[ 44. ]
Hai,
biar enggak ditungguin
aku ngapel lebih awal, aww~
.
3.245 kata untuk bab ini
tenang, enggak ada antagonisnya
capek juga yha khan
butuh effort menghujat trio self centered person ituhhh, hahaha
.
Selamat membaca &
jangan lupa vote-comment
Thank you ヽ(^○^)ノ
🍯
[ 44. ]
"Ageng nanti boboknya di sini," ujar Tsabitah seraya membukakan pintu kamar Thomas.
Dua hari terakhir masa liburan di Yogyakarta, Ayara setuju untuk membawa Ageng tinggal dan menginap di rumah keluarga Ruslantama. Usai sarapan bersama, Tsabitah menunjukkan kamar untuk Ageng tinggali.
Ageng melangkah masuk lantas menoleh tantenya dengan ekspresi kikuk. "Keluarganya Ayah ternyata kaya banget ya, Tante Bita? Rumahnya besar, ada kolam renangnya juga, sama mobilnya tiga, sama motor gedenya Opa bagus banget tadi."
Tsabitah menyengir. "Keluarganya Ayah itu keluarganya Ageng juga ... terus, mobilnya emang ada tiga tapi yang dipakai cuma dua, motor gedenya dipakai Opa Theo kalau touring ... Opa Theo sama Opa Luki itu anggota club moge yang kadang kalau akhir tahun atau adan event tertentu, pergi naik motor gitu."
Ageng mengangguk, namun tetap penasaran. "Mobilnya tiga tapi kenapa yang dipakai dua?"
"Satu yang enggak dipakai itu mobilnya Ayahnya Ageng, sempat rusak karena kecelakaan. Habis dibenerin memang belum ada yang pakai lagi." Tsabitah kemudian duduk di pinggiran tempat tidur, menepuk sisi kosong agar keponakannya mendekat.
Ageng bergerak dan duduk di samping Tsabitah. "Ibu udah cerita soal kecelakaannya Ayah. Tante Bita juga sakit lama banget karena kecelakaannya."
"Iya, tapi sakitnya semua orang tuh kayak enggak seberapa sebanding sama sakitnya Ibunya Ageng ... jadi, kalau mau tanya-tanya banyak hal soal ayah dan ibu masih susah ceritanya, Ageng chat Tante atau Om Esa aja, ya?" pinta Tsabitah.
Ageng mengeluarkan ponsel barunya, hadiah dari Eyang Taher karena berhasil mengalahkannya dalam permainan catur. Anak itu butuh waktu tiga hari belajar dan sekian kali bertanding dengan Ayara, Esa, atau para Opa sebelum akhirnya bisa mengalahkan Eyang Taher dan diberi hadiah ponsel. "Aku boleh pakainya siang habis pulang sekolah selama dua jam, sama satu jam sebelum bobok malam ... kecuali kalau darurat."
Tsabitah mengangguk. "It's okay, hp-nya Tante Bita ready 24/7, nyala terus."
Ageng tertawa pelan. "Terima kasih, Tante Bita."
"Tante dong yang terima kasih, karena akhirnya Ageng mau pulang ke sini."
"Ibu masih belum naik, ya?" tanya Ageng saat memperhatikan pintu terbuka dan belum terdengar suara langkah susulan sang Ibu.
"Paling baru ngobrol sama Opa dan Oma, orang dewasa banyak yang diobrolinnya ... kita main aja yuk!" ajak Tsabitah lalu beralih ke komputer milik sang kakak. "Sini, Ayah punya banyak banget koleksi PC game."
Ageng mendekat menatap layar komputer yang jernih, dengan wallpaper foto remaja sang ayah memeluk Tsabitah saat balita. "Tante Bita lucu, kecil banget."
"Ageng jangan cepet-cepet gedenya, Tante Bita enggak siap disalip tinggi badan."
Ageng tertawa, menatap layar yang berganti tampilan dan begitu saja berujar, "Kalau nanti Tante Bita punya anak perempuan, aku mau foto begini juga ya ... aku pengin punya adik perempuan."
Tsabitah sejenak termenung namun hanya beberapa detik dan segera tersenyum saat menoleh keponakannya. "Aamiin, bantu doain ya. Tante emang pengin anak cowok satu, sama cewek satu, hahaha."
"Mirip Tante Bita ya nanti anaknya."
Tsabitah tersenyum lebar dan kembali mengaminkannya. Ia akan berusaha keras begitu keadaannya memungkinkan.
***
"Saya enggak datang untuk ini," ucap Ayara ketika dirinya diajak bicara oleh ayah dan ibu mertuanya, lantas mereka menyerahkan beberapa hal yang disebut sebagai peninggalan dari Thomas.
"Nak, ini sebagian yang Thomas tinggalkan buat kamu dan kami wajib memberikannya."
Ayara menggeleng. "Apa yang Thomas berikan buat saya sudah cukup, Ayah ... ini biar untuk—"
"Ayara, Bunda tahu betapa kamu sangat bertanggung jawab dan sejauh ini selalu memberikan yang terbaik untuk Ageng. Percayalah, Bunda sangat salut sekaligus menghargai kerja kerasmu." Inge tetap menyodorkan map tebal berisi peninggalan putranya. "Kami terlambat menemukan semua ini dan rasanya menjadi semakin salah jika terus menunda untuk menyerahkannya."
"Bunda ..."
Inge beranjak lalu duduk di samping sang menantu, meletakkan map di tangannya secara langsung ke pangkuan Ayara. "Ini adalah hak kamu dan haknya Ageng juga. Sejujurnya, begitu Luki bercerita tentang kalian, yang ada dalam pikiran Bunda bagaimana selama ini Thomas memperlakukan kamu ... kenapa sampai hati enggak bicara pada kami, enggak segera mengungkap pernikahannya."
"Saya yang meminta, Bunda, karena rasanya enggak pernah siap kalau harus berterus-terang, terbuka dengan hubungan pernikahan yang dilatari karena kematian mendiang Ibu." Ayara seketika menangis tersedu-sedu. "Saya selalu takut bahwa saya akan dituduh menjebak Thomas, memanfaatkan kebaikan dan kepeduliannya terhadap saya selama ini ..."
Inge segera memeluk Ayara, mengelus-elus punggung sang menantu selama beberapa saat hingga suara isak tangis di ruang keluarga itu memelan.
"Bunda memang tidak habis pikir dengan pernikahan yang tidak segera diungkap kepada kami ... tetapi Bunda yakin Thomas sungguh-sungguh mencintaimu, dia akan dengan sangat rela mengikuti keinginanmu dan satu sisi berusaha menjagamu juga," ujar Inge seraya menahan air mata dan kembali memandang menantunya. "Ayara, ini hanya sebagian hal yang diusahakan Thomas untuk menjagamu dan menjaga Ageng juga. Oleh karena itu, tolong diterima ya."
Ayara menatap map tebal di pangkuannya, perlahan menghapusi air mata lalu membukanya. Selain surat keterangan hak waris, rincian kepemilikan properti yang beralih menjadi miliknya, ada dua buku tabungan yang nama pemiliknya langsung membuat Ayara terpaku. "Ini ..."
"Seperti kamu tahu, semasa memimpin RUBY Thomas membuat rangkaian produk best seller, juga menyempurnakan beberapa formula perawatan di klinik ... dan begitu sulit bagi kami menutup akun kepegawaiannya dari sistem."
Ayara bisa melihat kesedihan di sepasang mata ibu mertuanya ini. "Bunda ..."
Inge menguatkan diri dan tersenyum. "Akuntan kami juga kesulitan mengurus penutupan akun rekeningnya Thomas dan perwakilan bank secara khusus mengizinkan agar rekening ini tetap dapat digunakan, sampai kita sama-sama siap menutupnya nanti."
"Itu jumlah pembagian keuntungan dan gaji yang terkumpul selama delapan tahun terakhir." Theo Ruslantama memberi tahu dan mengendik ke buku tabungan yang selanjutnya. "Lalu yang satunya, rekening untuk Ageng ... izinkan kami membantu biaya pendidikannya juga ya, Aya."
Ayara hampir menangis lagi, namun menahannya dan satu per satu memeriksa. Ia mengerjapkan mata, hampir syok mendapati deretan angka yang tertera, sepuluh digit. "Ayah, Bunda, ini terlalu banyak, saya enggak—"
"Enggak ada jumlah materi yang bisa menggantikan ketiadaan atau peran Thomas dan jika dengan semua itu, mampu membuatmu juga Ageng hidup dengan nyaman. Kami akan merasa lega juga," ungkap Inge lalu mengelus helai-helai rambut pendek menantunya. "Sebagai gantinya, kami akan berusaha untuk enggak terlalu memanjakan Ageng, ya?"
Ayara menatap ibu dan ayah mertuanya bergantian, lalu menggeleng, "Bohong, pasti tetap manjain juga. Thomas aja selalu apa-apa rusak dikit langsung diganti baru."
Theo seketika tertawa. "Kami memang sudah berencana mambuat dalih 'enggak setiap hari ini' ketika memanjakan Ageng."
"Tuhkan, belum kalau Esa sama Bita ... Tante Rika sama Eyang juga," ucap Ayara meski dalam benaknya dipenuhi rasa syukur atas limpahan perhatian yang diterima sang anak.
Inge tertawa sambil menepuk-nepuk tangan Ayara. "Mau bagaimana lagi, kamu kasih Ayah sama Bunda cucu yang baik dan gampang bikin sayang begitu."
Sepasang mata Ayara kembali berkaca-kaca. "Semisal Ayah atau Bunda merasa keberatan dengan sikap saya sebelum-sebelumnya, atau terkait bagaimana saya membatasi komunikasi Ageng dengan keluarga di Semarang ... tolong jangan memendamnya. Saya, bagaimana pun, tetap seseorang yang punya banyak kekurangan."
"Sewaktu Luki bercerita, lalu Kagendra menjelaskan semua penyelidikan dan temuannya ... kami hanya ingin memastikan, Thomas sungguh menjadi suami yang baik bagimu. Bahwa kamu pergi membawa anaknya, bukan karena ingin memisahkannya dari rumah tempat tinggalnya saat ini," kata Theo Ruslantama dan diberi anggukan oleh sang istri.
"Iya, Thomas menjadi seorang cucu, anak, saudara, dan kakak yang baik bagi keluarganya. Kami berharap dia juga menjadi suami yang baik bagimu," ungkap Inge dengan sungguh-sungguh.
Ayara mengangguk, perlahan bercerita tentang pernikahannya, "Masa duka saya setelah kepergian Ibu berlangsung cukup lama. Saya yang nyaris mengabaikannya dalam hubungan baru kami. Adakalanya saya berpikiran pendek, pernikahan siri begitu mudah diakhiri dan hanya tinggal tunggu waktu. Tetapi Thomas selalu sabar, menunggu saya siap, terus membersamai saya dan Bapak hingga keadaan menjadi baik kembali. Hingga akhir hidupnya, Thomas selalu memastikan cintanya kepada saya."
"Syukurlah." Inge tersenyum lega dan sedikit menggoda, "Oh, berkat Esa kami baru sadar, dulu setiap weekend dan dia pamit acara memancing atau ada urusan ke mana saja, itu ternyata alasannya demi bersamamu?"
Pipi Ayara agak bersemu saat mengangguk dan mengakui. "Saya sudah berusaha mengingatkan agar dia tidak terlalu sering menginap, tetapi ... ng, ... begitulah. Thomas selalu punya alasan untuk tinggal."
Keterangan yang disampaikan dengan sikap malu-malu dan pipi bersemu itu membuat pasangan orang tua yang menyimak menjadi tertawa.
Inge kembali memeluk Ayara dengan sayang, "Baguslah, enggak ada yang lebih membahagiakan orang tua ... begitu tahu anak lelakinya paham tanggung jawab dan peran penting sebagai suami."
Ayara mengangguk, mudah baginya membuat pengakuan terkait suaminya yang luar biasa. "Pernikahan kami memang hanya beberapa bulan, tetapi saya dan Thomas memiliki satu sama lain untuk selamanya."
Theo memalingkan wajahnya sejenak, menahan haru karena tahu anaknya begitu dicintai, bahkan di detik pertama kali menerima kehadiran Ayara dan Ageng di rumah ini. Kehadiran mereka melengkapi apa yang seharusnya ada dalam keluarganya. "Terima kasih, ya, Aya ..."
Inge mengangkat tangan, menangkup pipi Ayara sebelum ikut berujar, "Ya, terima kasih karena terus mencintai Thomas kami. Terima kasih, karena meski menjadi ibu tunggal itu tidak mudah, kamu tetap sebaik ini merawat Ageng, mengizinkannya ada di tengah-tengah kami."
"Bunda ..."
Inge menatap lekat dan penuh pemahaman. "Lalu, tentang setiap batasan, larangan, atau bahkan penolakanmu ... itu semua beralasan. Kami yang harus lebih pengertian hingga perlahan-lahan keadaan membaik lagi."
"Mengingat masa-masa yang membuatmu sakit hati dan tentunya, sempat menyulitkan Thomas juga masih membuat kami turut merasa bersalah." Theo mengusahakan senyum kecil. "Kali ini, kamilah yang memang harus berusaha, memastikan kamu yakin bahwa Ageng akan tetap aman, mendapatkan jenis kasih-sayang juga bimbingan yang tepat untuk kebaikan masa depannya."
Ayara mengangguk dan sebelum menangis lagi segera memeluk Inge. Sentuhan dan elusan lembut di punggungnya begitu menyamankan, membuat Ayara tahu ... bahwa pelukan ibunda Thomas ini adalah tempat pulang ternyaman untuknya juga.
***
"Wahh!!! Ada awannya, beneran dalam gelas ada awannya." Ageng berseru gembira seraya menunjuk-nunjuk ke gelas kaca, wadah eksperimen kecil-kecilannya.
Esa tertawa, kemudian menjelaskan, "Air mendidih yang kita tuang ke gelas menghasilkan uap, itu serupa dengan udara hangat dan lembab di alam. Kemudian, tadi Om Esa nyalain korek api sampai padam, muncul asap yang akhirnya bertemu dengan uap air yang hangat dan lembab, jadi partikel-partikel kecil yang terperangkap di udara."
"Terus es batunya?" tanya Ageng menunjuk balok es di atas penutup gelas.
"Nah, es batu yang diletakkan di atas gelas itu mewakili pendingin di alam, efeknya menyebabkan uap air menjadi dingin dan berubah menjadi awan seperti yang kita lihat." Esa mengetuk-etuk dinding gelas yang lembab.
"Kalau ketiup angin jadi hujan?" tebak Ageng.
"Tepat," ujar Esa lalu mengacungkan jempol.
Tsabitah dan Ayara mengamati interaksi dua lelaki beda usia yang kemudian membahas siklus hujan dan empat musim di belahan dunia. Usai makan siang bersama, alih-alih mengajak bermain, Ageng memang justru meminta diajari beberapa materi biologi hingga praktik sederhana membuat awan yang Esa baru tunjukkan.
"He's so excited," ungkap Ayara sembari menikmati semangkuk asinan jambu yang dibawakan Esa.
Tsabitah mengangguk. "Kalau sama Ravel, mainnya masih area sensory, aktivitas merangkak, manjat-manjat sampai main sepeda. Sama Ageng bisa naik tingkat begini, Mas Esa kelihatan enjoy banget."
"Ravel montessory based banget, ya?"
"Iya, makanya kelihatan lebih mandiri anaknya, kadang ngobrol sama dia tuh kayak enggak sama balita ... apalagi kalau bawel soal dinosaurs. Dia lebih jago nyebutin nama-nama reptil purba dibanding namanya sendiri."
Ayara tertawa. "Tapi jujur, namanya emang enggak easy to pronounce ... walau keren sih, kesan ningratnya juga dapat."
Tsabitah seketika jadi penasaran. "Mbak Aya siapin nama Ageng sendiri?"
"Enggak, Mbak pernah ngobrolin sama Thomas, dia bilang kalau punya anak mau nama tengahnya Prabaswara selain karena artinya terang dan bercahaya. Itu juga bisa singkatan dari Pramodya, nama tengahnya. Basuki, nama tengah bapakku. Swara, nama tengahku."
"Eh iya," sebut Tsabitah.
"Terus kalau punya anak perempuan Thomas pengin nama tengahnya Paradina," ungkap Ayara.
Tsabitah menyengir, itu nama tengahnya. "Mamas bisa aja, kalau lahirnya malam hari gimana mau dikasih Paradina coba."
Ayara tertawa. "Iya juga ya, Paradina kan artinya pagi yang cerah."
"Itulah," kata Tsabitah, ikut menyuapkan potongan jambu kristal ke mulutnya. "Ageng lahirnya susah enggak?"
"Enggak juga. Habis Isya' itu kerasa intens mulesnya, dibawa ke klinik bersalin jam setengah sebelas. Dua belas lebih lima menit lahir. Aku hamilnya kecil, tapi untung bobot bayinya normal, dua koma sembilan."
"Eh, itu bukannya gede?"
"Gede itu tiga koma sekian, hahaha." Ayara menyesap kuah asinan yang segar. "Habis melahirkan, aku perawatan hampir tiga minggu di rumah sakit."
"Hah? Mbak sakit?" tanya Tsabitah yang langsung cemas.
Ayara menggeleng. "Enggak, tapi Bapak khawatir karena aku jadi gampang nangis juga, takut baby blues terus macam-macam lah. Jadi, aku perawatan selama tiga minggu pasca persalinan dan itu beneran life changing, bukan sekadar aku merasa aman plus dapat bimbingan buat urus bayiku, tapi suster sama dokter tiap visit tuh giving appreciate. Padahal bisa dibilang aku baru berani mandiin sendiri itu setelah lewat semingguan, mau bawa bayiku keluar ruang rawat, interaksi sama ibu-ibu lain juga setelah lewat segitu."
"Ya ampun, jadi terharu. Mbak Aya hebat."
"Bagiku yang hebat tuh bapakku, Bit ... I mean, di waktu yang sama, bapak pun merasakan kehilangan yang enggak sederhana. Ditinggal ibuku, suamiku, masih harus urus anaknya yang enggak stabil, ketambahan cucu juga." Ayara menatap Ageng yang kembali antusias menyimak penjelasan Esa. "Aku sempat beberapa kali kayak kambuh gitu, sedih berkepanjangan, nangis terus dan kesulitan kasih Ageng penjelasan proper terkait ayahnya. Itu bapakku yang ambil alih dia, yang bantu kasih pemahaman kenapa keadaanku begitu."
"Kita sama-sama diberkati orang tua yang baik."
Ayara mengangguk. "Aku akan berusaha jadi anak yang baik juga buat Ayah dan Bunda."
Tsabitah tersenyum gembira dan memberi rangkulan akrab. "Kita enggak boleh kalah dari Mamas dan Mas Esa yang selama ini kelewat membanggakan mereka."
"Benar!" cetus Ayara lalu menatap Esa yang tertawa. "Kalian berdua pokoknya harus bahagia bersama, syukur-syukur kasih Ageng adik yang banyak."
"Dua aja," kata Tsabitah cepat lalu berbisik, "Tapi aku bisa lolos malam pertama aja udah keajaiban kayaknya ... aduh stress nih, baru bayangin aja udah deg-degan banget."
Ayara seketika melontarkan suara tawa. "Esa pasti paham harus gimana."
"Tapi sampai sejauh ini kami bahkan belum kissing, ciuman bibir gitu," ujar Tsabitah lalu menghela napas. "Normalnya berapa bulan deketan sih, Mbak?"
"Apanya berapa bulan? Mbak dulu baru dapat kissing yang beneran habis menikah, bayangin sekian lama pacaran enggak pernah diapa-apain."
"Ih, Mamas gimana sih?"
Ayara berdecak. "Ck! Payah emang," katanya lalu saling pandang dengan Tsabitah dan keduanya tertawa bersama.
Usai memelankan tawa, Tsabitah melirik Ageng yang berseru 'hore' karena berhasil menjawab pertanyaan Esa dengan benar. "Mas Esa seharusnya lebih pintar, iya 'kan?"
"Harusnya begitu," kata Ayara lalu memastikan. "Sebelum sama Esa, kamu beneran jomlo, Bit?"
"Iya, aku nungguin Mas Esa."
"Wah, untung dia balik dan hubungan kalian beneran lancar."
Tsabitah tersenyum. "Pasti balik, sama kayak Mbak Aya dan Ageng pasti akan ada di sini sama-sama kami."
Ayara terdiam sejenak dan merasai satu keyakinan besar dalam diri adik iparnya. "Apa yang memang ditakdirkan untukmu, tidak akan berlalu menghindarimu."
"Yap! Jodoh, rejeki, dan maut enggak ada yang tahu ... tetapi yang memang ditakdirkan untukku, akan selalu sampai padaku." Tsabitah kemudian menyentuh bagian dada kirinya yang berdegub ritmis. "Lagian, aku yakin Mamas bakal back-up aku dari sana ... biar genap kebahagiaan kita semua di sini."
"These day, I missed him a lot." Ayara mengakui seraya meraih tangan Tsabitah dan menggenggamnya.
Tsabitah mengangguk, mengakui hal yang sama. "Me too."
***
"Akhirnya, jatah manjakuuuu."
Esa tertawa, merentangkan tangan sehingga tunangannya langsung menempatkan diri di sisinya, balas memeluk dan bermanja.
"Udah selesai kirim desainnya?" tanya Esa, karena selama satu jam terakhir dirinya menemani Ageng berkegiatan, Tsabitah pamit ke atas untuk menyelesaikan desain ilustrasi.
"Iya, Ageng sama siapa?" tanya Tsabitah, memastikan situasi.
"Berenang sama Ayah. Ayara sama Bunda berangkat belanja, nanti mau bikin hotpot katanya."
"Asikkk, berduaan sama Mas Esa," kata Tsabitah dengan riang gembira.
Esa menyengir, mengelus rambut panjang yang sebagian tergerai di dadanya. "Bee, atasan Mas di Tokyo udah kirim jadwal."
"Oh, terus?"
"Minggu depan berangkat. Kemungkinan butuh tiga mingguan untuk pemeriksaan unit, test lanjutan dan nunggu final result ... Mas juga butuh negosiasi ulang terkait pekerjaan selanjutnya."
Tsabitah mengangguk. "Aku bisa atur jadwal."
"Tapi tiga minggu itu lama dan kerjaan kamu di sini—"
"Kerjaanku akan baik-baik aja." Tsabitah menyela serius. "Pokoknya selama Mama bisa nemenin kita, sisanya enggak usah dikhawatirkan."
"Nanti Mas bicara sama Ayah dan Bunda dulu, kita juga harus ke Jakarta untuk cek kesehatan."
"Oh iya, berarti minggu depan lumayan padat ya, ada ultahnya Ravel juga, cek kesehatan. Apa kita terusan ke Tokyo dari Jakarta?"
Esa mengangguk. "Kalau hasil cek kesehatan baik."
"Aku bikin Mas Esa khawatir, ya?" tanya Tsabitah, sedikit sedih karena kondisi sakitnya memang begitu berpengaruh pada keputusan penting.
"Mas cuma pengin kita sama-sama bisa menikmati momen di Tokyo. Tiga minggu itu lama, ini juga masuk musim dingin di sana, jangan sampai malah bikin kamu sakit."
Tsabitah memahami itu. "Iya, aku udah enggak males-malesan jalan pagi kok, tadi sama Ageng bahkan dua kali muterin komplek, nih lihat step countnya sampai tujuh ribu lebih."
Esa melihat jam tangan pintar, mendapati hitungan yang tertera dan mengangguk. "Jangan begadang juga, ya?"
"Oke," kata Tsabitah lalu perlahan menegakkan punggung, duduk miring menghadap Esa di sampingnya. "Mas, pas di Tokyo, kalau sempat sesi pre-wedding yuk? Pengin pakai kimono barengan, aku lihat fotonya Mbak Re sama Papanya Ravel bagus banget."
Esa memikirkan itu, mempertimbangkan waktu yang memungkinkan. "Boleh, ada waktu senggang di minggu kedua."
"Apartemennya Mas Esa di sana kayak gimana?"
"Apartemen dua kamar, tapi yang satu buat ruang kerja. Kagendra bilang kita bisa pakai suitenya aja di Ginza, tapi Mama pengin bisa masak-masak juga ... nanti deh, cek airbnb."
Tsabitah mengangguk. "Tapi boleh 'kan aku ke apartemennya Mas Esa? Mau lihat-lihat."
"Iya, boleh."
"Mas Esa juga boleh lihat apartemenku di Jakarta. Eh, atau kita tinggal di sana aja?" tawar Tsabitah dengan penuh pengharapan.
Esa mendadak butuh perjuangan ekstra untuk menghapus beberapa ingatan kala Tsabitah dulu menunjukkan setiap bagian ruangan apartemen. "Ng, itu, kayaknya—"
"Aku deh yang bobok di sofabed dan Mas Esa boleh kunci pintu kamarku," ucap Tsabitah cepat.
Esa tertawa. "Enggak gitu, Bee ..."
"Aku tuh sejujurnya khawatir, semisal ketertarikannya Mas Esa terhadapku sampai mengecualikan intimacy ... entah karena menilai kondisiku atau emang belum menganggapku sebagai perempuan." Tsabitah memberi tahu dengan suara pelan namun sarat akan kejujuran. Ia juga memberanikan diri memandang mata tunangannya.
Esa menggeleng. "Tentu aja enggak begitu."
"Terus?" tanya Tsabitah dengan penasaran.
"Mas enggak bermaksud mengecualikan intimacy dan dengan kondisi sadar, Mas tahu menginginkan kamu sebagaimana lelaki dewasa terhadap perempuan yang merupakan pasangannya." Esa mengulurkan tangannya, menyentuh pipi Tsabitah. "Tetapi—"
"Kenapa harus ada tapi," keluh Tsabitah.
Esa tertawa. "Ya, karena meski dalam situasi pergaulan sekarang, hubungan kita udah lebih resmi sekaligus mengikat ... tetap harus hati-hati, jangan sampai kebablasan."
"Lelaki 'kan paham gimana caranya biar enggak kebablasan. Noella bilang aku gitu, dia udah sering pacaran dan aman-aman aja." Tsabitah memberi tahu dengan serius.
"Iya, tetapi bagi kita, pilihan terbaiknya memang sama-sama bersabar sampai sepenuhnya berhak untuk berbagi lebih banyak hal." Esa kemudian mencubit lembut hidung Tsabitah. "Lagian kalau kita terlalu terburu-buru, bunyi jamnya juga makin cepet."
"Ihhh ... besok kita lepas aja dia."
Esa menggeleng. "Enggak boleh."
"Kok, enggak boleh?"
"Ya, enggak boleh." Esa menegaskan dengan sikap serius. "Nanti setelah menikah kita akan memulainya secara perlahan, memastikan kamu siap dan terbiasa dengan kedekatan fisik sama Mas dulu."
"Itu bakal memakan banyak waktu, Mas," ungkap Tsabitah bisa memperkirakannya dan menggeleng. "Enggak-enggak, aku maunya langsung dimiliki secara penuh ... you know what I mean."
Esa memahami maksudnya, namun tetap pada pendiriannya. "It might too dangerous to you, and I can't—"
"Aku bakal sesehat mungkin sebelum pernikahan, aku enggak bakal capek-capek, tidur tepat waktu, jalan pagi secara rutin bahkan habisin makananku. Aku bakal nurutin semua kata dokter, karena itu ... Mas Esa harus memberanikan diri juga."
"Begini ..."
"Janji?" pinta Tsabitah cepat lalu mengulurkan tangan kanan, meminta untuk berjabatan.
Esa terkekeh melihatnya. "Bee, serius, dengar Mas Esa dulu—"
"I will listen to you for the rest of my life, but seriously ... don't ruin my first night expectation." Tsabitah menahan-nahan rasa malunya karena mengungkap satu hal ini. Ia paham terhadap penjelasan yang coba Esa sampaikan, namun satu sisi, bentuk kepemilikan mereka terhadap satu sama lain memang harus diwujudkan, sesegera mungkin begitu menikah.
Esa menatap sepasang mata yang jelas menunjukkan keseriusan. Ia menarik napas pelan lalu mengembuskannya. "We will see ..."
"Mas ..." protes Tsabitah.
Esa tertawa, meraih Tsabitah dalam rangkulannya dan mencium pelipis dengan anakan rambut yang rapi. "Harapannya Mas tuh, bisa selama mungkin menghabiskan waktu sama kamu ... karena itu terhadap apa-apa yang berisiko membuat kamu sakit, Mas berusaha menghindarinya. I can't bear it. I can't see you in pain, Bee."
Hati Tsabitah menghangat mendengarnya, namun satu sisi, itu adalah pernyataan yang mendengungkan kewaspadaan dalam pikirannya. Dua puluh tujuh tahun hidupnya sudah didominasi sikap extra protektif dari seluruh keluarganya, jangan sampai Esa melakukan itu juga.
[]
🩷
Bit, sabar ya, Bit
malam pertama jabat tangan dulu
wkwkwkwkwkwkk ~
.
Anyway ... pengumuman!
minggu depan aku update cuma di hari Sabtu yaa. Seminggu ini kalian baca ulang aja, xixixii
See you next week~
.
Weekend ala Jomlo:
seperti biasa kebagian sesi nyengir bersama.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top