[ 24. ]

Aloha!
Ea senank nih ...
tibanin 💚 dulu bisa kali

.

2.500 kata nih, bestie
Esa vs The Razi Family 🔥

⬇️

anw, yang punya akun Karya Karsa
dan penisirin sama side story
Reputation, udah ada 3 cerita yess

just check it out!
jangan lupa follow shaanis juga~


.

geng gercep unlock
terima kasih banyak
aku padamu 💋

geng wattpad di sini juga
nomu saranghae~~

🍯

[ 24. ]

"Tata Bi."

Panggilan ceria itu yang mengalihkan fokus Esa, mendapati balita menggemaskan dengan rambut ikal dikuncir tinggi berjalan mendekat. Tsabitah memekik pelan sebelum melepas gandengan Esa, ganti menyongsong dan mendekap Ishma.

"Imaaa ... kangen banget," ujar Tsabitah dengan nada gemas sebelum berulang kali menciumi pipi balita yang tergelak.

Esa mengangguk formal kala berikutnya Noella menampakkan diri, memberinya tatapan datar sebelum berpaling untuk mengambil alih si balita.

"Ishma katanya ngantuk, Tante Bita lagi mau bicara sama Yuyut tau," ujar Noella.

"Enggak apa-apa kali," kata Tsabitah lalu menghindar bersama balita di gendongannya. "Imaa mau kenalan dulu sama Om Esa, ya."

"Sesa?" tanya Ishma dengan penasaran, mata bulatnya kemudian terarah pada Esa yang mengulas senyum.

"Hallo, Ishma ya namanya?" tanya Esa lembut.

"Imaa," seru Ishma semangat.

Tsabitah tertawa. "Imaa salim."

Esa mengulurkan tangan kanan, menjabat tangan mungil yang kemudian beralih memegangi jari telunjuknya. Tatapan anak itu ketara sangat penasaran, sampai beberapa kali mengguncang apa yang dipegangnya.

"Eh, eh jangan, bukan makanan," ujar Tsabitah saat Ishma kemudian membuka mulut dan mendekatkan kepala.

Esa juga melepas pegangan, suaranya lembut menjelaskan. "Iya, ini prostetik namanya, karena Om Esa enggak punya tangan kanan."

"Obot?" tanya Ishma.

"Iya, kayak robot ya tangannya," jawab Esa lalu menggunakan jari telunjuk prostetiknya untuk menyentuh lembut hidung Ishma. "Ishma sama Tante Noella dulu ya, Om Esa harus ketemu Oma—"

"Yuyut dia panggilnya." Tsabitah memberi tahu.

"Oh, iya, Om Esa harus ketemu Yuyut," kata Esa dan balita di pelukan Tsabitah tampak mengangguk, mengangkat dua tangan pada Noella.

"Nanti main lagi yaa," ucap Tsabitah, menyempatkan satu kecup lembut ke pipi Ishma sebelum menyerahkannya pada Noella.

"Noella, apa kabar?" tanya Esa yang kemudian berdiri di samping Tsabitah.

Noella mengangkat tatapannya sejenak, memberi pelototan mata tajam. "Enggak usah sok akrab," sebutnya lalu beranjak pergi bersama Ishma.

"Eh, awas aja!" balas Tsabitah sambil memegangi lengan Esa. "Sabar ya, Mas, nanti biar kalau ada invoice cair lagi ... enggak aku transfer tuh Noella."

Esa meringis dan menunjukkan gelengan kepala. "Enggak boleh begitu, rejekinya Bita enggak berkah kalau menahan rejeki orang lain."

"Nih 'kan, padahal Noella nyebelin, tapi Mas Esa tetap baik." Tsabitah kemudian beralih mendekap pinggang Esa, menyurukan kepalanya dari samping. "Emang enggak salah tekad aku tuh."

Esa perlu mengusahakan tingkat ketenangan yang lebih mendalam karena ucapan Tsabitah itu. Debar-debar ritmis, asing dan tidak biasa semakin kuat terasa, menyadarkannya akan situasi yang lebih serius. Gadis yang kini mendongak untuk memberinya senyum, terasa semakin menghadirkan gugup, membuatnya seolah perlu menahan napas dan mengalihkan tatap.

Sejak kapan Tsabitah semakin tidak terasa seperti Little Bi-nya yang dulu?

"Mas jangan gugup, ada aku," ujar Tsabitah.

Esa mengangkat tangan, memegangi pundak Tsabitah dan mengangguk. Dirinya harus bisa meyakinkan, "Enggak gugup, tapi Mas mau bicara sendiri aja sama Oma dan keluarga di dalam."

"Eh?"

"Kamu susul Noella sama Ishma tadi."

"Mas, yakin?"

Esa mengangguk. "Jangan khawatir."

Tsabitah bergeser dan memberi pelukan dengan posisi yang benar. Esa mampu merasakan ketenangannya kembali saat Tsabitah melakukan itu. Ia tahu keadaan saat ini tidaklah mudah, penolakan keluarga Razi yang ditunjukkan padanya juga bukannya tanpa alasan, namun gadis di pelukannya ini membuatnya yakin, semuanya akan baik-baik saja.

***


Esa memasuki ruang tamu yang hening, semua orang sudah duduk di kursi masing-masing. Irhan mengendik ke sofa tunggal yang berhadapan dengan Ny. Inggrid.

"Duduk!" sebut Ny. Inggrid masih dengan suara tajam.

Esa menempati kursi yang dimaksud, duduk tegak dan mengulang salamnya. "Siang Oma, Om Indra dan Irhan ... maaf sebelumnya karena datang tanpa pemberitahuan, saya—"

"Enggak perlu basa-basi, sejak kapan kamu berpacaran dengan Bita?" sela Ny. Inggrid lalu bersedekap. "Berani-beraninya melakukan itu setelah apa yang kamu perbuat pada kakaknya."

"Kami belum berpacaran, Oma."

"Belum pacaran? Bita udah segitunya nempel-nempel itu, masih beralasan belum pacaran? Pikirmu kita bodoh?" sembur Irhan yang tidak menutupi kekesalan.

"Saya serius, kami belum berpacaran atau punya hubungan lebih dari kedekatan yang sebelumnya ada. Eyang Taher yang mengusulkan perjodohan itu dan saya datang sekarang, untuk menyampaikan kesiapan kami sekaligus meminta—"

"Kalau masih punya malu, seharusnya kamu menolak perjodohan itu!" kata Indrajid dan diberi anggukan ibunya.

"Saya enggak bisa melakukan itu."

"Apa?" seru tiga suara yang kemudian kompak memberi tatapan tajam, mengintimidasi.

Esa menatap Ny. Inggrid dan mengangguk. "Saya enggak bisa menolaknya, keinginan keluarga Ruslantama begitu penting bagi saya dan keluarga. Tsabitah juga, apa pun yang dia inginkan terkait saya, menjadi kewajiban saya untuk memenuhinya."

Ny. Inggrid menyipitkan matanya. "Lalu kamu datang ke sini untuk memamerkan semua itu? Keberpihakan keluarga besanku terhadapmu dan keluargamu?"

"Saya datang untuk Oma dan keluarga di sini, bahwa keberlanjutan hubungan kami tetap membutuhkan izin sekaligus doa restu."

Indrajid geleng kepala. "Setelah apa yang kamu lakukan, beraninya mengharap—"

"Apa yang membuatmu begitu percaya diri begini?" tanya Ny. Inggrid, sengaja menyela ucapan putranya.

Esa menatap setiap pasang mata dan memberi jawaban, "Saya tidak bersalah, saya tidak melakukan malpraktik dan—"

"Dan kenyataannya cucuku tiada karena kelalaianmu, kamu tidak serius dalam melakukan pemeriksaan awal kepadanya. Akui itu!!!"

"Thomas melepas gelang merah dari paramedis begitu turun dari ambulance, dia menghindar ketika saya hendak memeriksa reaksi pupilnya, dia masih menolak berbaring sehingga saya setuju untuk memeriksa Bita." Esa bisa merasakan tangan kirinya gemetar, yang segera dia kepalkan sebelum melanjutkan penjelasan. "Hari itu Thomas sangat meyakinkan bahwa dirinya baik-baik saja dan—"

"Jadi, maksudmu, Tommy meninggal karena kesalahannya sendiri?" tanya Irhan.

Esa terdiam sejenak. "Saya terus bertanya-tanya apakah ada bedanya jika hari itu terulang ... jika saya mengidentifikasi kondisi kritisnya lebih cepat. Lalu, saya sadar Thomas lah yang tidak menginginkan perbedaan itu, dia akan tetap melepas gelang merahnya, menghindar dan memastikan saya fokus pada Bita."

Ny. Inggrid mengepalkan tangan kuat. Kala dukanya mereda, memang timbul satu kesadaran yang enggan diakuinya. Kesadaran seperti yang Esa sampaikan itu.

Thomas memang sangat menyayangi Tsabitah, mendiang cucunya itu bukan lelaki bodoh apalagi sembrono. Terlebih, Thomas juga seorang dokter, jelas memahami pilihan tindakannya.

Ny. Inggrid hanya enggan mengakui kesadaran itu lebih jauh. Kedukaan dan kemarahannya tidak bisa dia lenyapkan.

"Saya melalui sidang etik dengan baik, saya menjelaskan secara runtut, sesuai dengan keterangan medis dan kesaksian rekan sejawat di IGD pada hari itu ... kami telah berusaha, semampu dan sesuai kapasitas dalam usaha penyelamatan Thomas." Esa merasakan sengatan kepedihan di kedua matanya. Butuh waktu untuk mengatur napas agar tidak tiba-tiba menangis. "Saat ini saya sudah tidak memiliki tujuan hidup selain berusaha, semaksimal mungkin dalam menjaga seseorang paling berharga dalam hidup Thomas ... yang untuknya, Thomas rela berkorban apa saja tanpa keraguan."

***

Noella terdiam mendengar percakapan di ruang tamu. Sementara Tsabitah bersenandung lembut, menidurkan Ishma di sofabed.

"Kamu memprediksi itu juga?" tanya Noella saat adik sepupunya membentangkan selimut tipis, menutupi kaki dan perut Ishma.

Tsabitah menggeleng dan beranjak untuk duduk di samping Noella, mendengarkan percakapan yang berlanjut.

"Cukup pembicaraan tentang masa lalu," ujar Ny. Inggrid yang suaranya masih sarat akan ketenangan. "Apa pun alasanmu, tidak mengubah pendapatku tentang kelalaianmu juga kegagalan operasi itu ... dan tentang Tsabitah, Inge sudah punya calon yang lebih tepat."

"Yang enggak cacat," imbuh Irhan.

Tsabitah sebisa mungkin menahan makian mendengar suara kakak sepupunya itu. "Mas Irhan benar-benar, ya ... keterlaluan."

"Mas Irhan benar kok," ujar Noella santai, ekspresinya setengah mengejek dan itu membuat Tsabitah memberi rolling eyes dramatis.

"Saya tidak menutupi kekurangan atau keadaan yang jauh dari kata sempurna ini ... tetapi bukan berarti saya kehilangan kemampuan dalam bertanggung jawab." Esa menanggapi pelan. "Oma ingin saya bagaimana untuk membuktikan diri?"

Tsabitah tersenyum lebar mendengarnya, bahkan mengepalkan tangan lalu menepuk dada dengan bangga. "That's my man."

"Cih, bisaan aja tuh," sebut Noella.

"Memangnya kamu punya apa?" tanya Indrajid dengan suara meremehkan. "Rumah sakit Papamu enggak jadi dibangun, kamu sendiri bukan dokter lagi ... bahkan untuk membantu pengurusan RUBY saja kamu enggak ada kemampuan."

"RUBY?" tanya Irhan.

"Iya, lelaki yang semula dipilih sama Inge itu dokter kulit, punya klinik kecantikan bonafit juga ... bisa diandalkan untuk take over RUBY di masa depan," jawab Indrajid lantas kembali bertanya. "Kamu bisa apa?"

"Saya akan belajar kalau memang itu dibutuhkan untuk—"

"Enggak!" seru Tsabitah yang kemudian beranjak dari duduknya.

Noella terkesiap dan segera membuntuti adik sepupunya ke ruang tamu.

"Semuanya pada enggak adil, ya? Seolah-olah segala hal terus jadi tanggung jawabnya Mas Esa," ucap Tsabitah, melepas tangan Noella yang berusaha menahan langkahnya.

"Bita," kata Esa saat gadis itu langsung berdiri di sisinya.

"Ayah sama Bunda masih sehat, masih bisa berusaha untuk RUBY secara mandiri ... lebih dari itu, aku masih hidup!" sebut Tsabitah lalu menatap neneknya serius. "Aku bukan lagi anak kecil yang perlu dilindungi atau diamankan dari segala sisi. Aku bisa berusaha untuk hidupku sendiri, ada atau enggak ada RUBY di masa depan."

"Jangan ngawur kamu!" tegur Ny. Inggrid lantas ikut berdiri, balas menatap serius. "Orang tuamu bekerja keras membangun bisnis itu, bahkan Thomas sempat hidup untuk mewarisinya ... kegagalan besar kalau kamu justru berniat mengabaikannya!"

"Aku enggak berniat mengabaikannya." Tsabitah menjelaskan ulang. "Aku hanya enggak suka, cara Oma dan yang lain menekan Mas Esa ... pernikahan adalah hubungan seumur hidup, aku berhak memilih siapa pasanganku."

"Kamu berhak memilih selama calonnya pantas dan punya kredibilitas," ujar Irhan lalu mengendik malas pada Esa. "Kamu pewaris tunggalnya RUBY sekarang, sementara orang itu kayak enggak punya jaminan masa depan apa-apa."

"Mas Irhan!"

Irhan mengabaikan teguran adik sepupunya. "Thomas dulu bilang, siapa pun yang berminat sama kamu, minimal maharnya seribu gram tambah—"

"Seribu satu," ralat Esa lalu memberi tahu dengan lebih jelas. "Seribu satu gram logam mulia dan minimal dua karat berlian untuk cincin kawinnya."

"Seribu satu?" tanya Noella baru tahu.

Tsabitah seketika tersadar dan menatap sang nenek yang kembali duduk. "Itu jumlah maharnya Bunda, yang diminta Opa ke Ayah."

"Inge dulu meminta setengahnya saja, untuk memperlancar rangkaian acara pernikahan," ujar Indrajid lalu menatap Esa. "Kalau modalmu tidak sampai—"

"Saya memberanikan diri, hingga sejauh ini dengan niat untuk memenuhi keinginan Thomas juga," kata Esa, mengakui kemampuan finansialnya secara tersirat, membuat Ny. Inggrid menarik sebelah alis yang samar-samar karena penuaan.

Tsabitah tidak bisa membayangkannya. "Uh, aku cukup seperangkat—"

"Enggak! Jumlah segitu sudah tepat, pasanganmu wajib punya modal yang pantas." Ny. Inggrid menyela dan mengatur napasnya. Kesejateraan keluarga Kanantya memang tidak mungkin habis. Esa jelas tidak akan dibiarkan hidup tanpa jatah warisan yang layak. "Wajib memberi rumah juga, atas nama Bita!"

"Oma!" keluh Tsabitah.

Ny. Inggrid tetap meneruskan tuntutannya. "Wajib membuat perjanjian yang mengatur pemisahan harta. Bita harus melindungi warisannya!"

Tsabitah geleng kepala. "Bagi Oma yang penting benar-benar hanya uang dan kekayaan?"

"Pikirmu kamu bisa hidup kalau orang tua dan keluargamu miskin?"

"Ibu!" sebut Idrajid yang terkejut, kedua anaknya saling pandang dengan raut kaget.

Esa juga terkesiap mendengar ucapan Ny. Inggrid itu, ia bahkan merasa perlu menenangkan diri sejenak. Ucapan nyonya rumah ini bukan hanya tajam, jelas mulai keterlaluan.

Tsabitah mengatur napas karena wajib mempertahankan kewarasan saat menghadapi neneknya. "Mas Esa, bagaimana pun, bisa bertanggung jawab terhadapku, Oma ... karena itu—"

"Saya akan memberikan semuanya!" sela Esa dengan raut serius. Ia tidak menyangka akan menggunakan cara yang sebelumnya diremehkannya. Esa tidak menyangka bahwa ide Kagendra berguna. "Berapa pun jumlah uang, atau harta benda yang saya miliki. Semua akan saya berikan untuk Bita."

"Mas ..."

Ny. Inggrid tersenyum. "Pastikan itu tertulis jelas di perjanjian," ucapnya lantas menyadari satu hal penting yang dapat menjadi ajang pembuktian diri. "Dan tambahkan sekalian, bahwa anak yang Tsabitah lahirkan hanya akan menyandang nama belakang keluarga Ruslantama."

Esa langsung terdiam. Tsabitah juga hampir-hampir kesulitan bicara. "T ... tapi, Oma ... Mas Esa juga—"

"Lakukan semua itu, hitam di atas putih yang disahkan dan baru kembali lagi ke rumah ini, akan kuberikan restuku," ujar Ny. Inggrid yang kemudian meraih lengan sang putra. "Ibu enggak selera makan siang, mau ke kamar."

"Oma ..." panggil Tsabitah, hendak mengejar namun Esa menahan. "Mas ... tapi ... soal ..."

"Iya, itu bukan hal yang mudah diputuskan. Tapi, Oma udah menentukan syaratnya ... enggak apa-apa," ucap Esa, meski berat namun baginya sudah satu kemajuan.

"Apanya yang enggak apa-apa," sebut Tsabitah dengan lesu, neneknya jelas melakukan pemerasan sepihak.

Noella memperhatikan ayah dan neneknya berlalu pergi. Ia ganti berbicara pada dua tamu yang kini saling bergenggaman tangan. "Ruang makannya belum pindah ya, Bit ... ayo, Mas, kita duluan aja."

Irhan beranjak dari duduknya lalu berujar pada Esa, "Permintaan Oma masuk akal, kamu harus bertanggung jawab, menghadirkan penerus nama keluarga yang telah bertahan selama delapan generasi. Lebih bagus kalau diberi nama Thomas juga."

"Enggak ada yang bisa menggantikan Mamas," kata Tsabitah dengan geram. "Dan kami bukan produsen anak."

"Pembuktian diri itu 'kan dia sendiri yang mau." Noella mengingatkan dan ikut menambahkan ujaran sinis. "So, just take it, or leave it."

***

Suasana makan siang yang hening dan tidak banyak interaksi selain pertanyaan basa-basi. Nurina Regine sudah lebih dari tiga dekade menjadi menantu keluarga Razi, cukup tahu seluk-beluk permasalahan terkait kepergian Thomas.

Dahulu, sebelum ada permasalahan itu, Thomas-Esa-Tsabitah-Lyre adalah keluarga yang ditunggu-tunggu untuk menghabiskan minggu kedua hari raya bersama Irhan dan Noella di sini. Sebelum semua pajangan foto diperbarui, ada cukup banyak dokumentasi mereka berenam.

"Anaknya Lyre umur berapa, Esh?" tanya Nurina begitu teringat.

"Udah mau lima tahun, Tante."

"Lyre juga sudah sehat, ya? Inge cerita kalau kecelakaan di Kaliurang."

Esa mengangguk. "Iya, sudah baik walau masih rawat jalan ... ketemu Atiana setiap akhir pekan."

"Lama juga ya, pemulihannya?"

Irhan menyahut. "Untung hidup tuh."

"Mas Irhan!" tegur Tsabitah lalu meletakkan sendoknya.

Esa sebenarnya juga ingin marah, tetapi sadar itu tidak ada gunanya. "Hidup memang suatu keberuntungan yang harus disyukuri."

"Hoek," ujar Noella sambil berlagak muntah.

"Noel, kamu—"

"ISHMA!!!" seruan itu berasal dari ruang tengah, membuat semua orang terkesiap menoleh.

"Sus, kenapa?" tanya Irhan dan terdengar suara langkah-langkah tergesa.

"Ishma! Ya ampun," sebut Noella begitu keponakannya dibawa mendekat.

Balita itu megap-megap, terlihat kesulitan berbicara dan kedua tangannya mengepal kaku. Ibunya bergegas mendekap, seketika tahu ada yang tidak benar. "She's not breathing."

"Kamu kasih apa, Sus?" teriak Irhan.

"Enggak ada, saya baru mau ngecek karena adik udah duduk sebelum dibangunin ..." isak Suster yang ketara sangat ketakutan.

"Mas ini gimana?" Syaza panik, menepuk-nepuk punggung putrinya namun tidak berpengaruh.

Irhan memasukkan jarinya untuk memeriksa ke rongga mulut. "Dia enggak makan apa—"

Esa menjauhkan tangan Irhan, kemudian mengambil alih tubuh balita yang hampir lemas, menyangga tubuh hangat itu dengan lengan prostetiknya, memastikan mulut terbuka baru membungkukkannya dan perlahan memberi tepukan terarah di bagian punggung atas.

Satu

Dua

Tiga

Ada suara deguk pelan sebelum sebutir permen coklat utuh terjatuh dari mulut Ishma yang kemudian menjeritkan tangis.

Esa membetulkan gendongannya, mengelus-elus lembut bagian punggung yang tadi ditepuknya cukup serius. "Iya, Ishma hebat ... sakitnya sebentar aja ya."

"Amaaa maa ..."

"Iya, sama Mama ya," ujar Esa lalu menyerahkan balita itu pada ibunya yang sigap memeluk dan berulang kali mengucap syukur.

Indrajid baru akan menegur suster anaknya saat tersadar ibunya terlihat di pintu penghubung, menggenggam sebungkus permen coklat.

"D... dia bangun, minta permennya ... Ibu tinggal ke belakang untuk ... untuk ... minum," sebut Ny. Inggrid dengan jeda-jeda napas yang jelas diliputi kepanikan. Kedua tangan rentanya gemetaran.

Tsabitah juga takut bukan main, ini pertama kalinya melihat anggota keluarganya dalam situasi kepanikan semacam itu. Tubuhnya agak goyah berdiri, sampai tiba-tiba Esa sudah berada di sisinya lagi.

"Breathe, Little Bi ..." ucap Esa sambil memegangi tangan Tsabitah.

Pip! Pip! Pip!

Perhatian semua orang seketika beralih. Setiap anggota keluarga Razi bahkan baru sadar Tsabitah sudah dalam keadaan syok.

Esa memastikan tatapan Tsabitah tetap fokus. "Ishma aja berani tadi dan langsung bernapas lagi ... dia juga akan baik-baik saja, karena itu—"

"Takut banget ..." isak Tsabitah yang langsung memeluk Esa, mencari ketenangan yang dibutuhkannya dan sebisa mungkin mempertahankan kekuatannya. "Makasih, Mas Esa tolong Imaa ... makasih."

Esa mengangguk, balas memeluk dengan memastikan ruang bernapas Tsabitah tetap tersedia. Ia tadi sempat terpaku sejenak sebelum sadar apa yang harus dilakukan. Ada rasa syukur teramat sangat karena kali ini tidak ada kesalahan, Ishma bisa diselamatkan.

[]

❤️‍🩹

Keluarga Razi
kalau masih no no no aja
aku siap yes yes yes untuk Mas Esa

😏

siap pindah kapal, bestie?

.

Q&A REPUTATION

Q: Pusing banget, baru kali ini haluin fiksi sampai ga mood ngapa2in 😭
A: Bahaya ya guys
jangan sampai mengganggu realitas
tetep banyakin sosialisasi~

Q: tapi biasa klo greenfalg gini ntaran pas nyebelin jg bikin emosi, kek Hiza, bikin gregetan
A: 😆
Ya begitulah
tapi aku tetep love Mas Esa

Q: Banyakin interaksi geng Ka.Wa.L dong kakakk
A: Kalian cuma suka pas
KagenBi dibully kan? Ngakuuu~






















⬇️


























scroll lagi



























enaknya Mbak Ayara debut kapan ini? Pffttt ~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top