[ 21. ]
🍯
[ 21. ]
"I don't wanna live without you anymore."
Esa seketika terdiam mendengar penyelaan Tsabitah itu. Perhatiannya semakin sulit beralih tatkala gadis di hadapannya menambahkan kalimat yang lebih serius. "Mas Esa cukup bilang iya, dan serahkan sisanya padaku."
Cukup bilang iya.
Esa mengulang itu dikepalanya sebanyak dua kali lantas mengangguk. "Iya."
"Yes!" sebut Tsabitah, tersenyum senang.
Esa seketika menyadarkan diri, bukan begitu maksudnya. "Eh, bukan, Mas—"
"Enggak bisa diralat, udah iya tadi."
Sanggahan cepat itu, ditambah ekspresi wajah Tsabitah yang semakin serius membuat Esa tertawa, entah kenapa dia terbayang wajah gadis balita yang dahulu cenderung manja dan cengeng.
"Mas Esa ..." panggil Tsabitah, setengah mengeluh karena tidak paham kenapa lawan bicaranya justru tertawa.
"Maaf, tapi ... Bita benar-benar bikin Mas kaget." Esa mengakui seiring suara tawanya menghilang. "Bikin kaget, tapi juga bikin kagum."
Tsabitah mengulas senyum. "Cause I am ready to be your wife."
"What kind of wife?"
"The one who will respect you the most, be with you in every condition, loving our bond and connection, pursuing our dream and happiness."
"What do you think about love?" tanya Esa dan mendapati senyum di hadapannya seolah melembut.
"Alive," jawab Tsabitah singkat.
Esa menerjemahkan, "Hidup."
"Selain hidup, cinta juga tumbuh." Tsabitah memahami munculnya keraguan Esa menjalani perjodohan tanpa lebih dulu muncul ketertarikan romansa. Oleh karena itu, dia memikirkan jawaban ini. "Aku tahu cinta itu penting dalam pernikahan, tapi yang lebih penting lagi adalah kesiapan pribadi dan tersedianya ruang untuk kecewa, karena enggak ada manusia atau pasangan yang sempurna, begitu juga cinta, enggak ada yang sempurna."
"Kenapa Bita merasa Mas siap untuk menikah?"
"Itu memang mimpinya Mas Esa dari dulu." Tsabitah ingat beberapa percakapan Esa dan Thomas terkait rencana hidup. "Be a cardiologist, good husband, and lovable father."
"But I am no longer ..." Esa menjeda kalimat karena senyum Tsabitah sepenuhnya lenyap.
Ada hening yang bertahan selama sekitar setengah menit karena Esa mendadak minder dan ketenangannya goyah.
Tsabitah mengulurkan tangan kanan, menelungkupkan ke atas prostetik yang mulai terasa dingin. "Whatever it is, you're enough for me. Mas Esa bukan cardiologist lagi, it's fine ... karena yang aku inginkan bukan titel dokternya. Mas Esa jadi disabilitas permanen, also fine, sejak kecil aku udah selalu diperhatikan, dirawat, dijagain setiap sakit, kita bisa gantian."
"Little Bi ..."
"Aku suka banget panggilan itu, feeling special, tapi saat ini ... I'm not so little anymore. Seperti yang tadi kubilang, I'm an adu—"
"I know you are," pungkas Esa cepat dan merasa perlu sejenak mengalihkan pandangan. "Mungkin itu sebabnya kenapa rasanya kewalahan menyikapi rencana perjodohan ini, masih agak sulit buat Mas Esa lihat Bita dalam versi dewasa."
Tsabitah tersenyum dan mengedipkan sebelah mata. "Enggak sulit, lihat aku aja terus, nanti juga terbiasa."
Esa balas tersenyum. "Soal ini juga, kamu belajar flirting dari mana?"
"Otodidak dong."
"Bita pernah punya pacar sebelumnya?"
"Suami punyanya, aku 'kan udah bilang."
"Itu enggak dihitung orang kamu masih kecil banget."
Tsabitah mengangguk. "Iya, makanya ayo mumpung aku sekarang sudah gede, kita menikah yang beneran."
Esa jadi tertawa lagi, selama beberapa saat dan ketika tenang kembali memasang wajah serius. "Bita siap soal ruang kecewa, ruang untuk takutnya bagaimana?"
"Enggak ada."
"Enggak ada?"
"Iya, soalnya yang aku pilih Mas Esa ... seseorang yang selalu lebih takut aku terluka, menderita, atau sedih berkepanjangan." Tsabitah mengungkapkan itu dengan lugas dan yakin. "Salah satu tujuan pernikahan ini, aku mau membuktikan, Mas Esa tuh bawa kebahagiaan buat aku dan sebaliknya juga, aku mampu untuk mengusahakan hal yang sama."
"Bita percaya sama Mas Esa?"
"Always." Tsabitah kemudian menarik tangan dan menunjuk ke dirinya sendiri. "Makanya Mas Esa juga harus percaya aku, bersama-sama kita pasti bisa membuat pernikahan ini berhasil."
Esa mengangguk, karena sudah jelas gadis di hadapannya ini punya pemikiran juga alasan yang cukup matang dalam menilai tentang proses berpasangan. "Berapa perkiraan biaya check-up Bita untuk tahun ini?"
"Belum tahu, tapi tahun lalu sekitar tujuh puluh lima juta sekian. Aku harus check-up ke Singapura setiap awal tahun, sebelum puasa, sama sebelum liburan akhir tahun. Sisanya bisa di Sardjio atau ke Tjipto di Jakarta."
Esa mengangguk paham. "Kapan perkiraan dokter untuk proses penggantian katup lagi?"
"Tujuh sampai sepuluh tahun yang akan datang, jadi aku punya waktu dua sampai lima tahun untuk aman program kehamilan."
"Eh ..."
Tsabitah mengibaskan rambut dengan gaya, cukup percaya diri dengan keberhasilannya dalam mengontrol kesehatan selama setahun terakhir. "Check-up sebelumnya dokter bilang gitu, ini masuk periode kondisi terbaikku. Makanya, Bunda sampai berpikir soal perjodohan segala."
"Oke, terus soal biaya—"
"Bunda bilang, sama lelaki itu enggak boleh ngomongin tentang uang ... at least sampai dua-duanya punya komitmen yang sama tentang masa depan," sela Tsabitah dengan nada perlahan yang santai. "Mas Esa kalau mau tahu semuanya tentang aku sampai ke urusan biaya hidup segala macam, harus bilang iya dulu dong. Jangan curang."
Esa kembali tertawa pelan. "Ya, Mas 'kan mengukur diri dulu, mampu apa enggak kira-kira menghidupi kita berdua."
"Mampu!" cetus Tsabitah lantas mengacungkan ketiga jarinya. "Aku ngomong mampu bukan hanya karena percaya, Tuhan itu pengatur sebaik-baiknya rejeki seorang hamba. Tapi, aku juga memperhatikan beberapa hal penting. Pertama, kita berdua sama-sama terpelajar, tahu caranya cari uang. Kedua, kita bukan golongan manusia hobi berfoya-foya, tahu soal financial plan dan punya tabungan. Ketiga, we have our family and they care about us."
Esa paling sadar tentang poin ketiga, bahwa orang tuanya jelas akan semaksimal mungkin memberi back-up keuangan jika diperlukan. Sewaktu bicara dengan sang ibu tentang jumlah tabungan dan sisa pekerjaannya di Tokyo, Esa juga terus diyakinkan untuk tidak perlu khawatir, kondisi keuangan keluarga Kanantya sangatlah baik.
"Mas Esa ... jangan kebanyakan berpikir, yakin aja pokoknya sama aku," ucap Tsabitah, setengah mendesak, kekhawatirannya tentang penolakan belum surut sejak tadi.
"Ini penting buat Mas, buat Bita, dan keluarga kita ... makanya harus dipikirkan dengan sebaik mungkin." Esa juga menyadari satu hal penting untuk dilakukan. "Dan sehubungan dengan keluarga, ini bukan hanya tentang Ruslantama dan Kanantya ... keluarga Razi di Semarang, bagaimana?"
"Aku bisa meyakinkan—"
"Nope!" Esa menggeleng. "Itu tugasnya Mas Esa, jadi seseorang yang bisa meyakinkan orang tua atau keluarganya Bita."
"Jadi?" tanya Tsabitah.
Esa membatin doa kebaikan dunia dan akhirat lalu memutuskan. "Kita akan memulai proses perjodohan atau apa pun itu, setelah ada izin dari Oma Inggrid juga."
That's it! Batin Tsabitah dengan senyum tertahan. Sangatta Lukesh Abbiyu Kanantya sama sekali tidak berubah, prinsipnya dalam menjalin hubungan tetaplah sama, restu keluarga adalah segalanya. Prediksi Tsabitah akan sikap yang mungkin diambil oleh lelaki itu tidak meleset.
"Sure," ungkap Tsabitah dan mengangguk. "Jadi, lusa atau kapan, ke Semarangnya?"
"Besok?"
Tsabitah seketika bersemangat, ini jelas pertanda yang baik. "Oke! Aku akan langsung telepon Oma dan bilang sama ayah untuk—"
"Mas yang akan bilang sama ayah," sela Esa kemudian berdiri, ganti mengulurkan tangan. "Ayo, sekarang balik dulu ke saung ..."
"Ayo!" Tsabitah menyambut uluran tangan itu dan menggenggamnya erat.
***
"Wah, kayaknya Bita berhasil," ujar Lyre yang memperhatikan bagaimana gadis itu tampak gembira, berjalan bersama Esa sambil bergandengan tangan.
Soraya Baiharni turut memperhatikan, begitu juga Inge Razi dan keduanya sama-sama berujar saat Tsabitah terdengar merajuk, ingin ikut memberi makan ikan seperti Ravel. "Manjanya itu lho enggak berubah."
Kesamaan kalimat yang membuat sesama ibu itu saling pandang lantas bertukar tawa, membuat yang lain juga tersenyum-senyum senang.
"Mas Esa pasti ngasih deh," kata Lyre dan mendapati kakaknya memang beralih jalur, membawa Tsabitah menghampiri Ravel terlebih dahulu. "Tuh 'kan, emang Mas Esa kalau Bita yang minta, gampang nurutnya."
Theo tertawa. "Lyre 'kan udah punya Mas sendiri, yang juga siap nurutin apa saja ..."
"Tadi enggak sempat kenalan ya, dimonopoli Ravel," ujar Inge.
"Iya, padahal biasanya mau bareng-bareng gitu video call ... tadi lagi pelit," kata Lyre lantas teralihkan getar ponsel sang ibu di meja.
Incoming video call ... MY SON #2
"Kok video call, Mama?" tanya Lyre.
Soraya geleng kepala. "Enggak tahu, tadi nanya makan siang sama siapa aja suaranya rame ... terus Mama cerita sedikit. Ini kamu angkat aja."
Lyre segera menggeser icon penerima sambungan videocall. "Hallo ... oh, Papi."
"Papi?" sebut Soraya dan Lukito bersamaan, keduanya segera bergeser ke sisi sang putri.
Arestio Pradipandya memberi anggukan. "Kaka cerita, sekarang lagi makan siang bareng dengan keluarga Ruslantama, ya?"
"Iya, Papi ..." jawab Lyre dan agak kikuk memperhatikan sekitarnya yang seketika fokus. "Papi, enggak apa-apa?"
"Ya, baru selesai konsultasi sama dokter. Lyre, bisa tolong ponselnya diatur agar Papi bisa melihat kalian semua?"
"Oh, baik," jawab Lyre kemudian mengatur ponsel di ujung meja, menyandarkannya pada kotak tissue.
"Salam, Bapak, Ibu sekalian. Selamat siang," ujar Arestio Pradipandya dengan ekspresi tenang yang ramah.
"Siang," jawab semua orang.
"Maaf, jika tiba-tiba mengganggu acara makan siangnya. Saya, Arestio dan langsung saja, ini terkait dengan publikasi media yang terlalu massive beberapa waktu lalu sehingga menimbulkan banyak desas-desus sekaligus rumor tentang masalalu dua keluarga, Kanantya dan Ruslantama. Saya menyadari kesalahan saya tersebut dan sepenuh hati dalam memohon maaf."
Suasana menjadi hening selama beberapa saat, hingga kemudian Eyang Taher bersuara, "Siang, Arestio ... saya, Taher Ruslantama, Eyangnya Thomas dan Esa. Kami berusaha mengerti alasan masifnya publikasi tersebut, Luki dan Yaya juga sudah lebih dulu menyampaikan maaf. Bagi kami, yang terpenting adalah keadaan anak-anak, Thomas memiliki seorang adik perempuan dan untungnya meski publikasi tersebut memberi dampak kurang baik pada bisnis anak saya, privasi cucu perempuan saya masih terjaga."
"Ah, ya, terkait hal itu juga, apabila ada besaran nilai kontrak atau—"
"Tolong, jangan bicara masalah uang kepada kami," ujar Theo cepat lalu mengangguk singkat. "Saya, Theo Ruslantama, Pak Arestio ... dan hal yang ingin ditekankan oleh ayah saya bukan ganti rugi materiil, namun komitmen agar kejadian seperti beberapa waktu lalu tidak terulang kembali."
"Ya, tentu saja, saya akan berusaha sebaik mungkin untuk menghapus jejak digital yang terlanjur mempublikasi rumor tidak berdasar terkait kasus Esa dan mendiang Thomas dahulu." Arestio Pradipandya menundukkan kepala. "Saya sungguh memohon maaf atas tindakan gegabah yang telah terjadi."
"Kami akan selalu berdiri bersama keluarga Kanantya, Arestio ... karena itu selama keluarga Pradipandya menjaga komitmen dalam menjaga hubungan baik, sekaligus menunjukkan sikap kekeluargaan yang nyata. Maka, hal yang telah terjadi mari dijadikan pelajaran bersama." Eyang Taher menatap anak dan menantunya yang mengangguk. "Kami berharap, proses pemulihanmu berjalan lancar, sehingga bisa segera bertemu muka untuk jalinan silaturahmi yang lebih baik."
"Terima kasih, Pak," ujar Arestio sembari menegakkan tubuh dan beralih tatap pada keluarga besannya. "Ravel enggak bersama kalian?"
"Kasih makan ikan tadi, oh, itu sudah kembali sama Esa dan Bita," ujar Soraya lalu melambaikan tangan. "Ravel, Opa nih ..."
"Opa?" sahutan ceria itu diikuti langkah cepat dan dalam beberapa detik, anggota keluarga lain terlihat di layar.
"Hallo, Opa ... Vel baru aja kasih makan ikan, di sini kolamnya besar juga, ikannya juga banyak, tadi kata Om Esa bisa sayangan sama ikan-ikannya Opa."
"Saingan bukan sayangan," ralat Esa membuat semua orang tertawa.
Arestio juga tertawa, senang karena kelucuan cucunya memang efektif untuk mencairkan suasana.
"Bita, kasih salam dulu, ini Opanya Ravel, Papinya suami Mbak Re," kata Inge dan Esa bergeser agar Tsabitah bisa menunjukkan diri.
"Salam kenal, Om, saya Tsabitah Ruslantama."
"Ya, salam kenal ... Kaka, ke sini sebentar."
Kagendra kemudian menunjukkan diri, ketara amat terkejut begitu melihat layar. "Oh, selamat siang semuanya."
"Siang, ini ternyata papanya Ravel," ujar Eyang Taher dan mengangguk. "Rumangsaku koyo wong pener lho iki, Luk." [Menurutku kayak orang baik-baik lho ini, Luk.]
Lukito menahan tawanya. "Eyang, ampun kapusan rai." [Eyang, jangan tertipu wajah.]
"Re, please explain to me," pinta Kagendra dengan ekspresi tidak mengerti.
"No way," larang Tsabitah cepat dan bersedekap. "Eyang Putri Padmasari itu Jawa banget, Mama Yaya juga dan sebagai cucu mantu keluarga Kanantya harusnya minimal ngerti bahasa Jawa."
"Who are you?" tanya Kagendra, agak malas meladeni orang yang tidak dikenal.
"Tsabitah," jawab Tsabitah lalu beralih mendekap lengan kiri Esa dan iseng menambahkan. "Soon or later, I will be Tsabitah Ruslantama-Kanantya. So, you can call me sist by now."
"What the ..." cetus Kagendra, diikuti ayahnya yang tampak terkejut. Semua orang juga saling tatap sembari berbagi senyum gembira.
"Apa? Ada apa?" tanya Ravel yang bingung dengan respon semua orang di sekitarnya.
Lyre tertawa, segera mendekap sang anak untuk menjelaskan. Sementara, Esa memberi anggukan pada Kagendra dan Arestio Pradipandya yang tampak menanti penjelasan.
Esa perlahan menurunkan tangan Tsabitah dari lengannya dan kembali menggenggam lembut. "Tolong doanya, ya, semuanya ..."
[]
❤️🩹
KagenBi langsung buru-buru chat sobat babinya via group Ka.Wa.L: Waffa, Esa getting married!
Sobat babinya membalas: WHAT?? Bablas juga??
Esa: I'm not Kagendra 🙏🏻
KagenBi: Iya, sorry, gue brengsek 🙏🏻
Waffa: Iya, Ndra, kita dah tau 😥
.
penyaketku tuh dari dulu sama, kalau aku suka seorang tokoh dan dia siap dijalur bahagia ... yang enggak siap tuh justru aku 😭
bagaimana ini~
tyda siap potek :(
.
.
.
⬇️
thank you, February
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top