[ 31. ]

Aloha,
Sobat Mal-mingku 🩷

Enggak terasa, udah 31 bab aja
dan cerita ini akan masuk ke bagian-bagian greget

are you ready?

ready dong ... bersama cegil, kita bahagiakan Mas Esa, eaakk

.

2.100 kata untuk bab ini
wish you can enjoy it
thank you so much.

🍯

[ 31. ]

"Mama, sini duduk dulu."

Esa menarikkan salah satu kursi untuk sang ibu. Mereka ada di kafe, dekat pintu keluar di area kedatangan, menantikan Tsabitah muncul.

"Segala pakai delay, jadi enggak ketemu Kagendra yang udah berangkat," ujar Soraya lalu duduk.

"Iya, besok-besok juga bisa ketemu." Esa menempati kursi yang berhadapan dengan sang ibu. "Mama enggak apa-apa, Ma?"

"Ya?"

Esa memperjelas maksud pertanyaannya. "Nanti kita pulang, Lyre sama Ravel enggak di rumah."

Soraya meringis dan mengangguk samar. "Kalau Lyre tinggal, Mama yakin begitu pulang yang kita dengar cuma suara tangisnya ... Lyre itu enggak bisa menutupi, walau dia bersama anak dalam kandungannya, kalau Ravel dibawa Kagendra pasti tetap sedih."

Esa juga menyadari itu. "Di kamar tadi udah sesenggukan dia, nangisin bintang harapannya Ravel."

"Itulah, lagi hamil mood swing, ditambah punya anak baik dan penyayang ... pasti luluh sebagai ibu." Soraya mengulurkan tangan dan memegangi lengan kiri Esa yang terlipat di atas meja. "Enggak apa-apa, Mama masih ditemani sama Esa, ya."

"Iya, Ma," jawab Esa.

"Kamu beneran, enggak mau spill ke Mama dulu soal kunjungan di Semarang?" Soraya memastikan.

Esa tersenyum dan menggeleng. "Enggak, Ma, bukan hal besar kok yang diminta Oma Inggrid."

"Yang benar?"

"Uhm, ya, ada satu yang jadi beban pikiranku sama Bita ... tetapi demi lancarnya hubungan, kita ngalah juga enggak apa-apa, iya 'kan, Ma?"

Soraya mengangguk. "Iya, yang penting Esa dan Bita bisa sama-sama, membangun hidup dengan rasa damai, nyaman, syukur-syukur bahagia."

Esa mengangguk dan memperhatikan wajah sang ibu yang tampak tenang, memberinya seulas senyum lembut. "Ma, menurut Mama, aku harus konseling lanjutan sama dr. Sonya enggak, ya?"

"Konseling lanjutan? Kamu merasa enggak nyaman kembali ke rumah atau ada hal yang bikin kamu takut lagi dan—"

"Bukan itu, Ma." Esa menyela setiap dugaan sang ibu. "Aku 'kan harus jadi suami yang baik, layak buat Bita dan bisa diandalkan juga sama Ayah atau Bunda ... aku cuma mikir aja, kalau masih begini-begini, nanti gimana Bita?"

"Oh ... ya, itu tujuannya baik, hanya Mama enggak mau Esa memaksakan diri." Soraya mengelus-elus tangan kiri anaknya. "Bita juga berusaha biar lebih sehat dan lebih dewasa, jadi kalian bisa saling berbagi apa pun itu yang dirasakan bersama."

"Ma, menurut Mama aku aneh enggak kalau jadi suaminya Bita?" Esa bertanya perlahan karena sejujurnya hal ini sempat mengganggu pikirannya. "Aku mungkin ketuaan gitu, atau terlalu kaku? Dalam beberapa hal, aku beneran gugup menghadapi Bita."

Apa yang Esa utarakan itu sempat membuat Soraya terdiam, mencernanya selama setengah menit sebelum tiba-tiba sudut mulutnya berkedut. "Bita, bikin kamu gugup?"

Esa mengangguk. "Dalam beberapa hal, gugup yang nyaris panik ... kayak aku merasa kesulitan mengendalikan diri. Sebelumnya, enggak pernah aku merasa begini soal dia."

"Time flies and people changes, meski sikap manja atau cerianya Bita itu masih familiar, tetapi sisi lain darinya perlahan berubah, Esa ... dia sudah beradaptasi, bahkan sampai di titik mandiri dan mulai menemukan jati dirinya sebagai wanita dewasa."

Esa memang bisa melihat sisi itu. "Dia sama sekaligus terkadang berbeda, Ma."

"Keadaan dan pilihan hidup membentuknya menjadi Bita yang sekarang." Soraya agak mengalihkan tatapan karena terkenang. "Itu sekitar sebulan setelah Lyre juga meninggalkan rumah, Papa cukup tertekan sehingga terus membenamkan diri dalam pekerjaan. Rumah sepi sekali, suasana yang sangat enggak biasa, hampir-hampir membuat Mama tersiksa ..."

"Ma," panggil Esa karena bayangan kesedihan di sepasang mata sang ibu.

Soraya menggeleng pelan, memberi tanda bahwa ia baik-baik saja. "Bita juga sudah dibawa pindah ke Ambarketawang, ketika rumah seberang mulai diratakan, Mama pikir ... habis sudah, segala hal terbaik yang pernah Mama miliki. Tapi kemudian, Eyang Taher datang, mengantar Bita yang juga kesepian dan kebingungan."

Esa merogoh sapu tangannya dan segera menyeka tetesan air mata di pipi sang ibu. "Ma, maaf ya."

Soraya kembali menggeleng, meski kemudian menggenggam lagi tangan sang anak. "No, it's really not your fault ... membiarkan kamu pergi adalah pilihan terbaik. Mama tahu menahanmu tetap tinggal hanya akan membuat semakin sesak dan sakit. Mama saat itu hanya belum beradaptasi bahwa ternyata sepi bisa sangat menyakiti."

"Jadi, Bita benar-benar tinggal sama Mama?"

"Ya." Soraya mengulas senyum lembut. "Dia membuat Mama sibuk dan jadi cerewet seperti Inge juga ... berkatnya Papamu juga sedikit lebih tenang, meski masih keras dengan keinginannya terhadap Lyre."

Esa bisa memperkirakan situasi kala menanggapi. "Ketika tahu Lyre hamil, it must be hard."

Soraya memejamkan matanya sejenak. "Itu benar-benar hari yang enggak pernah kami duga, ditambah Bita juga harus kembali ke Singapura, we're alone and just freak out at home."

"Dulu Kagendra benar-benar seburuk itu?" tanya Esa, ia baru memahami situasinya ketika diminta ke Jakarta. "Yang aku tahu hanya ketika Papa menolak menjadi wali, makanya Kagendra mencariku."

"Dilihat dari sisi mana pun Mama tahu dia bermasalah, Papamu menyadari itu dan langsung enggan menanggapi lebih jauh. Adikmu juga, seperti sudah menjatuhkan pilihan padanya alih-alih mencoba menemui atau kembali pada kami terlebih dahulu."

"But Lyre always miss you, Ma."

"I know."

Esa mengerjapkan mata. "Ya?"

"Walau masih punya banyak kekurangan, Mama bukan ibu yang buruk ... Mama yakin anak-anak yang Mama kasihi, sedikit banyak, once in a moment pasti merasa rindu juga." Soraya tersenyum simpul. "Karenanya Mama menunggu dan akan selalu begitu."

Ucapan sang ibu hampir membuat Esa menangis. Namun, mengingat mereka ada di area publik, ia segera menahan diri. "Sekarang, aku akan berusaha melakukan yang terbaik supaya Mama dan Papa—"

"Nope," sela Soraya lantas ganti mengulurkan tangan, mengelus pipi anak sulungnya lembut. "Do your best to yourself, lakukan apa saja yang membuat kamu bahagia, pilih hal-hal atau sesuatu yang membuat kamu tenang dan nyaman ... dengan begitu Papa dan Mama juga akan mengerti, apa pun itu pilihanmu, baik untukmu."

Esa mengulang ucapan sang ibu dalam hatinya dan berusaha tidak kelewat emosional saat berujar tulus, "Thank you."

"Esa mau konseling lagi atau enggak, mau kembali ke Tokyo atau sepenuhnya menetap di sini ... Mama siap dengan pilihan apa pun itu."

"I choose to stay here, Ma."

"Karena Papa yang minta?"

Esa mengakui, "Mulanya begitu, tapi rasanya aku memang harus tinggal, untuk diriku sendiri ... aku harus bisa menghadapi hal-hal yang dulu kuhindari, supaya Bita juga enggak merasa kesulitan sendiri."

Ekspresi wajah Soraya menjadi begitu lega. Ibu dua anak itu kemudian bangun, beralih untuk memeluk putra kebanggaannya.

"Terima kasih, Nak."

Esa merasakan tepukan lembut di punggung dan sejenak membuatnya tertawa. "Aku rasa, aku udah terlalu tua untuk dipeluk Mama begini," ujarnya, agak malu.

"Enggak ada anak yang terlalu tua bagi ibunya," kata Soraya dan bahkan tidak terlihat kikuk kala orang-orang menaruh perhatian, termasuk pasangan bule yang memberi senyum simpul.

"Is your boy okay, Madam?"

Boy? Esa mengulang itu dengan ekspresi agak melongo. He's a man.

"Yeah, of course. I just wanna hug him, mother's thing," ungkap Soraya santai, kemudian ganti merapikan rambut Esa. "Mau teh atau kopi?"

"Banana mixed strawberry smoothies, no sugar, less ice," jawab Esa ketika melirik jam tangannya. "Aku lemon tea aja."

"Sure." Soraya beralih ke konter pemesanan untuk memberi tahu pelayan.

Ia tengah menyelesaikan pembayaran saat mendapati Esa bangun dari duduk, menghampiri gadis dengan topi bucket kuning cerah yang langsung antusias memeluk sembari mengucapkan kangen.

Soraya tersenyum mendapati anak sulungnya tertawa, tampak sabar mengatasi kemanjaan Tsabitah.

"Your sister kinda like a happy pills, Boy," ucap bule lelaki, paruh baya, yang memperhatikan Esa menggandeng Tsabitah untuk duduk.

"Thank you, Sir, but I am his girlfriend," sahut Tsabitah dengan suara yang sarat kebanggaan dan keceriaan.

"Oh, really? What a cute couple."

Esa, meski agak malu-malu, memberi anggukan dan turut menanggapi. "Thank you."

Soraya ikut kegemasan melihatnya sehingga diam-diam mengeluarkan ponsel lalu memotret Esa dan Tsabitah, mengirimkannya pada Inge.

Begitu Soraya kembali menyimpan ponsel, Tsabitah menoleh untuk melambaikan tangan.

"Mama Yaya, aku mau smoothies dong, banana mixed strawberry."

Soraya menyahuti dengan mengacungkan dua jempol. Putranya sudah menebak dengan tepat, menu yang akan Tsabitah pilih.

***

RSUP Sardjio Sejahtera
Ruang rawat Rustini Hagne, VIP 7.

"Mbak ..."

Suara sapaan itu membuat Wyna menoleh. Ia segera berdiri dan mengulas senyum, menyapa dua orang tamu yang berjalan mendekat. "Ya ampun, Pradana, Tante Pratiwi ..."

"Wyna, maaf ya, Tante baru sempat jenguk bundanya." Pratiwi Arghadinata yang mendahului langkah segera mengulurkan tangan.

Wyna mencium tangan tersebut, memberi pelukan singkat dan kecup ringan di pipi kanan. "Iya, Tante, enggak apa-apa, pas Bunda bangun juga kok ... monggo mlebet." [Silakan masuk.]

Pratiwi melangkah masuk dalam ruang rawat, menyapa penghuni ruangan yang tengah dibantu minum. Wyna mendengar suara percakapan ringan dan beralih fokus pada Pradana.

"Hei, Dan, sekalian nyamperin Mas Raksa, ya?" tanya Wyna karena pemuda itu terlihat berjalan ke dinding kaca, memperhatikan koridor yang biasa dilalui para dokter untuk menuju ruang operasi.

"Enggak sih, hahaha, udah pulang dia semalam." Pradana kemudian menyalami Wyna. "Gimana, Tante Tini, Mbak?"

"Kalau dibanding kemarin-kemarin, udah lebih baik ... tapi, ya, karena Bunda juga udah terbatas sebelumnya, jadi istilahnya makin paten aja untuk bed rest."

Pradana meringis. "Sabar ya, Mbak."

"Iya, mau enggak sabar juga enggak ada gunanya, Dan." Wyna balas meringis kikuk dan mempersilakan kursi tunggu di sampingnya. "Sini duduk, ibu-ibu biasanya lama ngobrol tuh."

"Iya, tadinya Mas Raksa yang disuruh jemput Ibu dan temani ke sini, tapi malah ada dadakan operasi ... untung aku di rumah," ujar Pradana lalu duduk dan mengeluarkan ponsel, memeriksa beberapa update. "Ngomong-omong makasih lho, Mbak Wyna mention produkku di story dan naik lagi jumlah pemesanan."

Wyna tersenyum. "Sama-sama, emang bagus kok, lebih murah lagi."

"Aku sempet nawarin sample ke RUBY lho, buat serum itu ... 'kan setipe sama YouthEssence milik mereka, tapi Pak Theo enggak berminat." Pradana terkekeh. "Padahal kalau mau, mereka bisa ambil untung lebih banyak, tinggal ganti kemasan dan brand doang."

"YouthEssence itu 'kan formulanya Thomas, Dan ... enggak mungkin lah Om Theo mau ganti."

"Ya, tapi itu bahan bakunya mahal, dari pertama dirilis sampai sekarang mereka naikin terus harga produknya ... gagal di persaingan harga, bisa potensi gagal produksi dan endingnya enggak jualan, itu 'kan gawat."

Wyna menyipitkan mata sejenak, mengutarakan dugaannya, "Kamu belum terima info emangnya, Dan?"

"Info apa tuh? Aku habis dari Amrik, Mbak ... dua minggu." Pradana kemudian dengan bangga menunjukkan feeds terbaru di media sosialnya. "Jalan-jalan nikmatin hidup."

"Well, sementara kamu jalan-jalan gitu, RUBY dapat investor, Dan. And it's really huge number."

Pradana mengerutkan kening. "Yang benar aja, Mbak?" ujarnya dengan tidak percaya. "Sejauh ini cuma aku lho yang nawarin skema merger paling baik untuk RUBY ... investor lain mana mau join bisnis tapi enggak dapat porsi kepemilikan dan—"

"Yang ini mau, prosesnya juga udah final, seingatku bahkan RUBY mulai proses pembaruan, mereka mau renovasi klinik, ganti kemasan produk, dan udah proses untuk penambahan alat."

"Hah, serius?"

Wyna mengangguk, mengeluarkan ponselnya sendiri kemudian memberi tahu hal yang lebih penting. "Bita juga udah punya calon suami bytheway."

Kali ini Pradana terkesiap sampai bangun dari duduknya. "Who?"

"Mas Esa."

"Mas Esa? Esa mantan? Eh, maksudku—"

Wyna memberi anggukan. "Iya, Mas Esa, Lukesh Kanantya mantan tunanganku ... adalah calon suami yang Bita pilih."

Pradana kemudian memperhatikan update yang terlihat di akun media sosial Tsabitah. Itu adalah foto dua tangan bertautan dan kutipan yang disematkan jelas mengindikasikan kedekatan.


Pradana benar-benar tidak percaya ini. Dirinya sengaja mengulur waktu dan memberi jarak, untuk sekadar menegaskan posisi bahwa ia bukan pihak yang akan mengejar. Pradana yakin dirinyalah yang dibutuhkan oleh RUBY dan keluarga Ruslantama. Ini sama sekali tidak sesuai dengan perkiraan.

"Sialan!" Pradana memaki dengan kesal. "Pantesan Om Theo udah enggak pernah nelpon atau nanya kabar lagi!"

Wyna menarik ponselnya lalu tersenyum simpul. Ia menepuk kembali kursi di sampingnya. "Emang enggak sopan banget ya, mereka itu ... I mean, selama ini Om Theo juga seolah mengharapkan kamu, eh tapi tiba-tiba beralih pilihan begini."

"Kok bisa jadi Mas Esa, sih?" Pradana bertanya-tanya dengan bingung.

"Bita 'kan dari dulu emang suka sama Mas Esa, jelas ini kesempatan terbaiknya lah ..." Wyna sedikit membersit hidung. "Well, kalau diingat-ingat gimana dulu dia juga selalu ada ditengahku sama Mas Esa, sikapnya sekarang enggak mengejutkan."

Pradana segera menoleh Wyna. "Hah? Bita di tengah antara Mbak sama Mas Esa?"

"Iya, tapi enggak bisa disalahin juga, karena 'kan mereka dekat dari kecil, Mas Esa juga dokternya Bita ... mereka tuh kayak punya secret relationship gitu, menurutku. Terus sekarang ini momen yang tepat untuk reveal."

"Serius, Mbak? Kalau pas Mbak masih sama Mas Esa ... Bita tuh minor lho itungannya."

Wyna mengangguk-angguk. "Ya gitu deh, karena dia masih kecil, Mas Esa jadi mikirnya sekadar manjain ... tapi lambat laun kok, manjainnya berlebihan banget. Aduh, pokoknya parah deh ... aku lega kamu enggak terlibat sama Bita, jangan sampai sakit kayak aku dulu."

"Tapi enggak bener juga dong mereka, Mbak, dari kecil kayak keluarga kakak-adik ... masa sekarang mau menikah? Aneh banget lah, ditambah ternyata jadi alasan hancurnya hubungan Mbak juga." Pradana geleng-geleng kepala dan meremas ponsel di tangannya. "Aku enggak bisa biarin ini sih, enak aja."

Wyna memperhatikan itu dan entah kenapa setelah hari-harinya dirundung muram, kali ini seakan muncul hal yang kembali membuatnya antusias.

"Udahlah, Dan, ikhlasin aja ... belum lama ini Ruslantama udah kerepotan karena netizen yang kepo soal Thomas, jangan sampai Bita malah keseret-seret issue beginian." Wyna berlagak prihatin dan menghela napas lelah. "Kasihan jantungnya yang enggak seberapa kuat itu lho."

"Justru karena itu seharusnya mereka pada mikir, iya 'kan? Ada sebab, ada akibat ..." ujar Pradana lantas kembali bangun dari duduknya. "Mbak santai aja, aku pastiin ini jadi urusanku dan masalahku sendiri."

Wyna mendapati Pradana yang langsung beranjak pergi. Ia kemudian tersenyum simpul, memalingkan wajahnya kala senyum itu berubah menjadi tawa.

Situasi jelas akan semakin menarik.

[]

🩷

Serigala berbulu domba bingit nih, Mbak Wyna ... barisan pendukungmu syedih loh lihatnya, ckckckk

Tapi, apalah artinya cerita tanpa sosok villain yang greget & menguji kesabaran ygy ~

🤣🤭

.

anyway ... kalau mau healing pakai cerita yang maniez, male & female leadnya calon bucin total, bisa loh mampir ke Karya Karsa ... xixixi

udah ada dua part cerita tentang si Babi nomer dua alias Om Waffa

Cerita tersebut eksklusif hanya di Karya Karsya yay dan enggak akan dibuat versi series kayak di wattpad begini. Thank you.

























































⬇️















































⛵️

Orang kaya tuh kenapa ya, olah raganya selalu berisiko, padahal gobak sodor juga seru 😗

KagenBi: What is that?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top