[ 25. ]
Hai,
Udah siap
Esa-Bita vs The Razi's
babak II ???
.
2.655 kata, fyuuhhh
makin lama makin panjang
aje ini tulisan per bab :(
happy reading, Bestie
.
thank you so much
🍯
[ 25. ]
"Bita enggak apa-apa?" tanya Nurina yang menyusul ke kamar tamu.
Tsabitah perlu istirahat sebentar usai mengalami syok atas apa yang terjadi pada Ishma. Gadis itu berbaring miring dengan kedua tangan memegangi pergelangan tangan kiri Esa yang duduk di pinggiran tempat tidur.
"Iya, capek nangis aja, karena takut juga," jawab Esa pelan, menunduk ke samping, memperhatikan helaan napas Tsabitah yang teratur. Wajahnya sudah tidak pucat meski sisa air mata mengering masih terlihat di pipi. Lumayan, Tsabitah sudah tertidur selama lebih dari setengah jam.
Nurina mengangguk. "Kamu mau diambilkan makanan atau minum?"
"Enggak, Tante, terima kasih." Esa kemudian meminta tolong. "Soal keadaan Bita ini, jangan kabari Ayah atau Bundanya dulu. Ada kerjasama penting yang sedang diurus di Jakarta, setelah pulang lusa ... biar saya yang menjelaskan situasi hari ini."
"Oh, oh iya." Nurina sadar bahwa mereka tidak butuh kepanikan baru. "Terima kasih ya, kalau enggak ada kamu, entah bagaimana tadi itu ..."
"Ishma baik-baik saja?" tanya Esa.
"Iya, sama Syaza di atas, Irhan dan Papanya menenangkan Oma ... Oma juga lemes banget, mana enggak mau makan siang." Nurina kemudian beralih mundur. "Kalau butuh sesuatu, Tante minta Mbak Yun tunggu di depan ya."
"Iya," jawab Esa lalu mengingatkan pelan saat Nurina keluar. "Tante, tolong pintunya enggak usah ditutup."
"Oh ... oh, iya." Nurina segera melepas handel, membiarkan daun pintu terbuka lebar seperti semula.
Esa tetap duduk di tempatnya, menunggu pegangan di tangannya perlahan longgar dan baru melepaskan diri. Ia kemudian mengeluarkan ponsel, memberi kabar singkat pada orang tuanya di rumah. Papanya sudah bertanya rencana waktu kepulangan.
Ada chat masuk juga di grup, dari Kagendra.
Ka.Wa.L group chat
Kagendra
Gimana, Esh?
sebut angka berapa?
Waffa
Diusir enggak?
Kagendra
Masa diusir, Fa?
Waffa
Siapa tahu dia salim
pakai tangan kiri
🌚
Sangatta Lukesh
Mamamu ngajarinnya
gitu ya, Waf?
🌚
Kagendra
Jangan mulai deh
serius ini nanya
Waffa
Kagendra mau bayarin!
sebut angkanya, Esh
minimal sebelas digit
Sangatta Lukesh
Dua digit aja cukup,
persenan saham.
Kagendra
Babi
Sangatta Lukesh
Kok jadi menyebut
diri sendiri, Ndra?
Waffa
Lagi ngaca dia
Kagendra
Babi
🐷
Esa tersenyum-senyum dan entah kenapa akhirnya memutuskan untuk serius bercerita.
Sangatta Lukesh
Soal uang enggak ada masalah, tapi
Omanya Bita bilang harus bikin
perjanjian, kalau punya anak
nama belakangnya Ruslantama.
Kagendra
WTF!!!
Waffa
Anak pertama aja
apa semua anak?
Kagendra
Jangan mau, Esh!
enak aja, harga diri lelaki
Sangatta Lukesh
Beneran bisa punya anak
aja udah keajaiban. I mean
with Bita's condition right now.
Kagendra
Oh iya, kan sakit bawaan
ya dia?
Waffa
Gimana ceritanya, calon istrinya
penyakitan tp Esa yang dituntut
ngalah klo punya anak? Ga paham
Kagendra
Mungkin karena Esa 🦾
Waffa
Ya, tangannya sisa sebelah
tapi penisnya 'kan utuh, Ndra.
enggak ada masalah buat beranak
Waffa
Bisa dipakai kan, Esh?
punyamu? normal?
Sangatta Lukesh
Skip ya 🙏🏻
Pertanyaan enggak bermutu.
Kagendra
Si Oma itu berarti intinya masih
dendam ya, Esh?
Gara2 Thomas meninggal?
Oh! Esa cukup terkejut karena Kagendra bisa menanggapi dengan pertanyaan yang lebih masuk akal.
Sangatta Lukesh
Katanya aku bertanggung jawab
untuk mengembalikan pewaris
nama keluarga Ruslantama.
Waffa
Kolot banget
sama Eyang Hadisoewirjo
tuaan mana?
Kagendra
Eyang Hadi lah, Fa.
tapi ini jelas nyebelin banget
pantes panjang umur
Waffa
Esh, kalau butuh konsultasi
hukum bilang aja, ya?
Waffa
Kalau butuhnya duit
bilang Kagendra
Waffa
Gue harus take off
see ya 🦾🐷
Kagendra
Esh, udah bilang Papa?
Sangatta Lukesh
Belum, baru ngabarin
rencana pulang.
Kagendra
Apa pun situasinya
walau mungkin bagi sebagian
orang, nama keluarga tuh enggak
seberapa berarti ... tapi bagiku
itu tuh penting banget.
Kagendra
Kamu juga satu-satunya Kanantya
yang bisa menurunkan nama itu dari
garis keturunan Papa.
Kagendra
Mumpung belum jauh juga
kalau syaratnya enggak masuk
akal gitu, mundur aja.
Esa termenung membaca rentetan chat dari adik iparnya itu. Mundur, jempolnya menyentuh kata itu dan segera membalas.
Sangatta Lukesh
Enggak bisa mundur, Ndra
Kagendra
Why?
Love at 1st sight?
Love.
Esa kembali terdiam, antara tidak yakin dan masih gugup untuk bisa menilai bagaimana perasaannya sekarang. Sejak awal bertemu Tsabitah lagi, yang terus ada dalam pikirannya hanya bagaimana membuat gadis itu bisa terus tersenyum, tetap sehat dan berada dalam suasana keluarga yang supportif.
Kagendra
Kalian udh kenal lama, 'kan?
bukannya kalau ada rasa itu
lebih ke kakak-adik ya?
Sangatta Lukesh
Saat ini, justru
sulit untuk tetap anggap
begitu. Tapi ya, bingung
juga tepatnya bagaimana?
Sangatta Lukesh
She's truly a woman in my eyes,
no longer a sister.
Waffa
Emang gitu, Esh
paham banget gue
jangankan mundur
menghindar aja enggak bisa
Kagendra
Babi! Diem lo!
Brengsek, nyaut aja!!!
🖕🏻🐷
Waffa
Lah?
salah gue apa, Babi?
Sangatta Lukesh
😆😆
Esa menyimpan ponselnya karena merasakan gerak tubuh pelan dan dua tangan yang terangkat, mencari-cari.
"Shhh ..." ujar Esa lembut, mendekatkan tangan kirinya untuk dipegangi lagi.
"Mau pulang." Tsabitah berkata lirih lalu membuka mata perlahan.
"Iya, sebentar lagi, ... setengah jam lagi," kata Esa mempertimbangkan durasi istirahat yang sesuai.
Tsabitah mengangguk, memperhatikan lengan dalam pegangan dua tangannya dan perlahan menariknya. "Mas Esa capek duduknya? Ikut baringan aja, sini..."
Esa menggeleng. "Enggak boleh."
"Kenapa?"
"Mas duduk aja, kamu tidur lagi."
Tsabitah mengerutkan kening lantas bergerak bangun, ikut duduk di pinggiran tempat tidur seperti Esa. "Ya, udah aku duduk juga."
Esa sejenak menahan napas karena tubuh feminin yang begitu saja bersandar ke arahnya. Wangi lembut orange blossom semerbak tercium, rasa bobot tubuh yang tidak biasa mengimpit lengannya, menghadirkan satu menit perjuangan untuk mempertahankan akal sehat tetap jernih.
"Mas Esa takut enggak tadi?"
Pertanyaan sederhana itu, suara lirih yang sarat kepedulian, membuat Esa menjadi tenang.
"Takut," jawabnya jujur, dia belum pernah lagi terlibat dalam penanganan darurat sejak kehilangan sebagian tangan kanan.
"Aku boleh enggak, ngecek tangan kanannya Mas? Tadi 'kan buat menyangga tubuhnya Ishma."
Memang ada sedikit rasa nyeri pada sambungan prostetiknya. "Enggak apa-apa, Ishma enggak berat."
"Berarti aku enggak boleh cek?"
"Bukan begitu. Mas enggak pakai dalaman kaus, kalau buka kemeja, setengah telanjang nanti."
Tsabitah seketika menegakkan punggung, menoleh Esa dengan ekspresi serius. "Tunggu aku lepas jam tanganku dulu, biar enggak bunyi."
"Eh, enggak ada lepas-lepas," ucap Esa sembari menahan tawa. Ia juga bergeser sedikit untuk menciptakan jarak. "It's fine, kalau sakit banget nanti Mas lepas aja di mobil."
"Kemejanya?"
"Prostetiknya."
Tsabitah menahan kikikan tawanya. "Aku emang kaget banget waktu Mas Esa turunin celana di pantai itu, tapi sejak yakin sama hubungan baru kita ... aku udah siap kok."
Apanya? Batin Esa seraya menggelengkan kepala. Sebelum topiknya semakin keluar jalur aman, ia mengalihkan dengan pemberitahuan, "Oma katanya lemes juga di kamar, kalau Bita udah enggak mau istirahat ... mending ketemu Oma sebelum pamit."
"Ya, udah, ayo."
Esa menahan lengan gadis di sampingnya, merapikan helai-helai rambut yang kurang rapi karena tertidur cukup lama. "Oma suka yang rapi-rapi, kamu cuci muka juga, ya? Bekas tangisnya masih ada."
Tsabitah merasakan gerak lembut jemari prostetik mengusap pipinya. Sejak mendapati Esa menggunakan alat bantu tersebut, dirinya ragu apakah setiap sentuhan atau genggaman akan terasa normal. Namun, mendapati kulit wajahnya perlahan menghangat karena jemari logam dingin tersebut, keraguannya lenyap.
"Breathe, Little Bi," ucap Esa lembut.
Tsabitah mengerjapkan mata, mengatur napas sebelum jam tangannya berbunyi. Ia menjauhkan kepala. "A ... aku ke kamar mandi deh."
"Iya," jawab Esa membiarkan Tsabitah berlalu ke pintu kamar mandi. Sembari menunggu, ia kembali mengeluarkan ponsel, memeriksa chat masuk. Kagendra mengirimkan pesan pribadi.
Kagendra
Esh, Papi bilang
apa pun yang dibutuhkan
terkait pernikahanmu
it's on Pradipandya aja
Sangatta Lukesh
I have my own money,
but thanks.
Kagendra
Papi bilang anggap ini
sebagai ... well yah, ganti rugi
karena masalah kemarin
Sangatta Lukesh
It's okay, you better
stay focus on Lyre aja.
Kagendra
Are u really ok?
Seriously, u can
count on us too
Sangatta Lukesh
I know, thanks
Sangatta Lukesh
Talk to you later,
I need to go.
Kagendra
Pas aku pulang
We can talk about it,
right?
Sangatta Lukesh
Jurnal dari Papa udah
kamu baca, Ndra?
Kagendra
😭🙏🏻
Esa menyengir lantas menyimpan ponsel. Ia beralih keluar kamar untuk mencari dan mengambilkan tas tangan Tsabitah.
Noella terlihat menanti di ruang tengah, memegangi tas tangan yang dimaksud. "Bita udah enggak apa-apa?"
"Iya," jawab Esa, menyadari sikap kikuk dan bingung perempuan di hadapannya. "Bita pasti senang kalau kamu bantuin dandan, kayak dulu kalian suka gantian sisir rambut, bikin kepang kecil-kecil."
Noella mengangguk, siap beranjak namun tertahan rasa tidak nyaman yang membuatnya tetap berada di tempat. "Terima kasih, karena nolongin Ishma tadi."
"Ya, kita beruntung dia baik-baik saja."
Noella memberanikan diri mengangkat wajah. "K ... kalau waktu benar-benar bisa diulang, siapa sebenarnya yang seharusnya lebih dulu diselamatkan? Thomas atau Bita?"
"Both," ujar Esa, membuat Noella terkesiap. "Situasi IGD hari itu dipenuhi pasien dengan tingkat gawat darurat serupa. Jika, keadaan Bita dinilai cukup baik itu karena di lokasi kecelakaan, sebelum ambulance tiba, Bita sudah lebih dulu mendapat penanganan darurat dari Thomas. Ada keterangan yang dia tuliskan, dua kali serangan syok, low pulse, pernapasan melambat, dan suhu tubuhnya mulai turun. Kita beruntung Bita enggak terbentur dan ..."
Esa tidak sanggup melanjutkan. Air mata Noella juga perlahan menetes namun segera dihapusnya.
"I am so sorry," kata Esa pada akhirnya.
Sebelum hari ini, ucapan maaf itu benar-benar membuat Noella merasa muak. Namun, saat ini, terlihat jelas bagaimana lelaki di hadapannya tampak kehilangan.
"Do you regret it? Karena hanya bisa menyelamatkan Bita?"
"I regret many things about that day." Esa mengalihkan tatapannya sejenak, ke sisi dinding tempat foto keluarga Razi dan Ruslantama dipajang. Thomas yang mendekap Tsabitah kecil, tersenyum lebar. "But I respect Thomas decision, that's why ... I am here today."
"Do you love her? Bita, I mean?" tanya Noella lalu mendekap tas tangan yang dibawanya. "Aku enggak yakin Thomas bakal merestui, kalau kamu bersama Bita tanpa cinta."
"Thomas know me so well ... dia juga mempercayaiku sampai akhir," ungkap Esa lalu mengangguk pelan dan meyakinkan kala menambahkan, "Karena itu, aku membuktikan padanya, kemampuan dan tekadku untuk menjaga Bita."
Noella mengerjapkan mata, jawaban itu membuatnya kehilangan nyali untuk mendebat atau sekadar meneruskan pertanyaan. Ia balas mengangguk dan langsung beranjak pergi, menyusul Tsabitah di kamar tamu.
***
"Kelewatan banget, cuma Tante Nuri sama Mbak Sya yang temenin Mas Esa di depan," ujar Tsabitah begitu keluar dari kamar dan memperhatikan situasi rumah neneknya.
"Mas Irhan gantian temenin Ishma tidur, Papa 'kan sama Oma," kata Noella lalu memberi tahu, "Lagian, aku juga udah berterima kasih kok, soal penyelamatannya tadi."
"Ya, tapi manner juga dong." Tsabitah menoleh kakak iparnya. "Aku harap kamu beneran belajar untuk enggak meremehkan nilai kehidupan. Tanggapan Mas Esa tuh selalu harmless ... kamu malah—"
"I am sorry, okay?"
"Sorry bukan ke aku! Tapi Mas Esa."
Noella menipiskan bibir. "Dia kayak udah enggak peduli juga."
"Karena enggak peduli terus kesalahanmu enggak dihitung gitu?"
"Ah ... udahlah! Sekali ini juga dan aku enggak akan ngulangin," kata Noella cepat.
Tsabitah berdecak, memilih membiarkan dan berjalan menuju kamar neneknya.
Indrajid yang baru keluar kamar memberi gelengan kepala. "Oma butuh istirahat, karena itu—."
"Oma ... Oma dengar aku ya," ucap Tsabitah, berseru keras-keras, tanpa peduli sikapnya langsung membuat setiap orang bergegas mendekat dan memperhatikan. "Aku enggak akan pernah mengubah pilihan atau keputusan tentang Mas Esa. Aku mau menikahinya dan karena kami sayang Oma, juga sayang keluarga di sini, makanya pengin sama-sama bahagia juga."
Tidak ada tanggapan dari dalam kamar. Indrajid yang was-was segera memberi tahu, "Bita, mungkin—"
"Waktu dulu Oma enggak bolehin Mamas sama Mbak Ayara, nuntut ini-itu juga sampai Bunda ikutan kesal. Satu-satunya orang yang bikin Mamas tetap mau lebaran di sini karena Mas Esa bilang kangen lumpia rebung ayam buatan Oma. Sebelum ke sini tadi, Mas Esa juga ajakin Bita ke makam Opa dulu, nyekar ..." seru Bita dengan suara yang semakin serius. "Oma enggak bakal nemu lelaki sebaik dan seserius Mas Esa terhadapku dan aku jamin kalau masih keras kepala, Oma sendiri yang rugi!"
"Bita," panggil Esa yang segera mendekat.
"Aku mau pulang sekarang! Oma jangan lemes terus-terusan dan hadapi juga pilihan keras kepalaku ini," sebut Tsabitah kemudian meraih lengan kiri Esa, mengajaknya berbalik.
"Eh, eh, tunggu," ucap Esa lalu menatap Indrajid yang tampak masih terperangah di tempat. "Om Indra, sampaikan pada Oma, kami pamit pulang. Terima kasih karena menerima kedatangan saya."
"O ... oh iya, hati-hati kalian berdua," kata Indrajid dan agak kikuk sewaktu Esa menyalami tangannya.
"Bita ..." panggil Esa karena gadis itu siap berlalu begitu saja. "Salim Om Indra."
Tsabitah mengembuskan napas pendek, beranjak untuk menyalami sang paman seraya memberi tahu. "Dokter kulit yang menurut Om Indra lebih baik itu, bahkan enggak bisa membuatku duduk lebih dari lima belas menit berbicara dengannya ... boro-boro bikin aku mau nurut begini!"
Nurina tersenyum simpul. "Cuma Esa yang bisa ya, Bit?"
"Yes!" kata Tsabitah.
Esa membiarkan lengan kirinya kembali ditarik, berpamitan dengan keluarga lain dan ketika sama-sama memasuki mobil, memperhatikan gadis antusias yang duduk di samping kirinya, yang sejak tadi pasang badan membelanya, menghadirkan senyum tersendiri.
"Terima kasih untuk keras kepalanya tadi," kata Esa, takjub karena tidak pernah menyangka ada masa Tsabitah akan bertindak seberani itu, membelanya.
Tsabitah mengangguk. "Aku boleh jagung bakarnya dua ya nanti, Mas?"
Esa tertawa, senang karena tidak kehilangan sisi manja yang kekanakan khas Tsabitah ini. "Sure."
***
"Tadi kata Pak Theo, diantar pulang ke Kasongan tempat Eyang gitu, Mas," kata Pak Samadi kala Esa meminta Tsabitah dibawa pulang ke rumah Kanantya dulu.
"Biar Papa periksa dulu, tadi sempat kaget di rumah Oma," jawab Esa sambil memperhatikan gadis yang pulas selama hampir dua jam terakhir.
Satu tambah setengah bagian jagung bakar mentega, setengah piring pisang bakar madu, dan satu gelas coklat hangat. Itu menu makan malam Tsabitah, tambah dua suap bakmi Jawa berkuah panas yang merupakan pesanan Esa. Mereka menghabiskan sekitar empat puluh lima menit untuk makan, lalu memotret night view dan membeli beberapa oleh-oleh.
Tsabitah sempat bertelepon video dengan orang tuanya ketika masuk mobil, namun gadis itu lebih banyak bercerita tentang makanan yang dicoba, pamer foto city view dan barang lucu yang dibelinya. Tentang apa yang terjadi di Semarang, Tsabitah berkata lebih seru kalau diceritakan secara langsung.
"Esh, tapi lancar 'kan?" Theo Ruslantama sempat berusaha memastikan begitu tadi.
Esa mengangguk. "Oma minta beberapa hal, bisa dibicarakan."
"MoU yang diurus Ayah sama Bunda lancar juga?" sahut Tsabitah, ketara membelokkan topik.
"Iya, lancar ... lusa pulang, setelah jalan proyek kolaborasi sama Jade Beauty, bisa fokus renovasi sama renew produknya RUBY." Inge menjawab dengan wajah semringah.
"Aku ada beberapa ide, waktu pulang nanti kita meeting juga ya, Bun ..."
"Boleh, boleh."
Usai percakapan itu, Tsabitah mengakhiri video call dan menyamankan diri. Tidak sampai lima menit sudah pulas mendekap bantal selimutnya yang agak kusut.
Esa juga menyempatkan beristirahat, melepas lengan prostetiknya dan tidur selama setengah jam. Ia masih tidak menyangka, mengalami kejadian penyelamatan darurat tadi. Benar-benar beruntung karena Ishma selamat.
"Walah senengnya itu," ujar Pak Samadi begitu melajukan mobil memasuki gerbang rumah.
Ravel terlihat menanti dengan antusias di teras bersama sang kakek. Esa meringis, melepas seatbelt dan perlahan membangunkan Tsabitah.
"Little Bi ... bangun dulu," pinta Esa sambil menggelitik ke telapak tangan Tsabitah yang terbuka.
"Ngg ..."
"Tinggal sendiri di mobil ya."
"Enggak mau," ucap Tsabitah lalu membuka mata dan menghela napas pendek. Sepasang matanya masih berat namun menurut untuk bergerak, keluar dari mobil dengan melendoti Esa.
"Om Esa pulang!" sebut Ravel yang langsung mendekat, memeluk ke kaki.
Esa seketika menahan langkah, bingung bagaimana harus bergerak. "Ini gimana ... Bita, jalan sendiri yang baik, Mas Esa sama Ravel dulu."
"Enggak, Mas Esa punyaku," kata Tsabitah lalu menunduk pada bocah yang otomatis mendongak.
"Vel mau peluk Om Esa," ucap Ravel.
"Tante Bita wakili aja peluknya," jawab Tsabitah yang seketika membuat bocah itu merengut.
Lukito Kanantya segera mendekat, mencoba memberi ide yang lebih baik. "Sini, Vel gendong sama Opa aja, biar—"
"Enggak mau ..." sebut Ravel kemudian menunduk, pegangannya di kaki Esa juga terasa menguat.
Tsabitah ikut menguatkan dekapan di lengan kiri Esa, bahkan kepalanya ikut rebah di sana.
"Bita lepas dulu, ikut Papa buat diperiksa," pinta Esa lirih.
"Enggak," jawab Tsabitah.
"Ini nanti makin malam, makin telat pulang, ditungguin Eyang juga lho." Esa mengingatkan, masih dengan suara lirih.
"Enggak mau pulang."
Esa langsung menggeleng. "Enggak boleh begitu, Bita ... ini—"
"Sudah-sudah, kalau enggak mau pulang, Bita boleh nginep tapi nurut sama Mas Esa," ucap Lukito Kanantya yang membuat sepasang mata Tsabitah langsung cerah, sementara Esa terkesiap.
"Oke!" kata Tsabitah yang sigap melepas dan beranjak menjauh. "Ayo, Papa, cepetan periksanya."
Esa ganti membungkuk, mendekap dan menggendong Ravel yang hampir menangis. Saat menegakkan diri, ia menatap keberatan atas ide ayahnya itu. Namun, Lukito Kanantya memberi senyum dan anggukan meyakinkan, seolah itu bukan hal besar.
[]
❤️🩹
Bukan hal besar
tapi meresahkan Mas Esa
wkwkwkwkwkwkwkwkwkk
.
Ravel sabar ya
Tante Bita mode clingy emang
ngalah-ngalahin balita banget, pfftt
Mas Esa juga sabar
bae-bae konci pintu kamar
ada potensi bahaya serangan fajar~
xixixixixixi
.
.
⬇️
Waffa jangan gitu sama sobat babinya, gitu-gitu tetap ada effort si Kagendra.
🖐🏻
ytta
yang tau tau aja~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top