[ 33. ]

hai,
ketemu lagi~

masih dengan semangat yang sama, update kali ini 3.000 kata, kemarin KagenBi udah show off sekarang giliran Mas Esa, uhuk :)

Jangan lupa vote & komentarnya
terima kasih

🍯

[ 33. ]

"Mas Esa udah datang," ucap Tsabitah, langsung melupakan majalah yang baru dibaca dan bergegas keluar rumah untuk menyambut.

Theo Ruslantama dan sang istri yang bersantai di ruang tengah seketika saling pandang. Sepasang orang tua yang bersamaan menggelengkan kepala.

"Anakmu tuh, Yah, enggak ada jual mahalnya sama sekali," ucap Inge, berusaha tidak mengeluh kala terdengar seruan antusias dan manja ala Tsabitah ketika bersama Esa.

Theo justru tersenyum. "Perasaan itu memang harus ditunjukkan, Nge, diungkap! Coba dulu kalau aku juga terus memendam, enggak dapat kamu."

"Ya, tapi, Bita itu anak perempuan lho, Ayah, mosok dilit-dilit nemplok, piye ... sampai Esa juga ketok sabar banget." [ ... masa sebentar-sebentar menempeli, gimana ... sampai Esa juga kelihatan sabar banget.]

"Aku percaya sama Esa, dia itu bahkan kadang lebih paham Bita dari Thomas atau kita."

"Aku juga percaya, tapi Bita-nya ... pas Esa nginep yang kemarin lusa itu, Bita bludusan masuk kamarnya pakai kunci cadangan coba." [Menerobos]

Theo tertawa. "Tapi enggak terjadi apa-apa 'kan?"

"Ya, tetap aja, anak perempuan lho, aku moh nek sampai Bita diomong nanti kegatelan apa gimana." [enggak mau kalau]

"Hus, enggak lah, Nge ... bita nemploki Esa juga memang dari kecil gitu, kebiasaan. Percaya aja sama Esa, udah." [Menempeli.]

Inge baru akan mendebat sang suami, namun suara percakapan renyah yang terdengar membuatnya urung bicara, memperhatikan Esa datang dengan sebuah tas cukup besar.

"Ih, jadi Mas Esa ke sini bukan mau ketemu sama aku?" tanya Tsabitah, agak merajuk.

Esa meringis kecil. "Ya ini 'kan ketemu."

Theo beralih berdiri. "Bawa apa kamu, Esh?"

"Kemarin waktu nginap sini, kata Bunda otomatis lampu kamar Tommy mati." Esa memberi tahu sebelum berhati-hati memindahkan bawaannya di satu tangan lalu menyalami Theo dan Inge.

"Oh iya, itu belum jadi dibenerin," kata Theo.

"Ayah lupaan terus," ujar Inge dan tersenyum senang. "Pas banget kamu datang, Bunda baru beli hot pot pack, terus dikirim lumpia sama Tante Nurina, dua kotak isian ayam pedas."

Esa balas tersenyum. "Cocok, itu Mama bawain acar nanas sama Siropen Telasih, oleh-oleh Papa pulang Surabaya."

Tsabitah mengangkat tas berisi makanan dan minuman yang dimaksud. "Bunda pasti modus ke Mama biar dibikinin, 'kan?"

"Enak aja, emang Bunda sama Mama Yaya 'kan sehati ..." seloroh Inge dengan tawa riang. "Ya udah, Bunda sama Bita siapin makan ... biar Ayah sama Esa benerin itu otomatis lampu di kamar Thomas."

"Aku aja yang bantuin Mas Esa," pinta Tsabitah, mengulurkan tas bawaan pada sang ibu.

Inge langsung mendelik. "Bantuin apa kamu? Orang enggak ngerti listik."

"Nanti aku bisa pegangin sekrup atau bohlam lampunya."

"Mana ada! Malah gangguin nanti enggak selesai-selesai," tolak Inge dan bergegas menggandeng anaknya itu ke dapur. "Kamu sama Bunda pokoknya."

Theo tertawa memperhatikannya. "Bunda tadi bilang Bita mirip Ayah, hmm ... padahal mirip dia juga."

Esa mengikuti langkah tuan rumah seraya menanggapi, "Menurut saya, sifat cerianya Bita memang mirip ayah."

"Tapi kalau udah punya tekad atau kemauan, Bita itu Bundanya banget, serius, fokus, enggak ragu-ragu kalau ambil keputusan." Theo meringis kecil. "Kalau Thomas baru full miripnya sama Ayah, ya, Esh."

Esa mengangguk. "Fleksibel dan kalau kepepet, berani nekat."

Theo tersenyum, melangkah ke depan pintu kamar anak sulungnya dan perlahan membukanya. "Oh sampai lupa, ini butuh tangga, Esh."

"Saya udah bilang Pak Aji buat naikin tangga lipat," kata Esa dan memang tidak lama kemudian sopir keluarga Ruslantama itu mengantarkannya.

Theo membantu mengatur ketinggian tangga, setelahnya memperhatikan Esa yang begitu saja memanjat dengan beberapa alat untuk melepas bagian tutup, membuka dan memeriksa ke terminal sensor.

Esa memeriksa dengan perlahan sekaligus hati-hati, memastikan setiap bagian perangkat tetap dalam kondisi aman.

"Kapasitor dan resistor utama putus." Esa memberi tahu lantas perlahan melepas dan menurunkan perangkat yang bermasalah.

"Kenapa bisa putus, ya?"

"Ini kayaknya karena tiba-tiba ada lonjakan tegangan dan emang perangkatnya udah harus diganti juga."

"Loh berarti harus pesan ganti perangkat ke jasa pasangnya?"

Esa menggeleng, memeriksa ke tas perlengkapan yang tadi diletakkan ke lantai. "Saya ada bawa pengganti."

Theo memperhatikan barang-barang yang Esa keluarkan. Ia beralih ke lemari untuk mengeluarkan terminal roll kabel, membantu persiapan dan menyusun setiap komponen yang dilepas secara berurutan di lantai.

"Kamu sudah tahu masalah kerusakan sensornya, ya? Makanya siap bawa barang-barang ini."

"Iya, enggak jauh-jauh rusaknya," ungkap Esa lalu memakai kacamata khusus dan memulai perbaikan.

"Tapi ini beda warnanya, Esh? Bisa, emang?" Theo memastikan dan memeriksa perangkat pengganti, berbeda warna sekaligus merk dengan perangkat yang rusak.

"Yang penting sama resistornya, buat menstabilkan catu daya kapasitif." Esa memberi tahu sekalian. "Catu daya kapasitif itu jenis catu daya, menggunakan reaktansi kapasitif kapasitor untuk menurunkan tegangan listrik ke tegangan yang lebih rendah. Supaya stabil."

"Ah, soalnya ini putus karena tegangan tinggi, ya?"

Esa mengangguk. "Lonjakan tegangan tinggi, tapi ini bagus sistem pengamannya, di beberapa sensor dengan kondisi serupa bisa sampai memicu ledakan, ngerusak lampu utamanya juga. Ini enggak."

Theo tersenyum, memperhatikan tangan terampil Esa, sejak melepas perangkat lama dan melakukan penggantian, tidak terlihat bingung. "Kamu belajar dari siapa soal ini, Esh?"

"Tahun kedua di Tokyo, tempat tinggal saya ada di rooftop rumah pemiliknya. Beliau ahli kelistrikan, waktu badai sempat konsleting massal dan butuh bantuan perbaikan ... waktu sekolah, science project saya dan Thomas juga tentang kelistrikan, bikin thermoelectric generator. Jadi, saya bantuin sedikit-sedikit sambil perhatikan."

Theo ingat itu, dirinya dan Lukito bahkan sampai dipanggil ke sekolah karena kesuksesan projek sains itu. "Ah, ya ... apa dulu kata Thomas, fenomena efek see ... uhm, something?"

"Seeback, konversi panas untuk menghasilkan energi listrik," jawab Esa seraya memastikan pemasangan perangkat barunya sudah tepat.

"Dulu waktu kecil kata Eyangmu pas tedak siten kamu ngambil kacamata baca punyanya ... orang-orang pada agak kecewa, soalnya pada ngarep kamu ambil uang atau stetoskop yang harapannya itu kemakmuran, karir bagus." Theo terkenang dengan senyum. "Tahu enggak, Eyang Lutfan dulu malah bangga kamu ngambil kacamata bacanya."

"Iyakah?" tanya Esa, dia sekadar tahu proses itu melalui foto dan belum pernah diceritakan detail.

"Beliau cerita ke Eyang Taher, katanya anak yang suka baca, hobi baca, bisa jadi apa saja ... alasan seseorang berilmu itu dari kemauan membaca." Theo mengangguk-angguk takzim. "Beliau benar, Esh, kamu bisa jadi apa saja ... malah tambah pintar, jadi dokter listrik juga bisa."

Esa tertawa. "Ayah enggak perlu khawatir lagi kalau ada sensor yang rusak," katanya lalu beralih memasang perangkat yang baru diperbaiki.

Theo menunggu Esa selesai, lalu mencoba dengan menutup rapat tirai dan perlahan lampu ruangan otomatis menyala. Sewaktu tirai kembali dibuka, lampu ruangan otomatis mati. "Syukurlah ..." ungkap Theo lega.

Esa ikut lega dan bersila untuk merapikan peralatannya. "Minimal dua lumpianya."

"Apa?" tanya Theo.

"Bayar jasa perbaikan ini, minimal dua lumpia isi ayam pedasnya," ucap Esa dan ayah sahabatnya itu tertawa.

"Ayah kasih lima, wes!" ujar Theo lantas ikut bersila merapikan terminal roll kabel dan mengembalikannya ke dalam lemari.

Sejenak, sebelum menutupnya, Theo menyentuh kotak khusus dari rumah sakit. "Bita bilang, kamu menanyakan soal ini kemarin?"

"Iya, isinya enggak dikeluarkan?"

"Bita dulu yang suka keluarkan, tapi terus dia sebal sendiri dan endingnya dimasukin lagi." Theo mengeluarkan kotak itu. "Kalau Bunda, memang enggak sanggup ... sementara Ayah tunggu ada teman yang bisa bantu pilihin barang mana harus disimpan atau dibuang."

Esa seketika terdiam, menyadari maksud Theo dan setelah meyakinkan diri, ia meminggirkan tas peralatannya. "Iya, sudah saatnya."

Theo menggeser kotak itu hingga ke tengah mereka dan membukanya. Pertama-tama Esa mengeluarkan tas ransel, lalu celana jeans panjang yang kotor dengan sedikit noda darah samar, lalu sepasang sepatu, jam tangan, sapu tangan abu-abu dengan bordir huruf T.R. yang halus.

Tsabitah tidak mengada-ada saat mengatakan isi tas ransel Thomas berantakan. Namun beberapa bendel berkas di dalamnya memang merupakan laporan pekerjaan di RUBY, lalu ada kotak pensil, pouch berisi kumpulan nota & kwitansi, dompet kartu nama, sisanya sabun wajah-sikat gigi- alat mandi yang tersebar begitu saja, di bagian belakang ransel ada sehelai baju ganti, tumbler minum warna cokelat muda.

"A.S." sebut Theo, memperhatikan grafir di bagian tutupnya.

"Ayuning Swara," jawab Esa lalu meringis kikuk. "Mereka punya tumbler couple, punya Tommy warna putih dibawa Ara, punya Ara warna ini dibawa Tommy."

"Dasar couple kawak," kata Theo lalu memperhatikan kotak makanan yang berikutnya Esa keluarkan. Di dalamnya masih ada snack utuh, termasuk memo dengan tulisan tangan Thomas yang tertempel.

Sayang, semangat lemburnya ... nanti pulang aku pijetin sampai pulas, *wink* — Your Husb.

"Apa tulisannya, Esh?" tanya Theo karena Esa tampak mengerjapkan mata beberapa kali.

"Oh, ini." Esa agak kikuk dan ragu untuk mengulurkan.

Selain penggunaan kata 'Your Husb.' entah kenapa Thomas juga harus mencoret huruf L pada kata pulas, ditambah emoji kedipan mata. Ini membuat pesannya terkesan nakal.

"Esh?"

Sorry, Tom.
Esa meminta maaf dalam hati lalu mengulurkan memonya.

Theo menerima uluran kertas itu dan cukup surprise kala membaca. "Oh, ini ... ng, kayaknya, eh, yah, mereka pacaran lama banget 'kan ... pastinya saling canda atau godain begini, ya ... hahaha."

Esa paham dengan sikap salah tingkah itu. Ia memutuskan untuk merogoh barang selanjutnya, kotak obat-obatan, termasuk obat darurat milik Tsabitah. Barang terakhir yang Esa ambil adalah botol saus dengan karet gelang untuk menahan selembar kertas yang membungkusnya.

Esa memeriksanya, selembar kertas itu ternyata daftar belanjaan, cukup rinci hingga ada dua puluh lima item. Tulisan tangan Ayara.

Pokoknya jangan salah lagi sausnya, udah aku bawain botolnya sekalian. Love you, Mas.

"Itu apa lagi, Esh?" tanya Theo.

"Daftar belanjaan, kayaknya Ara nitip, tapi ..."

"Tapi?"

Esa menunjukkannya. "Just too much items, kayak belanja bulanan."

Theo mengambil alih kertas itu dan memperhatikan setiap barang. "Dulu, sejujurnya ... saat Thomas enggak ada dan pihak bank datang untuk serah terima, memang ditemukan banyak sekali transfer-transfer ke rekening Ayara. Oma yang dulu langsung lepas kendali, tapi sungguh Ayah dan Bunda ikhlas, Thomas menghasilkan uangnya sendiri dan kepada siapa pun dia ingin memberikan, jumlah berapa pun, itu haknya."

"O ... Oma Inggrid lepas kendali?" Esa sama sekali tidak tahu perihal ini.

"Iya, waktu Bita kembali ke rumah sakit buat rawat lanjutan. Oma itu siangnya minta diantar sopir ke rumah Ayara, Rika yang tahu langsung nyusul dan benar aja, Ayara itu lagi dijambak disebut-sebut gila harta dan dicaci-maki ... Rika berhasil pisahin, terus katanya pas peluk buat tenangin, Ayara udah gemetar hebat, jelas syok sekali."

Esa bisa membayangkan betapa sakit dan sedihnya Ayara hari itu.

"Hari berikutnya Ayah dan Bunda datang ke rumah Soeryadarma untuk minta maaf, Pak Chaerul yang menemui kami berkata bahwa ... Ayara belum siap bertemu, ketika siap akan datang pada kami untuk bicara. Kami pulang setelah sedikit berbincang dan saat Ayara akhirnya datang, justru dia yang minta maaf." Theo ingat betapa tegar pembawaan Ayara pada hari itu, tegar yang begitu sakit dan diliputi kesedihan. "Mengingat Ayara hari itu, selalu bikin Ayah merasakan sesal, Esh."

"Yah ..." panggil Esa lirih.

"Seharusnya sejak awal Ayah memberanikan diri untuk menjadi menantu yang buruk saja, iya 'kan? Seharusnya Ayah mendukung penuh Thomas dan Ayara tanpa peduli pendapat Oma."

Esa tidak bisa memberi sanggahan atau dukungan untuk ungkapan hati ayah di hadapannya ini. Ia belum paham dilema positioning yang sedalam itu, bagaimana memposisikan diri sebagai ayah yang baik, sekaligus seorang anak menantu yang tetap berbakti.

"Words can lie, but numbers can't ... just remember that, Esh." Esa terkesiap karena kalimat itu muncul begitu saja dalam pikirannya. Ia sampai menoleh ke foto Thomas di dinding kamar. Dahulu, saat mereka sama-sama sibuk, Thomas sempat berbagi beberapa ilmu bisnis yang dipelajari selama mulai mengurus RUBY.

"Enggak ada transaksi yang lebih meyakinkan selain transaksi keuangan." Kagendra juga pernah mengungkap itu. Di tengah kecurigaan terhadap Lyre dulu, Kagendra tidak berasumsi berdasarkan omong kosong, langsung mencari tahu dengan memeriksa transaksi keuangan.

Selalu ada hal yang tidak biasa ketika seseorang berubah.

Esa menelan ludah dengan gugup. Ia tidak boleh mengabaikan pertanda sekecil apa pun dan harus mencari tahu.

"Ayah, maaf ... apa saya boleh memeriksanya?"

"Memeriksa apa?"

"Laporan transaksi keuangan Tommy."

"Oh, ya, tentu saja." Theo beranjak dari duduknya, berlalu ke rak buku dan menarik sebuah map tebal, sekilas memeriksa isinya lalu menyerahkan. "Ini yang setahun terakhir, yang sebelumnya bentuk file digital ... sebentar Ayah carikan."

Selama Theo menyalakan komputer di kamar tersebut. Esa bergegas memeriksa, perlahan dan hati-hati. Ia berusaha tenang menyadari perubahan kelola keuangan yang cukup drastis pasca ulang tahun terakhir sahabatnya itu.

Esa memetakan beberapa perbedaan yang langsung terlihat. Pertama, transfer-transfer dengan nilai besar ke rekening Ayara baru Thomas lakukan selama enam bulan terakhir. Sebelum itu tidak ada. Kedua, Thomas juga baru membayar beberapa tagihan Ayara di enam bulan terakhir. Sebelum itu tidak ada. Dan ketiga, nyaris setiap akhir pekan selama tiga bulan terakhir, ada pembayaran dengan nominal yang serupa. Thomas jadi sering belanja setiap akhir pekan.

Esa segera mengambi pouch berisi kumpulan nota dan kwitansi, memeriksa secara hati-hati. Untungnya, Thomas cukup rapi, sudah mengurutkan berdasarkan tanggal terbaru. Pembelian bunga, cokelat, belanja bulanan, kwitansi pembelian perhiasan, kwitansi dp untuk pembuatan kandang kucing, nota pembelian furnitur, belanja pakaian dalam, nota perawatan rambut, belanja ...

Wait a minute.

Esa terkesiap, memastikan nota toko pakaian dalam, bukan bokser tetapi dua lingerie set dan two pieces bikini. Esa mencocokkan dengan nominal transaksi pengeluaran.

It's match, memang Thomas yang membelinya. Dua bulan sebelum tanggal kecelakaan itu dan setelah Esa mencari tahu lebih jauh, pembayaran dengan nominal serupa itu adalah booking hotel. Hotel bintang empat yang dekat dengan kantor Ayara, waktu transaksinya juga selalu sama.

"Ayah ... uhm, aku ingat Thomas sempat sibuk banget setiap weekend dulu, dia pamitnya ke mana?"

"Memancing, dia sama Ayara dan Pak Chaerul entah kenapa pada keranjingan mancing jadi pagi-pagi selalu pergi ke embung atau waduk sermo ... itu tas pancingnya masih." Theo mengendik ke tas yang disandarkan dalam lemari.

Esa memeriksanya dan meski senar pancingnya sudah tidak terpasang dengan baik. Namun dia yakin, alat pancing ini sama sekali belum digunakan. Plastik wrap di bagian gagangnya saja belum dilepas, kotak berisi perlengkapan juga masih baru.

No way.
Esa terperangah mundur, menyadari bahwa Thomas jelas berbohong.

Theo menemukan file yang dimaksud, kemudian menoleh untuk memanggil, "Esh, ini untuk transaksi tahun sebelum-sebelumnya ... emang lebih hemat."

Esa menenangkan diri dan memeriksa. Ia cukup tahu beberapa transaksi itu, memang khas Thomas, teratur dalam membayar tagihan, belanja seperlunya, dan sering mengirimkan uang jajan untuk Tsabitah.

"Walau Ayah dan Bunda sepenuhnya ikhlas atas apa yang Thomas berikan pada Ayara, tapi kalau dibandingkan sama laporan sebelumnya memang kontras sekali, ya?"

"Iya, Ayah." Esa setuju atas penilaian itu. "Apakah Ayara sempat membicarakan tentang uang ini?"

"Kepada kami? Enggak, tapi Rika bilang waktu Oma konfrotasi terkait uang-uang ini ... Ayara bilang dia berhak menerimanya dan karena itu pemberian dari Thomas, dia enggak akan menyerahkannya lagi." Theo mengusap wajahnya sekilas. "Oma pernah desak Inge untuk meminta kembali uang-uang Thomas yang ditransfer ke Ayara itu."

"Terus?" tanya Esa.

"Bunda balik marahin Oma, sekali-kalinya sampai teriak dan menangis keras sekali ... uang segitu enggak seberapa dan kalau benar Ayara bisa melanjutkan hidup dengan lebih baik menggunakan uang tersebut, Thomas pasti akan lebih tenang."

Esa menarik sapu tangannya, menyerahkan pada Theo yang tiba-tiba bersedih sampai meneteskan air mata.

"Maaf, ya ... sebagai ayah, seharusnya tetap kuat supaya enggak goyah dan menyulitkan Thomas yang sudah tenang."

Sebagaimana Esa dulu dekat dengan sang papa, Thomas juga demikian terhadap Theo Ruslantama. Namun, alih-alih ikut larut dalam kesedihan itu, Esa justru menanggapi santai, "Thomas tahu kalau Ayah memang enggak sekuat itu, makanya kata dia mending saya aja yang mengurus Tsabitah. He was right."

Ucapan itu membuat Theo menoleh, memperhatikan lelaki dewasa yang dulunya adalah pemuda paling familiar dalam benaknya selain anggota keluarganya, yang begitu akrab dan kerap menghabiskan waktu remaja bersama Thomas. "He was right ... karena itu pastikan lamaranmu berkesan."

Esa tersenyum. "Papa atau Ayah duluan yang nanti nangis?"

"Ck!" decak Theo santai. "Ayah kok nangis, Bunda itu yang pasti duluan, tapi kayaknya nangisnya lebih karena keberatan bulu mata palsu."

Tepat pada saat itulah pintu kamar terbuka lebar, Inge bersedekap kaku, "Ayah gitu ya ... diam-diam ledekin Bunda, hmm ..."

"Wah, enggak ikut-ikut," ujar Esa yang bergegas mundur.

Theo beralih dengan agak panik. "Eh, ini tangganya harus dituruni du—"

"Enggak usah menghindar ya, Ayah!" seru Inge.

Esa sudah menutup pintu kamar saat tersengar suara ampun tuan rumah dan luapan kekesalan dari nyonya rumah. Ia baru akan tertawa, namun urung karena Tsabitah menunggu dengan bersadar di dinding.

"Oh, itu ... kami enggak bermaksud meledek Bunda tapi—"

"Thank you," sela Tsabitah lalu sejenak mengangkat tatapan untuk menahan kesedihan. "Ayah bukannya lupa benerin otomatisnya, tapi enggak punya teman untuk memperbaiki itu bersamanya ... terima kasih, Mas Esa temani Ayah hari ini, it feels so different without Mamas ... tapi ada Mas Esa bikin keadaan jauh lebih baik."

Esa segera mendekat, memeluk Tsabitah sebelum tangis gadis itu berjatuhan. "I will be here, Bee ... for you and our family. I promise, I will be here."

Tsabitah mengangguk, sengaja membiarkan pelukan itu bertahan cukup lama ... sampai sang ibu yang keluar kamar tampak kaget lalu menyuarakan protes.

"Ini jatah manjaku, tahu!" ucap Tsabitah enggan menjauh atau melepaskan Esa.

"Jatah manja itu waktu kamu masih kecil, sekarang kamu dewasa! Lepasin Mas Esa."

"Enggak! Mas Esa punyaku." Tsabitah bersikukuh sembari mengeratkan pelukan.

"Bita!" tegur Inge cepat.

Esa berusaha menengahi. "Mas harus bantuin Ayah dulu, lho ... biar bisa bareng-bareng makan siangnya."

"Nanti aku yang ambilin nasi buat Mas Esa, ya?" ujar Tsabitah penuh harap.

Esa tertawa. "Bita harusnya ambilin nasi buat Ayah dulu, terus buat Bunda, baru deh ..."

"Anak manja enggak ngerti kayak gitu, Esh," gerutu Inge.

"Bunda juga yang manjain aku," sebut Tsabitah seraya melepaskan pelukan. "Jangan lama-lama, jatah manjaku dimulai begitu Mas turun ya."

"Astaga!" Keluh Inge, tidak habis pikir dengan sikap putrinya. "Kecentilan!"

"Bunda juga gitu ke Ayah ..." Tsabitah mengingatkan sambil berjalan cepat. "Sayang, kita lama enggak quality time ... pas ke cabang Bandung aku ikut, mumpung Bita nginep Palagan."

"Ehhhhh, nguping orang tua." Inge buru-buru mengejar sang putri.

Esa meringis, kembali masuk kamar dan membantu Theo untuk merapikan barang-barang Thomas.

Mereka berbagi keheningan sampai saat Theo berujar pelan, "Ayah akan menunggu, Esh ... karena itu kamu juga enggak usah terburu-buru dalam menjelaskan, ya."

"Ayah ... saya ..."

Theo mengangguk. "Ayah tahu kamu menemukan sesuatu dari semua ini ... tapi pasti sulit mengungkapkannya, menilik Thomas selalu mempercayakan banyak hal padamu selama ini."

Esa memang merasakan dilema yang sangat besar, takut akan jawaban dari setiap dugaan atas beberapa hal yang ditemukannya. Satu sisi, masih tidak yakin dan butuh mencari tahu. "Saya percaya pada Thomas, karena itu ingin mencari tahu lebih jauh."

"Berjanjilah ..."

Esa menatap sepasang mata Theo Ruslantama. "Ya, Ayah?"

"Berjanjilah, apa pun itu yang kamu temukan ... bicarakan pada ayah lebih dahulu. Jangan Bita atau Bundanya," pinta Theo dengan serius.

Esa mengangguk. "Iya, Ayah."

[]

*Tedak siten (Jawa: tedhak sitèn) atau tedak siti adalah rangkaian prosesi adat tradisional dari tanah Jawa yang diselenggarakan pada saat pertama kali seorang anak belajar menginjakkan kaki/ berjalan.

🩷

Kolaborasi maut mengungkap hubungan Thomas & Ayara. Mas Esa ft. KagenBi ditambah kerja sama Ayah Theo.

Padahal gampangan
sharing ke Papanya sendiri ygy~

.

Yaa tapi kalau semudah itu 'kan tyda ada dramanya. Aing no like, kudu drama pokoknya 🤭

.

Thomas tiap mau kasih nafkah batin alasannya mancing, ya enggak salah sih ... kan tagline-nya mantap-mantap juga, wkwkwkwkk.
Terlalu kamu Mamas!
















⚠️


selamat kepada yang beruntung, yang belum, bisa coba lagi ygy di kesempatan berikutnya, eaaa~






























































⚠️ trigger warning untuk 🐷

Mas Esa masih menahan diri, sementara Little Bi secara smooth anggunly menyerang duo babi, xixixixixii

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top