[ 37. ]


Hai,
sekadar info aku selamat ya dari semua pertanyaan keramat, wakakaka berkat keahlian haha-hehe *poker face*

😆

.

2.775 kata untuk bab ini
mulai agak nervous karena sebentar lagi kudu scene prepare wedding & after wedding ... kuatkan aku~

.

Thank you so much, bestie 🫰🏻

🍯

[ 37. ]

"Bunda mimpi Bita yang gantian main sama Mamas kecil, hahaha ... kadang memang Bunda agak sedih kalau sadar kelewat banyak momen Mamas pas SD mau ke SMP. Waktu itu Bunda sering banget ninggalin Mamas diasuh eyang putri atau dititip ke Kanantya dibanding asuh sendiri. Rasanya datang ke sekolah itu cuma kalau ada event sama orang tua, ambil raport sama kelulusan."

Tsabitah menikmati sarapan paginya dengan mengingat cerita sang ibu tersebut. Anehnya, semalam dia juga memimpikan hal yang sama, ada Thomas versi anak-anak yang melukis bersamanya.

Tsabitah menyengir, selain karena jarak kelahiran membuatnya tidak tahu bagaimana sang kakak saat kecil, Thomas juga sama sekali tidak punya bakat seni. Jangankan melukis suatu objek dengan goresan kuas yang artistik, menggambar bangun datar saja harus dibantu. "Mungkin di surga, orang benar-benar bisa mendapatkan hal yang paling mereka inginkan di dunia. Iya enggak, Eyang?"

Taher Pramodya Ruslantama mengekeh. "Tentu saja, surga adalah tempat segala keinginan manusia terpenuhi. Kenapa tiba-tiba Bita tanya soal itu?"

"Random aja," jawab Tsabitah lalu menatap kakeknya yang hampir menyelesaikan sarapan. "Eyang jadi ganti kacamata baru, ya?"

"Eyang pilih frame paling mahal ... hahaha ini Tante Rika yang maksa, katanya bagus nanti kalau pakai beskap." Eyang Taher kemudian mengangkat kacamata barunya yang tergantung dengan strap rantai tipis.

Tsabitah menunggu kakeknya mengenakan kacamata baru itu kemudian berdecak. "Wah, gawat banget, Eyang jadi kelihatan lebih ganteng dari Mas Esa."

Tawa renyah terdengar sebelum Taher Ruslantama berseloroh, "Ini sebabnya Eyang Ti pasti sabar nunggu Eyang di surga sana."

"Pasti, pasti," ujar Tsabitah kemudian teralihkan suara salam yang familiar.

Esa datang dan langsung diantar ke ruang makan. Lelaki itu seketika siaga saat Tsabitah beranjak cepat ke arahnya. "Astaga," sebut Esa lantas menyeimbangkan diri dan memegangi tubuh ringan yang memeluknya.

"Hehehe, udah kangen..."

Eyang Taher tertawa. "Semalam kalau semua pintu enggak dikunci, Esh ... kabur ke Palagan itu pasti. Jendela juga harus rapet engselnya."

"Gawat emang," kata Esa lalu menunduk pada gadis yang justru cengengesan. "Habisin dulu sarapannya dong."

"Suapin..." rajuk Tsabitah.

"Katanya udah gede, masa kalah sama Ravel."

Tsabitah menyengir. "Jatah manja."

"Nanti, sekarang Mas ada perlu sama Eyang," kata Esa, kedatangannya ke rumah ini memang bukan semata untuk menemui Tsabitah namun juga mencari tahu beberapa hal terkait Thomas.

"Iya, giliran Bita nanti kalau habis sarapannya ... sini, Esh, bantu Eyang pindah ruang baca," pinta Eyang Taher yang mengelap bibir dengan serbet meja.

Tsabitah melepaskan Esa, kembali ke tempat duduknya. "Handphone Mas Esa udah beres belum? Aku chat lagi tadi subuh enggak bisa."

"Udah, tapi applikasi chatnya belum install ulang, ada error waktu unduh riwayat chat yang tersimpan." Esa memberi tahu lalu menyerahkan ponselnya. "Soal foto-foto studio yang udah diedit kirim lewat QuickShare aja, nih."

"Oke, mau jadiin wallpaper kembar, boleh?"

"Boleh, tapi lockscreen jangan diganti, Mas suka foto itu," ungkap Esa lalu memegangi lengan Eyang Taher, membantunya berdiri dan berpindah. "Selesai sarapan baru nyusul ke ruang baca ya."

"Iya, iya," kata Tsabitah, membiarkan Esa dan Eyang Kakungnya berlalu pergi baru memeriksa ponsel baru di tangannya.

Pipi Tsabitan bersemu menyadari foto yang Esa gunakan sebagai gambar pengunci layar ponsel. Itu dirinya, fotonya juga terlihat bagus dan senada juga dengan lockscreen di ponselnya.

"Jadi begini, kalau perasaan sayang beneran berbalas," ujar Tsabitah lantas tersenyum lebar dan menyentuh dada kiri tempat jantungnya berdegub. "Ya ampun, bahagia banget aku."

Tsabitah bermonolog sendiri sambil makan dan jemarinya aktif memindahkan beberapa dokumentasi, baik foto studio atau foto-foto yang selama ini diambil bersama.

Usai menyelesaikan sarapan, Tsabitah juga memutuskan untuk membantu menginstall ulang applikasi chat, mengatur pemulihan data dan menunggu dalam hening tatkala loading bar bergerak.

"Lho ini bisa dan lancar aja," kata Tsabitah memperhatikan data percakapan chat yang perlahan muncul.

Ting!

Denting-denting chat masuk juga mulai terdengar, membuat Tsabitah memperhatikan layar ponsel dengan lebih seksama.

Ka.Wa.L Group Chat
Kagendra, Waffa, you.

Kagendra
Can you believe?
Dia bisa bikin pestisida nabati dari bawang putih!

Waffa
Brilliant science boy 👍🏻

Kagendra
Esh?

Kagendra
Kok udah online? Katanya nanti sore baru mau install lagi?

Kagendra
Error apa gimana nih?

Waffa
Sekadar mengingatkan! Jangan maksa finger print pakai tangan kanan 🙏🏼

Kagendra
😆

Waffa
HP baru, koleksi baru enggak nih?
new release JAV atau Fake Taxi, lengkap.

Kagendra
Brengsek, Waffa!
Tobat, Babi.

Tsabitah mengerutkan kening memperhatikan chat-chat masuk di ponsel Esa. Suara denting notifikasi nyaris tidak berhenti.

MY LITTLE RE
Mama & Mas Ndra udah cerita tentang persoalan di Bali. Aku sama Ravel sama Dede langsung persiapan berangkat, nanti sore landing YIA biar bareng sampainya di Jogja.

MY LITTLE RE
Mas Esa jangan nyalahin diri sendiri. Aku yakin Om Theo sama Tante Inge akan kuat menghadapi semuanya, termasuk Bita juga. Kita bakal ada di sana untuk mereka.

Tsabitah mengerjapkan matanya cepat, secepat tangannya yang kemudian menjauh dari ponsel Esa. Ia menyentuh dada kembali, mengatur napas dan berusaha menyamankan perasaan yang tiba-tiba berkecamuk dalam curiga.

Tsabitah teringat masa di mana setiap permasalahan bahkan sekecil apa pun itu selalu disembunyikan darinya dan dibanding Thomas, Esa memang selalu lebih rapi dalam menutupinya.

"Enggak ... Mas Esa pasti akan cerita," ujar Tsabitah yang kemudian meninggalkan ponselnya dan ponsel Esa di meja makan. Ia tidak akan mengecek lebih jauh karena yakin, lelaki yang paling dipercayainya itu akan balas mempercayainya juga.

***

Pradipandya Villa, Bali
08.35 WITA

"Pagi, Ma," sapa Kagendra yang memasuki ruang makan.

"Pagi," balas Soraya sembari memindahkan jus jeruk ke dalam gelas. "Mau ikut minum jus atau kopi kayak Waffa?"

"Waffa udah turun?" tanya Kagendra, segera mengedarkan padangan dan mendapati sahabatnya duduk di area sofa santai, mengangkat cangkir kopi dengan senyum lebar. Pamer, sudah lebih dulu dapat perhatian Soraya.

Kagendra menahan dengkusan, mendekat pada ibu mertua. "Aku mau jus aja, Ma."

"Oke," kata Soraya lalu menuangkan segelas lagi, menyodorkannya pada Kagendra sebelum beralih mengeluarkan loyang berisi bolu pisang yang baru matang dari oven. Wangi sedap dan manis seketika memenuhi ruangan.

"Wah, wangi banget, Tante," puji Waffa yang seketika bangun dari duduknya.

"Om Theo sama Tante Inge lagi enggak mood, semalam juga sedikit banget ambil makanannya ... ini resep bolu pisang dari mendiang Eyang Putrinya Bita, semoga bikin mereka agak semangat pagi ini," ucap Soraya, berhati-hati saat memindahkan ke meja.

"Saat kami temui kemarin, agaknya Ayara bukan tipe yang mudah terbawa emosi ... dia cukup tenang menyadari upaya-upaya kami dalam menyelidiki hidupnya dan Ageng," kata Waffa lalu duduk di kursi sebelah kiri Kagendra. "Satu sisi Om Theo dan Tante Inge menyerahkan keputusan penuh pada Ayara. Jujur salut sekali, terutama setelah melihat Ageng secara langsung dan tetap mengutamakan ketenangan untuk interaksi bersama."

"Om Theo dan Tante Inge kenyang belajar ikhlas, makanya setelah mempelajari detail berkas atas apa yang kalian temukan di sini ... dapat memutuskan bersikap tenang begitu." Soraya tersenyum simpul. "Aslinya ya tetap sedih dan sakit, tapi sudah cukup juga semua tekanan sampai tuntutan terhadap Ayara. Dulu dia yang sudah bersabar, kali ini gantian kami yang sabar."

"Kemarin, waktu ketemu Ayara untuk kasih titipan Esa, aku sempat meninggalkan kartu nama ... semoga hari ini dia mau menghubungi dan benar-benar ada itikad berbagi tentang Ageng juga," ujar Kagendra lalu meneguk minuman di gelasnya.

"Kalau menilik Ageng yang kemarin dibolehin nyusul ke kantor buat antar makanan, itu harusnya sinyal positif ... iya, 'kan?" tanya Waffa, ikut meneguk sisa kopi di cangkirnya.

"Semoga, Pak Irul pun komunikatif, pertemuan para orang tua kemarin berjalan baik 'kan, Ma?" tanya Kagendra untuk memastikan.

"Ya." Soraya mengangguk. "Om Theo dan Papa memang sengaja enggak terlalu banyak membahas masa lalu, enggak ingin Pak Irul juga merasa bersalah ... kepergian Thomas memang enggak mudah dihadapi. Kami paham kenapa beliau mendukung Ayara untuk berlari sejauh ini."

Waffa mendadak penasaran. "Menurut saya, enggak ada yang kurang dari Ayara, kenapa dulu neneknya Bita itu enggak merestuinya?"

"Emang nyebelin ajalah tuh nenek," cetus Kagendra yang hampir menerbitkan tawa ibu mertuanya.

"Hush," tegur Soraya pelan lalu bercerita. "Yah, Oma Inggrid memang hidup sejahtera sejak awal, keluarganya punya pabrik tekstil. Suami-anak-cucunya juga berhasil dalam usaha dan memiliki derajat hidup yang bisa dikatakan sangat baik. Ayara, menurutnya hanya pegawai biasa, saat itu punya tanggungan ibu yang sakit parah, sementara Pak Irul dinilai hanya sebagai guru seni rupa yang penghasilannya enggak seberapa. Oma penginnya Thomas menikah dengan perempuan yang sama-sama pewaris usaha. Bibit, bobot dan bebetnya sepadan."

"Prinsipnya enggak salah, tapi kalau dalam situasi Thomas ya keterlaluan ... pacarannya udah lama banget gila," ungkap Kagendra sambil geleng kepala.

"Si Oma itu minta hal enggak masuk akal juga ke Ayara?" tanya Waffa.

"Iya, dulu menuntut agar rumah keluarga Soeryadarma yang masih bangunan lama ... direnovasi total. Jadi dua lantai dan pakai granit alam juga seperti rumah Ruslantama di Palagan."

Kagendra berdecak. "Tante Inge enggak begitu sayang 'kan sama tuh ibunya? Semisal mendadak wafat enggak bakal nangis yang—"

"Ndra!" Waffa dan Soraya kompak menegur.

Kagendra angkat tangan. "Menurutku memang keterlaluan, Ma. Pantesan Ayara defensif banget ... dulu aja sebenci-bencinya Papa sama aku, yang diutamakan tetap Lyre, bukan persoalan uang atau kekayaan."

"Ya beda orang, beda pandangan, Ndra," kata Waffa lalu merendahkan suara. "Lo kalau ngomong dipikir dulu, jangan sampai bikin Om Theo atau Tante Inge justru makin sedih."

"Ya, sorry ..." ujar Kagendra singkat.

"Jangan khawatir, kalian sudah menyerahkan apa yang Esa titipkan, kami juga sudah bicara pada Pak Irul tentang apa yang perlu dipahami sebagai sesama orang tua ... bahkan dapat kesempatan lihat Ageng juga. Kepentingan kita di sini sudah terpenuhi dan tinggal sabar menunggu." Soraya kemudian memotong-motong kue bolu di piring saji. "Mama percaya, enggak ada namanya kesabaran yang berakhir sia-sia."

"Kagendra mana paham soal itu, Tante," ujar Waffa dengan nada ledekan.

"Heh! Jangan sok ngaduin, lo sama gue sebelas dua belas," sergah Kagendra yang kemudian menyikut Waffa.

Soraya tertawa pelan memperhatikan dua lelaki dewasa di hadapannya yang kemudian saling sikut dan begitu saja berseteru sendiri sampai saling kejar ke ruangan sebelah.

Inge yang baru turun memperhatikan itu juga dan mendekati Soraya. "Kenapa tuh, ya ampun sampai gegulingan di karpet."

"Kata Bu Kinar emang begitu kalau lagi akrab," jawab Soraya lalu menggeser segelas jus. "Enggak pakai gula dan tambah dua sendok sari lemon."

Inge tersenyum. "Thank you."

"Sarapannya juga bolu pisang," kata Soraya.

"Ya ampun, baru sadar, pantes wanginya bikin kangen." Inge tersenyum gembira lalu mencomot satu potongan kue, menikmatinya dalam hening sebelum menghela napas lega. "Aku mendadak lapar."

"Enggak ada Bita, biggest slice boleh buat kamu," ungkap Soraya yang menggeser potongan kue paling besar.

Inge tertawa pelan, menikmati suapan kedua lantas sebuah ide melintas dalam pikirannya. "Ng, bahan kuenya masih ada enggak, Ya?"

"Masih dong, sama penjaga vila ini disiapin pisang satu lirang, seloyang ini cuma pakai lima buah," jawab Soraya lalu menoleh sahabatnya dengan senyum pengertian. "Kita bikin lagi? Sebelum ke bandara, kita mampir buat kasih Ageng?"

Inge mengangguk, bergegas menyingsingkan lengan panjang di kemejanya. "Let me help you."

***

Jika Kagendra mengatakan hal-hal yang membuatmu keberatan, aku mewakilinya untuk meminta maaf … situasiku yang enggak mudah membuatnya ikut kepikiran dan dia itu tipe tuan muda yang segalanya harus bisa didapatkan. Hahaha … jadi tolong maafkan jika dia keterlaluan. You don’t have to worry about my problem, aku akan menyelesaikannya dan tetap menjaga Tsabitah dengan baik. Aku enggak akan bikin kecewa Thomas, karena itu aku berharap … kamu bersedia merestui kami, mewakilinya juga.”

Ayuning Swara Soeryadarma merenungi tayangan video di hadapannya dalam diam. Kemarin, rumahnya kedatangan tamu yang tidak diharapkan. Mereka datang mengantarkan titipan Esa, sebuah diska lepas berisi banyak video lawas tentang Thomas. Esa juga merekam video untuk memberi kabar, video yang saat ini masih membuat Ayara merenung.

Tujuanku bikin video ini cuma untuk itu, Ra, meminta doa restu darimu, enggak lebih dari itu. Karenanya jangan pernah merasa tertekan apalagi punya kewajiban untuk segera kembali … kali ini, kamulah yang memutuskan, yang memiliki hak penuh atas jalan hidupmu bersama si kecil. Aku akan berusaha menutupinya dari Tsabitah juga,  just do what you wanna do … Thomas pernah bilang bahwa separuh jiwanya ada padamu, dia tahu betapa kamu akan menjaganya dengan baik, aku turut mempercayaimu sebesar itu juga.”

Just do what you wanna do. Ayara mengulang itu dengan gumam bibir yang masih terkatup rapat. Ia sudah tidak seemosional saat pertama kali melihat video ini kemarin, namun tetap ada rasa nyeri dalam dadanya melihat bayang kesedihan masih tampak di sepasang mata Esa.

Dahulu, sorot sepasang mata itu nyaris seredup miliknya. Wajah yang biasanya menampilkan raut tenang, ekspresi terjaga yang bijak dan ramah ... berubah kalut, sedih, sekaligus teramat kehilangan.

“I am so sorry, I lost him, Ara.”

Esa dulu mengatakan itu padanya, dengan suara lemah, putus asa, dan memang sulit dipercaya ... lelaki itu bisa gagal menyelamatkan orang paling penting dalam hidup mereka.

Ayara dulu selalu berpikir, dirinya boleh kalah atas banyak hal yang dimiliki Esa; kesempurnaan nilai akademik semasa sekolah, kesejahteraan keluarga, hingga hubungan romansa yang mengalir lancar. Ayara boleh kalah dari lelaki itu, sebanyak apa pun kompetisinya selama dia masih memenangkan Thomas.

"I lost him too," ungkap Ayara pada keheningan di ruang kerjanya dan mematikan tayangan video. Ia memejamkan mata, menghela napas panjang sebanyak tiga kali dan beranjak keluar dari ruang kerja.

"Ibuuu ..." panggilan itu membuat Ayara bergegas keluar rumah, kaget melihat Ageng yang tadinya pamit berkegiatan di kebun kini keluar dari mobil mewah dan langsung membantu Solane mengeluarkan beberapa barang.

"Mas, Akung mana?" tanya Ayara was-was, dua orang yang bersama anaknya itu adalah pegawai kepercayaan Kagendra Pradipandya.

"Masih di kantor kebun, Om Fran sama Tante Lane bantu aku bawa set canvas, oil paintings baru sama sketch pencil yang 29 items." Ageng tampak kesenangan, menunjuk setiap barang yang dipindahkan dari dalam mobil ke kursi dan meja kayu di teras.

Ayara terkesiap memperhatikan label merk yang tercetak atau tersemat di setiap barang. Semua itu produk terbaik yang biasa digunakan pelukis profesional. Ia segera geleng kepala, "Maaf Pak Fran, anak saya enggak bisa menerima semua ini."

"Bukan saya yang memberikannya," ujar Franco Daniel dengan tenang. "Dan bukan tanpa alasan juga kenapa Nak Ageng diberikan barang-barang ini."

Ageng mengangguk. "Iya, Bu, ini tuh dikasih Om Kagendra buat latihan ... nanti kalau aku udah mahir untuk lukis potrait detail, Om Kagendra mau minta tolong untuk bikin lukisan keluarga."

"H-hah?" Ayara sempat bingung menilai. "Gimana?"

"Ini semua buat latihan, Om Kagendra bilang rumahnya tuh bagus banget ... American Classic yang semuanya mahal, jadi lukisannya juga harus bagus. Om Kagendra enggak mau kalau lukisannya terkesan murah, beliau itu punya lukisan Kooning di ruang kerjanya, makanya lukisanku juga harus spektakuler."

"Kooning?" ulang Ayara dan menatap Fran penuh curiga. "Kalian pasti melebih-lebihkan karena tahu putraku punya ketertarikan di bidang Seni."

"Pradipandya juga merupakan salah satu keluarga pemilik lukisan termahal Gauguin." Fran menghela napas pendek. "Jika Rembrandt tidak lagi eksklusif bagi Rijksmuseum atau Louvre, saya yakin boss saya juga akan mengoleksinya."

"Rembrandt? Wah!" seru Ageng dengan takjub.

Franco Daniel mengangguk. "He's so cool, isn't he?"

"Absolutely," kata Ageng lalu mendekap kotak berisi oil painting set. "Aku bawa masuk ini dulu ya, Om Fran."

"Tante bantuin ya," sahut Solane yang kemudian sigap membawakan sisa barang dan mengikuti Ageng.

Ayara seketika curiga. "Kalian enggak mengantarkannya pulang?"

"Ya, kami akan kembali ke kebun, yang lain masih lihat-lihat sampel produksi kakao ... sebelum jam dua siang nanti berangkat ke Bandara." Franco segera mengingatkan. "Masih ada kesempatan apabila Ibu berubah pikiran untuk—"

"Saya bertanya karena enggak diberitahu, tapi apa persisnya persyaratan yang diberikan orang itu pada Esa dan Bita? Sampai membuat kalian semua bertingkah berlebihan di sini?" tanya Ayara cepat.

"Ada beberapa, namun satu yang turut menjadi beban pikiran Pak Kagendra adalah persyaratan bahwa Pak Lukesh harus menyerahkan haknya dalam memberikan nama keluarga Kanantya terhadap setiap anak yang lahir dari pernikahan bersama Nona Tsabitah ... anak itu justru wajib menyandang nama keluarga Ruslantama."

Ayara langsung mematung, tidak bergerak di tempatnya. Itu persyaratan paling licik sekaligus mengerikan.

"Oleh karena itu, Pak Kagendra berharap banyak terhadap keberanian Ibu Ayara," ungkap Franco dengan raut serius.

Ayara menelan ludah karena tenggorokannya yang terasa begitu kering. Ia mendengar suara langkah kaki anaknya lantas berujar serius, "Mas, sebelum jam tiga sore harus pulang ya, kamu ada kelas ngaji."

"Iyaa," sahut Ageng lalu mencium tangan ibunya.

Franco masih urung bergerak meski Ageng dan Solane sudah memasuki mobil. "Bu Ayara, keluarga Ruslantama bukanlah musuh yang harus—"

"Seperti yang saya sampaikan kemarin, bersikap berani adalah satu hal yang sudah sekian lama menghilang dari diri saya." Ayara mengingatkan dengan raut serius, tetap melangkah meninggalkan area teras rumah. "Also, I am a selfish mother.

[]

🩷

Khususon buat Mbak Ayuning Swara, boleh kok egois, beneran dah ... enggak apa-apa bingit. Mumpung Kanantya-Ruslantama juga paham sama luka hati mbaknya, it's okay.

Palingan efeknya nih cerita kagak tamat aja, bruakakakaka aduh amit-amit, semoga tamat sesuai harapan 🤲🏻

Aminin yagesya~

.

Q&A Reputation

Q: Ini cerita klo fokus Esa-Bita doang, tamat under 40 Bab kali ya? Wkwkwkwk seru sih tapi porsi tokoh utamanya kayak enggak dominan.
A: Ya 'kan aku sudah bilang; I love drama. Jadi, bikin draft seberapa, revisinya nambah lebih banyak itu pasti 🤣

Reputation yang aku angkat itu juga bukan sekadar memulihkan nama baik Esa aja, tapi gimana reputasi mereka kembali dalam tingkat seharusnya, covered with honor & dignity.

Jadi semoga kalian tetap sabar :)

.








































































📷


Ciyyeee, babi tiga si paling enggak jelas hubungannya, pffttt ~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top