[ 26. ]

Aloha,
Kangen kah?
Hahahaha sorry karena seminggu kemarin sempat libur enggak ada update.

sebagai gantinya
ini 2.300 kata
lumayan panjang ygy~

selamat membaca
terima kasih banyak
untuk kalian yang sabarnya
luar biasa 💋

🍯

[ 26. ]

Arisan Nyonya Mapan
Kenanga 58 Bistro, Sleman

"Ini yang absen Jeng Yaya sama Jeng Inge, ya?" tanya Bu Asti Budiarty, seorang sosialita, pemilik butik tas rajut handmade.

"Jeng Yaya udah sebulan lebih lho ini absen, sibuk apa toh?" tanya balik Bu Tjie Gumilang, pemilik dua restoran gudeg manggar yang terkenal di Bantul.

"Itu Lyre 'kan jadinya pulang, tinggal sini, kumpul keluarga lah," jawab Ci Lestari Hong, suaminya pemilik toko bahan dan peralatan bangunan terbesar di Yogyakarta. Ci Lestari juga tetangga komplek di Palagan Ecovillage.

"Kemarin bikin heboh komplek sebelah ya katanya, Ci? Ada kontainer kiriman buah, makanan macem-macem gitu?" tanya Jeng Anggun Drupanadi, pemilik Kenanga 58 Bistro dan inisiator arisan.

"Iya, kiriman dari Jakarta. Anas yang tadi pagi bagi-bagi, ada coklat, jajan kemasan, kue kering buat anak-anak sekomplek itu, merk Eropa semua."

"Jeng Inge cerita, Lyre sama anaknya sementara tinggal di Palagan ... Esa juga pulang. Akhirnya kumpul keluarga lagi itu, setelah sekian lama," sahut Bu Ala atau Kamala Soekotjo, perias manten Jawa profesional dan pemilik wedding organizer terbaik di Yogyakarta.

"Eh, ngomong-ngomong Bu Ala 'kan dekat sama Jeng Inge, itu kabar Bita mau dijodohkan jadi enggak?" tanya Jeng Rustini Hagne, suaminya mantan diplomat dan sekarang mengurus resort di Magelang. Jeng Rustini juga merupakan ibunda Wyna.

Bu Ala menggeleng. "Enggak jadi, wong Kakungnya enggak setuju."

Ci Lestari mengangguk. "Pak Taher itu walau usianya udah senja banget, tapi masih jeli mandang orang, ora kenek diapusi lho ..." [Enggak bisa dibohongi lho ...]

"Iya, priyayi kawakan ... mana yang diajukan 'kan Pradana, memang pinter, ganteng, tapi pecicilan. Raksa lebih kalem, tapi ya jauh umurnya, mana kelihatan masih ngarep sama Lyre," ujar Bu Asti sembari mengecek lembaran uang yang mulai disetorkan ke hadapannya.

"Raksa itu juga aneh banget, ngarep kok sama perempuan bersuami." Bu Tjie geleng kepala.

"Emang suka dari muda kok itu, Lyre-Bita 'kan dulunya kembang e Palagan." Ci Lestari menerangkan dengan kalem. "Tapi aku rasa sekarang udah mulai jaga jarak itu, wong kata e Milles sensei Raksa udah dua kali enggak ngajar."

"Milles masih ikut itu toh, kelas karate di Dojo sebelahe rumah Kanantya?" tanya Jeng Anggun.

"Yo, masih, itu 'kan rutinan anak-anak komplek, bareng mbek cucu e Jeng Yaya juga, ganteng banget itu anak, mana sumeh, ketok pinter."

Jeng Rustini Hagne menyetorkan sejumlah uang sembari menipiskan bibirnya. "Anak-anak semua sama lah, Sammy dulu seumuran itu juga sumeh, menthes, lincah ... yang penting itu yo diperhatikan sekolahnya gimana, bergaul sebayanya gimana. Ikut tinggal sini, enggak dipikir sekolah e, malah kasihan sama anaknya. Pendidikan usia dini penting."

"Iya ya." Bu Tjie menimbrungi dengan heran. "Tapi ada Lyre sama Esa ini di rumah, walau enggak disekolahin formal tapi ya mungkin tetep diajari di rumah."

Ci Lestari mengangguk. "Iyalah, orang sekeluarga pinter semua itu, Jeng Yaya sibuk ini juga pasti ikut momong cucu e."

"Udah dinanti-nanti ya, Ci," sahut Bu Ala.

"Iyo lah, wis maklum aja kita, toh kalau Jeng Yaya putus arisan pasti disetor ke panti," kata Ci Lestari kemudian mengangkat tangan pada satu sosok yang mendekat. Ci Fifi, Fimela Setyawan, pemilik bisnis House Clean Service dengan 10 cabang di Yogyakarta dan Jawa Tengah.

"Maaf, telat, Bu Ibu," kata Ci Fifi sebelum bertukar salaman dan cium pipi kanan-kiri.

"Baru mulai setor kok, Ci ... dari mana emangnya?" tanya Bu Asti.

Ci Fifi duduk di samping Ci Lestari. "Dari rumahnya Jeng Yaya, sekalian dia nitip puding sama bingkisan buah buat kita ... lagi diurus itu sama sopirku, nanti kita bagi-bagi."

"Lho, kok nitip sampeyan, ora aku ae?" tanya Ci Lestari bingung.

"Ada obrolan bisnis juga, Ci, aku dari setengah tujuh di sana ... rumah jatah warisannya Jeng Yaya di Nanggulan 'kan udah selesai disewa, minta dikosongin semua, sisa furnitur tinggalan suruh lelang." Ci Fifi menjelaskan seiring perhatian teman-temannya terfokus pada dirinya. "Rumah Kanantya yang di Gamping juga gitu, minta dikosongin."

Jeng Rustini seketika terkesiap, rumah di Gamping itu properti kedua paling luas dan bagus milik keluarga Kanantya. Dahulu, rumah itulah yang akan ditinggali Esa dan Wyna usai menikah. "Rumah di Gamping itu 'kan itungannya masih baru, mau direnovasi juga?"

"Iya, katanya mau dibangun ulang," jawab Ci Fifi sebelum terkesiap sadar. "Eh, itu rumah yang dulu mau buat Wyna sama Esa, ya?"

"Iya, Wyna yang dulu urus interiornya." Jeng Rustini masih ingat betul betapa putrinya itu amat gembira dan bersemangat mengatur setiap sudut rumah dua lantai itu. "Itu rumah selama ini juga didiamkan Jeng Yaya, kok mendadak malah mau dibangun ulang?"

"Jangan-jangan mau dijual?" tanya Bu Tjie.

Ci Fifi menggeleng. "Enggak kayaknya, ya mungkin dibangun ulang karena Esa juga lagi membangun ulang hubungan."

"Eh, eh, sama siapa?" tanya Ci Lestari.

"Bita, putrinya Jeng Inge, udah nginep-nginep sana lho itu," ujar Ci Fifi sambil tersenyum-senyum.

Bu Ala menghela napas pendek, mengibas tangan dengan santai. "Bita itu udah biasa, Ci, nginep sana. Pernah berapa minggu juga tinggal sana. Jeng Inge 'kan beberapa kali cerita toh."

"Iya, tapi ini beda, hahahaa wes kita tunggu kabar baiknya aja," ungkap Ci Fifi dengan senyum semringah. "Lagian tak lihat-lihat cocok, Bita jadi menantu keluarga Kanantya, saking kraket juga sama Jeng Yaya selama ini."

"Kalau benar, Kanantya-Ruslantama bakal besanan ya cocok ... para kakungnya dulu berteman. Pak Theo sama dr. Luki juga dekat. Jeng Inge sama Jeng Yaya apalagi, kompak pol," ujar Bu Asti.

Bu Ala kemudian tersenyum. "Sepadan ya, Bu Ibu ..."

Jeng Rustini begitu saja mencengkeram sandaran lengan di kursi rodanya. "Lho, maksudnya waktu sama Wyna dulu enggak sepadan?"

Bu Ala menoleh dengan gelengan kepala. "Bukan begitu, cuma—"

"Halah, sudahlah, kalian ini 'kan memang sejak dulu lebih peduli sama dua keluarga itu ... dibanding keluarga saya! Putri saya juga disalahi, ikut ketiban apes juga! Sudah putus hubungan, dapat lelaki yang lebih baik pun masih dipandang sebelah mata begini!!!"

"Jeng Rustini, tenang, Bu Ala sudah bilang enggak bermaksud lho," kata Jeng Anggun dengan lembut.

"Sudahlah, saya mau pulang!" tegas Jeng Rustini dan segera memanggil pelayan pribadinya. "Padmiiii ..."

"Nggih, Bu," sahut perempuan dua puluh tahunan yang segera mendekat.

"Saya mau pulang, cepetan kamu!"

"Oh, nggih!" Padmi membantu menarik kursi roda tempat nyonya rumahnya duduk. Ia mengangguk-angguk pamit seraya mendorong kursi roda itu keluar area bistro menuju mobil.

"Lho, sudah mau pulang, Bu?" tanya Bono, sopir yang bergegas mendekat untuk membantu Jeng Rustini pindah duduk.

Padmi melipat kursi roda, memasukkan ke bagasi dan terkesiap kala sopir Ci Fifi mendekat mengantarkan paper bag berisi puding dan buah-buahan.

"Padmi, kamu ngapain sih?" tegur Jeng Rustini.

"Nggih, Bu," ucap Padmi yang segera memasuki mobil, menunjukkan apa yang dibawanya. "Ini katanya dari Bu Yaya."

"Buang aja itu nanti!" sebut Jeng Rustini lalu fokus pada Bono yang melajukan mobil. "No, kamu sudah telpon ke resort?"

"Sampun, Bu." [Sudah, Bu.]

"Terus, Bapak mau pulang kapan?"

"Anu, Bapak enggak angkat telpon, yang angkat Mbak Bebby."

Jeng Rustini menipiskan bibir. "Bilang apa sundal itu?"

Bono tampak cemas, meski segera mengaku, "Katanya jangan diganggu, masih kangen sama—"

"Kurang ajar!!!" sembur Jeng Rustini sebelum sedetik kemudian berseru pada Padmi. "Telepon Wyna, suruh dia pulang! Sekarang!!!"

***

Theo Ruslantama bernapas lega, sang istri yang duduk di sisinya juga mengulas senyum senang. Keduanya menyelesaikan proses pengesahan kerja sama dengan baik, sejumlah uang yang dibutuhkan untuk memperkuat branding RUBY juga telah disetorkan, siap digunakan.

"Tinggal urusan Bita sama Esa," ujar Theo membuat istrinya tersenyum.

"Yaya bilang di rumah juga pada enggak ngomong apa-apa, suruh nunggu kita sekalian ... bikin penasaran aja," kata Inge lalu merebahkan kepala di bahu suaminya. "Aku telepon Ibu enggak diangkat, telepon Nurina katanya keadaan baik-baik aja ... Noella malah yang bilang; aku oke kok, asal Bita bahagia."

Theo tertawa. "Ya mungkin Esa beneran bisa meluluhkan Noella, Bun ..."

"Aku cemasnya soal Ibu lho, Ayah."

"Ibu udah sepuh, udah lebih legowo juga soal Tommy, apalagi kalau Bita beneran bertekad ... Esa juga—"

"Enggak, Yah, ibu tuh legowo-nya lebih ke enggak coba-coba nuntut atau bikin masalah lagi ... tapi untuk saling memaafkan, rukun kayak dulu, masih keras." Inge memberi tahu. "Moh ya emoh tenan." [Enggak mau beneran.]

Theo mengangguk. "Ya sudah, kita dengarkan nanti gimana itu ceritanya dari anak-anak ..."

"Baru kali ini aku kangen banget sama Bita, padahal kalau dia ke Jakarta kita juga ditinggal berapa bulan ... ini baru ninggal dua hari aja udah kangen."

"Padahal anaknya boro-boro kangen juga," kekeh Theo membuat Inge meringis.

"Kalau bukan Yaya yang ngabarin, enggak tahu aku Bita tuh lagi ngapain ... mana katanya ada rebutan sama Ravel, ampun!"

Kali ini Theo tertawa. "Ravel mesti belajar sama Mamanya itu, biar bisa menang lawan Bita rebutan Esa."

"Ayah tetep harus bilangin Bita juga nanti, enggak enak aku sama Yaya, udah nitip anak, malah ngrepotin gitu."

"Lho, bagi Yaya, Bita anaknya juga," ucap Theo lantas menyipitkan mata, ada kecelakaan mobil yang sedang dalam proses evakuasi. Ia segera membatin kalimat penenang jiwa dan berujar prihatin, "Ya ampun, nabrak apa sampai ban depannya lepas gitu."

Inge terkesiap, mengenali plat mobil yang ringsek. "Lho itu plat mobilnya Jeng Rustini, Ayah! Siang ini memang ada arisan."

"Ehhhh ..."

***

Kediaman Utama Kel. Kanantya
Palagan Ecovillage, Sleman.

"Ayah sama Bunda, kok lama sih?" tanya Tsabitah usai membawakan piring saji terakhir berisi perkedel ayam. Menu makan siang keluarga Kanantya hari ini soto daging, lengkap dengan tahu bacem, perkedel ayam, dan emping melinjo.

"Laper banget, laper banget," ucap Lyre yang memasuki ruang makan. "Ravel mana, Bit?"

"Motongin pepaya buat makannya Rambo sama Raphael," jawab Tsabitah lalu menoleh ke area belakang rumah mendengar pekik antusias Ravel yang disahuti tawa Esa. "Tuh 'kan seru sendiri!"

Lyre menyengir. "Jatah manjamu udah habis ya, kemarin dirapel waktu diajak Mas Esa ke Bukit Bintang."

"Sebel," keluh Tsabitah meski akhirnya fokus menata piring dan membetulkan penempatan gelas.

Lyre iseng bertanya. "Kalian pulang jam berapa semalam?"

"Sepuluh, agak berdebar juga, pertama kalinya pulang telat sama Mas Esa."

Jawaban yang membuat Lyre tertawa. "Papa nungguin 'kan?"

"Iya, tapi enggak komentar apa-apa."

"Iyalah, kalian udah sama-sama dewasa," ujar Lyre kemudian membantu menuang air putih ke setiap gelas. "Makan jagung bakar lagi di Bukit Bintang?"

"Enggak dong, proper dinner, city view ... spesial banget."

"Ciyyeee akhirnya Bita dapat proper dinner juga," goda Lyre membuat gadis di hadapannya urung duduk.

Tsabitah hampir ikut terkikik. "Aduh sumpah ya, enggak ada cowok yang bisa kayak Mas Esa gitu."

Lyre menyengir. "Lucky you."

"I'm truly grateful, hehehe." Tsabitah kemudian menoleh Soraya Baiharni yang mendekat sambil memegangi ponsel. "Bunda sampai mana, Ma?"

"Oh, tadi udah sampai JaKal, tapi ini ngabarin ... mau putar balik ke Sardjio dulu, jenguk teman," ungkap Soraya lalu sekalian memberi tahu. "Papa juga enggak jadi pulang untuk makan siang bareng."

"Teman siapa, Ma?" tanya Lyre.

Soraya geleng kepala. "Kenalan arisan, kita makan dulu aja ... Bita panggil Mas Esa sama Ravel."

Tsabitah mengangguk, berlalu ke halaman belakang, mendapati Ravel menyodorkan sayur ke pinggiran kandang Rambo sementara Esa, sedikit mengambil jarak, memunggungi pintu belakang dan menerima telepon.

"Wyna ... tenang. Tante Tini pasti enggak apa-apa ... Papa juga belum pulang ke rumah, pasti akan mengusaha—" suara Esa terjeda hingga beberapa saat. "Wyna, aku enggak bisa begitu aja ... iya, ya udah ... iya, kamu tenang, ya ... aku jemput begitu landing."

Esa terlihat bersungguh-sungguh tatkala kembali berujar, "Iya, tenang ya, aku juga akan bicara sama Papa setelah ini. Aku yakin Tante Tini akan baik-baik saja, beliau kuat, seperti kamu juga."

Tsabitah menunggu obrolan itu selesai, sengaja berdiri di tempat Esa langsung bisa melihatnya kala menoleh. Sejenak, lelaki itu memang terkesiap namun langsung memberi tahu.

"Ini Mbak Wyna yang telepon, katanya Tante Rustini kecelakaan dan dia panik banget ..."

Tsabitah mengangguk, segera memahami maksud pemberitahuan yang sebelumnya disampikan Soraya. "Terus?"

"Dia minta tolong Mas untuk jemput."

"Aku enggak bolehin tuh," kata Tsabitah sembari memperhatikan ekspresi wajah Esa sedikit terkesiap.

"Bita, ini bukan berarti Mas Esa mau—"

"Enggak bolehin kalau jemput sendirian, aku sama Ravel harus ikut juga," kata Tsabitah lalu menoleh pada anak yang kini ganti mengulurkan wortel. Jika Ravel ikut, mereka bisa terus menempeli Esa tanpa terkesan kekanakan, lebih efektif untuk menjauhkan fokus Esa dari Wyna. "Vel, ayo makan siang dulu, habis itu ikut Tante Bita dan Om Esa ... lihat pesawat."

Ravel menoleh, mengerutkan kening, "Kenapa pesawatnya dilihat?"

"Eh?" sebut Tsabitah sebelum menyadari Esa yang menahan-nahan tawa. "Ya, lihat pesawat di bandara, Ravel emang enggak suka? Pesawatnya nanti terbang, terus mendarat gitu, 'kan bagus?"

Ravel terlihat tidak tertarik dan menggeleng. "Vel di rumah aja sama Mama ..."

"Yahh," ucap Tsabitah dan sebelum bisa membujuk lebih serius, bocah itu sudah berlalu memasuki rumah untuk mencuci tangan. "Aneh deh, biasanya anak-anak suka lihat pesawat?"

"Ravel dari bayi udah sering lihat pesawat ... Pradipandya punya beberapa jet, tiga helikopter, private hangar and exclusive lounge. Mereka juga First Class member." Esa masih menahan tawanya. "Pesawat itu kayak common transportation buat Ravel."

"Wah ..." Tsabitah baru sadar.

Esa berjalan mendekat, mengangkat tangan kiri untuk mengusap kepala Tsabitah. "Lagian, Mas juga enggak perlu disibukkan kalian berdua biar enggak terlalu fokus sama Mbak Wyna ... janji, cuma bantu jemput terus antar ke rumah sakit, habis itu pulang."

"Aku tetap ikut!" kata Tsabitah, bersikeras.

"Iya, ya udah makan dulu." Esa menarik tangannya dan terdiam kala Tsabitah ganti menggenggam tangan itu.

"Aku begini bukan karena enggak percaya sama Mas Esa ... tapi kita harus saling jaga," ungkap Tsabitah lalu mendongak untuk mengulas satu senyum kecil. "Bundanya Mbak Wyna pasti enggak apa-apa. Papa enggak jadi pulang siang. Ayah sama Bunda ternyata putar balik buat jenguk ke Rumah Sakit dulu."

"Iya, Mas juga yakin begitu," jawab Esa.

Tsabitah berdiri lebih dekat dan memeluk Esa. "Mas Esa punyaku, ya."

Esa memberi jawaban seraya membalas pelukan itu. "Iya."

[]


🍯

Mas Esa emang bisa di percaya.
Kalau Mbak Wyna ... ng ... ntar dulu
Mbak Asha apa lagi~

pfftt
siap saingan sama cegil
Asha-Esa Jaya!!!

🔥

.

oia, terus
side story sebelumnya
baiknya dihapus apa biarin aja?

.













.












.







⬇️






Kamu kelihatan kayak masa depanku, Mas. —with love, Asha.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top