[ 29. ]
Hai,
first of all, I read this ya.
Thank you so much~
jangan lupa hype karya-karya / penulis ketje+amazing lainnya ya & let just spread kindness only 🩷
.
2.025 kata untuk Bab ini
selamat membaca
🍯
[ 29. ]
"Ayuning Swara Soeryadarma, nama pacarnya Thomas?" Kagendra memastikan.
"Iya, biasanya dipanggil Ayara atau Ara, ayahnya guru seni, Chaerul Soeryadarma. Kata temanku yang sempat bertemu, mereka pindah ke Bali."
"Noted!" ujar Kagendra lantas bertanya, "Berarti, menurutmu ada peluangnya?"
"Peluang?" tanya balik Esa dengan kernyitan dalam.
Kagendra berdecak. "Peluang perempuan itu bisa membantumu soal krisis penerus nama keluarga Ruslantama."
"Enggaklah! Thomas selalu treat her very well, mereka juga pacaran ala akademisi yang kelewat ambis ngejar kesuksesan. Aku sama Bita hanya ingin ketemu lagi, tahu kabarnya secara langsung juga."
Kagendra menurunkan kacamatanya, untuk memberi tatapan tidak percaya. "Come on! Menurut data yang kubaca, pacaran jangka panjang ini over 10 years, Esh."
"Iya emang, almost 15 years, dari mereka lulus SMP jadiannya."
"Nah, itu! Mana mungkin pacaran selama itu enggak ngapa-ngapain."
Esa geleng kepala. "We talk about my best friend, not yourself."
"Oh, damn! Kalau sampai kamu enggak tahu, berarti pinter-pinternya mereka aja mengelabuhi."
"Enak aja! I know Thomas very well and—" Esa menghentikan kalimatnya begitu saja, kilas-kilas ingatan berputar cukup cepat dalam kepalanya. Itu saat Thomas dahulu meminta tolong, satu pertolongan penting yang kemudian membuat sahabatnya terlihat begitu bahagia.
"Esh?" panggil Kagendra.
Esa menggeleng, yakin terhadap Thomas. "It just a vacation."
"Ya?"
"Ng ... waktu Thomas ulang tahun yang ke-29, aku lupa enggak beliin apa-apa. Saat itu, ibunya Ara juga baru meninggal dan suasana cukup gloomy antara mereka berdua, sampai aku urung untuk celebrate ulang tahunnya." Esa terdiam untuk memastikan ingatan dalam kepalanya. "Beberapa bulan setelahnya, Thomas minta tolong padaku."
"About what?"
"Dia mau liburan berdua sama Ara, dan karena situasi keluarganya waktu itu juga cukup tegang ... aku yang bikinin alibinya. It's around two weeks vacation."
"Nah, nah!" decak Kagendra seraya memasang kembali kacamatanya dan menjentikkan jari. "Covering his sins definitely make you a real best friend."
Esa berdecak. "Bukan begitu, aku percaya Thomas. Kita sama-sama punya adik perempuan, jadi wajib untuk jaga diri."
"Jaga diri enggak ada hubungannya sama jagain adik perempuan."
"Benar." Esa menukas cepat, "Karena terbukti brengsek sepertimu yang justru menghamili adikku."
"Ack!" keluh Kagendra lalu menunjuk anaknya yang gantian meniup gelembung sabun. "Pada akhirnya kita sama-sama mensyukuri hasilnya, iya 'kan?"
"Bukan berarti kelakuanmu bisa dibenarkan juga."
Kagendra melepas kacamata hitamnya lagi, menyimpan di saku kemeja dan menghela napas pendek. "Ya udah, emang salahku."
"Exactly," ungkap Esa dengan cengiran tipis.
"Tapi serius, berkali-kali aku merefleksi masa kelam itu, selalu muncul dilema ... aku tahu udah melakukan kesalahan besar, tapi punya Ravel juga hal paling luar biasa dalam hidupku." Kagendra sedikit menunduk sebelum akhirnya mengaku. "Jadi, semisal waktu berputar lagi, aku akan tetap menghamili Lyre."
"Then I'll make sure, she's come to Tokyo, not to you or Pradipandya' house."
"Sialan!"
Esa tertawa memperhatikan Kagendra kemudian memaki-maki dalam bahasa Jepang. Itu karena Ravel yang mulai berlari ke arah mereka.
***
Esa baru selesai mandi saat menerima chat tersebut. Ia bergegas berpakaian, turun ke dapur untuk mengambil air minum dan memperhatikan suasana pagi yang tenang sekaligus damai.
"Lyre udah bangun belum, ya?" Soraya bertanya sembari menyiapkan teh.
Esa angkat bahu. "Enggak ngecek, Ma."
"Ravel tidur lagi kayaknya, Kagendra juga."
"Iya, tadi subuhan bilang ngantuk, jadi gantian nguapnya itu bapak sama anak, hahaha lucu ... ya, emang larut sih tidurnya semalam."
"Kata Mbak Anas nonton film?"
Esa mengangguk, membawa segelas air ke area belakang rumah yang sejuk. Ia beranjak ke salah satu kursi jemur di pinggiran kolam renang, minum setengah gelas dan baru menghubungi Tsabitah.
Video call tersambung dalam dua deringan. Tsabitah masih memakai piama dengan rambut tergelung handuk.
"Halo ... eh, kok udah ganteng, mau ke mana?" tanya Tsabitah.
"Enggak kemana-mana, nanti agak siangan ada virtual meeting soal perpanjangan masa tinggal."
"Bisa tinggal lamaan, 'kan?"
"Ng, pada dasarnya mereka cukup puas dengan laporan yang Mas kirim, tapi butuh cek fisik dan perangkatnya juga secara berkala."
"Terus?"
"Ya, ini nanti baru dibahas bagaimana baiknya."
Tsabitah mengangguk-angguk. "Aku juga udah selesai kerjaan di sini, Noella bilang dia bisa urus sisanya sendiri."
"Bisa pulang hari ini?"
"Eng, bisa sih, tapi ... nanti ada janji temu penting, hehehe kayaknya tetap besok siang pulangnya."
Esa mengangguk. "Ya udah, enggak apa-apa."
"Kok enggak apa-apa? Aku kangen banget nih, hampir enggak kuat," ungkap Tsabitah sambil cemberut, yang segera menghadirkan tawa Esa.
"Sabar ya, tinggal besok," kata Esa setelah meredakan tawanya.
Tsabitah menghela napas pendek, terlihat menyandarkan ponsel sebelum perlahan mengurai handuk di kepalanya. "Bunda semalam telepon, katanya weekend bisa makan malam bareng. Papa gimana? Masih dinas ke Semarang enggak?"
"Kayaknya enggak, coba nanti Mas tanyain ... Bita pengin makan malam di mana?"
"Balé Eco yuk, kangen bistik ayam sama serabi pandan kocor gula jawa."
Esa mengangguk, itu salah satu menu makanan favorit Tsabitah sejak dulu. Restoran tersebut juga langganan Eyang Taher. "Boleh, Mas juga kangen sop buntutnya."
"Terakhir ke sana udah tahun lalu, pas eyang ulang tahun. Aku nambah sampai lima serabi terus digodain sama Bu Murni, katanya kalau besok menikah, pakai katering Balé Eco, mau dikasih free stall serabi pandan kocor gula jawa."
Esa terdiam menyimaknya. "Eh, tapi dulu ..."
"I don't mind, walau dulu Mas Esa sama Mbak Wyna pakai Balé Eco juga buat acara tunangan," ujar Tsabitah cepat dan menyengir kikuk. "Lagian dulu, kata Mama, Mas Esa pilih Balè Eco juga karena aku, iya 'kan? Waktu pulang dari rumah sakit, aku lihat foto-foto set plate untuk main course sama stallnya. Semuanya favoritku."
"Sayangnya, Bita justru masuk rumah sakit."
"Kalau enggak masuk rumah sakit, bisa-bisa semua makanan favoritku di Balé Eco jadi makanan yang kubenci."
Esa agak terhenyak di tempat duduknya, terutama karena Tsabitah kini menatapnya lekat sekaligus serius. "Eh ... kenapa?"
"Ya gitu deh," kata Tsabitah lalu mengulas tawa kecil. "Jadi enggak sabar pulang ... dan soal yang diminta sama Oma, menurutku kita kukuh aja menuruti permintaan pertama, yang soal mas kawin itu. Sisanya enggak usah."
"Sisanya enggak usah?" Esa membeo bingung. "Mas enggak apa-apa, Bita. Kalau lihat Papa dan Mama akan setuju juga, yang penting semuanya lancar."
Tsabitah menggeleng. "Enggak, kita toh bukannya mengabaikan permintaan Oma, kita memenuhi yang paling mungkin dan sepadan untuk dipenuhi."
"Mas Esa bisa memenuhinya."
"Kalau urusannya sampai nama belakang keluarga itu udah keterlaluan, Mas."
"Di Jepang itu cukup umum. Namanya Mukoyōshi atau menantu angkat di keluarga istri sehingga anak-anaknya memakai nama keluarga istri dan bukannya—"
"Keluarga bukan perkara nama belakang semata ... aku hidup dan kelak kalau punya anak, dia tetap seorang keturunan Ruslantama." Tsabitah menyela dan melipat tangan di atas meja. "I hate it, kalau segala hal terus ditimpakan ke Mas Esa ... dan aku yakin, Ayah ataupun Eyang juga akan menentangnya. Oma enggak harus selalu dituruti! Kita harus berani juga untuk menolak permintaan diluar kewajaran, jangan sampai kita kayak Mbak Aya dan Mamas yang berikutnya."
"Bita ..."
"And it's not your fault, ketika Ruslantama kehilangan satu-satunya keturunan lelaki atau penerus nama belakang keluarga ... it just simply a destiny. Eyang udah legowo, ayah juga ikhlas dan aku yakin Mamas enggak akan senang kalau perkara seperti ini justru dibenarkan. Papa dan Mama tuh udah banyak banget ngalahnya, udah banyak juga sedih dan berusaha tabahnya. Aku enggak mau, Oma terus-terusan jadi alasan mereka kesusahan." Tsabitah mengangkat punggung tangan ke sudut matanya lalu mengusahakan satu senyuman. "Jangan khawatir, kalau Ayah, Bunda dan Eyang Taher udah bersikeras juga ... Oma pasti akan mengalah juga."
Esa terdiam sejenak. "Ya udah, yang penting diomongin dulu ke orang tua dan keluarga nanti, masing-masing pasti kasih pendapat."
"Mas Esa besok bisa jemput aku 'kan?"
"Iya, bisa, kayaknya sekalian antar Kagendra sama Ravel juga, mereka pulang ke Jakarta."
"Lha, Mbak Re?"
"Tinggal sini, udah kesepakatan soalnya, kalau weekend Ravel sama Kagendra dan kebetulan anak itu udah kangen sekolahnya juga, jadi ya lumayan lama enggak di rumah."
Tsabitah langsung geleng kepala. "Mbak Re enggak apa-apa tuh?"
"Berat pasti, tapi kalau dia sendiri belum yakin siap balikan secara penuh, mau gimana lagi?"
"Papanya Ravel dong, harus semangat bujuknya, jangan kasih kendor, pepetin sampai mentok."
Esa kembali tertawa, bukan hanya karena apa yang Tsabitah ucapkan, namun ekspresi gadis itu juga terlihat penuh tuntutan. "Ya, Kagendra juga lagi usaha ... semoga berhasil. Ini nanti Lyre jadwal periksa dan Ravel ikut, sepertinya mereka mau reveal soal si adiknya."
"Pasti seneng banget tuh, Dinoboy."
"Iya, Ravel tuh kata Kagendra sempat bilang kalau udah punya adik mau dipanggil Mas Ravel."
Tsabitah ganti tertawa. "Pengin ya dia, dipanggil 'Mas' juga?"
"Iya, soalnya Lyre panggil Papanya Ravel, 'Mas Ndra' gitu ... waktu Ravel awal-awal bisa ngomong, sempat ikutan 'Mas-Mas' gitu panggil Kagendra, hahaha."
"Anak-anak emang gitu deh, dulu waktu Papa masih suka panggil Yaya ke Mama, aku 'kan juga sempat niruin."
"Oh, iya, hahaha ... sekarang panggil gitu kalau lagi berdua doang."
Tsabitah mengulas senyum penuh harap. "Aku mau juga dong, Mas ..."
"Apa?"
"Panggilan sayang yang cuma kalau berdua doang," pinta Tsabitah dan entah kenapa rona merah perlahan terlihat di pipinya.
Esa juga sesaat merasa perlu mengalihkan perhatian, telinga dan pipinya ikut merasa panas. "Ng ... itu ... 'kan Mas udah panggil Litt—"
"Itu panggilnya enggak kalau berdua doang, ya ..." Tsabitah mengingatkan cepat sembari meraih sisir, warna kuning dengan banyak ornamen lebah.
Esa memperhatikannya dan menyadari latar kamar Tsabitah juga berwarna kuning lembut. "Did you still have interest with bee things?"
Tsabitah mengangguk. "Iya dong, aku masih simpan ... sebentar," katanya lalu beranjak dan saat kembali sudah memasang boneka tangan berbentuk lebah. "Hallo ... hadiah pertamaku."
Astaga. Itu adalah hadiah pertama Esa untuk Tsabitah, yang sering dimainkannya sebagai pengantar cerita atau untuk membantu Tsabitah belajar ketika balita. "Itu udah lama banget."
"Emang, sayapnya udah dijahit ulang, matanya juga berapa kali copot ... tapi kainnya masih bagus. Aku tinggal di kamar Jakarta biar enggak homesick, sama selimut yang dari Mamas dan bantal lebah rajutan eyang dulu." Tsabitah mengambil ponsel untuk menunjukkan area tempat tidurnya yang khas dengan ornamen lebah dan kombinasi warna putih-kuning cerah.
Esa memperhatikan, menyadari nakas yang dipenuhi beberapa pigura, termasuk fotonya dan Thomas juga. Ia baru akan menyuarakan satu keharuan saat tersadar ada satu barang pribadi milik Tsabitah yang tersampir begitu saja di headboard tempat tidur, berwarna putih dengan aksen pita-pita kecil.
"Aku masih simpan tiket Kid's Fun pertama kita, sama ini, Mas Esa ingat enggak? Celengan khatam, punyaku masih belum dibuka lho, udah padat banget sampai Bunda enggak bisa masukin uang lagi ..." Tsabitah terus menjelaskan satu per satu barang memorial yang sengaja dibawanya.
"Bita ... ng, kameranya jangan ke situ-situ terus. Lihat yang lain," pinta Esa untuk mengalihkan perhatian dari barang pribadi yang terus tersorot.
"Lihat lain apa? Oh! Country magnet punyaku udah penuh sepintu kulkas!" ujar Tsabitah sambil bergerak cepat keluar kamar, menunjukkan area dapur sederhana.
Esa tidak sempat mengagumi atau mengabsen satu per satu negara yang sudah Tsabitah kunjungi. Itu karena tidak jauh dari area kulkas tersebut, terdapat jemuran handuk yang juga digunakan untuk menjemur lebih banyak barang pribadi Tsabitah; berbagai warna pastel yang feminin, beberapa dengan motif bunga, dan sisanya dihias pita-pita kecil seperti yang ada di kamar.
Damn!
"Bita, oke, udah cukup." Esa berujar cepat sembari menutup layar ponsel. Situasinya benar-benar tidak sama lagi, dahulu Esa bahkan sempat membantu Tsabitah membeli pembalut. Ia juga tidak merasa canggung ketika dulu Tsabitah tiba-tiba menginap dan dirinya harus ke rumah seberang, mengambilkan pakaian ganti termasuk baju dalam.
This is extremely weird. Esa membatin itu sembari perlahan menurunkan tangan, wajah Tsabitah yang kembali terlihat.
"Semoga ada kesempatan Mas Esa ke sini, ya? Ada kafe smoothies enak di bawah," kata Tsabitah lalu teralihkan suara pintu terbuka. "Oh, Noella datang, bawain makanan ..."
"Kalian sarapan sepagi ini?"
"Mau pergi ke produksi soalnya, hehe ... Noel, bilang selamat pagi dulu ke Mas Esa," pinta Tsabitah saat mengubah posisi kamera.
Noella hanya melirik dan berujar singkat, "Pagi."
"Iya, pagi ... Bita sarapan dulu, ya."
Tsabitah kembali menunjukkan diri. "Oke, Mas Esa jangan lupa ... soal permintaanku tadi, besok kalau ketemu mau aku tagih."
"Permintaan ... oh, iya," kata Esa sembari meringis. Ia jelas akan ditagih soal panggilan sayang itu.
"Nanti aku chat kalau udah jalan ke produksi."
"Oke."
"Sama aku kirim foto juga."
Esa mengangguk dengan senyum simpul. "Terima kasih. Jangan lupa makannya dihabiskan, ya?"
"Pasti dong."
"Biasanya juga nyisa, ya!" Suara Noella menyahut cepat.
"Eh, enggak ya, udah habis terus." Tsabitah segera meyakinkan. "Mas Esa percaya aku."
"Iya, percaya, ya udah Mas juga mau bantuin Mama ... see you."
"See you and I miss you," balas Tsabitah, meniupkan cium jauh dan baru mengakhiri panggilan video call.
Esa tersenyum, meletakkan ponsel dan menghabiskan air minum di gelasnya. Tatkala akan beranjak, cahaya hangat mentari pagi perlahan menyorot ke arahnya.
Ia memejamkan mata dan bayangan wajah Tsabitah yang muncul, membuat senyumnya melebar begitu saja.
[]
🩷
Aku rapopo!
Wes, sebahagia Mas Esa aja.
(ノ-_-)ノ~┻━┻
.
Panggilan sayang yang berdua aja?
Bisa banget adik ketjil dan centhil meminta hal semacam ituhh~
Jangan ngarep dipanggil Sayang
Nehik! Hatikoe tyda sanggup.
😭
.
Anyway
Mbak Aya, udah siap meet up? Eaa~
.
⬇️
Edisi kakak-beradik menanggapi pacar narsisnya.
KagenBi asik, asik sendiri 🐷
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top