[ 45. ]


Eaa nungguin~
hahahaha happy weekend.
terima kasih atas kesabarannya

Aku ngebut bingit, biar update malam ini juga ... semisal ada typo, salah tanda baca apalagi kapital, italic, harap dimaklumi ygy, enggak sempat baca ulang.

.

2.650 kata untuk bab ini
selamat membaca

.

Tibanin 🩷❤️💚 dulu ~

🍯

[ 45. ]

Kagendra Pradipandya House
— Jakarta Selatan

+62 81 212XXXXX
PEREMPUAN ITU PENIPU
MEMBUATMU TERPAKSA
MENJADI MILIKNYA!!!

Esa menghela napas lelah, sudah hampir seminggu ini dirinya merasakan teror tidak beralasan. Total ada dua puluh nomor tidak dikenal yang sudah diblokirnya.

Nomor-nomor asing mulai mengganggu dengan cara menelepon, saat diangkat hanya berujar 'Tsabitah menipumu!' lalu sambungan terputus. Sehari dua kali, di pagi dan malam hari. Esa tidak pernah mau menanggapi, selalu menolak menerima panggilan masuk tidak dikenal dan langsung melakukan blokir. Ia pikir sikapnya akan membuat si oknum itu lelah, namun ternyata justru mulai mengirim sms dan chat dengan jenis pesan yang sama.

"Kenapa, Esh?" tanya Waffa yang menempati sofa panjang bersama Desire.

"Mas Esa kecewa ya, enggak dibolehin Tante Yaya ikut nginep di apartemen Bita," goda Desire yang mengemil potongan melon sambil menumpangkan kedua kaki di pangkuan Waffa.

"Enggak, emang enggak ada rencana nginep sana juga." Esa kemudian duduk di sofa tunggal dekat dengan Waffa dan menunjukkan layar ponselnya. "Dari kemarin tuh kayak ada yang teror aku."

"Teror?" tanya Waffa lantas memperhatikan isi chat. "Perempuan itu penipu membuatmu terpaksa menjadi miliknya, maksudnya Bita?"

Esa menarik ponselnya. "Sebelum chat-chat begini, pakainya telepon, cuma ngomong 'Tsabitah menipumu!' gitu. Sehari dua kali."

"Ih gila! Suara cowok apa cewek, Mas?" tanya Desire langsung sigap menyimak.

"Fake voice," jawab Esa lalu geleng kepala. "Enggak habis pikir, kenapa sampai kayak gini."

"Itu terornya memperingatkan apa gimana, maksudnya?" tanya Waffa dengan agak bingung.

Esa menggeleng dan usai melakukan pemblokiran, menyimpan ponsel ke dalam saku. "Aku kira cuma iseng aja, lagian buat apa Bita menipuku dan dalam hal apa? Enggak ada keterpaksaan juga dalam hubungan kami."

"Mas Esa udah cerita ke Bita?" tanya Desire.

"Enggak! Jangan sampai dia tahu dan kepikiran. Aku yakin ini cuma iseng dan tujuannya buat ganggu ketenanganku."

Desire mengangguk-angguk lantas menebak, "Ulah mantan nih pasti!"

"Jangan asal tuduh dong, Bby," ujar Waffa sambil menyeka sudut bibir Desire yang berkilau karena terkena potongan buah melon.

"Enggak nuduh! Kalau ada orang yang biasanya enggak pengin kita bahagia sama pasangan baru, ya jelas mantan lah." Desire menatap Esa. "Mas Esa ada berapa mantan?"

"Satu, Wyna doang dan diantara kami udah selesai lama, secara baik-baik juga." Esa meyakinkan dengan serius. "Hidup Wyna jauh lebih baik bersama Sharga, dua anaknya pun menggemaskan ... enggak ada gunanya gangguin aku soal Bita."

"Serius mantanmu cuma satu, dia doang?" tanya Waffa dengan agak tidak percaya.

Esa mengangguk. "Iya, dia doang."

"Kok bisa lelaki mantannya satu doang?" Waffa masih bertanya-tanya dan mengaduh karena pipinya dicubit Desire.

"Beda ya sama kamu, sama Kaka juga, sampai enggak bisa dihitung berapa mantannya! Hmmm ..." geram Desire memperkuat cubitanya hingga Waffa sampai harus memiringkan wajah untuk menahan sakit.

"Bby ... ampun, Bby ..."

"Apaan bawa-bawa Kaka," protes Kagendra yang mendekat sembari membawa dua cangkir minuman, menyerahkan yang di tangan kanan pada Esa. "Aku setia cuma Lyre aja ... iya 'kan, Esh?"

Esa menerima cangkir minuman itu dan mengangguk. "Thanks."

"Soalnya kalau bertingkah siap-siap leher lo diinjak sampai gepeng, Ndra," ujar Waffa yang akhirnya terlepas dari cubitan Desire.

Esa meringis. "Serem amat, enggaklah," katanya lalu meralat santai. "Paling kepisah doang, leher sama kepala."

"Heh, itu lebih serem! Amit-amit, Esh!" Kagendra memprotes sambil mengelusi lehernya sendiri. Ia cukup trauma atas kemarahan Esa dulu. "Aku sama Lyre panjang umur, saling setia dan bahagia selalu."

"Aamiin," sahut Desire khidmat.

Kagendra meminum teh kamomil hangatnya lalu bertanya. "Bita beneran enggak jadi nginep nih?"

"Enggak, di apartemen ada Ageng sama Ayara. Seberang unitnya Bita juga ada Noella, mereka masih harus pastikan sisa pekerjaan sebelum ke Jepang," kata Esa dan ikut menikmati minuman di cangkirnya.

"Aku share desain background ulang tahun Ravel yang dilukis Bita sama Ageng ke grup operasional kantor, wah langsung pada heboh, enggak nyangka finishingnya sebagus itu. 3D effectnya juga, keren banget!" Desire berdecak-decak kagum.

Acara pesta ulang tahun Ravel yang kelima memang sangat meriah. Pesta utamanya telah selesai sore tadi dan usai makan malam bersama keluarga besar, yang tersisa memang hanya mereka di rumah ini.

"Di grup chat kelas juga hampersnya dapat pujian, malah ibu-ibu pada bikin list pesan nasi bakarnya, ck! Aku enggak jualan masakan Mama," gerutu Kagendra.

Esa terkekeh. "Dulu awal Mama bikin bisnis puding tuh karena setiap jadwal pemberian makanan tambahan di sekolahku, Mama bikin puding terus pada suka. Makanya ibu-ibu lain juga minta dibikinkan."

"Masakan Tante Yaya enak semuanya, padahal masaknya juga disambil-sambil bikin yang lain, tapi enggak ada gosong atau kurang bumbu," kata Desire lalu mengekeh karena teringat saat membantu packing. "Pas aku charge per hampers kena lima ratus ribu, Tante Yaya tuh kayak syok, katanya nasi bakarnya aja cuma lima puluh ribuan."

"Harusnya budget lima juta, Bby, mumpung Papanya Ravel lagi happy," ujar Waffa lalu tertawa saat Kagendra menyodorkan acungan jari tengah.

"Eh, ini Lyre enggak ikut turun, Ka?" tanya Desire karena usai menidurkan Ravel mereka berencana kumpul-kumpul, mengobrol bersama.

"Ketiduran di kamar Ravel, enggak tega mau bangunin ... biarin aja." Kagendra kemudian menyipitkan mata pada sang adik, seperti baru tersadar posisi duduk Desire yang kelewat rapat, menempel pada Waffa. "Kamu duduknya yang sopan dong, De."

"Ini sopan, kalau enggak sopan aku minta pangku atau modus lotus position."

"Desire!!!" protes Kagendra langsung mendelik pada Waffa.

"Adik lo sendiri yang maunya begini, Babi." Waffa otomatis membela diri, mengangkat tangan untuk menunjukkan kepasrahan karena memang Desire yang menempelinya begini.

"Lotus position?" ulang Esa sambil meletakkan cangkirnya di meja. "Gerakan yoga itu maksudnya?"

"Wah! Wah! Calon manten enggak bisa dibiarkan dalam ketidaktahuan nih!" ujar Waffa membuat Desire langsung tertawa.

"Maksudnya?" tanya Esa bingung.

"Searching aja sendiri, Waffa kalau ngasih tahu suka sesat," ucap Kagendra dan sahabatnya menanggapi dengan tawa riang bernada ejekan.

"Eh, tapi serius nih, dengan kondisinya Bita itu, gampang sesak napas dan rawan serangan jantung ... emangnya memungkinkan untuk kind of couple intimacy?" tanya Desire.

Kagendra geleng kepala. "Dede, kamu nanyanya tuh—"

"No, it's fine." Esa menyela dengan nada santai. "Untuk seseorang dengan keadaan khusus, bukan hanya sakit jantung yaa, sakit asma yang tingkat keparahannya tinggi, atau yang punya OCD, trauma, sampai memang ada masalah seksual ... itu perlu hati-hati."

"OCD yang rapi-rapi dan harus bersih itu?" tanya Desire.

"Ada beberapa jenis sebenarnya tapi ya emang itu yang paling jadi perhatian, obsesif kebersihan. Di beberapa kasus extrem penderita sampai menganggap tubuh orang lain berbahaya bagi dirinya, jadi susah untuk membangun hubungan intimacy gitu."

"Bby, pokoknya berani kotor itu baik ya," ujar Waffa cepat, secepat bantal di samping Kagendra melayang ke arahnya.

Bugh!

"Kaka! You so childish!" kata Desire yang kemudian mengelus-elus pipi kekasihnya.

"Waffa pokoknya mingkem aja," ucap Kagendra dengan penuh peringatan.

"Eh, tapi pastinya tetap ada cara dong, ya? Ibarat seribu jalan menuju Roma," tanya Desire.

Esa tertawa sebentar dan melanjutkan penjelasan. "Inti dari segala aktivitas manusia itu sebenarnya bagaimana kita semakin mengenali badan kita dengan baik dan bagaimana kita terus melakukan improve untuk menjaganya tetap sehat."

"Aku sama Lyre awal mulai pilates, instruktur kami suka bilang listen to your body gitu," ungkap Desire.

Esa mengangguk. "Ya, manusia bisa menguasai gerakan khusus di suatu cabang olahraga karena belajar membiasakan tubuhnya, dari gerak pemanasan, gerakan dasar sampai inti, ditutup pendinginan."

"Jadi, maksudnya soal Bita tuh bakal dibiasain juga?" tanya Desire.

Waffa juga penasaran. "Dibiasain gimana? Nonton porn?"

"Fa! Lo nih emang ... ck!" Kagendra sampai sulit berkata-kata.

"Kaka jangan sok pencitraan ya, kalian berdua nakal barengan waktu itu, nonton Mia Khalifa," kata Desire lalu bersedekap.

"Kagendra sukanya Mia Malkova, Bby," kata Waffa sambil tertawa. "Blonde bitch!"

"Brengsek!" omel Kagendra lalu kembali melemparkan bantal sofa ke arah Waffa.

"Ihh, Kaka, tumpah nih sisa melonnya!" seru Desire sebal dan segera membersihkan sedikit tumpahan buah, setelahnya beranjak ke dapur sambil berjingkat-jingkat.

Esa hanya tertawa melihat perseteruan Waffa dan Kagendra yang tidak kunjung mereda, dua lelaki dewasa itu saling mendelik, mengirimkan 'ancaman' secara tersirat.

"Stop it you two," ujar Esa santai.

"Dede kadang suka ngomongin hal yang enggak perlu," ucap Kagendra, masih berusaha menyelamatkan citra dirinya sebagai pria matang yang bijak.

"Dia cuma berbagi kejujuran," kata Esa lalu berdecak pelan. "Lagipula kalian yang keterlaluan, bisa-bisanya Desire sampai tahu hal begitu."

Waffa menghela napas pendek. "Kita juga enggak tahu gimana dia bisa tahu."

"Ya makanya jangan nakal nontonin begituan!"

Kagendra langsung fokus pada kakak iparnya. "Emangnya kamu enggak nonton?"

"Mustahil!" sebut Waffa tidak percaya.

Esa memandang bergantian pada Waffa dan Kagendra. "To be honest, setelah Papa menjelaskan apa itu mimpi basah padaku dan Thomas ... kami berdua kemudian dikasih lihat jurnal penelitian perubahan perilaku seorang pecandu pornografi dan it's so ... yah, something that we can't take."

"Astaga, anak muda, entah bagaimana engkau bersenang-senang selama ini," ujar Waffa dengan prihatin.

Esa tertawa. "Aku dari dulu selalu punya banyak kesibukan, belajar medis enggak bisa kalau cuma hafalan sehari dua hari."

"Iya juga." Kagendra paham dengan sendirinya bahwa Esa memang berbeda spesies jika dibanding dirinya dan Waffa yang hina.

"Pantes aja ditempelin Bita, dilendotin juga biasa aja," ujar Waffa.

"Terbukti sebagai perjaka karatan," ledek Kagendra.

Esa tidak menunjukkan raut atau sikap tersinggung. "Sebenarnya bukan biasa aja, tetap gelisah dan enggak tenang juga. Naluriku pun paham kalau menginginkan ... tapi tahu batas lalu memutuskan enggak melanggarnya."

Waffa melongo. "Segampang itu, langsung enggak ngefek gitu?"

"Bukan langsung enggak ngefek sama sekali, tapi rasanya lebih mudah menangani situasi ketika tetap memegang prinsip itu."

"Why? Aku rasa Bita bukan tipe yang kolot juga," tanya Kagendra.

"Ya, sebagai lelaki pasti ada prinsip yang bagaimana pun enggak akan dilanggar."

"Consent is a must," sebut Waffa lalu melanjutkan. "Stop whenever Desire say stop."

Esa mengangguk. "Selain sumpah yang kuambil saat lulus sekolah kedokteran dulu, aku juga punya prinsip untuk menjaga diriku dan pasanganku dalam hubungan yang baik."

"Menyiksa diri," kata Kagendra.

"Sesuatu disakralkan karena ada alasan besar di baliknya, jadi aku yakin ... enggak bakal sia-sia karena bersabar," ungkap Esa.

Waffa mengangguk. "Nah, sekarang ini waktu yang tepat untuk belajar menjadi lelaki sejati."

"No, thanks." Esa langsung menolak bahkan bangkit dari duduknya. "Udah hampir tengah malam, jadi—"

"Come on! Manfaatkan kami sebagai senior yang bisa diandalkan untuk memberimu pencerahan," kata Kagendra lalu tersenyum. "Ask us anything."

"No, means no." Esa coba menegaskan dan hendak beranjak, namun Waffa sudah begitu cepat bergerak merangkul lalu membawanya kembali duduk.

"Just listen to me, Lotus position is ..."

"No way!" protes Esa cepat namun gagal meloloskan diri dan terpaksa menerima berbagai informasi baru dari dua 'babi' liar di samping kanan-kirinya ini.

***

Private Executive lounge
— Soetta International Airport.

"Kayaknya emang enggak tergoyahkan, Bit," ujar Desire sambil merendahkan suaranya pada Tsabitah yang menikmati pancake. Mereka berdua sengaja memilih tempat duduk terpisah dengan keluarga yang lain untuk mengobrol. "Semalam Waffa sama Kaka udah maksimal juga ngajarinnya, tapi Mas Esa terlalu lurus, sulit dibelokkan."

Tsabitah menghela napas pendek. "What should I do? Mbak Aya bilang dia juga baru dicium yang proper sama Mamas pasca menikah."

"What? Bisa-bisanya sih." Desire tidak habis pikir sampai geleng kepala. "Tapi kalau cowok udah niat menahan diri, biasanya emang extra sih pertahanannya. Kamu sendiri udah aman kalau misal dipeluk gitu, enggak bunyi jamnya?"

"Ya, kadang bunyi, tapi jamku bunyi tuh bukan berarti ada masalah juga ... it just a sign kalau degub jantungku meningkat." Tsabitah kemudian memberi tahu. "Hasil check-up kemarin juga bagus. Aku siap banget nih kalau mau naik step bermesraannya."

Desire hampir terkikik. "Yang lempeng-lempeng gitu emang greget ya, Bit."

"Banget! Mbak Aya aja katanya pernah ngancem Mamas sampai putus karena pas ulang tahun ke-25 cuma disun pipi sekali."

"Serius? Kamu mau ngancem hal yang sama juga, Bit?"

Tsabitah langsung menggeleng. "Enggaklah, susah payah aku dapetin Mas Esa ... enggak bakal aku ancam-ancam apalagi soal putus, no no no. Rugi banget kalau sampai diiyakan sama Mas Esa."

Desire langsung tergelak, dapat melihat kekuatan tekad Tsabitah. "Emang tipe kayak Mas Esa gitu harus didekati secara perlahan tapi meyakinkan."

"Aku belum coba jurus seksi sih."

"Hah? Apa? Jurus seksi?" Desire sengaja mengulang untuk memastikan pendengaran.

Tsabitah mengangguk. "Iya, Noella bilang, kalau tetep immune dan enggak bereaksi setelah aku pakai jurus seksi, katanya kalau bukan kelainan ya biksu."

"Masa kelainan?" tanya Desire.

"Enggak ada ya!" sahut Lyre yang seketika membuat Tsabitah dan Desire menoleh, keduanya agak gelagapan karena ketahuan mengobrolkan Esa.

"Mbak Re," panggil Tsabitah seraya meringis kikuk.

Lyre geleng kepala dan menggeser kursi untuk duduk. "Pantesan dari kemarin kalian sering berduaan, bisik-bisik ternyata ..."

"Bita cuma pengin memastikan aja, Re, cewek 'kan emang gelisah juga kalau dianggurin terus sama pasangannya," kata Desire memberi penjelasan akan kekhawatiran Tsabitah.

"Iya, tapi enggaklah kalau Mas Esa kelainan ... emang paham aja sama kondisi kamu, Bit," ujar Lyre lalu berusaha menenangkan. "Aku juga yakin kok, Mas Esa tuh protect segitunya enggak semata lihat kondisimu atau emang punya prinsip kuat. Mas Esa dulu syok sekaligus sedih banget lihat aku hamil diluar nikah, sebelum menikahkan juga lama banget dia minta waktu buat sendirian."

"Oh iya dulu, kita nungguin hampir sejam," ujar Desire.

Lyre mengangguk. "Whatever it is, bahkan meski aku mensyukuri punya Ravel, hubungan itu dilandasi keinginan pada satu sama lain, apa yang kami lakukan dulu tuh tetap salah."

Tsabitah menggaruk pipinya yang tidak gatal. "Ya, aku juga bukan pengin yang ekstrem langsung begituan ... tapi minimal kalau berduaan, enggak tiga menit terus geser ambil jarak gitu."

"Eh, tapi bisa jadi Mas Esa gagap pacaran lagi, masa katanya mantannya cuma satu, Wyna itu doang," kata Desire.

"Satu tapi lama, hampir tujuh tahunan ya, Mbak Re?"

Lyre mengangguk. "Emang dulu tuh pacaran di rumah juga enggak yang berduaan gitu, orang kalau disamperin pagi-pagi terus masih tidur capek jaga malam gitu ... Mas Esa milih bangun aja, nunggu Mbak Wyna dateng sambil tiduran di ruang tengah itu."

"Gila sih," sebut Desire lantas menepuk-nepuk bahu Tsabitah. "Udah fixed, we can't ruin his greenflag character ... keep waiting deh."

Tsabitah menyengir. "Tapi serius, selain merem ... kita harus apa kalau pas dicium tuh?"

"Lah?" cetus Lyre lalu saling pandang dengan Desire sebelum keduanya saling melemparkan tawa.

"Yaaa ..." protes Tsabitah, nyaris malu karena ketara menunjukkan diri sebagai awam.

Lyre menghentikan tawanya lantas menatap Tsabitah lekat. "Don't worry ... ketika bersama pasangan yang tepat, menemukan ritme ciuman yang sesuai juga, naturally ekspresi tubuh kalian juga akan mengerti harus seperti apa."

"Dan enggak selalu harus merem, rugi kalau mau bales cium terus nabrak gigi ... bisa awkward," imbuh Desire membuat tawa Lyre semakin terpingkal.

***

"Kenapa kayak seru gitu, ya?" tanya Kagendra yang mengamati tiga perempuan dewasa tertawa-tawa di sudut ruangan.

"Lagian kenapa pada duduk di sana?" Waffa ikut penasaran.

Esa memastikan email laporan pekerjaannya terkirim baru ikut memperhatikan. "Cewek-cewek 'kan biasa, mereka punya topik obrolan sendiri ... yang kadang kita enggak paham."

"Tapi kayaknya Dede sama Bita ada sesuatu, mereka dari kemarin selain urusan background ulang tahun Ravel ... suka bisik-bisik gitu," kata Waffa.

"Bisik-bisik apa?" tanya Kagendra.

"Dunno, makanya bikin curiga, ini tadi juga langsung pilih meja di sana berdua sampai disusul Lyre."

Esa mengibaskan tangan santai. "Sesama anak bungsu, biarin aja," katanya lalu berdecak mendapati kiriman chat teror itu lagi.

+62 85 6789XXXXX
PEREMPUAN ITU PENIPU
MEMBUATMU TERPAKSA
MENJADI MILIKNYA!!!

"Kenapa, Esh? Chat teror lagi?" tebak Waffa memperhatikan perubahan ekspresi Esa.

"Chat teror?" ulang Kagendra yang seketika menegakkan punggung.

"Iya, Esa dapat kayak spam chat teror gitu, ngatain Bita penipu." Waffa bercerita singkat.

"Serius, Esh?" tanya Kagendra sembari mengulurkan tangan, "Coba lihat."

Esa mengulurkan ponselnya. "Tolong diblokir sekalian."

Kagendra memperhatikan chat yang tampak di layar. "Sejak kapan, Esh?"

"Sejak hubungan kami resmi, mulanya telepon, dua harian aku tanggapi, terus berikutnya langsung reject dan blokir ... eh, terus kirim chat begitu. Udah dua puluh dua nomor aku blokir."

Waffa mencondongkan tubuh ke samping. "Coba aja sekali ini dibalas, emang menipu apa, gitu?"

"Bocil bisa nipu apa sih?" sebut Kagendra dan menggelengkan kepala lalu menyalin nomor, sekalian mengirimkan tangkapan layar chat teror itu. "Kalau besok masih ada lagi, kirim screenshot ke aku, Esh."

"Buat apa? Orang iseng enggak perlu diladenin," kata Esa.

"Kalau sampai dua puluhan nomor, enggak sekadar iseng ... dia mau caper, ya ladenin aja." Kagendra memblokir kontak tersebut lalu mengembalikan ponsel Esa. "Bita bilang, kalian keluarga Kanantya emang terlalu baik dan pemaaf ... jadi harus kita yang bagian jahat-jahatnya."

"Haish!" sebut Esa sambil menyimpan ponselnya ke saku. "But seriously, cukup tahu aja siapa yang kirim ... enggak perlu diproses hukum."

"Why not? Aku juga siap jadi jahat-jahat mewakili Esa Kanantya nih," ungkap Waffa dengan serius.

Esa tertawa dan saat memelankannya lanjut berujar serius, "Aku pengin hidup damai, tenang, enggak pengin punya musuh atau memelihara dendam."

"Tapi Bita enggak boleh tahu ya, nih?" tanya Kagendra.

Esa mengangguk. "Iya, aku percaya sama Bita dan lebih baik kita selesaikan diam-diam aja."

"Noted!" sahut Kagendra dan Waffa bersamaan.

[]

🩷

Aku tahu kalian pasti bisa menebak siapa kang terornya Mas Esa, xixixixi rasain ygy ... bakal dicyduck duo babi. Satu babi aja udah repot ngadepinnya, bestie ... ini lagi dua.

.

Bytheway ...
Aku ada update baru ya di Karya Karsa, extra chapter Repeated tapi ada spoiler dikit-dikit soal Reputation. Jadi, yang penisirin bisa ngintip di sono, fufufu~


Thank you buat yang udah dukung,
ketjup manjyaah
💋

.



































.






















Edisi women support women~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top