[ 28. ]

Yeay!
Ketemu lagi di Mal-ming bersama
Cegil-nya Mas Esa~

.

2.500 kata pas untuk Bab ini
yang kangen KagenBi
agak terobati dikit nih, eaaa

.

Selamat membaca
&
Jangan lupa vote + komentarnya

.

Thank you so much

🍯

[ 28. ]

LittleBi Office
Kelapa Gading, Jakarta.

"Pantes orang bilang, rindu itu berat ... emang enggak tertahankan banget."

Noella yang memeriksa sample produksi book nook seketika menoleh. Adik sepupunya tengah mengerjakan suatu desain sembari sesekali menatap foto Esa di layar ponsel.

"Lebay!" cibir Noella.

Tsabitah mengabaikan cibiran itu. "Kangen banget sama Masnya aku."

Noella geleng-geleng kepala, fokus pada setiap keping miniatur, memastikan area potong dan kolom sambungan sudah sesuai baru menyusunnya satu per satu. Book nook diorama yang tengah mereka kerjakan ini adalah produk terbaru LittleBi, ketika setiap keping dan bagian disusun akan membentuk sebuah kotak yang didalamnya ada display ruang lukis dari sebuah buku memoar seni rupa.

"Noel, kirim foto ke pacar sehari tuh normalnya berapa kali?" tanya Tsabitah.

"Hah?" tanya balik Noella seraya menoleh untuk menunjukkan protes. "Bit, bisa enggak fokus ke ini dulu? Printing untuk lukisan utamanya kayak blur gini."

"Udah aku benerin itu, cuma produksi keburu nyetak sample pakai file sebelumnya." Tsabitah menghela napas dan menunjukkan desain bookmark yang baru dia selesaikan. "Noel, bagus enggak nih?"

"Ewh!" Noella geleng kepala. "Dark banget, apaan sih itu? Aksen kawat berduri, terus merah-merah maksudnya berdarah?"

"Iya, judul bukunya The Last Mission, nah tokoh utama cowoknya emang sadis, dia ngebunuh orang pakai jerat kawat berduri sampai lehernya terbelah."

Noella tidak habis pikir. "Ampun, ngeri ah!"

"Kita belum pernah terima desain genre begini, menurutku ini cukup keren ... darknya dapet, sadisnya juga dapet dan iconic."

Noella beranjak untuk memperhatikan lebih dekat. "Itu ada desain kedua, hitam putih, maksudnya?"

"Tokoh ceweknya negosiator gitu, baik dia, walau agak gila ... jadi kawat ini tuh semacam batas sekaligus pembeda dua karakter gitu." Tsabitah menjelaskan seraya menunjukkan beberapa referensi yang ditulisnya pada notes. "Aku suka desain pertama, tapi yang kedua kayak lebih fair untuk menjelaskan bukunya."

"Bikin bolak-balik aja, Bit ... biar bisa kepake semua desain ini."

Tsabitah mengangguk. "Iya, aku mau coba ajuin, hahaha lumayan dobel juga bayar desainnya."

"Dasar." Noella hendak kembali ke meja kerjanya saat tersadar, selain layar ponsel yang terus menampilkan wajah Esa, di buku catatan Tsabitah juga ada banyak coretan nama Esa yang dihias dengan banyak simbol hati. "Buset, Mas Esa tahu enggak, kamu edan begini?"

"Hehehe ..." Tsabitah tertawa kikuk seraya membalik buku catatannya. "Eh, tadi kirim foto ke pacar, sehari berapa—"

"Emang udah beneran pacar?" sela Noella cepat. "Dari telepon sama Tante Inge, kayaknya kalian bahkan belum ngomongin masalah yang diminta Oma."

"Ya, habisnya ada-ada aja juga kejadian." Tsabitah menjelaskan pada Noella beberapa hal yang cukup menyibukkan dua keluarga selama hampir seminggu terakhir. "Pas Ayah sama Bunda pulang, eh malah ibunya Mbak Wyna kecelakaan ... ditambah RUBY harus persiapan karena udah taken kontrak. Aku juga ke Jakarta ini, ngerampungin desain sama cek sample. Mas Esa pun gitu, harus laporan dan negosiasi lagi ke atasannya di Tokyo. Papa ada perjalanan dinas, sementara Mama sama Mbak Re lagi pusing, Ravel enggak mau maem nasi."

"Walah."

"Satu sisi, aku juga mau kasih waktu Mas Esa buat pikir ulang ... gila banget Oma ngerampoknya."

Noella menipiskan bibir. "Ngerampok? Semuanya demi kamu."

"Apaan! Kalau demi aku, akan langsung kasih restu tanpa perlu syarat yang—"

"Dengar ya, Bit." Noella menyela sambil bergerak meraih kursi, menggesernya hingga mereka duduk berhadapan. "Oma enggak sepenuhnya salah, lelaki memang harus bisa tanggung jawab, menjamin hidup perempuannya secara menyeluruh ... Mas Irhan juga jor-joran waktu nikahin Mbak Sya. Pantang lah, lelaki seada-adanya, ada kebutuhan ini dan itu terus pikir belakangan. Big no!"

"Mas Esa ya, tanpa dituntut Oma, udah lebih dulu nanya, berapa biaya pengobatanku atau kisaran pengeluaranku setiap tahun." Tsabitah kemudian meraih ponsel, menunjukkan beberapa percakapan serius dengan orang tuanya. "Nih, bahkan Mama Yaya udah konfirmasi ke Bunda juga soal situasi keuangan Mas Esa."

Noella memastikan nominal angka yang tertera. "Tujuh puluh delapan juta apa tuh?"

"Yen lah, 'kan kerja di Tokyo."

Noella terkesiap, membuat hitungan cepat di kepalanya. "Hah? Kerja apaan bisa dapet bayaran segitu? Kamu tuh harus waspada, jangan sampai justru aliran dana enggak beres atau money lau—"

"Noel, tolong ya, Mas Esa jauh lebih pintar dari kita berdua yang kalau terima project gede harus bolak-balik ngitung laba rugi." Tsabitah menyela dengan raut tenang dan memberi penjelasan lebih lanjut. "Pekerjaan Mas Esa juga bukan sekadar copot-pakai lengan prostetik, dia tuh nulis laporan secara berkala, kapan terasa ada penurunan fungsi, batas pemakaian harian, sampai efek samping yang memungkinkan. Itu enggak sederhana, orang aku baca laporan yang dia tulis aja puyeng, semuanya pakai bahasa Inggris dan istilah medis yang ruwet."

"Y-ya, aku cuma memastikan."

"Mas Esa juga ada beberapa side job, cukup punya nama di ajang kompetisi robotik amatir ... padahal Mas Esa katanya juga belajarnya otodidak, bayangin! Sepinter apa dia," ungkap Tsabitah lantas geleng-geleng kepala. "Ini kalau sampai Oma enggak berhenti keras kepala, beneran rugi banyak kita."

Sudut bibir Noella berkedut. "Aku kira kamu tuh murni total in love with him."

"Ya, emang total, tapi aku melek juga ... dulu rasanya suka sekadar suka, cinta sekadar cinta tapi sekarang beneran kayak apa yang kurasakan ini semakin reasonable. Aku enggak bodoh, aku enggak sembarangan menjatuhkan hati."

"Tapi bukannya cinta itu harusnya enggak beralasan ya, Bit?"

"Entah deh, Mbak Re bilang cinta yang setahap itu kayaknya cuma antara Tuhan ke umatNya ... katanya setiap perubahan perasaan ke seseorang itu pasti beralasan dan mengarah ke satu espektasi juga." Tsabitah sempat mengobrol cukup banyak dengan Lyre terkait perasaan. "Makanya penting punya ruang kecewa, supaya ketika espektasi enggak seratus persen terpenuhi ... perasaan enggak lantas berubah jadi benci."

"Terus, kamu espektasi apa soal Mas Esa?"

Tsabitah memikirkannya. "Uhm, sejauh ini Mas Esa udah selalu memenuhi espektasiku, Noel. Bahkan di hadapan Oma, ya, dengan tekanan yang menurutku enggak masuk akal itu ... kalau dipikir rasional, Mas Esa bisa aja langsung nolak, atau minimal marah deh. Tapi tahu sendiri, dia gimana, malah makin all out."

"Kamu ... uhm, enggak waspada gitu, kenapa Mas Esa sampai segitunya?"

"Enggak."

"Kamu udah yakin dia cinta sama kamu?"

"Enggak juga."

"Terus?"

"Aku yakinnya Mas Esa bukan orang yang bakal main-main, bukan orang yang sembarangan dan bukan orang yang akan menyakitiku ... apa pun alasan dibalik tindakannya, aku yakin itu karena dia berpikiran matang sekaligus serius." Tsabitah mengulas senyum lebar dan mengelus fotonya bersama Esa yang kini menjadi walpaper ponsel. "Makanya, aku juga harus terus mematangkan diri dan bersiap dengan sebaik mungkin ... supaya layak dengan semua hal yang dia curahkan di hubungan kami."

Noella terdiam cukup lama, hampir setengah menit hanya saling tatap dengan sang adik sepupu. "What if, sampai setelah kalian menikah, dia enggak juga bilang I love you?"

"Uhm, entah, tapi selama enggak ditinggal lagi ... I'm gonna be fine."

"Bit," panggil Noella karena terlihat ada bayangan air di sepasang mata Tsabitah.

"Rasanya greedy aja, Noel ... semisal, aku masih juga mengharap sampai tahap perasaan sedalam itu. Bisa sejauh ini aja Tuhan udah baik banget, udah banyak bahagia yang aku rasain karena Mas Esa pulang ... makanya aku pikir enggak pantes kalau ngelunjak dan yang terpenting kami bisa terus sama-sama aja."

Noella mengangguk dan perlahan memundurkan kursi. "Ya udah, tinggal dapetin restu Oma deh, terus aku belanjain warna brokat yanng spesial untuk kebaya keluarga."

Tsabitah berlagak mengerutkan kening, "Eh, emangnya kamu bakal terlibat?"

"Heh!" protes Noella sambil mendelik sementara sosok yang diprotesnya kini tertawa-tawa meledek.

***

Kediaman Utama Kel. Kanantya
— Palagan Ecovillage, Sleman.

"Kagendra udah sampai, Pak?" tanya Esa pada Pak Samadi yang tengah membersihkan mobil.

"Udah dari tadi, Mas Esa malah dari mana ini? Kok naik sepeda?"

Esa menyandarkan sepeda ke pinggiran gerbang. "Antar puding, ada yang ketinggalan, kurirnya udah pergi aja."

Pak Samadi menyengir. "Kekejar?"

"Iya, belum telat juga di acaranya ..." ucap Esa dan segera pamit, "Masuk dulu, ya."

"Nggih."

Esa melangkah ringan memasuki rumah dan begitu tiba di ruang tengah, sosok adik iparnya terlihat muram sementara Mbak Anas membawa turun sebuah koper besar dari lantai dua.

Esa langsung bergegas membantu, memastikan koper besar itu bisa didorong dengan aman saat tiba di lantai satu. "Kenapa nih?"

Mbak Anas geleng kepala, memberi tahu dengan lirih, "Geger geden." [Ribut besar.]

"Hah?" tanya Esa lantas mendongak ke lantai dua, tidak terlihat tanda-tanda sang adik turun. Ia juga tidak mendapati sang ibu ada dimana-mana.

"Kenapa, Ndra?" tanya Esa, memutuskan kembali ke ruang tengah dan bicara pada adik iparnya.

"Cuma salah omong doang, langsung disuruh tinggal di kamar tamu sama adik kamu," jawab Kagendra dengan melas.

"Salah omong apaan?"

"Males aku jelasinnya, terlalu konyol."

Esa menahan tawa, membetulkan posisi kepala Ravel. "Ya udah."

Kagendra terdiam selama beberapa detik dan ketika punya satu ide langsung memberi tahu, "Esh, tukar kamar mau enggak?"

"No, thanks."

"Ck!"

Esa menyengir. "Kalian tuh bagusnya pisah kamar dulu."

Kagendra menghela napas lelah, mengelus-elus anak yang masih pulas di dadanya. "Kangen anak udah mulai terobati, kangen istri belum sama sekali nih. Enggak kasihan apa?"

"Enggak tuh," jawab Esa lalu tertawa.

"Brengs—" Kagendra urung memaki, bukan hanya karena Esa menolehnya dengan raut datar, tetapi karena Soraya sudah terlihat menuruni tangga.

"Ndra, sabar ya, Lyre enggak mau dengar Mama ... malah nangis juga," ungkap Soraya yang membuat Kagendra semakin cemberut. "Esa makan dulu."

Esa menyeringai. "Mau ikut makan enggak?"

"Udah, ck! Gara-gara makan juga nih, haish! Jadi enggak fokus jawab dan salah omong," keluh Kagendra lalu menggendong Ravel, membawanya beranjak karena Mbak Anas sudah terlihat keluar.

"Handuk sama bath stuff masih di atas, jadi—"

"Taruh luar aja, Mbak, saya mau baringan sama Ravel," sela Kagendra sambil sesekali mengayun tubuh agar anak di gendongannya tidak terbangun.

Esa pindah ke ruang makan dan langsung bertanya. "Kata Mbak Anas geger geden. Pulang dari airport berantem?"

"Enggak, pulang itu masih baik, makan bareng berdua di sini juga sambil ngobrol, tapi entah gimana Kagendra kayaknya salah menanggapi ... terus jadinya berantem." Soraya geleng kepala. "Adikmu kayak enggak mau tahu, langsung minta barangnya Kagendra dikeluarin semua dari kamar."

"Pantesan melas."

Soraya menahan tawa. "Mama aslinya kasihan sama Kagendra itu, tapi ya gimana ... Lyre juga enggak bisa disalahin."

"Masih untung enggak diusir keluar rumah."

"Hush! Jangan gitu," tegur Soraya sebelum ganti mengingatkan. "Makanya, Esa, ini buat pelajaran juga, jangan pernah mengarang-ngarang alasan, apalagi bohong ke pasangan ... walau awalnya mungkin aman, tapi siapa yang tahu bakal ketahuan dengan cara apa."

Esa mengerjapkan mata. "Aku enggak gitu ya, Ma ... kalau enggak bisa terus terang, aku mending diam atau beralasan sekenanya. Enggak bohong."

"Iya, Mama cuma ingatkan aja. Apalagi kalau sama Bita, dia itu apalan." Soraya mendekatkan piring bersih untuk sang anak. "Bita udah ngabarin belum, kapan pulang Jogja?"

"Lusa paling cepat, Ma."

"Esa yang jemput, ya ..."

Esa mengangguk, melepas jaket dan beralih untuk mencuci tangan. Ketika kembali ke meja, piringnya sudah terisi makanan siap santap.

"Mama udah makan belum?" tanya Esa saat sang ibu beralih menyiapkan air minumnya.

"Belum, tapi masih kenyang tadi icip-icip melulu ..." Soraya menyodorkan segelas air dingin. "Oh iya, Tante Rustini udah dipindah ruang rawat biasa dan boleh dijenguk."

"Mama aja ya kalau mau jenguk, aku enggak usah."

"Oh, kenapa?"

Esa angkat bahu. "Kayaknya lebih baik begitu dan sampai tahap hubunganku sama Bita lebih settle, rasanya enggak mau terlibat di suasana yang udah lalu."

"Oh, iya sudah, enggak apa-apa." Soraya mengangguk paham meski sejenak beralih memegangi tangan prostetik sang anak. "Esa, tapi, sudah enggak sakit hati sama Tante Rustini, iya 'kan?"

"Enggak, Ma ... aku ikhlas sama yang udah lewat. Aku mau fokus soal Bita aja dan karena dia lagi enggak di sini juga, harus lebih hati-hati, 'kan?"

"Iya, ya sudah, mumpung ada Kagendra juga ... kamu temani aja dia. Adikmu kayaknya serius ini ngambeknya."

Esa tertawa. "Biar aja, rasain."

***

"Esh, Ravel main sama anak-anak itu, aman 'kan?" tanya Kagendra yang berjalan ke kursi taman sembari membawa sepeda.

Esa mendongak dari buku yang dibacanya, memperhatikan Ravel mengejar-ngejar gelembung sabun bersama enam anak lain yang sebaya. "Iya, itu teman-temannya kalau latihan karate di Dojo."

Kagendra menyandarkan sepeda di pinggiran kursi taman lantas mengempaskan tubuh di sebelah kanan Esa. "Capek banget, ampun."

"Sana kalau mau pulang."

Kagendra menggeleng, membetulkan posisi kacamata hitamnya dan memperhatikan sekitar. "Padahal perumahannya kayak sepi, tapi anak-anaknya banyak juga dan dibiarin main gitu aja tanpa pengawasan ... cuma kita orang dewasa di sini."

"Karena cuma kita yang enggak ada kerjaan," kata Esa santai, menekuri bukunya lagi.

"Tapi Ravel emang selalu ditemani kalau keluar rumah, 'kan?" Kagendra memastikan.

"Iya, Ndra ... pokoknya Ravel enggak pernah sendirian kalau keluar rumah, main di sebelah atau di lapangan sini, selalu ditemani, entah sama Papa, Pak Samadi, Mama, atau Lyre."

"Good! Aku hampir stress waktu Fran bacain ada berita penculikan di Jogja gitu."

Esa menyengir. "Ravel pinter tahu, dia enggak bisa diimingi kayak anak lain dan dia tahu kalau dihampiri orang dewasa enggak dikenal harus panggil orang dewasa juga, panggil aku atau Mama."

Kagendra mengangguk lega, sedikit banyak memang menyadari bahwa anaknya cukup bisa diandalkan dalam menghadapi orang tidak dikenal. "Ravel cerita, kemarin-kemarin sebentar teleponnya karena ada Tante Bita nginep rumah ... udah bestie mereka?"

"Bestie kalau cocok, kalau enggak ya rebutan," kata Esa sambil menoleh adik iparnya. "Mumpung Bita lagi enggak di sini, kamu bisa leluasa manja ke Mama."

"Apaan manja, enggak, ya," kilah Kagendra dan balas menoleh untuk sesaat saling menatap. "Jadinya, gimana untuk perjodohan kalian, lanjut?"

"Belum, belum diomongin yang soal permintaan Oma-nya Bita."

"Lah?"

"Rencananya beberapa hari lalu waktu makan siang tapi ternyata malah ada kerabatnya yang kecelakaan ... ditambah kesibukan orang tua, Bita juga harus ke Jakarta karena pekerjaan." Esa ganti bertanya, "Kamu pulang lusa 'kan?"

"Iya, sama Ravel ... menurutmu gimana?"

"Enggak gimana-gimana, 'kan kalian juga yang ambil keputusan ini."

"Iya, sih." Kagendra menghela napas lalu memperhatikan sang anak tertawa sebelum melompat untuk menepuk satu gelembung yang terbang. "Kalau sampai Ravel enggak bahagia, itu pasti salahku."

Esa seketika menutup bukunya, fokus pada Kagendra. "Menjadi orang tua, terkadang memang perlu ada di titik kompromi, dimana kebahagiaan anak yang utama."

"Setelah tahu sisi kacaunya pernikahanku sama Lyre, what do you think about marriage, Esh?"

"Just don't screw it," jawab Esa.

"Ha?"

Esa meringis karena wajah melongo Kagendra. "Iya 'kan, pernikahan kalian sebenarnya baik-baik saja kalau bukan karena kamu yang inisiatif mengacaukan. Stupid divorce paper."

"Sialan!" gerutu Kagendra.

"Aku dan Bita bukan kalian, so don't worry ... I'm not gonna screw it."

Kagendra mengangguk-angguk. "But seriously, permintaan soal nama belakang anak itu too much. Jangan mau, Esh."

"I might have no choice, Ndra ... kadang kalau dipikir, emang enggak adil juga untuk keluarga Ruslantama." Esa menjelaskan dengan suara pelan. "Eyangnya Bita itu sahabatnya kakungku, beliau baik dan sayang banget sama Thomas ... saat aku gagal, enggak bisa menyelamatkan, aku langsung minta maaf ke beliau. You know what was he said?"

"What?"

"I know you did your best as a doctor. Now, do your best as his closest best friend, Esh ... temani kami mengantar Thomas ke tempat peristirahatan terakhirnya." Esa sejenak menyeka sudut matanya. "Kehilangan yang beliau rasakan, enggak seberapa dibanding aku. Ayahnya Thomas juga baik banget dan sangat menghargai Papa. Jadi, kalau memang dengan merelakan nama belakang keluargaku bisa mempermudah semua—"

"Jangan gila deh! Mending tunggu aja tuh nenek mati."

Esa berusaha tidak memukul kepala sang adik ipar. "Katamu yang nyebelin bakal panjang umurnya, ya."

Kagendra tertawa pelan. "Emangnya beneran enggak ada peluang penerus lain di keluarga Ruslantama?"

"Ada Tante Rika sebenarnya, adik ayahnya Bita tapi beliau udah berumur juga, belum tentu bisa hamil dan kalau pun hamil juga pasti pakai nama keluarga suaminya."

"Anyway, di data investigasi, Thomas punya hubungan jangka panjang sama perempuan, enggak ada kemungki—"

"Wait!" Esa menyela sambil menyipitkan mata. "Data investigasi?"

"Eh, ya, we do some research about Ruslantama Family." Kagendra mengakui dengan kikuk.

"Pantesan kamu tahu soal Oma-nya Bita yang perhitungan dan money oriented."

Kagendra menyengir. "Personal Investigator kami selalu detail."

Esa berdecak. "Stop doing that, Ndra, serius deh ... ngeri."

"Enggak ngeri, ini era di mana kita harus memastikan dengan siapa sebenarnya kita akan menjalin relasi atau hubungan." Kagendra beralasan santai. "Lagipula selain informasi tentang kasus dan gugatan dulu itu, enggak ada informasi lain yang kami salah gunakan."

Esa mengangguk-angguk dan sesaat kemudian tersadar. "Ah, benar juga, kalau kamu pasti bisa menemukannya."

"Apaan?"

"Pacarnya Thomas, dia bisa dibilang menghilang dan kami, sampai sekarang belum pernah ketemu lagi." Esa menatap Kagendra lekat. "Kamu nanya bisa bantu apa, iya 'kan? Just find her ... Ayuning Swara Soeryadarma."

[]

❤️‍🩹

Mbak Ayara
run mbak ... run
wkwkwkk biar dramatis~

.

Q&A REPUTATION

Q: Cuma penasaran, misal Mas Esa tau Bita yang jadi mastermind semua ini gimana ya? Itungannya enggak bohong sih, dibilang jebak juga terlalu mulus gaksi?
A: Ng, semisal Bita niatnya jebak, yang dijebak itungannya udah suka rela terjebak, eaa 🤭

Q: Wyna gengges bat anjir! Kirain karakter dia bakal classy gt, malah kek apaan dese.
A: Ya, makanya dia pun bertanya-tanya bukan; what's wrong with me?

Q: Makin ijo tokohnya, klo pas 'geblek' biasanya lebih bikin nyeseg, keingetan Talla sampai kabur Jakarta demi hindari Hiza. Ava juga sampek 'ngilang' hindarin Lindan 😭
A: WKWKWKWKK TRAUMA


























.




























.
































⬇️



























scroll lagi










































cegil mode centhil ~

chat gemes biasa yang tyda bisa
ditiru oleh Kagendra, pffft ~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top