[ 36. ]
Hai,
sorry jadinya update hari Jum'at, karena baru ingat besok Sabtu itu syawalan trah keluarga, bakal repot seharian, ditambah kudu menanggapi pertanyaan keramat, wakakakaka doakan aku kawan~
.
2.850 kata untuk bab ini
semoga kalian suka yayy
Thank you
buat yang always leave a vote & nicely comments, really appreciate it.
🍯
[ 36. ]
"Transfer data sebanyak ini kira-kira butuh waktu satu jam, Mas, mau langsung diproses atau di rumah saja?" tanya petugas yang melayani Esa untuk pembelian ponsel baru.
Esa menoleh Tsabitah yang sedang mencoba-coba komputer tablet. "Bee, di rumah aja, ya?"
Tsabitah segera mengangguk. "Iya, kalau Mas mau telepon Papa atau Mama bisa lewat aku dulu."
"Oke," kata Esa, memperhatikan ponsel barunya dikemas ulang dan ponsel lamanya ikut dimasukkan dalam paper bag. Petugas menyerahkannya dengan senyum dan Esa membalas dengan ucapan terima kasih.
Ia beranjak keluar dari toko sambil bertanya, "Habis ini mau jalan-jalan ke mana?"
"Cari sweater couple buat self photo studio."
Esa terkekeh, Tsabitah benar-benar bersemangat dan sedikit banyak hal itu membuatnya lega. "Ayo cari sweaternya kalau gitu."
"Ke lantai bawah, Mas," kata Tsabitah lalu meraih lengan Esa dan menggandengnya. Ia sudah semakin terbiasa sekarang, saat menggandeng atau memeluk lengan lelaki ini tidak lagi membuat degub jantungnya menjadi heboh.
"Mas, kabarnya Mbak Re sama Ravel gimana?"
"Baik, kok, kenapa tiba-tiba tanya?"
Tsabitah angkat bahu sekilas. "Ya, setelah aku pikir-pikir, semisal Mbak Re emang komitmen rujuk sama Papanya Ravel, mau enggak mau aku juga kudu ngebaikin dia 'kan?"
Esa tersenyum. "Kagendra itu tipe yang susah-susah gampang dihadapi ... tapi bersikap jujur dan terus terang akan membuatnya lebih memahami dibanding berpura-pura baik atau langsung menjaga jarak."
"Mas Esa gimana waktu tahu soal Mbak Re dulu? Yang pas dia hamil duluan terus ada ribut-ribut juga?"
"Mas enggak dijelasin detail ribut-ributnya, tapi saat itu emang yang terpenting memastikan apa yang Lyre mau dan bersama Kagendra adalah pilihan Lyre juga."
Tsabitah mengangguk-angguk. "Mama dulu bilang aku, kalau situasinya serba enggak mudah dan mungkin udah saatnya orang tua yang mengalah. Jadi, membiarkan soal Mbak Re tetap di Jakarta."
"Papa berubah banyak, Mama juga sekarang lebih kuat."
"Kalau kita, kira-kira bakal jadi pasangan yang kayak gimana, ya? Aku kadang enggak pengin terlalu manja, tapi kangen banget juga manja-manja sama Mas Esa," ujar Tsabitah, mengakui dengan lugas dan jujur.
Esa dapat menyadari itu. "Mas enggak keberatan, semisal mau manja, cuma ..."
"Cuma?" tanya Tsabitah lalu mendongak, memperhatikan ekspresi Esa.
"Cuma kalau sama Ravel jangan rebutan," jawab Esa dan mendapati seraut wajah cantik yang mendongak ke arahnya justru tersenyum jahil.
"Aku tuh suka lihatnya, Ravel gemes kalau dibuat kesal dan dia itu kadang enggak kayak anak-anak gitu lho ... pinter banget, apa-apa ngomong, jadinya aku gemes pengin dia ekspresif gitu."
"Ravel emang dikasih contoh dan diajarin how to be a good boy, makanya perkembangannya juga ke arah positif."
Tsabitah mengangguk. "Mas Esa nyangka enggak, bakal punya keponakan yang semanis itu?"
"Lyre kecilnya juga manis, hahaha walau pas pertama lihat Ravel kayak kaget, mirip Kagendra banget."
"Mbak Re enggak kebagian ciri fisik sama sekali, ya?"
Esa mengangguk. "Dasarnya gen Kagendra lebih dominan juga, Papinya dia mirip banget juga sama kakeknya. Bahkan Oma Kikinnya Ravel, Bu Kinar juga mirip Om Tio."
"Iya, matanya pun sorotnya tegas juga."
Esa menunduk cepat. "Lho, emang udah pernah ketemu, ya?"
"Oh?" Tsabitah berdeham cepat. "Itu ada di berita waktu dia gantian incharge di Karya Pradipandya, aku lihat fotonya full face, masih cantik banget."
"Ooh iya, memang beliau juga hebat dalam bisnis, kata Lyre dulu bahkan lebih hebat Tante Kinar dibanding Om Tio atau Kagendra kalau untuk lobi-lobi dan bangun koneksi ... saking beliau berwawasan tinggi, ibaratnya diajak ngomong apa saja nyambung."
Tsabitah tersenyum. "Kayak Mas Esa dong, my personal trivia story teller."
Esa geleng kepala. "Mas udah enggak sebanyak dulu baca bukunya."
"Karena sibuk kerja?" tanya Tsabitah.
"Iya." Esa mengakui dan berusaha tetap bangga dengan apa yang diraihnya. "Mas berutang banyak sama Lyre waktu pindah ke Tokyo, jadi berusaha balikin dan nabung supaya lebih mandiri."
Tsabitah menepuk-nepuk lengan Esa. "Mas Esa hebat banget deh."
"Kamu sendiri suka sama bisnis Little Bi?" tanya Esa.
"Suka banget lah, Noella kalau ngambek emang nyebelin tapi dia tipe pekerja yang rapi dan teliti ... sisi ketegasannya juga banyak menolong aku dari risiko hampir ditipu sampai nyaris dipalsukan produkku."
Esa cukup ingat bagaimana perangai Noella saat masih remaja dulu. "Noella memang tipe yang serius juga."
"Yup! Dia juga udah setengah merestui kita, yeiy ..."
"Oh ya? Noella bilang gitu?"
"Iya, tinggal tunggu restu oma terus mau pilih brokat katanya..." Tsabitah tertawa kecil. "Padahal kita enggak pesta ya."
"Kenapa enggak?"
"Eh, kan, ketemu banyak orang ... Mas Esa kalau sakit lagi gimana?"
"Ya, tapi Mas mau momen itu sepadan dan layak bagi semua keluarga yang terlibat ... Mas enggak mau Papa-Mama lalu Ayah-Bunda juga kehilangan momen besar kita berdua." Esa menepuk-nepuk tangan yang berpegangan di lengannya. "Mas juga harus berusaha, biar enggak terus-terusan menghindari banyak orang ... bisa menjelaskan apa yang perlu dijelaskan dengan baik."
Tsabitah mendapati tangan prostetik yang melingkupi tangannya dan mengangguk. "Slowly-slowly ya ... jangan maksain apa pun, karena yang terpenting adalah damai sekaligus ketenangan yang bisa kita dapatkan."
"Iya," jawab Esa lalu tersenyum.
Tsabitah balas tersenyum, menarik lengan yang digandengnya untuk melangkah lebih cepat, menuju toko pakaian. "Ayoo kita pilih sweater couple."
***
Pradana Arghadinata menyipitkan mata ketika memperhatikan sosok-sosok yang cukup familiar baru keluar dari salah satu toko pakaian. Si lelaki membawa tiga paper bag dan si perempuan tampak gembira, nyaris antusias membicarakan tentang busana lurik.
Pradana begitu saja mengekori mereka, mendengar rencana photo studio berikut barang-barang pasangan yang dibutuhkan. Ia berdecak muram, selama beberapa hari ini dirinya sudah sengaja memberi tekanan di lini bisnis Ruslantama Beauty, namun tampaknya itu tidak berpengaruh banyak.
Sepertinya memang harus menyerang langsung ke dua orang tidak tahu malu, yang dibuntutinya sekarang. Pradana merogoh ponsel, mengambil beberapa foto candid setelah itu berlalu pergi dari mall. Ia akan sebaik mungkin mempersiapkan serangan ini, menunggu momentum paling tepat hingga dapat meruntuhkan orang-orang yang meremehkannya ini.
Tsabitah Paradina Ruslantama, seharusnya berpikir dua kali sebelum begitu saja membuangnya. Pradana tidak akan memaafkan itu. Sementara, Esa Kanantya, lelaki itu sama saja tidak tahu malu, memacari perempuan yang ternyata pernah jadi perusak hubungan masa lalu, ditambah sejarah keluarga yang cukup kelam ... seharusnya lelaki buntung itu bisa bersikap bijak.
Pradana membulatkan segenap tekadnya dan memasuki mobil sambil menghubungi seseorang.
"Halo, Dana?"
"Mbak Wyna ... bisa kita makan siang bareng? Aku punya beberapa pertanyaan nih."
"Soal apa?"
"Mas Esa sama Bita, hahaha barusan aku lihat mereka barengan ... udah ngomongin pre-wedding segala, suspicious banget menilik jangka waktu secepat ini."
"Kamu pilih aja restonya, aku akan nitipin Bunda dulu ke Padmi."
"Oke, Mbak."
***
RECORD OF YOU
— Self studio photo, Jl. Kaliurang.
"Jadi, pada pulang besok?" tanya Tsabitah, memastikan maksud sang ibu memberi kabar.
"Iya, masih belum jadi keliling kebun coklatnya ... ini juga gerimis di sini. Jadi, kemungkinan baru besok. Bita nanti pulangnya tempat Eyang lho ya, enggak ikut ke Palagan."
"Iya, iya. Bunda kenapa serak sih suaranya?"
"O ... oh iya, bunda agak norak baru pertama kali naik private jet ternyata dingin banget."
Tsabitah terkekeh. "Ada-ada aja, ini aku sama Mas Esa udah di studio, mau foto-foto ... Mas Esa juga jadi ganti HP, karena transfer datanya mau di rumah aja, sementara hpnya mati ya. Bunda bilangin Mama Yaya sama Papa Luki kalau mau telepon ke Bita aja."
"Oke, jangan ajak Mas Esa buat aneh-aneh juga ... yang baik jadi perempuan, yang manis gitu lho."
"Aku manis kok, hahahaha ... Bunda jangan lupa foto-foto juga ya, mumpung di situ 'kan bisa me time sama Ayah."
Inge Razi mengekeh. "Iya, fotonya kalau udah sampai vila ... ini nanti katanya mau nginep di vila punya Papinya Kagendra."
"Oke, hati-hati ya. We love you, all."
"We love you too, Little Bi."
Tsabitah tertawa, mengakhiri panggilan telepon dan memastikan dandanannya sudah pas. Ia berputar sekali, memastikan tatanan rambutnya tetap bagus dan baru keluar dari ruang ganti.
Esa menyusul keluar sepuluh menit kemudian, menyadari Tsabitah tidak menunggunya di luar, sudah masuk ke dalam studio dan tengah berbicara pada petugas yang mengatur kamera.
"Iya, Mas, tolong jangan pakai flash atau suara shutter ... soalnya bikin gugup, apalagi kalau automatic berulang gitu," ujar Tsabitah.
Esa langsung urung memanggil, pengaturan yang Tsabitah minta itu jelas karena kepedulian terhadap kondisinya. Ia memang gugup jika berhadapan dengan proses dokumentasi massal. Esa bahkan terkadang masih berkeringat dingin walau hanya dokumentasi dengan perangkat ponsel. Lyre atau Kagendra yang hobi memotret juga selalu berhati-hati sebelum mengarahkan lensa padanya.
Situasi yang sebenarnya perlu segera Esa atasi.
"Oke, terus lightingnya juga tolong diatur neutral tone aja."
"Siap, Mbak."
"Terima kasih, Mas," kata Tsabitah lalu menoleh, menyadari kehadiran Esa dan senyumnya terkembang penuh. "Waa, ganteng banget partner photoshootku."
Esa meringis, berusaha tidak malu dan melangkah mendekat. "Ada referensi pose gitu enggak? Photo studio gini beda sama photobox."
Tsabitah mengeluarkan ponsel. "Kita recreate aja ... sesuai pose Mamas sama Mbak Ayara dulu."
"Mamas dan Mbak Ayara?" ulang Esa.
"Iya, aku kalau kangen lihat-lihat foto pacaran mereka ... ada di komputer Mamas, yang manis-manis aku save di ponsel. Nih, ada foto studio juga mereka." Tsabitah menunjukkannya.
Esa melihat slide demi slide foto Thomas dan Ayara. Pakaian mereka juga couple, hitam dan putih lalu gantian menyesuaikan tone foto. "Mas baru lihat ini."
"Kita recreate ini juga enggak?" tanya Tsabitah iseng, menunjukkan foto sang kakak yang mencium sudut bibir Ayara.
Esa menanggapi dengan tawa kecil dan mencubit lembut hidung Tsabitah. "Nanti jamnya bunyi."
"Ihh ... sebel," keluh Tsabitah, meski sadar diri juga bahwa belum siap. Jangan sampai dirinya pingsan di depan kamera. Itu bakal memalukan.
"Sudah siap Mbak, setting kamera sama lighting-nya ... bisa dicek dulu," ujar petugas.
Tsabitah memastikan sudah sesuai baru mengangguk. "Oke."
"Ini remote controlnya, nanti tampilan fotonya bisa dilihat di layar samping ini ya." Petugas menyerahkan remote kecil dan menunjukkan layar yang dimaksud.
"Siap."
"Timernya start begitu pengambilan foto pertama, tetap jalan walau Mas atau Mbaknya keluar untuk ganti kostum. Kalau udah empat puluh lima menit, nanti timernya bunyi dan saya akan datang buat bantu transfer file ke ponsel atau email."
"Oke," kata Tsabitah yang mengangguk, menggandeng Esa ke area pengambilan foto.
Petugas berlalu pergi keluar ruangan dan begitu pintu tertutup baru Esa mulai mengikuti bagaimana pose berfoto yang sesuai. Pengaturan kamera dan pencahayaan memang membantunya untuk tidak gugup, justru beberapa kali tertawa karena antusiasme Tsabitah.
"Ih, pas ini aku jelek, tapi Mas Esa udah ganteng ... ulang-ulang."
Esa terkekeh. "Perasaan cantik-cantik aja."
"Enggak, mataku memicingnya aneh, ayo ulang."
Mereka mengulang beberapa foto, menyesuaikan dengan pose Thomas dan Ayara. Ada kalanya Esa juga malu-malu saat bertatapan atau perlu merangkul erat. Namun, semua itu teratasi, Tsabitah partner berfoto yang pengertian sekaligus mudah dibuat tertawa.
Esa menyukai semua foto dengan tawa natural yang mereka bagi di dalam studio tersebut. Jelang berakhirnya sesi, Esa juga akhirnya mengikuti kata hatinya, menempatkan Tsabitah di kursi tinggi dan kala dirinya harus merangkul sambil terseyum ke arah kamera, Esa memilih menolehkan kepala, mencium pipi kanan yang lembut dan hangat.
"I am so happy ... and it's because of you," ungkap Esa lirih usai kamera mengabadikan pose barusan.
Tsabitah menolehnya dengan pipi bersemu dan langsung memeluknya, ganti menempelkan pipi ke dadanya. "Aku juga happy banget ... terima kasih Mas Esa mau foto-foto lama dan banyak sama aku."
Esa mengelus bahu Tsabitah lembut, perlahan namun pasti ... ia pasti akan kembali mendapatkan keberanian itu dan membuat gadis baik dalam pelukannya lebih bahagia lagi.
***
Soerya Kakao, Buleleng
— Kantor dekat perkebunan cokelat
Theo Ruslantama masih bersama Lukito Kanantya dan duduk di hadapan Chaerul Soeryadarma. Tiga kepala keluarga berkumpul kembali setelah sewindu tanpa kabar. Berkas-berkas penyelidikan yang Kagendra berikan menjadi awal pertemuan ini.
Chaerul juga tidak menyangka pemilik usaha yang akan menjalin kerja sama, berminat dengan hasil kebunnya merupakan seorang menantu keluarga Kanantya dan sengaja mengatur penawaran untuk kepentingan dengan keluarga Ruslantama. Sempat terbesit dalam benaknya untuk memutuskan pergi, turut menghindar sebagaimana yang dilakukannya bersama sang putri selama ini.
Namun, sekali bertukar tatap dengan dua teman lamanya ini langsung membuatnya luluh, bergerak membuka gerbang perkebunan lebih lebar dan membiarkan dua mobil sedan memasuki halaman. Chaerul hendak langsung menjelaskan duduk perkara, mencoba agar dua keluarga ini tidak terlalu membencinya, namun rangkulan Theo membuatnya perlahan mendapatkan ketenangan.
Hal pertama yang ditanyakan Inge Razi juga bukanlah penjelasan, melainkan kabar. "Bapak sehat, Pak? Ayara juga?"
Chaerul hampir menangis, keegoisannya dan sang putri jelas berbuah kesedihan besar juga untuk dua keluarga di hadapannya ini.
Mereka bertukar kabar selama kurang lebih satu jam, sekalian menikmati secangkir cokelat hangat. Tidak sekalipun selama durasi pertemuan itu membahas masa lalu, fokus terhadap kabar sekaligus keadaan perkebunan dan hasil panen kokoa.
"Itu Kagendra dan Waffa kembali," ujar Soraya yang kemudian beranjak bersama Inge keluar area kantor sederhana di kawasan perkebunan.
"Menantumu enggak terlihat seperti desas-desusnya, Luk," kata Chaerul dan meringis. "Aku dan Ara, sempat tahu saat dulu Lyre dikabarkan dibawa kabur lelaki ke Jakarta."
Lukito meringis. "Yah, yang sekarang sudah lebih baik dibanding dulu."
"Mereka juga baru baikan setelah lima tahun perang dingin, Rul," kata Theo.
"Baru baikan?" tanya Chaerul.
"Memang baru beberapa bulan ini, Lyre sempat kecelakaan terus hilang ingatan sebagian jadi dirawat di rumah." Lukito bercerita pelan. "Saat itulah Kagendra ikut tinggal, kami mulai bicara dan meski sempat terjadi ketegangan lagi ... berhasil melaluinya, sekarang Lyre sama dia proses rujuk lagi."
"Rujuk? Loh memang sempat mau pisah?"
"Wah, sempat gempar dan rame, Rul, tapi beritanya ditutup-tutupi ... sempat menyangkut masalah lama juga, sampai keluarga Semarang ikut emosi. Tapi, syukurnya bisa diredam dan reputasi kami kembali pulih," kata Theo yang kemudian tersenyum. "Kami sebenarnya ada berita baik juga, Esa dan Bita sudah makin dekat ... kalau lancar sampai akhir, insyaa Allah jodoh juga."
"Lho, iya?" ungkap Chaerul dan mengulas senyum gembira. "Wah, wah, itu berita hebat ... selamat, kalian berdua."
Lukito mengangguk. "Minta doanya supaya dilancarkan, ya ... sama kalau nanti sudah penentuan tanggal, izinkan kami mengundangmu juga ke Yogyakarta."
"Pasti, Luk, pasti aku doakan," ujar Chaerul yang kemudian mengatur napas untuk meredam euforia. "Esa berarti pulang untuk permanen ya?"
Theo menoleh sahabatnya, "Masih diomongkan lagi ya, Luk, soalnya pekerjaan Esa di Jepang—"
"Dia bakal tinggal di sini, enggak akan kemana-mana lagi ... paling harus balik Tokyo sebentar bulan depan untuk urus resign, tapi ya akhirnya bakal menetap sama kita," ujar Lukito dengan percaya diri. "Dia itu ngerti kok, udah bukan masanya kabur-kaburan lagi, terutama sama Bita, enak aja."
Theo mengangguk kikuk. "Aku sih ya lega kalau memang bakal menetap, tapi kalau demi ketenangan dan bahagianya anak-anak ... mereka tinggal di mana aja, selama kita masih bisa menemui, bukan masalah."
"Iya, sekarang bukan masalah, tetapi Esa itu ... enggak bisa menghindar selamanya juga. Demi kebaikan tiga keluarga ini, dia harus berani menghadapi hal-hal yang dulu dihindari." Lukito bersedekap dengan ekspresi wajah tenang. "Sama anak itu, memang jangan selalu dituruti, ada kalanya ditegasi juga ... Esa harus ngerti, jadi suami berarti jadi kepala keluarga yang harus bisa diandalkan."
Chaerul mengangguk-angguk. "Tapi kalau Esa enggak perlu terlalu dikhawatirkan ... dulu anak lanang aja bilang, semua teman-temannya itu enggak bisa dipercaya kecuali Esa. Hahaha ... kalian berdua membesarkan anak lelaki dengan baik."
Theo sempat terdiam sebelum akhirnya memberanikan diri bertanya, "Itu berarti Thomas menjadi lelaki yang baik juga untuk Ayara?"
"Ya," jawab Chaerul dengan yakin, sedikit terkenang kala bercerita lebih banyak, "Dia bersabar saat putriku masih terus berduka, tidak pernah mengabaikanku juga meski aku tahu dia lebih berkepentingan atas Ara. Aku tahu putriku mendapatkan kebahagiaan dalam pernikahannya, Thomas membuatnya tertawa lagi, mendukung semangatnya memasak atau berbenah rumah ... satu waktu bahkan Thomas masih sempat menemaniku berziarah, memancing, dia juga membantuku membersihkan ruang lukis. Saat menginap juga memastikanku punya teman bicara sambil nonton berita atau wayang."
Theo tersenyum lega. "Syukurlah."
"Aku akan membujuk Ara agar—"
"Jangan," sergah Theo cepat lalu memberi anggukan penuh pengertian. "Aku dan istriku sadar apa yang membuat Ayara memilih pergi, mendengar kalian dapat melanjutkan hidup dengan baik sudah membuat kami lega ... sisanya biarkan itu menjadi keputusan Ayara."
"Tapi ..."
"Rul, duka dan sakit hati berkepanjangan itu memang enggak mudah disembuhkan. Kami memilih jalan ini dengan harapan ketika nanti kalian memutuskan kembali, sudah sepenuhnya ikhlas juga untuk memaafkan hal-hal yang mulanya menjadi alasan kepergian hingga sejauh ini." Lukito ganti bicara dan sedikit mengulas senyum sendu. "Ada kestabilan situasi juga yang perlu diusahakan, supaya si kecil enggak kalut beradaptasi nantinya."
"Ah, ya, namanya Mas Ageng Prabaswara ... dia—"
"Akuuung, aku udah pulang sekolah," suara panggilan penuh semangat itu membuat para ayah beranjak dari duduk.
Para ibu di luar sudah tampak terkesima sebagaimana Kagendra dan Waffa yang semula berbincang. Anak lelaki itu menaiki sepeda, dengan kucing gemuk menempati bagian keranjang depan dan boncengan kecil di belakang terdapat container box.
"Lho, Om Fran," sebut Ageng, ingat pertemuan mereka sebelumnya.
"Hallo, Om beneran balik lagi 'kan buat cicipin coklat di kebun kamu," kata Franco ramah, membantu Ageng menstandarkan sepeda.
"Ini aku disuruh Ibu antar makanan, soalnya Akung ada tamu ..." kata Ageng lalu memperhatikan orang-orang yang terpaku menatapnya. "Halo, selamat siang, saya Ageng, cucunya Pak Irul."
Inge tersenyum dan melangkah mendekat. "Selamat siang ... wah, kamu punya kucing juga."
"Iya, hadiah dari Ibu karena masuk SD."
"Namanya pasti Toma, iya 'kan?" tebak Inge dengan senyum lebar.
Ageng mengerjapkan mata. "Kok tahu?"
"Itu nama yang bagus buat kucing," kata Inge lantas terkesiap saat Ageng meraih tangannya dan mencium lembut bagian punggung.
"Iya, Ibu juga bilang begitu ..." kata Ageng dan berlalu menyalami yang lain.
Kagendra sempat saling pandang sesaat dengan Waffa, keduanya lantas tersenyum, berusaha optimis bahwa kemunculan Ageng akan sungguh menjadi solusi yang turut mendukung kelancaran hubungan Esa dan Tsabitah.
[]
🩷
Kucingnya namanya Toma itu singkatan Tommy-Aya, wakakaka bukan karena 'Mas'-nya ada di Ageng terus nama kucingnya nanggung cuma Toma aja.
🐈⬛
Anyway ... di KK ada sidestory soal Ayara disamperin duo babi, wkwkwkk enggak begitu penting sih karena bakal ada cuplikannya di versi wattpad juga, tapi siapa tahu penasaran bisa intip duluan ya ~
.
Q&A Reputation
Q: Habis Reputation mau bikin cerita siapa, Kak?
A: Jujur, belum tahu & belum kepikiran. Tapi aku pengin nyoba trope mistery-fantasy gitu, wakakakaka. Saking amaze sama dukun ketje di Exhuma.
Q: kalau Bita vs Kagen, kk ada di pihak siapa?
A: One and only, di pihak Mas Esa.
yakali di pihak selain mas ijoneon, greenflag whole forest ... wakakakaka nehik.
Relationship Bita dan Kagendra itu emang enggak bisa langsung bagus, bukan karena Kagendra enggak layak dihormati atau karena Bita yang kurang ajar. Just takes a time, ibarat dulunya kemusuhan mau akur juga ada adaptasinya gitu. Tenang ya nanti kalau akur juga tetep ngerusuh Mama Yaya kok, bruakakakaka 🤭
.
.
from this ⤵️
to this ⤵️
syarat utama jadi menantu Kanantya wajib Bucin emang, pfftt
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top