[ 3. ]

Malming ke-dua bersama ayangku yang baru, uch ~

.

I know, buat sebagian pembaca Repeated pasti agak-agak males gitu ya, sama perulangan konflik Kanantya vs Pradipandya di cerita ini ... tapi emang ada sambungan & key point yang dibutuhkan untuk perkembangan hubungannya Bita dan ayangku kedepannya, jadi harap bersabar yha.

terima kasih.


🍯

[ 3. ]

Tjipto Central Hospital
Jakarta, Indonesia


"Kata Lyre, lengan Mas Esa sakit?"

Desire Hadisoewirjo yang mengajukan pertanyaan tersebut. Adik sepupu Kagendra yang selama hampir seminggu ini berusaha bersikap ramah.

Esa geleng kepala. "It's fine."

"Semisal butuh dokter Mas Esa di Tokyo atau—"

"Aku butuhnya bawa Lyre balik ke Yogyakarta, Desire." Esa menyela cepat.

Lusa, tepat satu minggu Esa dan adiknya, Lyre Kanantya tertahan di rumah sakit ini secara sepihak. Mereka memang tidak mendapatkan pengabaian atau sikap kurang pantas, namun di tengah permasalahan keluarga yang bergulir, Esa merasa lebih aman bagi sang adik untuk kembali ke rumah terlebih dahulu.

"Mama udah telepon Tante Yaya dan berusaha bujuk Om Tio juga, blasting pemberitaan sudah dihentikan per hari ini." Desire duduk di kursi tunggu yang berhadapan dengan Esa, memberi tahu lebih lanjut, "Perkiraan Waffa, begitu kesepakatan damai tercapai ... dalam seminggu ke depan fokus pemberitaan akan sepenuhnya berubah."

"Kesepakatan damai tercapai?" ulang Esa.

"Seperti kata Om Tio, enggak ada sejarah pasangan Pradipandya yang bercerai, di keluarga Kanantya juga enggak ada sejarah pasangan yang bercerai."

"Sejarah bisa berubah."

Desire menggelengkan kepala, sebagai bagian dari keluarga Pradipandya memang ada hal-hal yang tidak bisa begitu saja diubah. "Aku tahu Kaka keterlaluan, dia juga kelewatan, tetapi kita enggak bisa tutup mata kalau Lyre yang bersamanya selama ini bisa mengha—"

"Kagendra yang mengajukan perceraian itu!" tukas Esa cepat, benar-benar tidak terima.

Sumber dari perselisihan dua keluarga ini adalah sikap brengsek yang secara nyata ditunjukkan Kagendra. Putra tunggal Arestio Pradipandya itu jelas gagal dalam memenuhi tanggung jawab sebagai suami Lyre.

"Because he's an idiot!" ucap Desire, masih dengan nada tenangnya yang meyakinkan.

Esa menatap lekat pada lawan bicaranya. "Kamu harus serius dalam menempatkan keberpihakan, mau belain Kagendra atau mendukung Lyre."

"Aku selalu dukung Lyre, tetapi aku juga enggak mau menutup mata atas usaha-usaha perbaikan yang Kaka lakukan selama ini." Desire bersedekap dengan jari telunjuk yang ritmis mengetuk siku. "Kaka sendiri yang mencabut gugatan cerai itu ... kalau dia beneran brengsek, egois yang enggak punya hati atau perasaan, begitu tahu Lyre kecelakaan dan hilang ingatan, he can just leave, bawa Ravel pulang ke Jakarta untuk meneruskan hidup."

"Lyre mengirimkan email padaku, sebelum dia hilang ingatan dan aku baru sadar kalau itu adalah langkah awalnya untuk memulai hidup baru tanpa Kagendra ... di masa hilang ingatannya juga, dia sengaja membuat catatan secara mandiri." Esa menatap Desire lekat. "Alam bawah sadar Lyre pasti tahu, dia enggak bisa mempercayai Kagendra sepenuhnya."

"Of course she knows, Lyre memang yang selama lima tahun terakhir hidup dan membersamai Kaka ... karena itu juga seharusnya kita—"

"Seharusnya kamu memberi tahu tetang perceraian itu, Desire ... kamu bisa memberi tahu aku atau bicara pada Mamaku, agar situasinya lebih adil bagi Lyre," ungkap Esa dan menoleh ke ruang rawat sang adik yang tertutup rapat. "Yang kali ini benar-benar sudah cukup ... biarkan aku membawanya pulang."

Desire menegakkan punggung, mengurai lengannya dan mengepalkan tangan di atas lutut. Raut wajah aristokratnya menjadi lebih serius kala Esa beralih tatap. "Kalau Lyre benar-benar ingin pulang, dia harus mengatakan itu sendiri pada Kaka ..."

"Desire, keadaan—"

"Diamku tentang urusan perceraian itu memang salah, namun aku melakukannya karena melihat harapan bahwa kakakku berubah ... bahwa ada hal berbeda dengan Lyre dan kebersamaan mereka berarti banyak untuk Ravel." Desire menyela lembut, kemudian beranjak berdiri. "Beri kesempatan pada mereka untuk bicara berdua sebagai suami-istri. Beri kesempatan juga pada keluarga kita untuk benar-benar berdamai, membangun hubungan yang lebih baik untuk Ravel sekaligus adiknya yang akan lahir."

Esa memperhatikan tetes-tetes air mata Desire dan agak terkesiap.

"Sorry," sebut Desire sembari menyeka pipi dengan punggung tangannya. "Aku ingin melakukannya, apa yang dahulu enggak sempat mendiang Papa lakukan untuk Kaka dan Lyre ... mengusahakan perdamaian nyata antara keluarga kita. Aku tahu Mama Yaya bisa memahami, aku harap Mas Esa juga bisa."

Desire langsung mengambil langkah, beranjak pergi meninggalkan Esa yang termenung di ruang tunggu.

***

Kediaman Keluarga Ruslantama
Ambarketawang, Gamping


"Noella, enggak jadi nyusul ya, Bit?" tanya Inge Razi sembari mendekat ke meja makan.

Tsabitah mengangguk dan fokus menuang sesendok madu ke atas pancake-nya. "Katanya mau nyusul Mbak Syaza aja, kangen Ishma."

"Syaza berapa hari di Bandung?"

"Seminggu katanya, sampai shop manager yang baru lebih luwes mengatur toko." Tsabitah mendengar suara langkah ayahnya dan menoleh, memberi senyuman lebar. "Papa dapat susunya?"

"Ada satu yang mocca." Theo Ruslantama menunjukkan botol kaca dengan isian susu moka dan jelly serut.

"Yeiy, udah kangen banget, susu mocca-jelly bikinan Mama Yaya," ucap Bita yang segera menggeser gelas kosong.

Inge memastikan begitu suaminya membuka botol susu tersebut dan siap menuang. "Setengah aja, Ayah."

"Iya, setengah aja," kata Theo, menuang hingga setengah bagian lalu duduk dan mendentingkan ujung botol di pinggiran gelas sang putri. "Setengahnya buat ayah."

Tsabitah tersenyum, di masa lalu sisa setengah bagian susunya adalah untuk Thomas. "Mama Yaya bilang apa, Yah?"

"Maaf, katanya lupa kalau Bita udah di rumah ... untungnya sempat ada buat susu moka sama ini dibawain varian pisang, Ravel suka katanya yang pisang ini." Theo menunjukkan dua botol susu dari dalam tas kemasan.

"Ravel anaknya Mbak Re, ya, Ayah?"

"Iya, tadi ada lagi main sepeda, begitu lihat Ayah datang langsung cepet banget balik ke rumah, panggil-panggil 'Oma Yaya' gitu." Theo Ruslantama mengekeh, tingkah balita yang memang lucu.

"Mirip Mbak Re enggak anaknya?" tanya Tsabitah sembari memulai sarapannya.

Kali ini Inge Razi yang menanggapi. "Enggak, plek bapaknya. Kata Yaya waktu rambut Ravel masih panjang bisa agak ketutupan miripnya, pas dipotong, aduh persis."

Tsabitah tertawa, mengunyah perlahan sebelum kembali bertanya, "Mama Yaya kelihatannya udah tenang, Bun?"

"Iya, beritanya juga udah reda, untunglah." Inge kemudian menyodorkan smoothies bowl ke hadapan sang suami. "Luki gimana, Yah? Jadi, mau conference pers?"

"Jadi kayaknya, aku udah bilang Pak Ricard yang akan mewakili kita kalau dia perlu dukungan tambahan."

"Terus?" tanya Inge.

"Semalam, dia bilang akan lihat situasi dulu ... sepertinya Yaya mendesak untuk upaya kekeluargaan, bagaimana pun Lyre juga ternyata hamil anak kedua."

"Wah!" sebut Tsabitah.

Inge juga cukup takjub mendengarnya. "Pantesan Esa juga banyak diam aja, dia pasti hati-hati banget itu."

"Iya, Luki sempat bilang juga, kalau memang diperlukan, Esa yang justru mau bicara di depan media."

Garpu di tangan Tsabitah begitu saja terlepas, memunculkan suara denting. "Mas Esa udah bisa menghadapi media?" tanyanya, terakhir kali mencoba melakukannya, Esa mengalami serangan panik, sempat tremor dan kehilangan kesadaran.

Theo menggeleng. "Belum, katanya Om Luki selama tinggal di Tokyo juga, Mas Esa enggak bersosialisasi, sekadar kenal dan seperlunya dengan tetangga atau kenalan sehubungan pekerjaan ... secara fisik memang terlihat ada pemulihan, tapi mentalnya belum."

"Orang pulang ini juga di rumah terus. Ketika temani Lyre di rumah sakit juga katanya ambil makanan di lobi aja pakai topi, tutupan masker, astaga." Inge menghela napas panjang, menyesali sikap gegabah sebagian keluarganya dulu dan duka mendalam membuatnya lambat dalam merespon.

Esa bukan lagi sosok yang mereka kenal selalu punya banyak teman sekaligus hal-hal menarik untuk dibicarakan. Sejak Thomas tiada, nyawa kehidupan Esa seolah perlahan turut menghilang.

Tsabitah mengangkat garpunya lagi, melanjutkan sarapan sembari memperhatikan kesibukan sang ibu dengan ponsel. "Mmm ... Bunda bilang, aku diminta lamaan liburannya yang sekarang, mau ngajak pergi ke mana?"

Inge mendongak dan sejenak saling pandang dengan suaminya. "O... oh, iya, ada beberapa hal yang mau Bunda sampaikan ke Bita."

"Bukan soal perjodohan lagi, 'kan?" tanya Tsabitah, memastikan.

Inge menelan ludah, memandang putri cantiknya yang langsung meletakkan garpu. "Bita, kali ini benar-benar hal yang diperlukan untuk—"

"Enggak mau, Bunda ..." sela Tsabitah dan menoleh pada ayahnya. "Ayah dulu udah janji, enggak akan memaksakan soal perjodohan."

"Situasi kali ini agak mendesak dan kami sama sekali enggak bermaksud memaksa. Bita bisa kenalan dulu, Pradana bilang akan—"

"Pradana?" ulang Tsabitah, memastikan dengan mata yang perlahan menyipit.

Inge memberi tahu sang putri. "Pradana Rozzy Arghadinata, adiknya dr. Raksa Arghadinata."

"Enggak mau!" sebut Tsabitah tegas.

"Tsabitah," panggil Inge dan segera beralih duduk di samping kursi sang putri. "Bunda sama Ayah sudah memikirkan ini baik-baik, Pradana adalah lelaki yang baik, tahun ini kliniknya yang mendapatkan Best Service Awards dan mengingat keadaan RUBY yang kurang stabil belakangan ini, jika terhubung dengannya maka—"

"RUBY hanya perlu modernisasi konsep marketing ... punya billboard besar di titik-titik strategis sudah enggak menjamin. Era sekarang ini, segalanya serba konten, lihat media sosialku, apa yang aku kerjakan untuk LitteBi?"

"Bunda tahu, kami berproses juga menuju ke sana dan seiring dengan itu reputasi brand tetap harus diperkuat ... karena itu setelah mengamankan kerja sama dengan Jade Beauty, memulai peluncuran produk baru, publikasi hubungan pewaris yang baik akan mengukuhkan eksistensi usaha."

Tsabitah tetap menggeleng. "Aku enggak mau, Bunda."

"Keluarga Arghadinata yang lebih dulu menunjukkan niat baik dan klinik paling profit di Semarang itu menyewa rukan yang Pradana punya," ungkap Theo Ruslantama, menatap sang putri lekat. "Bita sekarang sudah cukup dewasa untuk memahami bahwa bisnis keluarga kita bukan hanya tentang kemampuan menghidupi atau mensejahterakan keluarga ... ada seratus lima puluh lima pegawai tetap yang juga menggantungkan hidupnya pada RUBY."

Inge mengulurkan tangan, membelai bagian depan rambut sang putri, helaian halus berwarna hitam legam. "Bita satu-satunya yang Ayah dan Bunda punya, penting bagi kami ... Bita akan terus mendapatkan sisi keamanan finansial di masa depan. Karena itu, RUBY harus tetap ada."

Tsabitah memikirkan ucapan orang tuanya, memandang setengah bagian pancake tersisa di piring dan susu di gelas yang belum sempat diminum.

"What if, I have second choice?" tanya Tsabitah, belum sepenuhnya yakin, namun jelas harus menghindari situasi perjodohan yang tidak diinginkan ini.

Theo Ruslantama mengerutkan keningnya. "Second choice?"

"Ya, beri aku kesempatan untuk mencoba menyelesaikan masalah tersebut ... tentang RUBY dan perjodohanku."

"Ya?" Inge memastikan maksud putrinya. "A ... apa kamu selama di Jakarta punya pacar atau—"

"Nope, lebih baik dari itu," sebut Tsabitah, menyela ibunya dan tersenyum lebar. "Sejak dulu, aku punya seseorang yang lebih baik dibanding sekadar pacar."

Inge kembali saling pandang dengan suaminya.

"Ayah dan Bunda bisa mempecayaiku, karena itu ... selama sisa liburanku ini, biarkan aku mencoba mengatur situasinya." Tsabitah mengangkat garpu untuk memakan satu bagian pancake dan meraih gelas susunya. "Pilihanku, akan sangat luar biasa ... jadi aku perlu bersiap-siap. Jangan ada yang masuk kamarku sampai nanti makan malam."

[]

❤️‍🩹

Kolom pencarian Tsabitah:
Kiat rahasia dan trik secepat kilat menggaet seorang lelaki idaman.

Kolom pencarian Esa:
Jadwal keberangkatan tercepat Japan airlines! CGK to NRT.

🦾

--

anyway ... Pradana Arghadinata itu adiknya Raksa Arghadinata yang dijodohin juga sama Lyre dan gagal, wkwkwkwk sial bet emang ini ... Raksa ditolak Lyre, giliran Pradana ditolak Bita demi Esa.

Raksa ditolak Lyre enggak bisa apa-apa, susah lawannya KagenBi.

Nah, Pradana beda dong~

😈




--

adu visual dulu~

Mas Dana bau duit bingit

Mas Esa apa adanya, sederhana.
Sebagaimana kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu, eceileeehhh~

❤️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top