengah jalan.
“Mama Yaya sampai telepon Bunda lho, kenapa Bita enggak mau ikut Esa ke Jakarta,” kata Bunda dan aku mengangguk-angguk saja. “Khawatir kalau selama ditinggal ada masalah.”
“Enggak ada masalah, kami mesra terus.”
Ayah ikut mengangguk. “Anggap latihan ini, kalau Esa udah makin aktif dan mau melebarkan karier sebagai pembicara.”
“Iya, selama ini juga dapat banyak undangan untuk isi talkshow gitu,” kataku dengan senyum bangga. Mas Esa terlalu berharga untuk sekadar jadi tester prostetik aja, he’s more intelligent than that.
“Bita emangnya enggak khawatir kalau Mas Esa makin terkenal?” tanya Bunda.
Aku menggeleng. “Enggak! Mas Esa aja bangga banget sama aku, atas apa yang udah kukerjakan untuk RUBY dan LittleBi. Jadinya kalau Mas Esa makin berkembang, aku juga akan support penuh.”
“Ini baru anak Ayah,” kata Ayah lalu kami beradu telapak tangan dengan senyum terkembang.
Bunda menyipitkan matanya dan geleng kepala. “Tapi bagusnya suami istri itu enggak pisah lama-lama, apalagi masih baru menikah.”
“Udah dua bulan lebih lho emang masih disebut baru?” tanyaku lalu memutuskan untuk berterus terang. “Lagian aku enggak mau ikut juga maksudnya jaga-jaga keadaan, semisal beneran hamil.”
Ayah langsung berhenti memijat kakiku, aku tahu Mas Esa udah ngobrol cukup lama waktu minta izin kemarin. Bukan, enggak mungkin, Mas Esa juga terus terang soal keadaanku ini.
Bunda menolehku dengan tatapan lekat. “H… hamil? Kok bisa hamil?”
Hah? Aku mengerjapkan mata cepat. “Ya, bisalah, Bunda.”
“Ciuman doang enggak bikin hamil,” kata Bunda serius, membuatku langsung menepuk jidat. Ayah memejamkan matanya sejenak, kayak berusaha memproses situasi.
Bunda meletakkan mangkuk buahnya ke meja dan bersedekap. “Bita, jangan bercanda, soalnya hamil itu situasi seri—”
“Aku enggak bercanda, makanya Mas Esa juga enggak mau ambil risiko kalau bawa aku ke Jakarta sementara kondisiku belum dipastikan.” Aku menatap Bunda lekat-lekat. “Lagian, siapa juga yang selama menikah cuma ciuman doang? Kayak anak kecil aja.”
“Oh! Jadi itu … kalian … Oh!” sebut Bunda dengan ekspresi yang sesekali melongo, sesekali kayak sadar maksud tersiratku dan enggak lama kemudian langsung terkesiap beranjak ke meja telepon. “Kita periksa sekarang aja!”
“Hah!” gantian aku yang terkesiap.
“Iya, nunggu apa lagi?” seru Bunda.
Ayah mengangguk. “Benar, lebih cepat dipastikan itu lebih baik.”
“Emangnya enggak nunggu tespeknya garis dua dulu, ya?” tanyaku, agak tidak paham dan enggan tergesa-gesa. “Kalau diperiksain ternyata enggak hamil gimana? Nanti malu.”
“Apanya malu! Ayah keluarin mobil sekarang,” pinta Bunda lalu geleng-geleng kepala dan fokus pada panggilan teleponnya.
Aku mengatur napas, meraih ponselku untuk mengabari Mas Esa dan setelahnya beranjak berganti baju. Well, aku aslinya pengin nungguin Mas Esa pulang dan baru periksa bareng sesuai rencana. Tapi, apa boleh buat, aslinya udah penasaran juga sama keanehan tubuhku ini.
***
Mas Sayang ♡
Apa pun hasilnya, kabari Mas ya.
Mas Sayang ♡
Besok Mas pulang. I love you.
Aku bisa menebak berdasarkan dua chat ini saja kalau Mas Esa pasti cemas banget di sana, enggak bisa nemenin.
“Jangan lihat hp terus,” kata Bunda.
“Ngabarin Mas Esa,” kataku lalu menyerahkan ponsel. “Bunda jangan kabari Mama lho, biar fokus ke Mbak Re, soalnya kakinya Mbak Re malah makin bengkak.”
“HPL-nya juga lewat ya itu Lyre?” tanya Ayah.
“Iya, beda kayak Ravel dulu.” Aku sebenarnya juga was-was sama keadaan Mbak Re, hamil tua malah ada aja kejadiannya.
“Ibu Tsabitah Ruslantama,” panggil suster dan aku segera memasuki ruang periksa, screening awal dengan beberapa pertanyaan.
“Telatnya sudah seminggu, ya?”
“Delapan hari per hari ini.”
“Oke, terakhir melakukan hubungan suami-istri?”
Aku melirik ayah dan bunda yang sama-sama langsung beralih fokus. Ck! Ini canggung banget. Penjelasan Mas Esa soal PRIVASI juga langsung berputar ulang dalam kepalaku.
“Ng, aku udah cukup dewasa untuk periksa sendiri. Jadi, Ayah sama Bunda tunggu di luar aja,” pintaku.
Ayah langsung sigap berdiri. “Oh, ok—”
“Nanti kalau kamu enggak paham, gimana?” tanya Bunda dan menggeleng. “Udah jawab aja pertanyaan bu dokter.”
“Aku paham, udah Bunda tunggu diluar aja,” pintaku serius.
“Ini nanti—”
“Bunda, ayo tunggu di luar aja,” ajak Ayah yang langsung merangkul Bunda untuk beranjak.
Aku mengacungkan jempol pada ayah sebelum beliau menutup pintu. Bapak Theo Ruslantama is the best father ever!
Dokter sempat tertawa melihat kelakuanku namun terlihat maklum dan kami menyelesaikan tanya jawab dengan baik. Aku kembali tes kehamilan pakai testpack dan karena masih garis satu, tambah ambil sampel darah.
Aku masih cukup antusias sama rangkaian pemeriksaan, excited juga menanti hasil tes darah sampai akhirnya merasakan kedutan familiar di perutku dan saat memeriksa ke kamar mandi, darah haid yang merah pekat terlihat di celana dalamku.
Yahhh … I really wanna cry.
***
Mas Sayang ♡
Bee,
Gimana periksanya?
Mas Sayang ♡
Bee, Lyre mau melahirkan
Gimana tadi periksanya?
Mas Sayang ♡
Bee, Mas nemenin ke RS
Kamu udah bobok, ya? Kalau bangun balas chatnya Mas, ya? I love you.
Aku sengaja enggak balas chat itu. Soalnya selesai periksa langsung kabari Dede kalau mau ke Jakarta. I need my husband, directly talk and hug him tight. Beruntung, Ayah sama Bunda paham dengan kemauanku dan langsung antar ke Bandara.
“Loh, emang udah bisa nyetir?” tanyaku saat dijemput Dede dan Waffa ada di balik kemudi.
“Aman, Mama Yaya bikinin sup tulang yang enak banget,” kata Waffa lalu memeriksa ponsel. “Ini kalau cepetan, bisa bareng sampai ke RS.”
“Ayo, Bit!” ajak Dede.
Aku segera masuk mobil dan pasang seatbelt. “Let’s go!”
Kami sampai rumah sakit dalam empat puluh lima menit, Mas Esa langsung berdiri, kaget banget dia aku datang.
“Hehe sebenarnya mau kejutan besok pagi tapi ya udahlah …” Aku beralasan kikuk dan langsung dipeluk.
Aku rasa tanpa ngomong, Mas Esa sadar sama hasil pemeriksaanku dan karena enggak mau merusak momen kelahiran ini, aku memutuskan bersikap tenang, ikut menanti sampai adiknya Ravel diumumkan lahir dengan sehat dan selamat.
Ya ampun, momen waktu diizinkan jenguk, lihat Mbak Re senyum lebar nunjukin bayinya … it’s so priceless. Aku lihat semua orang gembira, terharu, dan bergantian ngucapin selamat.
Sebelum giliran kami untuk mendekat, Mas Esa merangkulku, mencium pelipisku dan berujar lembut, “Terima kasih ya, kejutannya … Mas senang banget punya momen ini sama kamu.”
Ya ampun suamiku. Aku hampir nangis, apalagi waktu Mas Kaka ngasihin Rasya dan Mas Esa justru mengarahkan tanganku buat menekuk, menerima bobot bayi itu. Baru beberapa jam lalu aku kayak sedih banget karena enggak jadi punya bayi, tapi di momen ini rasanya justru bahagia banget.
“Ya ampun, ini Ravel banget, Ndra …” ujar Mas Esa lalu tertawa memberi tahuku. “Bee, serius, dulu Mas gendong Ravel pertama kali juga begini dia.”
Aku ikut tertawa, karena emang mirip. “Copy-paste tahap dua.”
“Dapat hikmahnya doang,” sahut Mbak Re sambil meringis dibantu Mama untuk mengatur posisi sandaran punggung.
“Dapat aku, Re, selamanya,” ujar Mas Kaka yang gantian dengan Papa untuk menidurkan Ravel lagi.
“Idih,” kata Mbak Re dan semua orang tertawa.
Aku memperhatikan bayi di lekukan lenganku lalu mendongak pada Mas Esa yang ternyata memandangiku. “Lucu ya, Mas.”
“Iya, dan kamu cantik …”
Astaga! Pipiku hampir bersemu, jantungku makin kebat-kebit dan untuk mengatasinya mencoba berkelakar, “Kalau kita punya anak cewek, bikinnya secantik aku, ya?”
“Oke,” jawab Mas Esa lalu mengecup pelipisku lagi. With that gentle kiss, I feel healed and definitely, so loved.
***
Lukesh POV
“Namanya Auriga Selene Hayashi.” Waffa langsung memberi tahu saat Ravel tampak bersemangat menyambut seorang teman yang berkunjung.
Aku memperhatikan gadis ceria yang antusias menyerahkan sebuah kado. “Wah, Mas Ravel dapat sun pipi.”
“Bisa stress aku,” ujar Kagendra sambil memalingkan wajah.
“Oil and gas termasuk jaminan meyakinkan,” kata Waffa sambil menepuk bahu Kagendra.
Aku sadar itu maksudnya latar belakang gadis kecil yang kemudian beralih menyalami Lyre dan mengucapkan selamat dengan begitu manis. Teman-teman Ravel yang turut datang ini … jika bukan orang tuanya yang punya hubungan bisnis dengan Kagendra atau Tante Kinar, maka pasti kakek atau kerabatnya punya koneksi dengan Om Arestio. Itu sebabnya, circle tamunya itu-itu saja sejak dulu.
“Oh, itu teman kalian kapan menikahnya, kok udah bawa bayi perempuan?” tanyaku, mengenali pasangan yang baru datang bersama seorang bayi perempuan di gendongan si lelaki.
“Si goblok itu emang suka copy paste kelakuan Kagendra,” kata Waffa lalu mengangkat tangan. “Shakti!”
Aku menahan tawa, tapi harus diakui cocok juga teman Kagendra dan Waffa ini dengan bayi perempuan yang pulas di lengannya.
“Katanya enggak terima pemberian, apaan, di depan tumpukan kado semua,” kata Shakti saat mendekat. “Untung Ayy maksa bawa kado juga.”
“Kata Dede rejekinya Rasya, enggak boleh ditolak,” kata Kagendra lantas bergidig. “Shak, dia tuh kenapa enggak gede-gede sih? Bikin ngeri aja.”
“Namanya Sara dan anak gue enggak ngeri, orang cantik begini,” protes Shakti lalu menatapku. “Halo, Mas …”
“Hei, pulas ya, Saranya?” tanyaku.
“Iya, rewel banget tadi dipakein baju ini, hahaha kayak buntelan pita anak gue.”
Waffa berdecak-decak. “Ini gara-gara Sara juga, Desire jadi maunya punya anak cewek.”
“Jangan gila, ya?” omel Kagendra dan mengendik pada Shakti. “Dia emang udah enggak ketolong, tapi lo masih jalan otaknya, jangan nekat bikin anak cewek.”
Aku seketika tertawa. “Anak cewek atau cowok itu rejeki, Ndra.”
“Tau tuh,” sebut Shakti lalu tersenyum pada anaknya. “Gue bukannya enggak khawatir, tapi justru karena brengsek ya, jadi bisa ngajarin Sara nanti gimana caranya ngadepin cowok enggak bener.”
“Gimana emang?” tanya Waffa.
“Begitu cukup umur, gue mau daftarin dia karate junior, make sure dia menguasai bela diri dan of course, tetap mengawal dia kemana-mana sampai usia legal 35th.”
Mataku agak menyipit. “Usia legal 35th?”
Shakti mengangguk. “Itu usia legal anak gue bisa bebas dating, kita udah bikin perjanjian pakai cap tangan.”
“Wah, gue harus gitu juga sama Ravel dan Rasya,” ungkap Kagendra.
Waffa menghela napas, sebagaimana aku.
“Kalian jadi bapak yang menginspirasi dikit dong, jangan justru kebanyakan enggak jelasnya,” gerutu Waffa.
“Usia legal di Indonesia juga 18 tahun,” kataku.
“18 itu masih balita,” sebut Shakti serius.
“Bener!” kata Kagendra tampak mendukung.
Waffa geleng kepala lalu menatapku lekat. “Paham ‘kan sekarang kenapa aku kelihatan paling waras, soalnya babi satu dan tiga ini beneran enggak ketolong.”
Kalimat itu membuatku langsung tertawa, memutuskan beralih untuk mengecek Tsabitah yang sibuk bersama Mama. Sore nanti, kami akan pulang ke Yogyakarta.
***
“Back to daily routine,” ujar Tsabitah lalu mendusel ke dadaku. Kemarin sore penerbangan delay cukup lama, begitu tiba di rumah nyaris tengah malam dan langsung pulas tidur. “Good morning, suamiku yang ganteng.”
Aku menunduk ke kepalanya yang wangi. “Pagi juga istriku sayang … masih nyeri enggak perutnya?”
“Enggak dong. Habis kita jalan pagi ajak Papa sarapan Bubur Hayam aja yuk.”
“Boleh.”
“Seneng deh, bangun tidur enggak rebutan peluk sama Ravel lagi.”
Aku tertawa karena selama menginap di rumah Kagendra, beberapa kali tidur bertiga dan Tsabitah selalu rebutan dengan Ravel soal aku. “Seneng tapi nanti-nanti pasti kangen juga.”
“Yaa habis gemesin, kayak anak gede, padahal masih kecil.”
Aku hampir tertawa lagi karena Tsabitah juga kadang begitu, suka merasa dewasa padahal masih polos dan lugu. “Ayah sama Bunda katanya weekend nanti nemenin Oma ke Bali, mau ikut enggak?”
“Enggak deh, kasihan Papa, Mama tinggal Jakarta kalau kita tinggal juga gimana … sama aku kangen Lubi.”
Aku mengangguk. “Ya udah, weekend berikutnya aja, ya? Kalau Mama udah balik, gantian kita ke Bali.”
“Oke.” Tsabitah menguap kecil lalu menjauhkan kepala untuk memandangku. “Mas Esa kangen Ageng, ya?”
“Kemarin malam mimpi Thomas dan sebentar lagi juga … genap sembilan tahun.”
Aku bisa melihat ekspresi wajah Tsabitah yang kemudian termenung, meski sedetik setelahnya mengulas senyum.
“Butuh sembilan tahun sampai akhirnya lengkap ya, keluarga kita bersama-sama lagi.” Tsabitah mengangkat tangan kanannya dan mengusap pipiku. “Butuh sembilan tahun juga sampai akhirnya Mas Esa beneran jadi milikku.”
Aku langsung ingat tulisan tangan Thomas di belakang foto kami berdua dulu. “I really belong to you.”
“And Mamas gonna be the happiest person,” ujar Tsabitah dan tersenyum.
Sejak senyum ini menjadi pemandangan yang familiar dalam keseharianku, tentang bagaimana aku menghadapi kenangan akan kepergian Thomas juga perlahan berubah. Aku tidak lagi diam-diam menyalahkan diri, mempertanyakan atau meragukan masa lalu. Aku merasa berdamai, terutama setelah memberanikan diri untuk lebih terbuka juga di setiap kesempatan yang kupunya dalam mengenangnya.
Setelah kasus viral itu mereda, teman-teman yang dulunya sempat aku jauhi mencoba menghubungi dan aku mulai menanggapi, menerima perhatian juga kepedulian mereka. Ternyata, selama ini, setiap kali kasus itu mengemuka, mereka berusaha memberi keterangan dan penjelasan juga. Termasuk Tsabitah, yang punya beberapa akun untuk membela dan berusaha membersihkan namaku.
“Kok bengong?” tanya Tsabitah dan elusannya di pipiku makin lembut. “Masih ngantuk, ya?”
Aku menggeleng. “Lagi berpikir betapa ini juga kebahagiaan yang enggak terkira bagi Mas … bisa pulang ke rumah, kumpul sama keluarga, ketemu kamu, menemukan Ageng, pernikahan kita dan menyatukan lebih banyak keluarga. Udah gitu masih diperkenankan untuk memulihkan nama baik dan mengembalikan reputasi keluarga ini.”
Aku merasakan air mataku jatuh dan Tsabitah mengusapnya lembut. “Mas Esa layak atas semua itu, setelah tahun-tahun penuh kesabaran juga.”
“I'm just trying to fulfill our promise, to stay alive.”
“You did that in a very good way.” Tsabitah mendekatkan wajah dan mencium sudut bibirku. “Sebagaimana aku, berusaha juga tetap meneruskan hidup hingga kita bertemu lagi.”
“It’s not an easy path, thank you, Tsabitah … you wait for me and keep choosing me.” Aku sungguh mengungkapkan itu, hingga air mataku semakin banyak yang berjatuhan.
“Ya ampun, padahal aku yang mens tapi Mas Esa yang mellow,” kata Tsabitah dan bergegas menciumi wajahku. “Mas Sayang, cintaku dan belahan jiwaku … I love you for who you truly are. Aku yakin Mamas nulis pesan di balik foto kita selain karena tahu gimana perasaanku, juga karena Mamas know you so well.”
Aku mengangguk, berusaha menghentikan tangisku. “He definitely knows us so well,” ralatku ketika kami saling berpandangan lagi.
Tsabitah terkekeh. “Yes, he is.”
“I love you …” kataku saat gantian mendekatkan kepala dan mencium kening Tsabitah.
Istriku menanggapi dengan senyum lebar, berujar lembut serta meyakinkan, “I love you more.”
Usai subuh yang damai dan tenang, aku berjalan pagi bersama Tsabitah di sisiku. Kami melangkah ke tanah kosong yang sudah dibersihkan dari illang dan siap dibangun ulang.
“Aku rasa kita harus patenkan desain kamar anaknya,” ujar Tsabitah, membuatku menoleh. Dia tersenyum lebar, menunjukkan dua jarinya, “Dua kamar anak.”
Aku tertawa lalu mengangguk. “I will try my best.”
“And do it harder,” imbuh Tsabitah sambil mengedipkan mata dan karena aku melongo, dia langsung memeluk untuk menyembunyikan semburat merah di pipinya.
Hahaha, so silly, Little Bi.
***
10 Tahun kemudian …
“Acara peresmian gedung baru untuk unit khusus Rehabilitasi Fisik, RS Medika Karya Pradipandya pada pagi hari ini bukan hanya dihadiri oleh Kagendra Pradipandya selaku Direktur Utama KAP-Group beserta istri dan ketiga anaknya. Namun, juga dihadiri oleh wakil direkturnya, Al Waffa Zaferino bersama Desire Arshiya dan anak kembar mereka, Destiny dan Daoud Zaferino.”
“Tampak hadir juga dengan pengawalan khusus, Ibu Kinar Ariestina Pradipandya bersama Bapak Arestio Pradipandya dan Mrs. Ghalisa Sherlynn-Pradipandya sebagai arsitek gedung baru ini. Lalu, tokoh utama yang berpengaruh terhadap kemajuan program rehabilitasi medis sehingga Medika Karya Pradipandya menjadi rumah sakit rujukan terbaik se-Asia Tenggara, telah hadir dr. Lukesh Kanantya bersama istri dan kedua anak mereka.”
“Sangat manis sekali pemirsa dan perlu diketahui bahwa putra pertama beliau yang berusia sembilan tahun, Tsar Lorien Kanantya merupakan wakil Indonesia untuk Science Olympiad di Beijing. Sementara adiknya Tsuraya Lanakila Kanantya yang masih berusia empat tahun adalah icon produk perawatan bayi bersama sepupunya Khareema Arsanadewi Pradipandya yang sangat fotogenik.”
“Acara akan dimulai dalam lima belas menit dan sebelum beralih pada rekan saya untuk liputan inti di dalam. Saya, Asha Fabian, undur diri. Terima kasih.”
[ the end ]
.
Terima kasih ya teman-teman, pembaca sekalian yang bersama-sama aku mengawal cerita ini ... sejak Januari hingga ke Juli, dari prolog ke epilog dan sekarang resmi selesai.
Alhamdulillah 🩷
.
Seperti biasa, boleh ya
minta review ala-ala kalian terkait cerita ini dan izin sekalian untuk publish beberapa sebagai konten postingan di IG, hehehe.
.
Untuk cerita baru, sabar dulu ya.
Aku mau merampungkan cerita para babi yang masih 'nanggung' dan belum ketemu penyelesaian. Doakan ya, supaya sama-sama bisa kelar, Aamiin.
.
Their fullname:
Tsar Lorien Sanggadarma Kanantya
Tsuraya Lanakila Sanggadya Kanantya
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top