[ 2. ]
🍯
[ 2. ]
Esa Kanantya menarik napas panjang, mengalihkan tatap dari layar ponsel yang memuat konten berita tentang adiknya tersebut. Setiap foto yang termuat jelas merupakan dokumentasi pribadi, bukan hasil tangkapan paparazi atau potret amatir dari penggemar yang kebetulan berpapasan.
Berita tersebut sengaja dinaikkan dan hanyalah permulaan, Esa yakin demikian karena memang telah ada unggahan baru yang termuat di media. Ia memejamkan mata sejenak, menyegarkan tampilan berita di layar ponselnya lantas memeriksa judul yang mendapat respon komentar terbanyak.
"Sial," sebut Esa lantas meletakkan ponsel dan mengusap wajahnya dengan kasar. Ia benar-benar tidak menyukai situasi sekarang ini.
Sialan, Pradipandya!
Esa memaki-maki dalam hati, menyugar rambutnya lantas memijit pelipis. Ia tahu, bagian mana yang kemudian akan disasar oleh media. Itu pasti tentang dirinya, tentang masa lalu yang selama delapan tahun ini sudah mati-matian coba dikuburnya.
Ting!
Suara denting pelan dan beruntutan, notifikasi chat masuk di grup khusus dengan para sepupunya yang sengaja dia abaikan selama ini. Esa memeriksa, kakak sepupunya yang tinggal di Penang mengirimkan sebuah link artikel.
TRAH KANANTYA SOLID
Regasta Levin
Esa, what's wrong?
I saw you on the news, again!
Are you ok?
Esa menelan ludah, membuka tautan berita dan berusaha tenang menelusuri setiap judul yang disematkan dengan cukup obsesif.
Ramananda Levon
Esh?
Are u home right now?
SHARIF Lee
Ini katanya Lyre kecelakaan?
Apa-apaan? Kenapa enggak ada yang kasih kabar?
Sierra Lee
LYRE KECELAKAAN?? WHAT??
Ramananda Levon
Minggu lalu telp. Om Luki, enggak ada omongan apa-apa woy!
Regasta Levin
Tante Yaya dua kali telepon nanya susu sama biskuitnya Lovi, ini Kanantya Jogja pada kenapa sih?
Mbak Lady
ESA BALES NGGAK !!!
Sangatta Lukesh
Don't worry ...
Untuk sekarang memang belum
bisa cerita banyak, sorry.
I'll contact you later.
Mbak Lady
Promise us!
Sangatta Lukesh
Iya, janji, Mbak.
Doain aja yang terbaik
untuk sekarang 🙏🏻
Esa kemudian mengheningkan suara notifikasi, fokus memeriksa blasting komentar yang tersemat di setiap unggahan artikel tentang keluarganya. Sesuai dugaan, semakin banyak yang kemudian menyinggung tetang kasus tersebut.
kcxchub jangan dulu terbuai narasi keluarga dokter keren, akademis, pure blood ... wkwkwkk blood is already on their hands, searching aja case dr. Lukesh Kanantya, serem lho!
hithere betul, mana kasusnya tetiba beres dg sendirinya, ketua team dokter IGD yang jadi tumbal, infonya smpe skrang masih dimutasi ... pure blood klo kena masalah selalu dapat bekingan terkuat.
lambemercon my heart goes to The Ruslantama Family ... gak kebayang anak lelaki satu-satunya, penerus nama keluarga, meninggal gitu aja. Pelakunya malah diframing layaknya noble family, pure blood taek kuda!
mademoisellyre.fans Lyre speak up dong, ini keluarganya jadi bahan omongan gini :(
jklzxc ga bakal speak up lah, keluarganya pure blood bobrok tp dia bekingannya Pradipandya! Bentar lagi juga ngilang nih berita.
lambemercon tunggu ya, mimin lagi nyelem, cari akunnya dr. lukesh biar kita bisa silaturahmi.
hithere buruan min!! Si paling pure blood kudu dikasih pelajaran, enak aja matiin anak org terus hidup tentram ... sanksi sosial yang bicara!!!
lambemercon Ruslantama revenge 🔥
MissBee_ That is not true ... dr. Lukesh Kanantya melalui sidang etik dengan baik, ada rilis berita resmi dari rumah sakitnya. Please stop the unnecessary assumptions.
Nolie2nd Stop tagging Ruslantama family member! Leave them alone!
Ruslantama, batin Esa.
Jempolnya berhenti menggulirkan layar, di antara ribuan komentar yang menyudutkan sekaligus memberinya tuduhan tidak beralasan, nama keluarga itu yang membuatnya termenung dalam diam.
Esa menelan ludah dan kembali menghela napas panjang. Berita tentang keluarganya tidak hanya berakibat pada dirinya, kasus yang terjadi delapan tahun lalu juga bukan hanya tentang dirinya. Ada satu keluarga yang pasti kembali bersedih mengingat duka dan kehilangan.
"Mamas ..."
Suara tangis pelan dari napas yang kadang terjeda dan tersengal itu hadir kembali dalam pikiran Esa. Suara tangis itu teramat memilukan, sarat akan kehilangan dan hingga kini menjadi satu-satunya suara yang tidak sanggup Esa hadapi.
Ia meletakkan ponsel, berusaha mengatur napas dengan baik, berulang-ulang meski beberapa menit kemudian akhirnya mengangkat lengan ke area mata, menutupi setengah bagian wajahnya.
"Seharusnya, aku enggak pulang," lirih Esa pada keheningan di sekitarnya.
***
RUBY: Ruslantama Beauty
Aesthetic & Skin Clinic Center
— Yogyakarta main office
"Bunda, Yaya udah bisa ditelepon?" tanya Theo Ruslantama begitu memasuki ruang kerja sang istri.
Inge Razi menggeleng. "Terakhir tadi pagi, ya ampun ini makin banyak aja lho yang nanya di akun utama RUBY. Ampun deh orang-orang pada kenapa!"
"Luki bilang mau pers conference kalau situasinya semakin enggak terkendali ... kita harus koordinasi, menyamakan statement supaya berimbang." Theo memperhatikan papan di belakang kursi sang istri. "Situasi pemberitaan ini harus segera diatasi, minggu depan final meeting dengan perwakilan Jade Beauty. Persiapan launching produk baru dan kolaborasinya udah matang."
Inge tahu itu, persaingan di bisnis estetika wajah dan kecantikan semakin sengit belakangan ini. RUBY telah bertahan dengan sangat baik usai bulan lalu harus merelakan tiga cabang di kota sebelah tutup. Investasi dan kolaborasi dengan Jade Beauty adalah langkah pengamanan awal, sebelum memunculkan gebrakan baru dan mempertahankan reputasi brand mereka.
"Aku enggak percaya, sekelas Pradipandya serangannya pakai media begini! Bobrok banget!" geram Inge Razi.
Theo juga tidak menyangka, tatkala Lukito memberi tahu bahwa orang dibalik pemberitaan massive tentang keluarga Kanantya adalah Arestio Pradipandya. "Pantesan Luki enggak mau kasih restu. Ini keluarga melindungi diri sendiri dengan menghancurkan reputasi orang lain."
"Esa padahal enggak buat salah juga, kurang ajar banget!"
"Luki bilang, Esa sempat memukuli suaminya Lyre."
Inge menipiskan bibir. "Ya wajar dipukuli, sembarangan begitu, mana kata Yaya sampai sekarang Lyre sama Esa istilahnya jadi tahanan tetap di rumah sakit Tjipto Jakarta! Kelewatan!"
"Udah coba lapor ke polisi juga katanya enggak ditanggapi, gila bener!" Theo geleng kepala.
"Kalau kata Thomas, utekke ora dienggo!" [Otaknya enggak dipakai.]
Theo Ruslantama sekilas tersenyum mendengar kalimat sang istri. Ia juga secara reflek menoleh ke bingkai kayu artistik yang menjadi pusat perhatian di rak pajangan. Putranya tersenyum abadi di sana.
"Dia pasti kesal sekali saat ini," sebut Theo lantas teralihkan chat masuk di ponselnya.
Mbak Trisni
Bapak, Non Bita sudah sampai rumah.
"Oh, Bunda ... ini Bita udah sampai rumah." Theo memberi tahu, menunjukkan layar ponsel.
Wajah Inge Razi seketika berubah riang, semringah beranjak dari duduk, membereskan meja kerja lantas memasukkn ponsel ke tas tangan.
"Belll ..." panggil Inge.
Asistennya, Belinda Tumiwa segera mendekat ke pintu dan mendorongnya membuka. "Iya, Bu?"
"Saya sama Bapak pulang lebih awal, nanti sore kita meeting saja untuk evaluasi mingguan ya."
"Baik, Bu ... anu, terus itu komentar yang tanya soal kasusnya Mas Tom—"
"Terus dihapusi aja ya, dm juga, dihapus aja yang enggak ada hubungannya sama klinik ..." Theo kemudian menyerahkan salah satu kartunya. "Nanti tolong divisi media dan publisis kamu traktir ya, Bel, pokoknya hapus setiap pertanyaan tentang Thomas atau Esa Kanantya."
"Iya, ada telepon juga enggak usah ditanggapi." Inge mengingatkan, was-was jika ada yang nekat.
"Siap, Bapak, Ibu ..."
***
Kediaman Keluarga Ruslantama
— Ambarketawang, Gamping
"I am home," ucap Tsabitah dan alih-alih memasuki kamarnya sendiri, melangkahkan kaki ke kamar berpintu ganda di ujung koridor lantai dua.
Tsabitah membukanya, tersenyum karena aroma sejuk dan suasana kamar yang terang benderang, pintu balkon juga dibiarkan terbuka lebar sebagaimana ketika pemilik kamar ini masih ada.
Tsabitah melangkah masuk, duduk di meja komputer yang pinggiran layarnya masih tertempel foto polaroid favorit si pemilik kamar. Ada dua foto yang ditempelkan, satu adalah foto Tsabitah kecil, satu lagi foto Thomas bersama Esa.
Foto bersama Esa itu sudah kusut dan tidak terlalu erat menempel. Irhan Razi, kakak sepupu Tsabitah yang sejak dulu kerap melepas, meremas kasar dan membuangnya. Baru di sepanjang tahun ini Irhan tidak begitu peduli, membiarkan foto itu tetap menempel sebagaimana mestinya.
"I miss him, more than I miss you," ujar Tsabitah dan sedikit cemberut saat mengelus wajah sang kakak di foto. "Aku udah dua puluh tujuh nih, Mamas tuh serius enggak sih? Yakinin Tuhan kalau Mas Esa beneran jodohku."
"Jangan aneh-aneh ya, Bit!"
Tsabitah meringis, masih terasa familiar bahwa kakaknya akan menanggapi demikian. Ini memang bukan kali pertama, Tsabitah mengadu pada Thomas tentang perasaan terpendamnya.
"Tipis peluangnya, Bit ... Esa aja mau kenalin Wyna ke Mama Yaya."
Itu respon awal Thomas dulu, tatkala Tsabitah membuat pengakuan. Kakaknya tidak tampak terkejut dan hanya memberi tahu situasi terkini.
"Kayaknya Esa serius ini, Bit."
Itu respon lanjutan, sekitar setahun setelah pengakuan Tsabitah dan Thomas terus memberi update perkembangan hubungan Esa dengan kekasihnya saat itu.
"Tunangan dia, Bit!!! Esa udah bilang soal rencana tunangan, aku disuruh temenin pilih cincin ... gimana?"
Itu adalah pemberitahuan yang membuat Tsabitah segera menyelesaikan urusan sekolahnya di Singapura. Meski ketika sampai Indonesia tetap tidak bisa berbuat apa-apa karena rencananya gagal total dan kondisi tubuhnya justru menurun drastis. Esa benar-benar bertunangan dengan Wyna, sementara dirinya harus kembali ke Singapura untuk melanjutkan pengobatan.
Jodoh tidak akan kemana.
Kalimat yang selama bertahun-tahun menguatkan Tsabitah untuk tetap tenang, membuatnya merasa cukup dengan perhatian sebatas adik sahabat.
Cinta bukanlah hal yang salah, Tsabitah tahu itu dan hanya berusaha menunggu, semampu yang hatinya lakukan. Cinta juga bukanlah hal yang egois, itu sebabnya dia memutuskan merelakan ketika tragedi memupus banyak harapan, menghadirkan luka-luka dan membuat lelaki itu memilih pergi. Namun, cinta juga tentang perjuangan, karena itu Tsabitah berpikir inilah kesempatan yang ditunggunya.
Tsabitah mengambil safety box berbentuk buku di rak. Hanya dirinya dan Thomas yang tahu kombinasi password untuk membukanya.
Safety box itu berisi buku agenda terakhir Thomas, id card semasa menjadi residen, jam tangan, sapu tangan hadiah dari mendiang eyang putri dan ratusan foto-foto kebersamaan dengan Esa atau keluarga Kanantya yang selama lebih dari dua dekade menjadi tetangga mereka dulu.
Tsabitah mengambil foto favoritnya, ketika ala ala menikah dengan Esa di usia lima tahun. Di belakang foto itu ada tulisan tangan Thomas.
If he really belongs to you, Bit ... I am the happiest person in the world. — Mamas.
Senyum Tsabitah terkembang. Ia memeluk foto tersebut di dadanya dan berujar lirih, "Pokoknya, Mamas pepetin Tuhan aja, aku yang pepetin Mas Esa."
[]
❤️🩹
Bekingan Bita tyda main-main,
Mamas yang udah stay di sisi-Nya.
mantep emang, Little Bi~
🦾
anyway
ingat dong sama scene kampretnya Pradipandya vs Kanantya ... yak, masalah Esa di cerita ini dimulai dari sikap 'kurang' bijaknya Papi Arestio saat menghadapi masalah Kagendra-Lyre.
kalau dari POV mereka 'kan udah beres-beres aja, nah ini dari POV Esa & Keluarga Ruslantama yang masih terus memicu penasaran wattyzen 🤭
.
Mas Esa pokoknya jangan oleng ya waktu dipepetin Bita, kudu kuad.
Asha-Esa Jaya!!!!
.
Mamas Tommy, lihat nih Mas ...
kelakuan adikmu~
.
book safety box yang begini, cuma punya Thomas pakai kode angka ✨
.
thank you, Bestie~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top