[ 17. ]
Hai,
Ada yang masih bangun?
Hehehehe rejeki ya~
.
bisa update cepet karena setengah bagian bab ini copas dari Repeated ... semisal nanti familiar scenenya jangan bingung yaa, emang soal perjodohan Esa-Bita dispill duluan di sana.
2.535 kata untuk bab ini
selamat membaca.
🍯
[ 17. ]
Little Bi
kalau ini kebaca enggak?
❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️
Esa sempat terdiam membaca balasan yang Tsabitah kirim. Tujuh emoji hati berwarna merah.
Chat mereka ini masih perkara emoji, bukan? Pikir Esa lalu mengirim balasan dengan kalimat diplomatis yang santai.
Sangatta Lukesh
Iya, yang itu kebaca
syukurlah 😁
"Gimana, jadinya?" tanya Soraya sembari memotongkan sedikit puding buah naga untuk Ravel.
"Enggak jadi apa-apa, Ma," jawab Esa tanpa berpikir panjang, membuat Lyre dan sang ibu sama-sama beralih tatap.
"Hah?" tanya Lyre.
Esa memejamkan mata sejenak, sadar salah bicara. "Maksudku, enggak jadi dikirim susunya, aku bawain aja, besok pada mau ke Thomas."
"Oh!" sebut Soraya dan mengangguk. "Berarti Tante Rika udah mau pulang ke Jakarta juga, ya?"
"Iya," jawab Esa lantas menyimpan ponselnya untuk melanjutkan makan malam.
"Sebentar, Mama cek pesanan besok banyak apa enggak," ujar Soraya lantas beralih dari ruang makan menuju dapur, berbincang dengan Mbak Anas.
"Mama, Papa kapan kesininya?" tanya Ravel dengan sudut-sudut bibir yang agak kemerahan karena memakan puding buah naga.
Lyre meringis, memakai serbet lipat di meja untuk mengelap bibir sang anak. "Papa masih harus temani Opa berobat ke Singapura, masih beberapa hari lagi ke sininya."
"Tiga hari?" tanya Ravel.
"Bisa lebih," jawab Lyre, memperkirakan beberapa kepentingan dan agenda kerja suaminya juga.
"Tiga harinya dua kali? Jadi enam hari, iya?" tanya Ravel membuat Esa terkekeh.
"Ravel udah kangen Papa?" tanya Esa sambil mencondongkan tubuh ke arah keponakannya.
Ravel menggeleng, teralihkan sapaan salam yang terdengar dari ruang depan. "Opa dokter pulang ... Vel, mau turun."
Esa berdiri, membantu Ravel turun dari high chair, begitu menginjak lantai balita itu langsung berlari menuju sosok yang berjalan masuk dan semringah memeluk.
"Baru aja selesai makan itu, Pa ..." Lyre mengingatkan sebelum sang anak diangkat ke udara.
Esa menatap piring adiknya. "Kamu malah masih sisa gitu makannya."
"Enggak mood rasanya."
"Kangen juga sama Papanya Ravel?"
Lyre berdecak. "Apaan, enggak!"
Esa tertawa, enggan menggoda lebih lanjut. Ia membereskan piring bekas makannya dan piring bekas makan Ravel, membawanya ke dapur. Setelah itu, memastikan dua iguana peliharaan Lyre sudah aman di kandang masing-masing. Esa mengambil kantong khusus dari rak kebersihan, membereskan sisa makanan Raphael dan Rambo.
Iguana oranye mengangkat kepala saat Esa mengeluarkan sisa buah pepaya utuh yang tidak seberapa. "Gimana enggak gemuk, makanmu segini-segini terus."
"Jadi ingat, dulu Lyre bawa pulang, dua-duanya masih bisa dipegang pakai satu tangan aja ... sekarang udah ampun," kata Soraya yang menyusul ke belakang rumah.
"Anak perempuan lain, pelihara kucing, kura-kura, ayam warna-warni ... Lyre pilih iguana," ungkap Esa membuat ibunya tertawa, sama-sama teringat ketika dua reptil berwarna cerah ini dibawa ke rumah.
"Tapi untung Lyre pilih iguana, itu kucingnya Hera, anak komplek belakang baru berapa hari dulu udah kabur. Terus ini, kura-kuranya Belley Hong juga, ditinggal liburan tahun lalu, lupa enggak nyalain otomatis isi kolam, mana lagi panas-panasnya Jogja, ehh dehidrasi."
"Udah gede dong kura-kuranya?"
"Gede, dikuburnya di BongPay."
Esa menoleh sang ibu. "Hah? Ritual juga?"
"Iya, diumumkan pakai undangan digital, beneran kayak pemakaman orang."
Esa berusaha tidak tertawa, beberapa tetangga mereka memang teman sekolah Lyre dulu, sehingga para orang tua saling kenal dan cukup akrab. "Rambo sama Raphael sama sekali enggak pernah kabur, Ma?"
"Ya pernah, tapi untungnya tetangga 'kan tahu, sebelum kabur lebih jauh udah dilaporin ... Rambo tuh paling nakal, lapangan depan itu 'kan pernah area pinggiran dibudidaya anggur, ibu PKK pada rajin rawatnya gantian, baru banget berbuah banyak, gerombolnya juga gede-gede, pada nungguin waktu panen yang pas, eh Rambo kabur ke situ manjatin struktur bambunya, rubuh enggak jadi panen. Dia yang mukbang anggur."
Kali ini Esa tertawa. "Terus?"
"Papa akhirnya beli anggur buat dibagi warga, bener-bener ini Rambo. Bita juga pernah tuh, mau lotisan sambil nyantai sore di belakang situ, dia tinggal sebentar ngambil buku, si Rambo udah nyantai ngunyah buah potongnya di nampan, ampun."
Esa menyimak cerita sang ibu dan memastikan dugaannya. "Bita sering nginep sini, Ma?"
"Oh? Ng, ya ... iya lumayan sering."
"Masih suka nangis soal Tommy sampai kambuh sakitnya?"
Soraya terdiam sejenak lalu menggeleng. "Enggak, terakhir dia harus masuk ICU itu udah sekitar tiga tahun lalu, pengin tinggal sendiri di Jakarta tapi Inge enggak ngasih, berantem dan ngambek masuk kamar ... dikira seharian mengurung diri, ternyata udah keluar, jalan kaki ke tempatnya Thomas, hujan deras banget, pas disusul udah basah kuyup, batuk dan napasnya berat."
Esa bisa membayangkannya dan menyadari kesakitan yang mungkin Tsabitah rasakan, membuat dadanya terasa nyeri.
"Begitu sadar dia bilang; dulu waktu Mamas hobi camping, ikut mapala sampai naik gunung yang ekstrim juga dibolehin ... aku cuma mau tinggal di Jakarta enggak boleh, aku tuh sama dewasanya kayak Mamas!" Soraya agak meringis mengulang kalimat tersebut.
"Terus kok dibolehin akhirnya?" tanya Esa.
"Noella juga ikut tinggal di Jakarta, pilih unit apartemen yang berhadapan gitu, makanya agak tenang dan semakin ke sini, memang Bita membuktikan diri terus, kalau dia bisa dipercaya untuk mandiri."
Esa merapatkan bungkusan sisa makanan Rambo dan Raphael lalu menggeleng. "Rasanya lucu menempatkan karakter mandiri ke Bita."
"Papa dulu juga sempat enggak yakin, hahaha ... pernah Bita berangkat check-up sendiri, Papa dikabari suster kepala langsung nyusul buat menemani." Soraya tertawa karena anak sulungnya memberi tatapan tidak percaya. "Kalian itu sudah terlalu biasa dalam memanjakan, padahal Bita memang bisa mandiri, punya rutinitas normal layaknya perempuan dewasa lainnya."
Perempuan dewasa.
Esa mengutip dua kata itu dalam pikirannya dan berusaha tidak teringat momen kurang pantas yang sempat menimpanya. Ia memfokuskan pikiran pada kegiatan bersih-bersih lalu kembali memasuki rumah bersama sang ibu. Ini waktu berkumpul bersama keluarga.
***
"I am an adult now."
Esa menggelengkan kepala, berusaha bergeser hingga tubuhnya tertahan dan terjebak di sudut kursi belakang mobil. Tsabitah tersenyum, sepasang mata cokelat yang berbinar itu tampak antusias, berbanding terbalik dengan Esa yang menatap gugup.
"In case you forgot, I'm 27 this year." Tsabitah mengatakan itu sembari mendekatkan kepala, memasang senyum yang terlihat misterius kala sebelah matanya mengedip. "I am fully adult, for you."
"No!" sebut Esa dan sekali lagi menggeleng. "This is so wr—"
"This is right, I want it ..." sebut Tsabitah lirih dengan posisi tubuh yang kian condong dan merapat pada Esa. Wajah cantik gadis itu tepat berhadapan dengan Esa yang mendadak kesulitan bernapas. "I want you, Mas ... always you."
Tidak! Sebut Esa dalam hati karena mulutnya terbungkam ciuman dari bibir lembab, lembut, dan seketika memicu jenis dahaga yang tidak dipahaminya. Tubuhnya seakan berkhianat dari pikiran yang dipenuhi penolakan, tangan kirinya bergerak mendekap pinggang Tsabitah, menempatkan tubuh ringan yang familiar itu di pangkuan sebelum mereka melanjutkan eksplorasi.
"I want more," bisik Tsabitah di antara jeda bernapas, kedua tangan hangat gadis itu terangkat menangkup wajah Esa lantas bibirnya beralih menelusur ke pipi, rahang, hingga dagu.
"B ... Bi—"
"I can help you." Tsabitah kembali berbisik saat sejenak menjauhkan tubuh dan menurunkan kedua tangan, mengurai kancing-kancing kemeja yang Esa kenakan.
"No! Please ... no!" pinta Esa dengan panik saat jemari lentik itu beralih ke kancing celananya.
"Yes!" balas Tsabitah penuh semangat.
"No way!!!" teriak Esa sebelum tiba-tiba membuka mata, terbangun dengan tatapan bingung dan napas yang terjeda-jeda.
Ia memastikan kesadaran sekaligus situasi di sekitarnya. Tidak ada Tsabitah dan Esa sendirian di dalam kamarnya yang temaram, bukan kursi belakang mobil.
Ttok ... Ttok ...
"Mas Esa, kenapa? Barusan teriak, ya?" tanya Lyre dari kamar sebelah.
"I'm fine," jawab Esa cepat, setengah lega karena sebelum tidur menyempatkan mengunci pintu penghubung kamarnya dengan sang adik.
"Aku panggil Papa, ya?" tawar Lyre, ketara terdengar cemas.
"Aku beneran enggak apa-apa, Re."
"Ng ... may I—"
"Just go back to your sleep," sela Esa cepat.
Lyre menanggapi dengan suara tenang, "In case you need a help, I'm here, okay?"
"I know."
Esa memastikan adiknya berlalu dari pintu penghubung dan dirinya menghela napas panjang sebanyak tiga kali. Butir-butir keringat yang mengalir di kening membuatnya mengangkat tangan kiri dan menyekanya pelan.
Esa masih berusaha menenangkan diri sewaktu tersadar hawa panas di kamarnya seakan meningkat, tubuhnya juga mendadak begitu tegang. Ia menyibak selimut, menatap tidak percaya pada bukti nyata keadaan tubuhnya yang tidak biasa ini.
Damn you, Esh! Esa memaki dirinya sendiri.
"I am an adult now."
Kalimat itu, beserta perulangan adegan dalam mimpi yang benar-benar tidak pantas membuat Esa bergegas bangun dari tempat tidur. Sejenak langkahnya goyah karena tergesa, namun secepat mungkin Esa memasuki kamar mandi, berdiri di bawah shower dan menekan tombol pengaturan suhu air terdingin yang segera mengguyur tubuhnya.
What a stupid dream!!!
***
Lukito Kanantya cukup terkesiap saat telepon kamarnya berdering. Ia mengangkatnya dengan hati-hati, mengingat istri dan cucunya sudah tertidur pulas.
"Ya?" sahut Lukito.
"Pa, Mas Esa belum lama kayak kebangun dan teriak gitu ... pintu penghubungnya dikunci."
"Teriak?"
"Iya, bilang 'No, no way!' gitu."
Lukito segera memakai alas kakinya. "Papa ke atas sekarang."
"Okay."
Ayah dua anak itu berjalan pelan keluar dari kamar, lebih dulu mengambil kunci cadangan di ruang kerjanya dan pergi ke lantai dua.
Pintu kamar Esa ternyata tidak terkunci, sang ayah memasuki ruangan tanpa ragu, mendapati tempat tidur yang kosong dan dari arah kamar mandi terdengar suara guyuran air.
"Esa?" panggil Lukito sembari mendekat ke pintu kamar mandi. "Nak?"
"Papa?" sahut Esa dengan suara yang agak teredam.
"Kamu ngapain? Ini jam dua pagi, Nak."
"Aku tadi enggak mandi sebelum tidur, makanya gerah."
"Gerah?" tanya Lukito dan menyadari air conditioner memang tidak dinyalakan. "AC-nya kamu matiin ... eh, tapi memang enggak terasa panas ini kamar."
Esa tidak menanggapi, namun suara shower di kamar mandi terhenti. Lukito beralih ke dinding dekat nakas, mengambil remot AC, menyalakan dan mengatur suhunya agar ruangan terasa lebih sejuk.
Esa keluar dari kamar mandi lima menit kemudian, dengan sehelai handuk melilit di pinggang. Lukito Kanantya yang menunggu sejenak terkesiap, tubuh putra sulungnya sudah benar-benar pulih, bukan hanya secara bobot namun tampilannya juga layaknya pemuda dewasa dalam keadaan prima.
"Aku padahal udah bilang enggak apa-apa," sebut Esa, sengaja mengeraskan agar adiknya di kamar sebelah mendengar.
"Adikmu khawatir, apa kamu jatuh?"
Esa menggeleng. "Cuma kram sebentar."
"Tangan kamu?"
"Kaki, but I am fine." Esa meyakinkan seraya berjalan menuju lemari, mengambil piama baru.
Lukito mendekat. "Let me help with the button."
"Kancingnya emang kebuka," kata Esa dan dengan mudah menyampirkan kain atasan piama ke setengah bagian lengan kanannya.
"Mama melakukannya untuk kemudahanmu."
"Aku tahu."
Sejak Esa kembali, setiap pakaiannya dilipat rapi tanpa kancing yang dirapatkan. Celananya juga begitu, ristletingnya dibiarkan terbuka. Ia juga punya sarung instan, yang sudah membentuk lipatan rapi dan tinggal pakai tanpa perlu effort berarti. Alat cukurnya disesuaikan untuk pengguna kidal, setiap tutup botol tidak ada yang dipasang terlalu rapat, sampai setiap jenis furnitur yang jelas disesuaikan untuk seorang disabilitas.
Tidak ada sudut furnitur tajam, setiap penempatan barang penting ada di sisi kiri, quick dry bathroom, bidet khusus, sampai karpet, keset dan selop yang semuanya anti-slip. Belum ditambah segala pengaturan jendela-pintu otomatis dan jenis tempat tidur yang diganti, latex orthopedic mattress demi kenyamanan tubuh setiap malam.
"Is this make you—"
"This is too much," ungkap Esa setelah memasang kancing terakhir. "Tapi satu sisi, aku tahu semua ini demi memudahkanku ... terima kasih."
Lukito mengangguk. "Mama dan Bita sangat serius merenovasi kamar ini."
Esa menelan ludah. "Mama dan Bita?"
"Iya, mereka yang selama ini percaya bahwa kamu akan segera pulang ..." Lukito memperhatikan kamar putra sulungnya dan tersenyum. "I spent almost 50.000 USD for this room only."
"Hah?" sebut Esa, kaget.
Lukito mengangguk dan menatap putranya lekat. "It's worth to make you stay longer with us ..."
Esa jadi terdiam mendengarnya.
"No pressure about that," ungkap Lukito sebelum anaknya menarik diri. Ia sudah berulang kali diberi nasihat sekaligus peringatan agar tidak memaksakan keadaan. "Oke, kembalilah tidur dan ... oh, kamu mandi pakai air dingin?"
Lukito menyadari itu saat menepuk bahu Esa dan merasakan hawa lembab dingin yang menembus kain piama.
"Aku 'kan gerah, Pa," jawab Esa lantas beralih dan mengurai lipatan celana piamanya. "Aku harus pakai celana juga, so ..."
Sang ayah segera berjalan menuju pintu. "Jadwal check-up berikutnya, Papa akan menemanimu."
"No, thanks," tolak Esa.
"I insist, Son ... good night."
Esa memejamkan mata sejenjak begitu pintu tertutup. Ia menghela napas, kemudian memakai sisa bagian piama dan kembali berbaring di tempat tidur.
Esa mengambil ponsel di nakas lalu mengirimkan pesan ke kontak sang ayah.
Sangatta Lukesh
Good Night, Papa
thank you for checking me.
PAPA
👍🏻
***
realKagendra
Good morning from us.
gantian PAP dong
kangen muka bangun tidurnya istriku :)
“Dih,” sebut Lyre yang menerima kiriman foto dari suaminya.
“Kenapa?” tanya Esa.
Lukito yang mengaduk susu untuk sang putri ikut fokus memperhatikan.
“Papanya Ravel kirim foto,” kata Lyre dan menunjukkan layar komputer tabletnya.
“Bakar apa itu?” Esa langsung teralihkan, menilik foto yang Kagendra kirimkan cukup membuat penasaran.
“Enggak tahu.” Lyre juga sebenarnya penasaran dan segera mengetik balasan.
“PAP itu apa, Nak?” tanya Lukito yang sekilas membaca.
“Post a picture, kirim foto,” jawab Esa lalu melongok ke layar sang adik. “Ciyeeeee kangen muka bangun tidur istriku.”
“Cheesy banget ‘kan?” ucap Lyee sembari geleng kepala.
“Oh! Oh, kerjain sini,’’ kata Esa dan mengambil alih komputer tablet adiknya, membuka fitur kamera lalu mengarahkan pada sang ayah. “Papa, foto.”
Lukito menatap kamera sembari mengepalkan tinju. Esa terkekeh, segere mengirimkannya pada Kagendra.
Mademoisellyre
Pagi-pagi,
jangan ganggu putri saya!
Balasan Kagendra tiba sedetik kemudian.
realKagendra
🥺🙏🏻
“Mas Esa … ini jadi offline ‘kan!” gerutu Lyre yang segera mengambil alih komputer tabletnya lagi.
“Ciyeee marah,” canda Esa dan mencubit pipi adiknya. Lyre segera balas mencubit, namun Esa menghindar sambil tertawa meledek.
Lukito segera menengahi, mengingat putrinya perlu tetap tenang. “Sudah-sudah, Lyre minum susu dulu.”
“Kalian ini, contoh Ravel itu lho anteng,” kata Soraya, mendekat dengan sepiring brownies yang baru matang.
Ravel memang tenang dan itu karena fokus memperhatikan tayangan dokumenter tentang kawanan gajah Afrika.
“Ma, bilangin Papanya Ravel kalau tadi Mas Esa yang bales dan cuma bercanda aja…” pinta Lyre usai menandaskan setengah bagian susu dan sang ibu meletakkan brownies di meja makan.
“Esa jangan iseng makanya,” tegur Soraya, segera mencari ponselnya.
“Kagendra juga, begitu aja kena mental,” kekeh Esa meski segera duduk lagi di samping sang adik. “Eh, dia udah berani chat Papa belum?”
“Kemarin dia chat, selamat pagi,” jawab Lukito.
“Terus, Papa bales apa?” tanya Lyre.
“Papa kirim e-Journal of healthy Marriage and Parenting live, setelah itu dia enggak balas lagi sampai sekarang.”
Tawa Esa seketika meledak. Soraya geleng kepala sembari mengetik chat untuk menantunya. “Papa itu bukan lagi ngajar mahasiswa, ckckckkk …”
“Ya, ‘kan dia memang harus belajar,” kata Lukito dan merogoh ponselnya, memeriksa chat masuk lantas terkesiap. “Oh … ini …”
“Kenapa, Kagendra bales Papa? Dia bikin resume bacaan?” tanya Lyre, agak antusias.
Esa jadi tertawa melihat respon sang adik itu.
“Ini … soal perjodohan,” ungkap Lukito, segera duduk di kursi saking tidak menyangka.
Esa berhenti tertawa menjadi tidak habis pikir. Lyre memang potensial sekaligus menarik dan sudah sejak lama Raksa Arghadinata mencoba menjalin hubungan, namun situasinya sangat tidak tepat.
Lyre geleng kepala. "Papa jangan aneh-aneh deh. Aku udah punya suami! Anak juga dua!”
Esa yakin situasi pasti akan memanas lagi jika Kagendra mengetahui hal ini. Bahkan bisa jadi adik iparnya akan semakin meledak, membuat keributan besar.
“Om Tio bakal full pasang badan beneran ini, Pa … lagian Raksa juga, udah ditolak Lyre, masih aja segitunya,” sebut Esa dengan heran. “Kayak enggak ada perem—”
“Ini soal kamu, Nak,” ujar Lukito dengan tatapan terarah pada sang putra.
“Mas Esa?” Lyre memastikan.
Soraya yang sadar dari terkejut segera memeriksa ponsel suaminya. “Oh, ini Om Theo Ruslantama … bertanya, soal kemungkinan memulai proses perjodohan, Esa dan Bita.”
Lyre seketika memekik, memeluk sang kakak di sampingnya dengan gembira. Sementara Esa masih saling pandang bergantian dengan kedua orang tuanya.
What the . . .
“What a morning!” sebut Ravel yang sebenarnya menirukan siaran di televisi.
Lyre tertawa menoleh anaknya, ikut berujar takjub, “What a morning!”
Alias, pagi macam apa ini.
Esa benar-benar tidak habis pikir.
[]
❤️🩹
eaa yang mimpi basah akan segera menjadi nyata 😏
wkwkwkwkwkk
aku nulis bab ini sambil ketawa-ketiwi enggak jelas, kalian yang baca bagimana?
.
part depan Mas Esa meet up Little Bi, pffttt awkwardnya udah kerasa dari sekarang aja ~
Team on-going masih cemungudh?
nyalakan apinya dulu 🔥
.
.
.
KPB: Kompaknya Para Babi
Lyre: Grup enggak jelas, Bit, cuekin aja.
Desire: Grup sesat kayaknya, awas kalau macem-macem ya, Al!!!
Waffa: Enggak, Bby ... I love you 🥰
Desire: I love you too 😘
Kagendra: Re, aku juga enggak macam-macam lho. I love you ☺️
Lyre: Idih.
.
detik itu juga Esa tertawa sementara Kagendra bertanya-tanya, mengapa respon Lyre begitu berbeda :(
poor 🐷
.
see you, Sabtu ❤️
thank you
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top