[ 34. ]
hai,
aku habis kepanasan bingit
jadi butuh yang ijo-ijo seger
wkwkwkwkwkk
yang lebih suka baca buat entar malming, silakan dibaca nanti malam aja yha~
.
2.800 kata untuk bab ini
yang kangen Babi 1 bisa agak terobati, eaa ... selamat membaca.
Terima kasih banyak.
🍯
[ 34. ]
Pak Samadi, sopir keluarga Kanantya tengah bersantai-santai, menikmati segelas es limun dan semangkuk mie ayam hijau. Warna hijaunya dari campuran bayam, menurut info dari Mbak Anas itu karena Nyonya Rumah mencoba resep baru, persiapan menu kalau nanti kumpul keluarga.
Akhir pekan ini, kurang lebih tiga hari lagi memang bakal ada pertemuan penting, ditambah keluarga besan akan menginap, oleh sebab itu seharian ini Pak Samadi bersama tiga orang dari jasa kebersihan profesional mengurus dua kamar tamu di rumah utama dan dua kamar tamu lain di paviliun. Ia masih punya satu tugas lagi nanti malam, menjemput anak majikannya yang sedang mengapel ke Ambarketawang.
Sambil menikmati santapan mie ayamnya, Pak Samadi tersenyum senang, cita rasa lezat ditambah suasana rumah terasa membaik. Hari-hari belakangan ini sungguh menyenangkan baginya melayani keluarga sejahtera yang bahagia. Tuan dan nyonya rumahnya orang baik, layak atas setiap hal-hal baik yang dapat dituai setelah bersabar atas banyaknya kesedihan.
Suara kendaraan yang berhenti membuat Pak Samadi teralihkan. Ia buru-buru mengelap mulut dan bergegas memeriksa, begitu melihat siapa yang keluar dari taksi, langsung dibukanya pintu gerbang.
Kagendra keluar dari taksi langsung mendekat seraya menunjukkan dua paperbag di tangan kanan dan kirinya. "Pak, Mama lebih suka bunga anggrek apa tulip?"
Pak Samadi melongok ke isi tas dan mendapati dua buket yang sama cantiknya. "Wah! Bagus dua-duanya."
"Lebih suka yang mana?"
"Aduh, bingung ... kasih semua aja."
Kagendra menggeleng. "Ck! Nanti berlebihan kalau kasih semua, anggrek apa tulip?"
Pak Samadi berpikir sejenak. "Hari ini ruang tamu ganti gorden, kalau buat dipajang di sana lebih bagus buket anggreknya."
"Oke," kata Kagendra lalu menyerahkan tas berisi buket tulip. "Yang ini buat Bapak aja."
"Hah?" cetus Pak Samadi kaget.
Kagendra mengendik ke sopir taksi yang menurunkan tas dan dua paperbag lain. "Tolong tas sama bawaan saya dimasukin rumah ya."
"Nggih," jawab Pak Samadi, mempersilakan Kagendra masuk. Ia mengurus barang-barang, menyerahkan pada Mbak Anas lalu mengamati buket bunga yang diberikan.
"Nggo opo iki," sebutnya dengan keheranan. [Buat apa ini.]
***
"Bu, ada Pak Kagendra," ucap Mbak Anas yang membukakan pintu depan.
Soraya baru selesai menyiapkan hidangan mie ayam segera menegakkan diri. Ia beranjak ke wastafel, mencuci tangan dan melepas apron.
"Oh, kok enggak bilang mau pulang?"
"Main sebentar aja, Ma, enggak nginep," jawab Kagendra, mencium tangan lalu mengulurkan tas berisi buket bunga anggrek, agak malu-malu saat berujar, "Ng, ini tadi ditawarin sama mbak-mbak di airport ... fresh flower katanya."
Soraya menerima buket itu dan tersenyum senang. Anggreknya mekar sempurna, gradasi warna dengan bunga pendampingnya pun indah ditambah wangi segar yang tercium. "Wah, mbak-mbaknya menawarkan ke orang yang tepat ... terima kasih, Ndra, Mama memang lagi cari bunga karena habis dekor ulang ruang tamu."
Kagendra mengangguk-angguk, mendapati Mbak Anas mendekatkan tas berikut dua paper bag lain. "Itu isinya makanan, sup ayam ginseng. Satunya lagi steamed crystal crab."
Mbak Anas terkesiap. "Kepiting kristal? Yang dari Australia itu?"
"Iya, lagi murah kata Papi. Sup ayam ginsengnya bikinan Simbok saya, katanya Papa enggak enak badan habis pulang dari dinas panjang."
"Wah," sebut Mbak Anas, takjub dengan totalitas bapak menantu yang baru dianggap ini.
"Papa sengaja padatkan jadwal biar senggang weekend nanti," ungkap Soraya lalu mempersilakan duduk. "Papa lagi mandi sekarang, biar supnya diangetin dulu. Kamu mau minum apa?"
"Air dingin aja. Mas Esa mana, Ma?" tanya Kagendra sambil duduk dan mengeluarkan ponsel, sudah jelas kakak iparnya tidak di rumah.
"Ke rumahnya Bita, benerin sensor lampu dari tadi siang ... paling nanti malam baru pulang."
"Aku chat dari siang belum dibalas-balas," keluh Kagendra, ada hal penting yang harus disampaikannya secara langsung.
"Kamu ada perlu sama Esa?"
"Iya, lumayan penting."
Soraya memperhatikan menantunya, kehadiran Kagendra di rumah jelas menegaskan hal itu. "Oh, Mama teleponin ke rumah Ruslantama."
"Oke," jawab Kagendra lalu bangun dari duduk, hidungnya samar-samar mencium aroma masakan enak. Ia juga lapar karena belum sempat makan siang. "Mama bikin apa, kok wangi banget?"
"Mie ayam, kamu mau?"
"Iya, mau."
***
Lukito Kanantya mendengar suara percakapan yang familiar namun agak tidak biasa. Semula dia berpikir istrinya tengah berbincang dengan telepon namun begitu melangkah ke ruang makan, sosok itu nyata, makan dengan lahap.
"Sendirian aja?" tanya Lukito.
"Oh, Papa," kata Kagendra, sejenak menyudahi makan, mengelap bibir dan beranjak untuk menyalami. "Iya, cuma mau ketemu Mas Esa sebentar ... nanti malam pulang."
Lukito mengangguk, beralih duduk sehingga Kagendra bisa kembali ke kursinya. "Papimu sehat?"
"Ya, masih terapi di rumah, walau tergolong lambat tapi ada peningkatan bagus ... targetnya bisa foto berdiri waktu pernikahan Dede nanti."
"Adikmu kapan rencana pernikahannya, Ndra?" tanya Soraya yang kembali ke ruang makan dengan semangkuk sup ayam ginseng.
"Masih tahun depan, Eyang Hadi maunya di bulan Besar biar sama kayak Mama Kinar dan Papa Danu dulu," jawab Kagendra.
Lukito mengangguk. "Ya, bisalah itu, target realistis ..." katanya dan memperhatikan makanan yang didekatkan padanya. "Lho, aku bukan mie ayam?"
"Ini dibawain Kagendra, biar Papa enakan badannya ... Mama udah cicip sedikit, enak banget, empuk lagi dagingnya."
Kagendra menggeleng santai, "Itu semua, Mama Kinar yang suruh bawa ... karena Lyre cerita Papa sibuk trus agak enggak enak badan, langsung suruh simbok bikinin."
"Sedap baunya," ujar Lukito dan membuat sendokan pertama lalu mengangguk. "Memang enak, terima kasih, ya."
"Ng, iya," jawab Kagendra lalu melanjutkan suapan makanannya sambil mengobrol tentang Lyre dan Ravel.
Esa kembali ke rumah saat semua orang selesai makan dan pindah mengobrol di ruang tengah. Soraya menimbrungi sambil menyusun ulang buket bunga ke dalam vas.
Kagendra agak terkesiap karena Esa mendekat dengan membawa buket bunga yang diberikannya pada Pak Samadi tadi.
"Lho, ada apa ini, dua anak Mama kompak manisnya, pulang-pulang bawain bunga," ujar Soraya, senang menerima uluran bunga dari Esa.
"Iya nih, Mama beruntung," jawab Esa santai.
Soraya iseng bertanya, "Kamu ditawarin mbak-mbak penjual bunga di mana? Kalau Kagendra dapat di airport."
Esa menyengir. "Bukan, Ma, ini aku dapat di depan, kata Pak Samadi dikasih gratis sama bule nyasar."
"Heh!" tegur Kagendra dan sebelum semakin malu, memutuskan langsung bangkit berdiri. "Ada yang mau aku omongin ... langsung ke atas aja."
"Kenapa enggak ngomong di sini?" tanya Lukito penasaran.
"Boy's thing," jawab Kagendra, meraih tasnya lalu mendorong Esa ke tangga. "Ayo, cepetan!"
Esa terkekeh mendapati wajah muram adik iparnya. "Jangan malu-malu gitu dong, mau jadi anak Mama emang harus totalitas."
"Ssstttt," ujar Kagendra dan begitu sampai di lantai dua langsung memprotes dengan nada rendah. "Aku 'kan enggak mau terkesan berlebihan bawain Mama dua bunga."
"Ya, santai dong," ujar Esa lalu mengendik ke koridor. "Mau ngobrol di kamarku apa kamar Lyre?"
"Kamar Lyre kamarku juga!" sebut Kagendra seraya membuka pintu yang dimaksud, memasukinya dengan langkah cepat. Ia meletakkan tas sembarangan dan langsung berbaring di tempat tidur. "Ah! Kenyang banget aku makan mie ayam bikinan Mama, tambah bakso goreng."
Esa hanya menyengir dan lebih dulu memberi penjelasan, "Aku baru baca chatmu, sorry ponselku ternyata masih silent dan ada dalam tas."
"Never mind, aku dan Waffa memang ada agenda ke sini."
"Ngapain?"
"Karya Pradipandya mengakuisisi camping park resort itu."
Esa memastikan. "Camping park resort yang tempat kalian liburan?"
"Yep, one point seven hectare, all mine." Kagendra menyebutkannya dengan nada puas.
"Well, congratulations." Esa kemudian bertanya, "Lha, terus Waffa mana, Ndra?"
"Dia sama asistennya ngurus sisa dokumen peralihan."
Esa baru paham. "Waffa sama asistennya ngurus sisa dokumen di Camping Park Resort, sementara kamu main ke sini?"
"Yeap, pembagian job yang sempurna."
"You better paid him well."
"I gave her my sister."
"Well yah, it's incomparable."
Kagendra meraih bantal, sedikit menegakkan tubuh. "Aku rasa, kita bertiga beneran ditakdirkan ketemu dan saling belajar satu sama lain ... we face same situation, jodoh sama adiknya teman sendiri."
"You're not my friends." Esa mengingatkan dengan nada datar. "I don't even know that you're exist until my sister get pregnant, ck!"
Dua kali disasar sindiran pedas itu membuat Kagendra langsung memutuskan mengganti topik obrolan, "Gimana keluarga Ruslantama sejauh ini?"
"Mereka baik, dan tadi ... sebenarnya aku sama Ayahnya Bita sempat memeriksa berkas Thomas."
Kagendra langsung duduk tegak, menatap Esa yang menggeser kursi hingga ke pinggir tempat tidur. "Then?"
Esa memelankan suaranya lalu mengeluarkan ponsel, menunjukkan sebuah file. "Beberapa transaksi keuangannya cukup mencurigakan, aku minta file salinan yang setahun terakhir."
"Transaksi keuangan, you check on it?"
"Yeap, katamu ini transaksi meyakinkan."
"Ya, memang, I just surprised, you listened to me," ungkap Kagendra senang dan mencermati layar ponsel Esa. Ia berdecak setelah beberapa detik. "Esh, sumpah, ganti ponsel ... itu seri udah ketinggalan hampir satu dekade!"
"Iya, besok, udah janjian sama Bita."
Kagendra sekilas mendongak. "Seriously, sebenarnya kalau orang baik-baik main ke rumah ceweknya itu ngapain?"
"Aku ada urusan, benerin otomatis lampu di kamar Thomas, terus kami makan siang bareng, ngobrol, main game terus—"
"What game?"
"Tadi jenga, kadang catur juga, ular tangga."
"Serius main begitu?"
Esa mengangguk. "Ya, waktu ada Thomas kita pernah bowling bareng, billiard sampai main kartu, tanpa taruhan. Just for fun."
"I can't relate ... kamu juga enggak langsung pulang pasti ditelepon Mama tadi."
"Baru pakai masker, jadi tunggu agak kering dulu baru basuh muka dan bisa pamit."
Kagendra melongo. "Masker?"
Esa mengelus pipi dan rahangnya. "Aku sama Lyre suka maskernya RUBY, ada cooling sensation. Lyre pernah breakout cukup parah waktu awal siklus dulu, Thomas yang bantu biar wajahnya ketolong sebelum makin parah."
"They're not ... you know, going into relationship just like you and Bita, right?" Kagendra bertanya seraya geleng kepala. "I don't wanna feel envy or annoyed to dead person."
Esa memejamkan mata sejenak. "Kamu kayaknya emang bakat bicara sembarangan tanpa dipikir dulu, ya?" sindirnya lalu mengibas tangan perlahan. "Just tell me, what happen sampai harus ngomong langsung begini."
Kagendra lebih dulu menunjuk ke tasnya. "Ini benar-benar berita yang mengejutkan, aku sengaja nanya hal lain dulu, sekadar supaya enggak keburu tegang."
"I am fine," kata Esa, mengambilkan tas itu dan memperhatikan Kagendra membukanya, secara perlahan kemudian mengulurkan sebendel berkas. "Apa itu?"
"Berkas tentang Ayuning Swara itu, aku menemukannya."
Esa mengatur napasnya dengan sebaik mungkin, menerima uluran berkas itu dan memperhatikan sebuah foto yang ditampilkan pada halaman pertama. Ayara jelas mengubah penampilan secara drastis. "Penampilannya berubah."
"Bukan itu yang paling mengejutkan, open the second page."
Esa membukanya dan seketika terdiam, foto anak lelaki yang ditatapnya ini begitu familiar. Dia ingat seperti apa rupa Thomas ketika seusia ini, usia dimana mereka memulai persahabatan.
"He's not Thomas Ruslantama ... his name is Mas Ageng Prabaswara, Ayuning Swara's son." Kagendra memberi tahu dan alih-alih Esa yang merespon, justru suara pecahan barang dari luar.
Esa menoleh pintu sebagaimana Kagendra langsung bergegas turun dari tempat tidur untuk membukanya. Soraya Baiharni memberi tatapan nanar dan kedua tangannya tampak gemetar, di lantai terdapat nampan berikut dua gelas minuman yang terjatuh.
"Mama ..." panggil Kagendra.
"Ka ... kalian—" Soraya begitu saja terhuyung, membuat Kagendra bergegas memegangi.
Ia dan Esa kemudian bersama-sama menyerukan panggilan, "Papa ..."
***
Saat tidur siangnya tadi, Lukito Kanantya memimpikan seorang kenalan lama. Seorang guru seni yang karya lukisnya, bentangan pegunungan di Wonosobo, terpajang di ruang kerjanya ini. Chaerul Basuki Soeryadarma yang terakhir kali ditemuinya sampai berlutut dan memohon.
"Ayara tidak sedang baik-baik saja, Luki ... dengan carut-marut permasalahan dalam keluarga Ruslantama juga, aku mohon jangan pernah mengungkap rahasia pernikahan itu. Biarkan aku membawa putriku pergi, menjauh dari semua duka dan kesulitan yang menimpanya di sini ... terlalu berat baginya, terlalu tidak tertahankan dan aku sangat ketakutan, akan kehilangannya juga."
Sebagai sesama ayah, mendengar permintaan itu menimbulkan kebingungan sekaligus rasa bersalah yang sulit diungkapkan. Lukito bagai terjebak di tengah jembatan dengan dua sisi yang sama-sama penting untuk dituju. Ia bingung kemana harus pertama kali melangkahkan kaki.
"Aku mohon, aku percaya padamu sebagai seseorang yang berjasa memberi kebahagiaan juga pada putriku ... karena itu, kali ini, bantu dia untuk bisa melanjutkan hidupnya lagi. Tanpa Thomas, dia akan sangat sulit bertahan dalam keluarga Ruslantama. Aku mohon, Luki, jangan pernah mengungkap rahasia pernikahan itu."
Kali kedua Chaerul Soeryadarma memohon, lelaki itu berlinang air mata dan langsung berlutut, membuat Lukito seketika tidak punya pilihan. Rahasia besar itu terpendam selama lebih dari delapan tahun.
"Perasaanku enggak enak," ujar Lukito kemudian membuka laci kedua di meja kerjanya. Ada sebuah foto saat dirinya berulang tahun kelima puluh, Lyre dan Tsabitah memeluknya dari samping kanan-kiri sementara Thomas dan Esa terseyum di belakang membawa balon angka lima dan nol. Itu satu dari sekian banyak hari yang sangat disyukurinya sebagai seorang ayah.
"Pa, kayaknya tunggu responnya Bita dan Esa dulu, baru kita reveal ke keluarga yang lain ... aku sama Aya ada rencana weekend ini, makan bareng mereka. Jadi, Papa tunggu dulu, ya..."
"Papa enggak enak banget tiap ketemu Ayahmu, Tom ... hal membahagiakan begini seharusnya diketahui juga olehnya. Menutupi dari para ibu juga rasanya enggak tertahankan."
"Iya, sebentar lagi aja, Pa ... Tommy mohon, ya ... sebentar lagi aja."
Lukito mengingat percakapan singkat itu seraya mengelus wajah putra sahabatnya. "Yang kamu sebut sebentar itu ... terasa lama sekali, Tom ..." katanya pada keheningan.
Suara ketukan cepat di pintu membuat Lukito teralihkan.
"Bapak..." suara Mbak Anas, memanggil tergesa.
"Ya, Nas?" Lukito menyahut sembari berdiri cepat.
"Itu Mas Esa sama Pak Kagendra manggil ... Ibu pingsan di atas."
Lukito bergegas keluar ruang kerja, setengah berlari menaiki tangga rumah, berhati-hati kala melewati pecahan gelas dan memperhatikan sang istri berbaring di tempat tidur Lyre.
"Yaya," panggil Lukito sembari mendekat dan menatap Esa. "Apa yang terjadi?"
"Syok," jawab Esa.
Lukito gantian menoleh Kagendra. "Apa lagi yang kamu lakukan?"
Kagendra menatap berkas di ujung tempat tidur, tadi Esa meletakkannya begitu saja. "Reveal the truth."
Sang tuan rumah beralih pandang ke sana, meraih berkas itu dan membaca cepat. "Jadi, kamu menemukannya di mana Ayara tinggal?"
"Ya," jawab Kagendra dan balik bertanya pada ayah mertuanya. "Tapi entah kenapa, kelihatannya Papa enggak kelihatan terkejut?"
Esa juga menyadari hal itu. "What happen actually?"
Lukito Kanantya menatap putra dan menantunya bergantian lalu menghela napas pendek. "Setelah Mama sadar dan cukup tenang, kita akan bicara."
***
"Pernikahan itu terjadi di hari ulang tahun Thomas, tepatnya beberapa menit sebelum Bu Pujiana ... ibunya Ayara, mengembuskan napas terakhir. Saat itu Inge dan Theo tertahan di Singapura enggak bisa pulang karena Bita belum stabil. Papa minta tolong sama Kyai Yasin sebagai pembimbing dan saksi pernikahan." Lukito memulai penjelasannya. "Saat itu belum ada dilema yang Papa rasakan, karena berita duka yang menyusul memang baiknya fokus Ayara dan Thomas juga mendampingi Pak Chaerul mengurus jenazah Bu Puji ... Papa baru sadar waktu berlalu saat kita makan malam dengan keluarga Razi dan Thomas masih belum membawa Ayara bersamanya, itu sudah hampir dua bulan sejak kepergian Bu Puji."
"Terus?" tanya Soraya sembari terus mengusap air mata dengan sapu tangan sang suami.
"Papa langsung tanya, kenapa kok belum juga bicara dan terbuka ke semuanya. Dia bilang, tunggu Ayara siap, karena memang masih sangat berduka dan kehilangan."
"Papa nurut-nurut aja?" tanya Kagendra.
"Situasinya enggak sederhana, karena walau Ayara selalu diterima dengan baik oleh keluarga Ruslantama ... di keluarga Razi, terutama Oma Inggrid, beliau belum merestui untuk menikah. Dulu, mereka dikasih syarat juga sama Oma dan belum terpenuhi," cerita Esa.
Kagendra sejenak menyipitkan mata lalu memberi tahu, "Aku bisa minta tolong teman, dia tahu banyak soal jasa pembunuh bayaran gitu, dijamin rapi kerjanya."
"Ndra," sebut Esa dan Soraya bersamaan. Sementara Lukito memberi tatapan tidak percaya pada menantunya.
"This is ridiculous!" sebut Kagendra dengan serius. "Emangnya restu dari tuh nenek sepenting itu? I really don't get it ... kenapa harus banget dia didengar atau dituruti, ke kamu bahkan enggak masuk akal mintanya."
"Ndra!" tegur Esa cepat.
Kagendra menggeleng. "Enggak, Esh, udah saatnya Papa dan Mama tahu ... tuh nenek minta kamu melepas hak pemberian nama keluarga Kanantya ke setiap anak yang lahir dari pernikahanmu dan Bita. That is insane."
Lukito dan Soraya sama-sama menegakkan punggung, kaget sekaligus tidak menyangka.
"Benar begitu, Esa?" tanya Soraya cepat.
Esa menghela napas panjang.
"Nak! You better answer your mother question," ujar Lukito dengan raut tegas.
Akhirnya Esa mengangguk. "Ya, tapi aku rasa itu bukan mas—"
"Itu tuh masalah, Esh!" Kagendra menyela cepat sembari menegakkan diri, tidak habis pikir sampai agak frustrasi mengungkap pikirannya, "Berapa kali aku bilang, itu bukan perkara yang bisa direlakan begitu saja ... ditambah sekarang kita tahu fakta kalau Thomas punya anak, nama keluarga Ruslantama dapat dilanjutkan olehnya."
"Ya, tapi pernikahan itu belum tercatat secara legal," kata Esa balas menatap ayahnya untuk konfirmasi. "Iya, 'kan? Papa enggak diminta Thomas untuk bantu urus legalitasnya."
"Papa ada dokumentasinya enggak?" tanya Soraya.
"Papa memang yang dokumentasi tapi pakai HPnya Thomas dulu," jawab Lukito.
Kagendra menjentikkan jari. "Esh, kamu bisa minta HPnya Tom—"
"No," ujar Esa dan bersedekap. "Udah keduluan Ayara, dia minta HP itu sebelum menghilang."
"Damn!" sebut Kagendra, kesal.
"Tetapi, kita bisa menemuinya dulu ... Ndra, tadi kamu bilang 'kan udah dapat alamatnya Ayara?" tanya Soraya cepat.
"Iya, ada, orangku juga masih mengawasi rumah itu," jawab Kagendra.
Lukito memeriksa berkas di tangannya. "Kita akan menemui mereka."
Esa menatap orang tuanya bergantian. "Aku akan alihkan Bita, Papa dan Mama ajak Ayah dan Bunda untuk ketemu lalu bicara sama Ayara."
"Kamu yakin?" tanya Lukito.
Esa mengangguk, sengatan kesedihan membuat suaranya agak serak. "Ya, ini adalah hal terpenting bagi mereka juga ... jangan sampai lebih terlambat lagi untuk mengetahuinya."
Kagendra memperhatikan Esa menyeka sudut mata dan ia segera mengulurkan sapu tangan. "Don't worry, aku dan timnya Waffa akan mendampingi mereka."
Esa menerima sapu tangan itu. "Biarkan bicara secara kekeluargaan dulu ... jangan melibatkan pengacara atau apa pun."
"Oke, aku dan Waffa kalau gitu yang temani."
Esa mengangguk. "Thank you."
[]
🩷
Mas KagenBi nampak ada gunanya sekali yaa ... walau mulutnya masih kudu dikontrol, pfftt
.
Mbak Ayara kalau mau kabur udah terlambat jadi tolong ditemui dengan anggunly dan jangan kasih gampang, wkwkwkwkk kasian sih tapi ini demi cerita yang semaqin dramatis.
.
Q&A Reputation
Q: Katanya enggak wajib baca yang di KK, tapi klo enggak dispoiler aku bingung baca komenan pada tahu tapi aku enggak tahu.
A: Ya, berarti kamu belum sampai aja ke bab penjelasan supaya paham. Sabar ya.
Q: Scene after menikahnya di part berapa kak?
A: Up to 40.
.
💛
Ravel pokoknya mau adek lima, silakan Papa dan Omnya mau realiasinya gimana, wkwkwkwkwkk penentuan gender sih di tangan saya.
😆😗🫰🏻🤭😊
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top