[ 46. ]


[ 46. ]

The Shinjuku Terrace
Urban Living of Tokyo
Unit number: 07- 1
Owned by Mr. & Mrs. Kanantya

Soraya menyipitkan mata dan memastikan keterangan pemilik di bagian kotak surat. "Ini Mr. & Mrs. Kanantya, maksudnya yang Mrs. itu Lyre?"

Esa yang sedang membantu Tsabitah mengeluarkan beberapa kantong belanjaan dari taksi seketika mengangguk. "Iya, yang beli 'kan Lyre. Setelah aku bisa bayarin unitnya, dia belum ada waktu buat urus surat-surat perubahan kepemilikan, cuma gedungnya aja yang udah proses."

"Gedung?" tanya Tsabitah sambil menurunkan masker ke dagunya.

Esa mengendik ke sekitar. "Gedung apartemen ini beralih kepemilikan ke Pradipandya Group, katanya hadiah buat Lyre."

"Oh ya?" tanya Soraya, tidak menyangka.

Tsabitah mengerjapkan mata, sejenak melongok ke luar lagi untuk memastikan. "Eleven floor ... setiap lantai ada 4 unit apartemen, empat di bawah khusus unit sewa berarti enam belas. Wah, kalau per bulan kena delapan puluh ribu yen."

"Di sini sewanya per tahun, harga di rupiahnya sekitar seratus lima puluhan juta tambah biaya utilities dibayar per bulan." Esa memberi tahu sambil mengarahkan ke area lift.

"Eh, umum juga ya, kayak apartemen di Jakarta segitu juga harga sewa per tahun," ujar Soraya.

"Tapi kesannya sepi banget, ya?" tanya Tsabitah yang memperhatikan sekitar.

"Rata-rata penghuninya pekerja kantoran, jam kerja begini memang sepi, yang pasangan suami-istri cuma beberapa. Tetangga unitku salah satu keluarga pengurus, kalau jam segini juga masih sibuk di bagian operasional."

Lift tiba dan mereka memasukinya bersama, menuju lantai tujuh dan hanya perlu berjalan sebentar untuk tiba di unit yang Esa tinggali.

Ini hari ke sepuluh mereka di Tokyo, baru sempat mengunjungi apartemen karena sebelumnya Esa langsung sibuk menjalani rangkaian pemeriksaan di rumah sakit. Setelah itu pergi ke laboratorium untuk pengecekan prostetik. Kondisi Tsabitah juga sempat mengalami penurunan akibat perubahan cuaca, sehingga mereka perlu berhati-hati memilih waktu berpergian.

Selama di Tokyo, mereka tinggal di vila full-furnished milik Desire dan Waffa, berjarak kurang lebih empat puluh lima menit dari apartemen Esa ini.

"Eh! Itu, syukurlah tanamannya enggak mati," ucap Tsabitah begitu melihat beberapa pot tanaman hidup di dekat pintu.

"Sebelah unitku, yang keluarga pengurus memang cukup perhatian," kata Esa lalu menekan kode pintu, membukanya dan merogoh ke tas belanja berisi sandal selop ruangan.

"Enggak terlalu debuan," kata Soraya, berganti sandal sembari memperhatikan ruang depan. Hunian khas pria lajang yang tinggal sendirian, minimalis dan nyaris tidak berwarna.

"Ini kayak asrama, bukan apartemen," ujar Tsabitah saking terbatasnya perabotan, bahkan sofa duduknya model two seater tanpa karpet. Tidak ada lukisan atau hiasan apa pun.

Namun, Esa memajang beberapa bingkai kayu, yang paling depan berisi foto keluarga Kanantya, di sampingnya foto Esa bersama Ravel dan di belakangnya foto Esa bersama Thomas.

Soraya melangkah masuk, berdiri di area itu, mengelus kaca bingkai yang jernih.

"Tetap ada debunya, Ma, awas batuk," kata Esa lalu ganti menghalangi Tsabitah. "Bee, tunggu di sana aja, Mas bersih-bersih sebentar."

"Bareng ajalah, aku bantuin."

Soraya tersenyum dan mengangguk setuju. "Iya, kamu kayak sama siapa aja, kita di sini memang untuk bantuin beberes."

"Bee, pakai maskernya lagi," pinta Esa karena tunangannya lebih memilih untuk langsung menyingsingkan lengan baju.

"Kalau pakai masker, nanti cantikku ketutupan dong," canda Tsabitah lalu mengedipkan mata sampai Soraya kembali tertawa.

Esa geleng kepala. "Serius, Bee, pakai maskernya yang benar."

"Iya, iya." Tsabitah menurut dan memasang lagi masker medis hingga menutupi sebagian wajahnya. Ia demam sekitar tiga hari dan baru sembuh kemarin sore.

"Mama cek dapur dulu," kata Soraya yang beralih ke ruangan sebelah. Esa juga berlalu memeriksa kamar mandi tamu dan sistem kelistrikan berfungsi dengan baik.

Tsabitah yang penasaran membuka pintu kamar pertama, terpana pada lemari kaca tempat beragam model lengan prostetik. Ada meja khusus tempat peralatan mekanik bersusun rapi, di sampingnya ada perangkat komputer canggih, dua unit laptop, dan rak tinggi berisi beragam buku tentang teknologi robotik, anatomi, hingga industri medis.

Tsabitah tersenyum mendapati pulpen hadiahnya dulu ada di meja, bersama kertas-kertas dengan banyak tulisan tangan, latin kapital yang beberapa diantaranya menuliskan namanya. Pada pinggiran komputer Esa juga terdapat foto mereka berdua, bahkan ada foto Soraya yang dulu memangku Lyre sambil menimang Tsabitah.

"Ya ampun, gemesnya," kata Tsabitah, sesungguhnya tidak menyangka foto-foto ini yang akan Esa pajang dan mungkin dilihat lelaki itu setiap kali bekerja.

"Bee, astaga, kenapa ke sini," panggil Esa dari pintu yang terbuka.

Tsabitah menunjuk lemari kaca. "Ini tuh hebat banget lho."

Esa melangkah masuk dan berdiri di samping tunangannya. "Dulu bikin ini sekadar dokumentasi perkembangan lengan prostetik yang dipakai dan diuji coba ... setelah dilihat ulang, ternyata, sudah sejauh ini perkembangannya."

"You worked really hard," ungkap Tsabitah lalu mengangkat tangan prostetik Esa. "Yeyy! Mas Esa hebat ..."

Esa tersenyum, baru sadar hasil kerja kerasnya memang menghasilkan sesuatu yang luar biasa. Ia baru akan ikut bersorak saat tersadar mejanya dulu ditinggalkan begitu saja.

"Astaga!" Esa menyebut pelan, melepaskan tangannya dan beralih membereskan kertas-kertas di meja.

"Aku udah lihat dong," ucap Tsabitah lalu tertawa. "Emang kenapa deh, tulis-tulis namaku, nama Mama, nama Mamas juga?"

Esa terdiam sejenak, memandangi sebagian kertas yang dibereskannya dan tersenyum kecil saat mengendik ke foto-foto yang ditempelnya pada pinggiran komputer. "Mas masih latihan menulis pakai tangan kiri dan terkadang, rasanya emang sekangen itu sama rumah."

Tsabitah tahu itu bukan hal yang mudah diakui oleh tunangannya. Ia ganti mendekat dan menempelkan pipi ke lengan Esa. "Aku dulu kalau kangen banget bisanya cuma berdoa aja, dan syukurlah, doaku terkabul juga karena sekarang kita sama-sama lagi."

Esa mengangguk, meraih pulpen yang dulu dihadiahkan Tsabitah untuknya. "Thank you ..."

"Ya?" tanya Tsabitah.

"Dulu Mas enggak sempat bilang terima kasih secara langsung untuk ini."

Tsabitah meringis. "Tutupnya enggak hilang, baguslah."

Esa menggeleng. "Enggak akan hilang."

"Uhm ... karena sebelumnya aku nemu dokumentasi pacaran masa lalu di bukunya Mas Esa, kalau aku beresin ruangan ini ... bakal ada temuan serupa enggak?" tanya Tsabitah sambil menegakkan tubuh dan berlagak mendekati rak buku.

Esa tertawa, menunjuk ke keranjang sampah di belakang pintu. "Kalau ada temuan serupa, buangnya di sebelah sana ya."

"Beneran dibuang?" canda Tsabitah.

"Kamu mau gantian simpan?" balas Esa, melayani candaan itu.

"Enak aja! Aku gantilah pakai foto-foto kita ..." Tsabitah kemudian bersedekap. "Setiap satu temuan, berarti satu jam jatah manja, ya?"

Esa tertawa dan mengangguk. "Sure."

***

"Keterlaluan banget, Ma! Ada delapan lho, delapan foto nih!" Tsabitah sengaja mengumpulkan temuannya dan menunjukkan pada Soraya.

"Diamuk aja, Mas Esa tuh! Atau cuekin aja sampai lusa, kita ke Disneyland berdua aja," kata Soraya, tampak penuh dukungan dan siap membela sang calon menantu.

Esa geleng-geleng kepala. "Beneran enggak ingat masih ada di selipan buku, atau kotak penyimpanan juga."

"Cemas banget nih aku, takut curi-curi kesempatan main mata juga," isak Tsabitah agak dramatis.

"Bee, enggaklah," ucap Esa dengan yakin tidak akan pernah melakukan itu, bahkan terbesit dalam pikirannya pun tidak.

"Mama nanti kalau aku sama Mas Esa berantem, siapa yang dibela?" tanya Tsabitah iseng.

"Coba tanya Mas Esa, siapa yang harus Mama bela ..." ucap Soraya sambil tersenyum.

"Ya, Bita lah," jawab Esa tanpa ragu.

"Loh?" tanya Tsabitah sambil memastikan. "Oh, karena aku sakit-sakitan ya?"

"Bukan, ya bagusnya memang begitu." Esa kemudian mengusap kepala Tsabitah sekilas. "Istri itu jangan sampai merasa sendirian di keluarga suaminya, jadi kalau semisal Mas ada kurang atau justru bersalah, Bita emang boleh minta dibelain Mama seperti sekarang ini."

"Benar sekali," ungkap Soraya lantas merangkul Tsabitah, memeluknya dengan sayang. "Mama bukan cuma Mamanya Mas Esa, tapi Mamanya Bita juga ... jadi enggak akan tutup mata kalau Mas Esa lagi nyebelin dan butuh ditegur begini."

"Aaa ... sayang Mama," ungkap Tsabitah lalu mendusel dengan manja.

Soraya menatap putra sulungnya dan menegaskan. "Jangan ada begini-begini lagi ya, Esa ... enggak baik masih disimpan-simpan juga."

"Iya, Ma, enggak ada lagi," kata Esa lalu membawa foto-foto temuan Tsabitah dan membuangnya ke tempat sampah.

Wajah tersenyum Wyna di salah satu foto sempat membuat Esa tersadar,  perempuan yang sempat bertunangan dengannya itu terasa berbeda dengan sosok Wyna yang sekarang. Ada hal yang amat berbeda, hingga nyaris sulit untuk dikenali.

"Tuhkan Maa ... udah dibuang juga tetap dipandangin teruuuuss," protes Tsabitah yang kembali mengadu.

"Enggak, Bee, ya ampun!" kata Esa, berusaha tidak tertawa saat melepas tuas penahan hingga tempat sampahnya kembali menutup.

Soraya geleng kepala. "Bener-bener ya, enggak makan masakan Mama kamu malam ini."

"Yah! Yahh ... Mama 'kan mau bikin Tomyam hotpot."

"Mama mau makan berdua aja sama Bita!" Soraya mengelus-elus bahu Tsabitah. "Ya, Sayang ... ya, kita makan berdua aja. Cuekin Mas Esa."

"Iya! Aku marah banget, mau ngambek!" ungkap Tsabitah, berusaha menunjukkan sikap tegas.

Esa menyipitkan mata. "Padahal delapan foto itu delapan jam jatah manja."

"Ih, itu beda cerita, ya! Aku ngambek dulu, ayo Mama kita mulai masaknya berdua aja," ajak Tsabitah dan beranjak bersama Soraya ke dapur.

Esa memperhatikan itu dan tertawa geli, senang menyadari bahwa Tsabitahnya masih tetap menggemaskan seperti sekarang ini.

***

Pada tengah malam yang hening, Esa begitu saja terbangun dan mendapati sang ibu keluar dari kamarnya, membawakan bantal.

"Ma?" tanya Esa, dirinya memang tidur di ruang depan dengan futon sementara kamarnya ditempati sang Mama bersama Tsabitah.

"Bantalnya lebih empuk yang ini," kata Soraya lalu bersimpuh, mengganti bantal di bawah kepala sang anak.

Esa menyengir. "Mama udah enggak ikutan ngambek lagi?"

"Bita udah bilang rugi, karena ngambek segala ... hahaha," kekeh Soraya lantas menghela napas panjang. "Perempuan itu ya, sepengertian apa pun, kalau sudah urusannya sama mantan atau masa lalu tetap sinyalnya langsung extra siaga."

"Aku beneran enggak ingat masih ada selip-selipan gitu, Ma ... tahu sendiri yang aku packing dari rumah dulu kebanyakan memang buku-buku motivasi hidup dari Wyna juga."

"Iya, tapi ..." Soraya agak menggantung kalimatnya, menjadi lebih serius menatap sang anak. "Jujur sama Mama, sebenarnya Esa sudah ikhlas dan sepenuhnya move on atau belum?"

"Ma, astaga, aku ikhlas dan move on sejak sebelum ketemu Bita." Esa sampai bangun dari posisi berbaringnya untuk meyakinkan sang ibu. "Saat akhirnya diberi tahu terkait keinginan Eyang Taher juga, kondisiku sepenuhnya udah enggak pernah memikirkan Wyna lagi ... aku memulai semuanya dengan pikiran dan perasaan yang fokus hanya ke Bita aja."

"Benar, ya? Bita itu enggak cuma berharga buat Ayah-Bundanya tapi buat Papa dan Mama juga ... selama Esa dan Lyre pergi lama, Bita yang selalu ada."

"Iya, Ma, aku enggak main-main atau sembarangan di hubungan yang sekarang." Esa meraih tangan sang ibu dan berujar serius. "Aku sayang banget sama Bita, Ma ... beneran sayang yang kayaknya enggak pernah aku rasakan ke perempuan lain."

"Doa Mama selalu sama dari dulu, cuma pengin anak-anak Mama sepenuhnya bahagia ... karena itu Esa yang selalu hati-hati, pastikan selalu menjaga diri, banyak istighfar kalau pikirannya kayak mau belok."

Esa menggeleng. "Enggak, Mama, enggak belok, lurus ke Bita doang, ya."

"Mama bakal sedih sekali, mungkin lebih sedih dari Bundanya Bita kalau sampai anak Mama sendiri yang bikin dia menangis atau kesusahan."

Esa sadar itu dan segera memeluk sang ibu. "Enggak, Ma ... aku janji, akan jadi lelaki yang baik, suami yang bisa diandalkan dan selalu bertanggung jawab terhadap Bita."

Soraya mengangguk, perlahan mengelus punggung sang anak. "Kelak kita kembali ke apartemen ini, udah enggak sesepi sekarang ya ... Esa juga enggak akan tinggal sendirian lagi."

"Iya, Ma ... aku juga enggak akan kesepian lagi," ungkap Esa, mengeratkan pelukannya dan dalam hati berulang kali mengucapkan syukur. Ia jelas diberkati banyak atas kepulangannya dan pertemuannya kembali dengan Tsabitah.

***

"Kami dari KaZuo Photograph yang ditunjuk oleh Ibu Desire Hadisoewirjo untuk jadwal foto pre-wedding hari ini."

Perkenalan itulah yang mengawali kesibukan pada minggu ketiga mereka di Tokyo. Esa dan Tsabitah memang merencanakan kegiatan foto pre-wedding, mereka bertanya pada Desire terkait beberapa lokasi dan tidak menyangka akan ditanggapi dengan jenis bantuan yang seperti ini.

Desire tidak hanya menyiapkan tim fotografer, namun juga akomodasi dan perlengkapan lain, termasuk beberapa jenis set yukata-kimono dan make-up artist untuk membantu Tsabitah berdandan.

Esa paham cara mengenakan hakama sehingga tidak butuh bantuan, hanya membiarkan rambutnya sedikit dirapikan sembari menunggu Tsabitah.

"Bita-san wa kirei desu."

Pujian itu yang membuat Esa menoleh dan terpana mendapati Tsabitah berjalan mendekat, mengenakan yukata bercorak bunga sakura yang serasi dengan hakata berwarna raven miliknya.

Soraya menahan senyum karena menyadari anak sulungnya tengah terpesona. Tsabitah memang sangat cantik, bukan sekadar karena dandanan, namun pilihan pakaian sekaligus aksesorisnya juga sesuai. Gadis itu terlihat anggun tanpa menghilangkan sisi ceria yang menyegarkan.

"Wah, ini dia Esasuke-ku," ungkap Tsabitah begitu memperhatikan penampilan pasangan berfotonya nanti.

"Esasuke?" ulang Esa sambil menahan tawa.

"Iya dong, aku pilih pink kombinasi red cherry ala Haruno Sakura, pasangannya Uchiha Sasuke," kata Tsabitah lalu berputar untuk memamerkan keseluruhan penampilannya. "Cantik, kan?"

Esa mengangguk, mengakuinya tanpa ragu, "Cantik banget sampai Mas silau nih, aduh ... Mama tolong tutupi calon istriku sebentar."

Soraya tertawa, sengaja menghalangi langkah dan menutup area pandang untuk menanggapi anaknya. "Udah aman belum nih?"

"Tunggu, Ma, lima detik lagi."

Tsabitah ganti tertawa saat kali berikutnya menatap Esa dan lelaki itu sudah mengenakan kacamata hitam.

"Nah, udah aman nih," ungkap Esa.

"Bisa-bisanya siapin kacamata hitam," kekeh Tsabitah lalu mengulurkan tangan yang seketika diraih Esa, dibantu menuruni beberapa anak tangga kecil dan digandeng menuju set pemotretan yang sudah disiapkan.

Soraya Baiharni terus tersenyum selama mengawasi proses pemotretan itu, ada kalanya Esa dan Tsabitah agak kaku diarahkan berpose mesra, malu-malu diminta saling tatap atau mendekap. Namun, sekian sesi berlalu mereka semakin leluasa mengikuti arahan, tidak jarang kru pembantu fotografer juga menangkap foto-foto candid natural yang manis.

Soraya ikut mengambil satu foto candid jelang berakhirnya sesi pemotretan dan dengan perasaan gembira mengunggahnya ke media sosial.


***

+62 89 708XXXXX
I AM NOT YOUR ENEMY
JUST LISTEN TO ME!!!
YOU DESERVE BETTER
THAN A LITTLE LIAR!!!

"Astaga!" keluh Esa karena setelah sekian minggu tidak ada teror, kali ini muncul kembali. Ia sungguh tidak habis pikir dan segera melakukan blokir.

Esa kemudian fokus memeriksa daftar belanjaan karena masih harus tinggal selama beberapa hari lagi. Ia diminta menunggu berkas-berkas untuk prostetik barunya, ditambah satu kali lagi pemeriksaan final untuk memastikan kondisinya prima.

"Esa ... Esa ..." panggilan itu membuat Esa urung beranjak dari ruang depan.

"Kenapa, Ma?" tanya Esa.

"Ini ... Lyre opname di rumah sakit, terus Kagendra kabari Papa juga. Astaga!" ujar Soraya lalu menunjukkan informasi yang dikirimkan ke ponselnya.

Esa memeriksa dan menjelaskan maksud istilah medis yang disertakan. "Kemungkinan anemia, tapi masih akan dipantau selama dua puluh empat jam ... Mama mau pulang sekarang?"

"Mama khawatir sekali," kata Soraya.

Tsabitah keluar dari kamar karena mendengar suara kepanikan itu. "Mama kenapa, Ma?"

"Ini, ada kabar Lyre masuk rumah sakit." Soraya ganti menunjukkan layar ponselnya kepada Tsabitah.

"Ya ampun, Mama mau pulang, Ma?" tanya Tsabitah.

Soraya menatap Esa. "Bagaimana menurut Esa?"

"Iya, enggak apa-apa, paling dua atau tiga hari lagi persiapanku pulang juga beres, Ma ... Mama sama Bita duluan aja."

Tsabitah menggeleng. "Aku sama Mas Esa."

"Bee ..." panggil Esa, namun tunangannya tampak bersikukuh.

"Enggak! Aku enggak mau ambil risiko nanti gimana kalau Mas Esa enggak jadi pulang dan malah ngilang?" tanya Tsabitah seraya langsung memegangi lengan Esa. "Pokoknya Mas Esa pulang sama aku."

Soraya paham akan ketakutan itu, dirinya juga sempat merasakannya. "Ya, sudah ... Esa baik-baik ya, jaga diri dan jaga Bita."

"M ... Ma," panggil Esa dengan agak tidak yakin kala sang ibu langsung berbalik, kembali ke kamar untuk mempersiapkan kepulangan.

Tsabitah mengeratkan pegangan pada lengan calon suaminya. "Mas, kita enggak boleh bikin Mama bimbang ... tiga minggu udah sama-sama kita di sini, sekarang gilirannya Mbak Re yang ganti dapat perhatian."

Esa paham namun situasinya sekarang juga mendadak terasa tidak cukup stabil.

"Mas Esa jangan khawatir, aku paling-paling cuma nagih jatah manjaku yang delapan jam itu ... hehehe," ungkap Tsabitah lantas tersenyum lebar, berbanding terbalik dengan Esa yang berupaya maksimal menghadirkan ketenangan diri.

[]

🩷

KUAT MAS, YAQIN KUAT!!!
wkwkwkwkwkk
mari kita buktikan bersama, ketahanan mas ijo neon hutan lindung inieh, apakah sanggup memadamkan bara api godaan ala cegil centhil yang penasaran 😆

.

sebagai Sasu-saku stand
tentu aku terinspirasi juga dengan mereka ygy ~~

.




thank you, Bestie


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top