[ 41. ]

Halo, Bestie~
Eaa senank apa tyda?

Janjinya Sabtu tapi Kamis maniez gini sudah nongol? Hohoho ... wajib tibanin lovenya sih, 💛🩷💚

.

3.550 kata untuk bab ini
semedi seminggu nih, menyelesaikan salah satu draft tersulit dari keseluruhan cerita Reputation. I wish you could enjoy every 'loving' part from this chapter, xoxo

.

Thank you very much

🍯


[ 41. ]

Ayara hampir tidak kuasa menahan tangis begitu melihat pasangan orang tua yang duduk di ruang tamu suitesnya.

Chaerul Soeryadarma mengangguk pada sang putri, menemani dan mendukungnya. "Ra, mereka sekali lagi datang untuk kamu dan Ageng, karena itu ... beranikan dirimu, ya."

Ayara mengangguk, perlahan mendekat pada Ayah dan Bunda yang juga berusaha menahan tangis. Ayara segera berlutut, membuat Inge langsung meraih dan memeluknya.

"Maaf ... maaf ... maaf Bunda ... ak—" isak Ayara, tersengal-sengal oleh kesedihan juga rasa bersalah yang mendalam.

Inge memeluk erat menantunya dan menggeleng. "Bunda tahu itu bukan pilihan yang mudah, Aya ... dan terima kasih, karena meski keadaannya begitu berat, sulit, sekaligus enggak adil, tetapi kamu tetap bertahan. Terima kasih banyak, Ayara."

Tangis Ayara semakin sulit dibendung mendengar ucapan itu.

Theo mengusap lelehan air mata di pipinya, ikut berlutut untuk mengelus kepala Ayara yang tertunduk di bahu Inge. "Thomas pasti marah, kalau sudah sejauh ini dan kami masih membuatmu menangis ... karena itu, demi Ageng juga, kita perbaiki sama-sama, ya."

Ayara mengangguk-angguk dalam tangisnya. "Maaf, Ayah ..."

"Ayah sama Bunda yang maaf, karena lalai dan teledor ... karena punya banyak kekurangan juga, padahal seharusnya wajib melindungimu juga." Inge menoleh dan mengecupi sisi wajah Ayara penuh sayang. "Kali ini, kami akan berusaha lebih baik lagi, ya, Aya."

Ayara hanya bisa terus menangis selama setengah jam berikutnya, hingga sepasang matanya bengkak dan suaranya serak. Theo dan Inge juga demikian, hampir kesulitan menenangkan diri saat mendengar suara Ageng.

"Ibu ... Akung ..."

Chaerul Soeryadarma beralih, menggandeng cucunya itu keluar dari kamar. Ageng mulanya takut-takut dan gugup, namun begitu melihat kedua tangan Opa Theo-nya terangkat, terentang ke arahnya, ia segera berlari dan memeluk.

"Opa ..." panggil Ageng sambil tangan kanannya meraih tangan Inge dan kembali memanggil. "Oma ..."

Inge mengangguk, menciumi tangan cucunya dan bergerak mendekat untuk memberi kecupan sayang di kening. "Hallo, Ageng ... akhirnya pulang, ya."

"Iya, sama Ibu sama Akung, buat ketemu semua keluarga di sini," ujar Ageng senang, semuanya terasa tepat dan nyata sampai agak sulit menahan euforia.

Theo mengangguk, gantian mengecup pelipis cucunya dan memperhatikan Ayara yang perlahan tenang dalam rangkulan Chaerul.

"Buat doain ayah di makam juga," ucap Ageng dan merasakan pelukan kakeknya menguat.

"Besok ya, sama-sama semuanya juga," ujar Inge yang kemudian menempatkan telapak tangan Ageng ke pipinya. "Maaf ya kalau kebangun malam-malam begini, soalnya Opa sama Oma enggak sabar mau ketemunya."

Ageng mengangguk. "Aku enggak ngantuk kok, Toma juga masih ngeong-ngeong ... hehehe."

"Ini kita dipesankan family presidential suites dengan tiga kamar, kalau berkenan menempati satu kamar yang tersisa. Ageng tadi mau tidur sama Ibunya," tawar Chaerul Soeryadarma, menilik sudah pukul sepuluh malam.

Theo tersenyum. "Terima kasih, tapi ini Bita inap di RS dan kami juga ada beberapa pekerjaan biar punya waktu senggang."

"Tapi besok pagi-pagi, kami akan datang untuk jemput," sahut Inge sambil menatap Ageng. "Besok pagi ya, ketemu keluarga yang lainnya."

Ageng mengangguk. "Iya."

"Bita enggak apa-apa?" tanya Ayara.

"Ya, udah stabil, ditunggui Esa sama Omanya," jawab Theo lalu segera meluruskan situasi. "Oh, besok, biar kami alihkan perhatian Oma sebelum—"

"Enggak apa-apa," ujar Ayara, menyela pelan sekaligus meyakinkan. "Saya akan baik-baik saja, Ageng juga cukup memahami situasinya."

Ageng mengangguk-angguk. "Ibu soalnya udah cerita, siapa aja keluarga sini yang mau ditemui."

"Oh ya? Wah, Oma jadi lega." Inge kemudian mengangkat genggaman tangannya dan Ageng. "Tapi pertama-tama, Ageng happy enggak, sekarang ini ketemu Opa dan Oma terus jadi keluarga?"

"Happy," jawab Ageng namun masih malu-malu sehingga suaranya lirih.

"Aduh, Opa enggak dengar," ucap Theo, berpura-pura.

"Happy!" seru Ageng.

"Kalau happy, mana ketawanya ..." kata Inge lalu menggelitik telapak tangan cucunya dan terdengar suara gelak tawa.

Ayara menahan haru saat anaknya dengan alami kembali memeluk dan menyamankan diri sambil ditanyai seputar hal-hal yang ingin dilakukan selama tinggal di Yogyakarta.

Sebagai pasangan kakek-nenek baru bagi Ageng, tidak terlihat sedikit pun ekspresi keberatan atau sedih tatkala Ageng memberi tahu hanya akan tinggal selama seminggu lalu pulang lagi ke rumahnya di Bali. Theo dan Inge justru amat kooperatif, selalu melibatkan Ayara juga Chaerul untuk menentukan susunan kegiatan bersama.

Ayara seketika menjadi yakin bahwa kehadiran dirinya, anaknya sekaligus sang ayah, akan selalu diterima oleh keluarga Ruslantama secara terbuka dan apa adanya. Sehingga, tidak ada lagi ketakutan sekaligus kesedihan yang harus disembunyikannya.

***

Ny. Lin Inggrid terbangun di tempat tidur penunggu. Ia mengerjapkan mata sejenak lalu perlahan duduk untuk mengumpulkan kesadaran. Suara kursi berderak membuatnya bergerak mendekat ke pintu penghubung menuju ruang rawat cucunya. Esa yang semalam menunggui di sana dan sekarang tampak membantu Tsabitah bangun, menuntunnya ke kamar mandi, lalu saat kembali sudah menyiapkan mukena untuk ibadah subuh.

"Pusing enggak?" tanya Esa, samar-samar terdengar memastikan saat menggelar sajadah.

"Enggak! Aku udah sehat!" Tsabitah menyahut semangat.

Ny. Inggrid beralih dari tempatnya untuk melaksanakan ibadah subuh juga. Setelah selesai, ia langsung mandi dan merapikan penampilannya. Inge semalam jelas mampir untuk menyiapkan pakaian gantinya.

Suster dan dokter terlihat keluar dari ruang rawat Tsabitah ketika Ny. Inggrid mendekat. "Cucu saya sudah baik?"

"Ya, kondisinya stabil, kami baru melepas infusnya ... setelah sarapan nanti bisa mengatur kepulangan pasien."

Ny. Inggrid mengangguk, mempersilakan suster dan dokter keluar. Inge datang lima menit kemudian, membawa rantang sarapan sekaligus travel bag ukuran sedang.

"Kata dokter nanti habis sarapan Bita bisa pulang," kata Ny. Inggrid lalu duduk di sofa ruang tunggu.

"Iya, tadi ketemu di depan," balas Inge lalu mengulurkan kotak stainless steel yang pertama. "Ini sarapan Ibu, bubur gudeg."

"Enggak selera Ibu, ck! Suruh pulang itu Esa, ora ilok nginep bareng gini."

"Ini rumah sakit, Bu dan Bita yang maunya ditemani Esa."

"Ya, tapi—"

Inge tidak mau ambil pusing dan segera berlalu memasuki ruang rawat Tsabitah. Ia menyapa Esa sekaligus memastikan keadaan sang putri. Tidak lama kemudian, Esa ganti keluar dari ruang rawat.

Ny. Inggrid menipiskan bibirnya, memperhatikan sambungan prostetik yang tidak terpasang. "Kenapa sejak semalam, kamu enggak memasang  prostetik?"

"Ada sedikit luka, jadi enggak nyaman dipakai lama-lama," jawab Esa lalu duduk di sofa tunggal yang ada di sisi kiri nenek Tsabitah itu.

"Kenapa kamu keluar?"

"Bita harus mandi, dibantu Bunda."

"Alat ganti lenganmu itu bisa untuk membantu mandi juga?"

Esa agak terdiam lalu perlahan menggeleng. "Sebaiknya dilepas jika mandi."

"Walah! Terus, kamu yakin bisa membantu Bita dengan kondisi begini ini?"

"Iya, saya bisa."

Ny. Inggrid geleng kepala, jelas meragukan itu. "Enggak terbayangkan, orang sakit berpasangan dengan orang cacat itu bagaimana hidupnya nanti."

"Kami akan menjalaninya dengan baik," kata Esa dengan serius. Ia tidak lagi merasa sakit hati dengan ucapan Ny. Inggrid yang secara sengaja tidak diperhalus itu.

Tekadnya bulat untuk tetap dan terus bersama Tsabitah bagaimana pun rintangan yang menghadang. Jika perlu, Esa akan bertahan atas hinaan semacam itu selama sisa hidupnya, asal Tsabitah bersamanya.

"Ancaman Tsabitah itu benar? Thomas menikahi perempuan itu secara siri di sini?" tanya Ny. Inggrid setelah beberapa detik hening.

Esa mengangguk. "Ya, sebelum ibu Ayara meninggal dunia ... Thomas juga sudah menyiapkan berkas pengesahannya, itu bisa diproses untuk—"

"Apa maksudmu berkas pengesahan?"

Esa kemudian mengeluarkan ponselnya, menunjukkan berkas-berkas yang telah diproses menjadi bentuk digital. "Thomas menyiapkan ini untuk kejutan ulang tahun Bunda, namun karena lebih dulu kecelakaan semuanya belum sempat diproses. Ada berkas pengajuan untuk pengesahan pernikahan, juga revisi surat wasiatnya."

Sepasang mata Ny. Inggrid mendelik, tangannya langsung meraih kacamata dan meminta ponsel Esa. Ia mencermati setiap berkas digital, menemukan surat-surat tanah, bukti kepemilikan beberapa surat berharga dan batangan emas. "I ... ini semua—"

"Ayara enggak pernah mengambil atau menyembunyikannya. Selama ini ada di koper dokumen Thomas yang disimpan oleh Eyang Taher. Kami baru berhasil membukanya beberapa hari yang lalu dan sekarang dokumen aslinya ada pada Ayah dan Bunda."

"Y ...yang benar saja," sebut Ny. Inggrid dengan tangan gemetar, tatapannya agak tidak fokus kala meletakkan ponsel Esa di meja dan mengatur napas. "I ... itu berarti, anak lelaki yang semalam disebut-sebut itu ..."

"Ya, Thomas dan Ayara sungguh memiliki seorang anak lelaki." Esa mendapati wajah nenek Tsabitah memucat. "Ayah dan Bunda sudah menemuinya, kata mereka anak itu benar-benar persis Thomas."

"T... tidak, itu tidak—"

"Shh ... enggak berat kok, Ayah bisa, Ya." Suara Theo Ruslantama terdengar seiring pintu utama membuka.

Esa langsung berdiri dari duduknya melihat ayah Tsabitah masuk dengan menggendong seorang anak lelaki yang pulas. Ayara mengikuti di belakangnya dengan wajah tenang, memberi senyum simpul saat mendongak dan menatap Esa.

Senyum simpul itu lenyap saat beralih tatap kepada Ny. Inggrid ... Ayara hanya memberi anggukan singkat.

"Bita masih mandi?" tanya Theo.

"Iya, tapi kalau mau ditidurkan, sofabed di dalam bisa dipakai," kata Esa langsung mundur untuk mempersilakan.

"Boleh, Aya?" tanya Theo.

Ayara mengangguk. "Iya, dari semalam memang enggak bisa tidur."

Theo membawanya masuk dan saat Ny. Inggrid hendak menyusul beranjak. Esa dan Ayara kompak bergeser, menutup jalan masuk.

"Kalian ..." sebut Ny. Inggrid dengan agak menggeram.

"Oma harus tenang," kata Esa lalu menoleh perempuan di sampingnya. "Sebaiknya kita juga bicara lebih dulu dengan—"

Ny. Inggrid menoleh Ayara dengan tatapan tajam. "Berani-beraninya kamu selama ini menyembunyikan darah daging cucuku!!!"

"Saya seorang ibu, karena itu saya berani mengambil keputusan yang akan membuat hidup anak saya lebih stabil dan bahagia," jawab Ayara lalu mengepalkan tangannya erat, mengumpulkan kekuatan untuk balas berbicara tajam. "Jangan coba-coba untuk mendekati anak saya, dia hanya datang untuk keluarga Ruslantama dan Kanantya."

"Apa katamu!!!" seru Ny. Inggrid tidak terima.

"Ibu dengar kata-kata saya," ucap Ayara lalu mengangkat dua tangan, memundurkan satu kaki dan memastikan posisi kuda-kudanya benar. "Kali ini jika Ibu masih ingin bersikap kasar, saya sudah belajar bela diri dengan baik."

Esa melirik Ayara, lalu menatap nenek Tsabitah yang jelas terkesiap kaget. Dua perempuan beda usia itu kemudian hanya saling tatap dengan ekspresi muram.

"Aku sudah yakin Ibu bakal mengacau," ujar Inge dari dalam ruangan dan Esa bergeser memberi jalan.

Ny. Inggrid segera mengadu, "Inge, perempuan ini menghalangi Ibu untuk lihat anaknya Thomas! Benar-benar keterlaluan!!!"

"Perempuan ini seorang ibu yang berhak melakukan itu demi kebaikan anaknya. Lagipula, Ibu enggak bisa sembarangan ketemu anak tanpa izin wali yang sah."

"Inge!!!"

Inge tidak mengindahkan seruan itu, justru semakin mantap merangkul sang ibu dan membawanya beranjak. "Ibu enggak mau sarapan bubur gudeg, ya udah ayo ... cari sarapan lain."

"Siapa peduli sama sarapan!!! Ibu mau lihat anaknya Thomas!!!" Teriak Ny. Inggrid, enggan beralih tempat. "Itu anak, cicitnya Ibu juga, Inge!!!"

"Ayara belum kasih izin, Ibu juga belum minta maaf. Jadi, selama dua hal itu belum terjadi, Ibu enggak bisa ketemu Ageng," jelas Inge dan tetap membawa sang ibu beranjak dari ruang rawat meski diwarnai seruan penolakan tiada akhir.

Ayara menghela napas lega tatkala pintu depan tertutup rapat. Ia bergegas menoleh, memastikan Ageng masih pulas. Anak itu sedang dipandangi oleh Tsabitah yang takjub dan terharu.

"Bita cantik banget," ujar Ayara.

"I know," sahut Esa dan tertawa pelan ketika Ayara langsung memberinya tatapan tajam.

"My husband truly a visioner, dari dulu dia mengoceh hanya akan merelakan Bita dalam penjagaanmu ... dan lihat sekarang, kalian bakal menikah."

Esa tersenyum kecil. "This time, you beat me completely, Ra."

Ayara sadar maksudnya dan meringis. "Finally! Aku dan Thomas menikah duluan, punya anak duluan dibanding kamu. Yes!"

"Aku harap kamu memamerkan itu sejak awal, but it's okay, aku mengakui kekalahan ini," kata Esa lalu mengangkat tangan kirinya. "Congratulation."

Ayara menatap tangan itu kemudian menjabatnya dan mengangguk. "Aku kira kamu pakai prostetik."

"Lagi enggak pakai, kenapa emang?"

"Aku bilang Ageng soal kondisi tanganmu ..." Ayara lebih dulu melepas jabatan tangan dan bertanya. "Are you okay?"

"Today, I am okay," jawab Esa jujur lalu mengendik ke kursi duduk dan beralih ke sana. "Jam berapa dari Bali?"

"Jam tujuh lebih, sampai sini udah hampir jam sembilan ... thanks to your brother in-law, untuk pertama kalinya aku bawa Ageng sama Bapak nginep di Presidential Suites."

Esa mengangguk. "Ageng enggak bisa tidur semalam?"

"He's too excited dan karena nanti mau ke makam, dia pengin bisa melengkapi sisa hafalan Yasin." Ayara tersenyum bangga. "He's gonna be proud as I am, right?"

Esa tahu siapa yang Ayara maksud dan kembali mengangguk. "Of course."

"Karena aku sudah diselidiki sedemikian rupa, sekarang gantian ... apa yang terjadi sampai kamu bisa punya hubungan spesial sama Bita?"

"Aku juga rasanya masih belum percaya sama proses kedekatan ini. Awalnya Eyang yang punya usul, terus para orang tua sepakat, aku dan Bita kemudian mencoba menjalaninya sampai sekarang." Esa menatap Ayara dan tersenyum. "I will try my best to make Tsabitah happy."

"Kamu sendiri juga harus bahagia, Esh."

Esa sedikit menundukkan kepala, entah kenapa ia tetap merasa perlu untuk meminta maaf. "Ra, I have to say sor—"

"Nope!" sela Ayara yang kemudian menggeleng.

Mereka berbagi momen hening selama hampir setengah menit. Ayara memandangi cincinnya dan tersenyum lembut.

"Waktu kecelakaan itu, dia langsung telepon aku dan aku ingat setiap momen kepanikannya hari itu. He must really shocked and scared." Bibir Ayara agak bergetar dan ia butuh mengusap telapak tangannya yang terasa basah. "Kita kuat, bisa bertahan kehilangan Thomas. Tapi dia enggak akan bisa bertahan kalau sampai kehilangan Bita ..."

Esa menoleh Ayara yang kini meneteskan air mata. "Ara ..."

"I can't imagine, Esh ... akan sesakit atau sehancur apa Thomas kalau hari itu sampai kehilangan Bita." Ayara menghapus tetas air matanya dan menghela napas pendek. Benaknya dipenuhi satu kesadaran setiap kali memikirkan tragedi itu. "We both know, kalau dibandingkan Bita, Thomas enggak akan memilih dirinya sendiri."

Esa mengangkat tangan untuk mengusap air matanya yang ikut jatuh. "Dummy Tommy."

Ayara mengangguk. "Yup, makanya dia mentok rangking sembilan terus."

Esa berusaha tidak tertawa. "Katakan kalau Ageng enggak separah itu."

"Di sekolah Ageng, kelas dua belum pakai sistem rangking. Tapi aku pastikan nilainya kalau bukan A ya B+."

"Great!"

Ayara kemudian menoleh ke pintu penghubung ruang rawat Tsabitah. "Enggak terbayangkan sebelumnya bahwa aku akan punya anak tanpa pendampingan ibu dan suamiku ... kadang aku merasa tinggal tunggu waktu sebelum gila beneran, but you know, my son is surely like an angel."

Esa mengangguk. "Kagendra bilang he's so smart and kind."

"Aku sadar hamil karena bleeding, sekitar dua mingguan setelah pemakaman. Bayiku ternyata udah delapan minggu dan dokter agak khawatir karena bobotku turun drastis. Makanya begitu dinyatakan aman berpergian, aku memilih untuk benar-benar pergi."

"Thomas will understand that," kata Esa.

Ayara menggeleng. "I wish he got mad and take me soon after I gave birth."

"Ra," sebut Esa dengan kaget.

"Iya, dulu pikiranku memang sekacau itu, Esh. Aku pikir dikasih hamil supaya bisa meninggal saat persalinan dan masuk surga, ketemu Thomas ..." Ayara mengakui dengan pedih dan kembali mengusapi air matanya. "Tapi begitu lihat anakku, pikiran kayak gitu langsung lenyap. I want to continue my life, fully to love him, to making sure that he's happy with me."

Esa mengangguk. "You choose the right things to do, Ra."

"Ageng kemarin bilang terima kasih, karena meski enggak ada ayah, aku tetap memilih jadi ibunya." Ayara memejamkan mata sejenak dan tersenyum lebar. "Dengar dia bilang begitu, aku udah enggak ada penyesalan apa pun. Aku juga mau sehappy anakku ketika nanti kalian berbagi cerita tentang ayahnya."

Esa bisa melihat ketulusan yang Ayara tunjukkan padanya. Istri sahabatnya itu memang tampak jauh lebih tegar dan kembali tersenyum lagi.

"Ageng punya banyak banget pertanyaan, karena itu ... please, help him to know about Thomas," kata Ayara lalu merogoh saku dan mengulurkan beberapa kemasan coklat. "Nih, sogokan."

Esa menerimanya dan tertawa. "Jangan sampai Bita lihat."

"Bita dapat jatah sendiri, and sure, punya dia lebih banyak," kata Ayara lalu ikut tertawa. "Bentuknya juga lebah yang lebih bagus."

"Wah! Pilih kasih!" Tuduh Esa karena miliknya bentuk lebah yang beberapa sayapnya terlihat patah.

Ayara mengangguk, mengakui tuduhan itu. "Emang! Thomas will do the same."

"You were right," kata Esa lalu tersenyum memandangi bungkusan coklat di tangannya. Bentuknya memang tidak sempurna namun makna pemberian ini membuatnya bisa kembali merasakan bahagia.

"Thank you, Ara."

"Thanks to you too, Esh ..." balas Ayara dan kali ini merasakan satu kelegaan baru juga rasa damai karena dapat berbagi duka seperti seharusnya.

***

"Ini luar biasa," kata Tsabitah setelah cukup lama terpana.

Theo merangkul sang putri dan mengusap-usap lembut ke bahu. "Dokter bilang apa? Udah beneran baik?"

Tsabitah mengangguk. "Iya," jawabnya lalu memperhatikan Ageng bergerak dalam tidur memiringkan tubuh ke kanan dan tangan kirinya bergerak mencari-cari.

Theo segera memindahkan satu bantal dari ranjang Tsabitah, menempatkannya untuk dipegangi Ageng. Anak itu berpegangan lalu mendongakkan posisi kepala, pulas tidur dengan suara helaan napas yang teratur.

"Wah!" sebut Tsabitah karena familiar dengan posisi tidur itu.

Theo tertawa tanpa suara. "Jangan-jangan Ageng semalam enggak bisa tidur karena enggak pegangan guling atau bantal."

"Mamas tuh mending enggak selimutan daripada kurang bantal di kasurnya." Tsabitah kemudian mendekat, duduk pada bagian pinggir sofabed yang kosong, mengusap bagian telapak kaki dan seketika membuat jemari kecil keponakannya mengerut. "Ya ampun, dia begini juga."

Theo memang sadar ada banyak kemiripan Ageng dengan Thomas. Ia mengelus-elus bahu sang putri, mendekat untuk memberi pelukan saat Tsabitah tiba-tiba menangis dalam diam.

Esa mengetuk pintu perlahan lalu memberi tahu, "Tante Bita maem dulu, sambil tunggu Ageng bangun, ya ..."

Tsabitah segera mengangguk dan menunjukkan seulas senyum. Ia harus kuat, juga sepenuhnya sehat.

"Oke."

***

Suasana yang menyambut Ageng ketika membuka mata adalah keramaian dan terdengar suara tawa pelan sang ibu. Ia berbaring meringkuk, berselimut kardigan rajut dan terasa elusan lembut di kepala.

"Oma Inge ..." panggil Ageng pelan.

"Hallo," jawab Inge dan sesaat kemudian Ravel berlari mendekat.

"Mas Agengnya udah bangun, Oma?"

Ageng mengerjapkan mata, segera duduk dan sebisa mungkin merapikan diri. Inge membantu menyugar rambut sang cucu.

"Enggak sabaran mau kenalan," kata Esa yang menyusul mendekat dan membantu Ravel ikut duduk di pinggiran sofabed.

Ageng langsung mengenalinya ketika memperhatikan tangan prostetik yang terulur ke arahnya. "Om ... Esa, ya?"

Melihat Ageng dan mendengar suaranya, membuat Esa sempat terkenang suara renyah familiar yang ada dalam memorinya. Ia bahkan sempat berharap dipanggil; Esh.

"Hallo, Ageng, ini Om Esa ..." ujar Esa seraya tersenyum. Sebagaimana janjinya pada Tsabitah untuk sebaik mungkin mengawali perkenalan dan pertemuan ini.

Ageng tersenyum menjabat tangan prostetik yang menurutnya begitu keren. "Hallo, Om, salam kenal."

"Gantian, Vel!" sebut Ravel, jelas tidak sabar.

Esa tertawa, ganti mengulurkan tangan Ravel. "Bilang gimana?"

"Hallo, Mas Ageng, panggilnya aku Vel aja," kata Ravel membuat orang dewasa yang mendengarnya tertawa.

Ageng tersenyum, dia tahu anak ini putra Om Kagendra yang ditemuinya beberapa hari lalu. "Hallo, Vel ..."

"Aku udah bawa banyak mainan, kita bisa main bareng," kata Ravel menunjuk ke tas ranselnya.

Esa mendekap keponakannya. "Nanti mainnya tuh ... sekarang Mas Ageng mau kenalan dulu sama banyak orang."

Ageng seketika sadar, memang ada banyak orang, jauh lebih banyak dari perkiraannya. Itu membuatnya agak gugup.

Ayara sudah ganti mendekat, memegangi sang anak saat beralih turun dari sofabed. "Salim ke Eyang dulu."

Ageng mengangguk, berjalan ke arah lelaki tua yang duduk di kursi penunggu. Sosok itu terlihat lebih tua dari foto yang sempat ditunjukkan sang ibu namun senyum ramahnya begitu serupa, juga ekspresi hangat yang terpancar dari wajah Taher Ruslantama.

"Eyang ... ng, kata Ibu panggilnya—"

"Iya, benar panggilnya begitu," ucap Eyang Taher dan ketika menjabat cicitnya, perlahan membawa tangan itu ke bibir, menciumnya lembut.

Ageng tersenyum, ingat ucapan yang diajarkan sang kakek semalam. "Sugeng enjang, Eyang sami wilujeng?" [Selamat pagi, Eyang kabarnya baik?]

Eyang Taher mengangguk. "Pangestunipun, Cah bagus." [Baik berkat doanya, anak tampan.]

Ageng tersenyum saat berikutnya dipeluk dan meski sedikit geli membiarkan wajahnya dicium. Entah kenapa untuk sekali ini dia tidak perlu merasa malu karena disayang-sayang oleh banyak orang.

Theorika Ruslantama sempat terpaku di tempat saat Ageng beralih ke hadapannya. Kemiripan itu begitu nyata, Thomas nyaris mewariskan setiap ciri fisiknya pada anak yang tersenyum dan ganti mengulurkan tangan kanan kepadanya.

"Tante Rika, ya?" Sebut Ageng.

"Eh, Ibu yang panggil Tante Rika, kalau Ageng—"

"Let him, Ayara," ujar Tante Rika dan sebisa mungkin menahan haru. "Mumpung masih kelihatan Tante-tante juga nih ..."

"Iya, enggak beda jauh dari foto yang dikasih lihat Ibu," ungkap Ageng lalu menyalami dan mencium tangan.

"Aduh, dulu kalau Ayahmu pinter ngalem begini, tandanya minta top up koin buat ngegame." [Ngalem = memuji]

Ageng menyengir. "Ayah dulu mulai kapan main gamenya?"

"Ehhh ... selesaikan dulu salim sama kenalannya," ujar Ayara, mengalihkan sang anak sebelum fokus berubah.

Ageng merasa enggan saat Akungnya hendak ganti menuntun untuk berkenalan dengan kelompok keluarga Razi di ruang duduk. Ia menggeleng begitu mengenali sosok nenek yang lekat memandanginya.

"Enggak! Enggak mau!" tolak Ageng lalu beralih memegangi lengan sang ibu dan memperhatikan sosok yang duduk di tengah ranjang perawatan. Ia begitu saja memanggil, "Mau sama Tante Bita ..."

"Mbak Aya, tolong," pinta Tsabitah cepat.

Ayara membantu anaknya duduk di pinggir ranjang rawat. Ageng cepat bergeser dan memeluk sosok paling familiar, saking banyaknya foto sang ayah dengan tantenya ini.

"Nice to meet you," ungkap Tsabitah, memang butuh waktu baginya untuk tenang dan bisa mengatasi rasa haru atas kehadiran keponakannya ini.

"Iya," jawab Ageng lalu saat mendengar suara pip! berulang dan ritmis, dirinya perlahan memperhatikan ke jam pintar di tangan kiri.

"It's okay," ujar Tsabitah lalu menunjukkannya. "Ini soalnya Tante Bita extremely happy to see you here."

Ageng menggenggam tangan kiri Tsabitah dan mengangguk. "Ibu bilang Tante Bita lukisnya juga bagus."

"Jauh lebih bagus dibanding ayahmu."

Ageng meringis. "Aku bawa buku sketsaku."

"Toma dibawa enggak?" tanya Tsabitah.

Ageng segera mengangguk-angguk. "Iya, dia jadi beli kandang baru biar bisa dibawa terbang."

"Toma itu apa?" tanya Ravel penasaran dan Esa memindahkan keponakannya itu agar ikut duduk di ranjang Tsabitah.

"Kucingku namanya Toma," kata Ageng.

"Wah! Kalau Mama punya Igunana dua, namanya Raphael sama Rambo!" Ravel kemudian menoleh Esa. "Om Esa pinjam ponselnya, mau kasih lihat igunananya."

Esa menyerahkannya bersamaan Ayara juga menyerahkan ponsel pada Ageng. Dua anak itu kemudian antusias saling menceritakan kegiatan bersama hewan peliharaan masing-masing. Tsabitah yang menyimak akhirnya ikut hype dengan memberi tahu sudah proses adopsi kucing untuk diberi nama Lubi.

Setiap pasang mata orang dewasa di ruangan terpaku pada cerita Ageng dan setiap kali anak itu tertawa atau membuat cengiran kecil, menghadirkan satu perasaan lega yang tidak terkira.

Tentu masih ada hari-hari dimana perkenalan berlanjut menjadi kedekatan yang seharusnya sebagai satu keluarga. Namun, semua orang sepakat untuk perlahan-lahan dalam menjalaninya.

Di sisi ruangan sebelah, Ny. Inggrid sadar setiap pengecualian yang diarahkan terhadapnya merupakan buah dari kesalahannya sendiri. Namun, dapat mendengar suara tawa Ageng sungguh menjadi penghiburan bagi jiwanya yang senantiasa dipenuhi duka sekaligus rasa sesal teramat sangat.

[]

🩷

Oma, Anda beneran tyda diajak ya. Mas Ageng maunya deket-deket keluarga yang vibesnya positif dan bawa happy aja ... yang julid sama bikin sedih ibunya, dia no no no~

wkwkwkwkk enjoy karma.

.

Anw, kemarin ada yang tanya agak ciyus ... gimana kalau Ageng dewasa dan dikasih cerita soal kecelakaan Ayahnya, apakah dia bakal berubah pendapat soal Esa? Minimal curiga kalau Esa beneran jahat?

Jawabannya, Enggak.
Why? Simply karena dia bakal sadar sendiri, sebaik dan sekuat apa bonding antara Ruslantama-Kanantya. Dia juga bakal tahu sesayang apa Thomas ke Tante Bita-nya.

Ayara tuh jujur kasih insight family ke Ageng, jadi apa pun hosip dan issue yang terus berkembang di masa depan. Apa yang Ageng rasakan ke Esa atau Bita enggak berubah.

.



























































🐣




⤵️

Flower series yang dimaksud Papanya Ravel:

jangan tanya harganya, jumlah rubi sama emeraldnya aja susah ngitunginnya 🙏🏼

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top