[ 15. ]

Hai,
Udah nyoblos semua?
wakakakaka~

semoga tyda ada yang Golput yha.

.

2.425 kata untuk bab ini
lumayan lah yaa
selamat membaca

thank you so much

🍯

[ 15. ]

Sharga baru akan berpamitan bersama istri dan anak kembarnya kala seluruh perhatian keluarga Ruslantama teralihkan.

"Oh, mereka pulang," ujar Rika yang memperhatikan halaman rumah dari jendela besar ruang tamu.

Eyang Taher Ruslantama menepuk bahu putra sulungnya. "Kabeh kon mlebu sek, Yo!" [Semua diminta masuk dulu, Yo!]

Inge agak ragu dan memberi tahu lirih, "Menawi sayah, Pak." [Mungkin saja capek, Pak.]

"Petuk mbahne kok kesel, nek ora gelem mlebu ... Bapak sek metu." [Berjumpa dengan kakeknya kok capek, kalau enggak mau masuk ... Bapak yang keluar.]

Theo terkekeh, menenangkan ayahnya dengan beranjak dari duduk. "Bapak ngentosi mriki mawon." [Bapak, tunggu di sini saja.]

Sharga melirik sang istri yang merapikan kerah jaket Samudra, kemudian memandang ayahnya yang sedikit mengendik ke sudut ruangan. Sharga mengikuti sang ayah berpindah, mengambil jarak dari semua orang yang menantikan di ruang tamu.

"Ada apa, Pa?" tanya Sharga.

"Bukankah Kanantya itu yang berbesan dengan Arestio Pradipandya?" Sultan Daharyadika memastikan.

Sharga mengangguk. "Iya, adiknya Esa itu istrinya putra tunggal Arestio Pradipandya."

"Pradipandya Group punya sejarah kedekatan yang bagus dengan pemerintah pusat, dengan transisi kepemimpinan mereka, mendekati Kagendra seharusnya tidak sesulit mendekati ayahnya ... kamu harus membangun relasi yang lebih solid, pemilihan gubernur DKI tinggal—"

"Pa, itu sudah dipastikan yang akan maju Juwono Nur Rochman." Sharga mengingatkan dengan halus.

Sultan mengangguk. "Kamu harus menjadi wakilnya, karena itu pastikan show off pada KeTum Partai terkait modal kampanye sekaligus relasi dan koneksi yang solid."

"Tapi Pradipandya itu, sejak republik ini merdeka tidak pernah menunjukkan arah dukungan dalam pemilu ... mereka hanya terus beradaptasi dengan setiap pergantian pemeri—"

"Karena itulah, ini kesempatan untuk mengubahnya, kamu jangan lewatkan kesempatan ini ... mumpung ada unsur kedekatan keluarga, manfaatkan!" Sultan menatap sang anak lekat sekaligus serius.

Sharga akhirnya mengangguk, mereka kembali ke ruang tamu dan ikut menunggu saat Theo Ruslantama mempersilakan sosok-sosok ramah memasuki ruangan.

"Lho, Bita mana?" tanya Inge saat Lukito memasuki ruangan menggandeng Ravel.

"Ngumpulin nyawa katanya, pulas banget tidur di mobil," kata Lukito seraya mengarahkan cucunya untuk mulai bersalaman sekaligus memperkenalkan diri.

Wyna memastikan anak kembarnya bersikap manis, melayani perkenalan dengan Ravel dan ikut memperhatikan saat Esa membantu Tsabitah keluar dari mobil.

"Mas Esa, gendong ..." suara manja itu terdengar cukup jelas sampai membuat Inge Razi bergegas menuju pintu.

"Bita, ya ampun, Ravel aja jalan lho," protesnya pelan dan geleng-geleng kepala. "Esh, udah, jangan dimanjain ... makin-makin nanti manjanya itu."

"Bertahun-tahun enggak manjain, Nge, biarin aja ..." Soraya yang menyahut santai dan menyerahkan beberapa bawaan. "Yang ini isinya Thiwul Ayu, yang original buat Eyang, ada tulisannya."

"Pas banget, Mbak Yaya ... baru aja tadi mikir buat ngeteh sore bikin apa," sahut Rika yang bersalaman dengan Lyre.

"Makasih lho, Ya ... ayo masuk dulu." Inge kembali menatap sang putri lekat. "Jalan kamu, malu ada si kembar, Ravel juga di dalam."

"Iya, ih, Bunda bawel," keluh Tsabitah sembari berpegangan ke lengan kiri Esa, berjalan bersama menyusuri halaman. "Enggak perlu nervous, Eyang kangen Mas Esa sebesar aku."

Ucapan itu membuat Esa tersenyum simpul. "Kelihatan ya, nervous-nya?"

"Iya, Mas Esa 'kan diam aja kalau gugup." Tsabitah kemudian iseng bertanya. "Atau ini gugupnya karena di dalam ada Mbak Wyna? Eaa ..."

Kali ini Esa tertawa kecil. "Enggak, justru lega meski keadaan begini, Wyna tetap jadi sosok kakak perempu—"

"Aku enggak butuh role kakak perempuan sebagai inspirasi atau apa. Aku mandiri, bisa dandan sendiri, dress-up, mix and match, bahkan berbisnis sendiri." Tsabitah menyela lembut dan menempelkan pipinya ke lengan Esa. "Aku butuhnya Mas Esa aja."

"Kuota manja hari ini udah habis, ya," kata Esa mengingatkan dengan hal sederhana yang dulu bergantian dilakukannya bersama Thomas.

Dahulu mereka kerap membuat pengaturan waktu, kuota manja sekitar satu hingga dua jam dimana Tsabitah bebas meminta ditemani main, nonton kartun, atau jajan. Setelah kuota itu berakhir, Tsabitah harus mau belajar dengan serius, minimal membaca buku dengan sikap baik dan tenang.

Tsabitah tertawa, menanggapi dengan hitungan kuota tambahan yang memungkinkan, mengingat tahun-tahun yang berlalu tanpa pernah bermanja lagi pada Esa.

Wyna memutuskan untuk mengalihkan perhatian, fokus menyimak saat Eyang Taher menanyai Lyre terkait Ravel.

"Luki ora ngomong mantune londo." [Luki enggak bilang menantunya bule.]

Lyre meringis. "Gadho, Eyang ... sami Jawi, nanging Bapak morotuwo niku angsal Ibu saking Australia. Lajeng, Ibu morotuwo saking Amerika." [Campuran, Eyang ... sama Jawa, tetapi ayah mertua itu dapat ibu dari Australia. Lalu, ibu mertua dari Amerika.]

Ravel terlihat bingung namun ramah bersalaman dan mencium punggung tangan kakek tua yang berbincang dengan sang ibu.

Eyang Taher balas tersenyum, mengelus wajah Ravel lembut. "Dililang lileng kono kene yo ora ketok Jawane endi iki." [Diperhatikan dari sana ke sini juga enggak kelihatan Jawanya mana ini.]

"Jenenge, Pak," sahut Theo yang tertawa bersama Lukito. [Namanya, Pak.]

"Kharavela Arsyanendra Pradipandya," kata Lyre memberi tahu.

"Oalah," sebut Eyang Taher dan perlahan mengangkat Ravel ke pangkuannya. "Lho iyo, podo abote bocah karo jenenge." [Lho iya, sama beratnya anak ini dengan namanya.]

Ravel menoleh dengan raut penasaran. "Eyang ngomongnya apa, Vel enggak ngerti lho."

Suara tawa begitu saja memenuhi ruang tamu tersebut dan dengan berbagai sahutan bernada ramah ketika Esa bergabung, membuat Wyna perlahan mundur, terkesiap saat ternyata punggungnya tertahan sang suami.

"Mas ..." panggil Wyna lirih.

"Feels like outsider, ya?" sebut Sharga dengan gumam pelan dan memegangi tangan Wyna sebelum merendahkan kepala untuk berbisik, "But it's your job, mempertahankan koneksi yang menguntungkan bagi keluarga dan pekerjaanku ... we have to be close with Pradipandya's member."

Wyna tahu koneksi sebesar itu memang akan menguntungkan suaminya. "Aku tahu, tapi ini udah waktunya siap-siap pulang juga ... tinggal dua jam sebelum flight."

Sharga memeriksa jam tangannya dan mengangguk. "Well, you were right ... butuh kesempatan lain untuk mengusahakan hal ini."

Wyna mengangguk.

"Tapi itu bukan kesempatan nostalgia ya, Wyna." Sharga mengingatkan halus dan baru beralih untuk berpamitan.

***

Esa masih sedikit tidak percaya memperhatikan suasana di rumah Eyang Taher Ruslantama, segalanya terasa familiar. Dahulu, semasa mendiang kakeknya masih hidup, nyaris setiap akhir pekan Esa dan Thomas diantar ke rumah ini.

Kesibukan Lukito Kanantya di rumah sakit, kesibukan Theo Ruslantama dalam membangun bisnis, membuat dua kakek yang saat itu memulai masa pensiun sepakat untuk mengambil alih beberapa pendidikan penting bagi cucu lelakinya.

Esa ingat dirinya dan Thomas diajak bermain golf atau tenis, memancing, berkebun, ke bengkel, sampai pergi ke bank untuk membuka tabungan baru.

"Suatu saat kalian akan menjadi dokter, punya hal-hal besar untuk dikerjakan, tetapi bukan berarti harus mengabaikan hal-hal kecil ... lelaki harus menyukai kegiatan olahraga, harus bisa bersabar, tahu kualitas bahan makanan, mengerti perbaikan dasar pada kendaraan, dan paham kelola keuangan." Lutfan Kanantya menekankan itu bukan hanya pada Esa, tetapi cucu-cucunya yang lain juga.

Thomas dulu yang kerap malas mengikuti rutinitas dengan para kakek, terutama ketika diminta membersihkan kolam, membantu renovasi, mencuci mobil sampai mengecat ulang pagar rumah. Namun, begitu mendapati 'transfer apresiasi' setiap menyelesaikan pekerjaan, ada semangat tersendiri.

Esa ingat ada satu waktu Kakeknya dan Eyang Taher Ruslantama tidak memberi transfer apresiasi. Thomas menanyakan itu, setengah memintanya dan mereka diberi tahu, "Enggak semua uang yang kamu peroleh adalah milikmu, meski itu melalui usahamu."

Eyang Taher Ruslantama kemudian menunjukkan beberapa bungkusan makanan dan buku yang dibeli dari uang apresiasi. Mereka wajib mebagikan itu pada anak-anak jalanan.

"Kelak saat kalian punya uang yang lebih banyak, berbagilah dengan lebih banyak orang juga ... dan jangan pernah berpikir kalian kehilangan karena berbagi, put in your minds, this is for your own good."

Lelaki tua yang duduk di samping Theo Ruslantama itu memang lebih kurus, helai rambut putihnya juga tampak lebih tipis, namun senyum dan tatapan matanya terasa sama.

"Esh!"

Esa berusaha tidak menangis, tetap tersenyum karena Ravel ada di pangkuan Eyang Taher. Ia mendekat untuk bersalaman dan mencium tangan keriput yang sedikit gemetar.

Taher Ruslantama tersenyum memperhatikan prostetik canggih yang digenggamnya sesaat. "Iki oleh-olehanmu urip nang Jepang?" [Ini hasil yang kamu dapatkan karena hidup di Jepang?]

Esa mengangguk. "Eyang, sehat?"

"Sehat, senang, mlumpuk kabeh ngeneki ... ora kesusu le bali ..." [kumpul semua begini ... jangan terburu-buru pulang.]

Sharga menyahut pelan, "Kalau kami harus buru-buru, Eyang ... ngejar pesawat."

"Oh, iya, walah cepet men." [cepat sekali.]

Esa bergeser sembari mendekap Ravel, membawanya beralih ke sofa paling ujung agar Sharga, Wyna dan si kembar bisa mulai berpamitan dengan Eyang Taher.

"Halo, Om Esa," sapa Sandrina ramah.

"Halo," ujar Esa dan tersenyum memperhatikan Samudra gantian menyalaminya. "Hati-hati di jalan, ya."

"Ini Om Esa beneran tangannya ilang? Makanya ganti ginian?" tanya Samudra.

"Sammy ..." tegur Wyna pelan.

Ravel yang kemudian berseru, "Ini itu namanya bionic.arm, porostik yang udah jadi tangannya Om Esa juga."

"Iya, ya dan prostetiknya keren banget ya, Vel," sahut Tsabitah, ikut berkoalisi memberi penjelasan.

"Iya! Udah bisa buat cabut ubannya Oma Yaya," ungkap Ravel membuat semua orang kembali tertawa.

Esa memperhatikan Samudra yang tetap memberi pandangan tidak yakin. "Om Esa pernah kecelakaan makanya tangannya ganti prostetik, but it's okay, I feel cool."

"Iya, tapi bagus kalau kayak Bucky Barnes itu ... bisa jadi tameng," ujar Samudra lalu menatap Ravel. "Kamu kelas berapa?"

"Grade 4A, nomer absennya delapan, class teachernya Mr. Miguel sama Miss Yuna."

"Kamu masih kecil masa udah kelas empat?" tanya Sandrina heran.

"Preschool di sekolah Ravel kelasnya berdasarkan umur ... beda dengan kelas untuk elementary seperti kalian," kata Tsabitah dan mengulurkan tangan. "Sini buruan salim, nanti enggak dikirim puzzle lagi lho ..."

"Jangaaaaaaan," seru si kembar yang segera berebut tangan kanan Tsabitah.

Wyna hendak gantian menyalami Esa namun ketika mendekat dan mengulurkan tangan, mantan tunangannya membalas dengan mengangkat tangan kanan Ravel, membuat Wyna menyalami tangan balita itu.

"Hati-hati pulangnya, Tante Wyna," ucap Ravel ramah.

Wyna mengangguk, balas tersenyum singkat dan segera berlalu usai melepas jabatan tangan. Sharga jadi orang terakhir yang terakhir menyalami Esa.

"Waktu di airport belum sempat kenalan ya," ujar Sharga saat mengulurkan tangan. "Sharga Daharyadika."

Esa menyalaminya. "Panggil Esa saja."

"Looks cool and stabble." Sharga menjabat tangan Esa dan sedikit mengguncangnya.

"Ya, thanks," balas Esa singkat dan melepas jabatan tangannya.

"Bisa jadi dalam beberapa tahun ke depan ada versi untuk tangan dokter gitu, ya?" tanya Sharga yang seketika membuat obrolan para orang tua terhenti. "Jangan sampai, iya 'kan titel dokter lintas generasi terhenti di kamu."

Tsabitah begitu saja menyahut, "Family isn't about title only."

"Also Kanantya isn't about my brother only," imbuh Lyre, nada suaranya santai meski tatapannya serius.

Wyna sadar Sharga salah bicara. Ia meraih lengan sang suami, mengalihkan perhatian seraya mengulas senyum simpul. "Mas, ditungguin anak-anak tuh ..."

Rika Ruslantama juga beranjak dari duduk, menggandeng suaminya untuk membuntuti. "Udah dicek semua ya, jaket atau mainan si kembar enggak ada yang ketinggal?"

"Iya, aman kok, Ma," ujar Wyna lalu mengangguk simpul ke arah tempat duduk. "Pamit nggih, Eyang."

"Ya, hati-hati ..." ungkap Eyang Taher dan bertanya-tanya lagi tentang profil suami Lyre.

Esa memberi tatapan datar kala Wyna dan Sharga sekali lagi menolehnya. Ia masih tidak mengindahkan situasi, hingga menyadari Tsabitah sengaja melengos saat hendak dipamiti Sharga. Gadis itu justru mengulurkan tangan pada Ravel.

"Vel, mau lihat diorama purba enggak? Tante punya yang evolution dan telur dinosaursnya bisa menyala lho."

"Mau!"

Tsabitah meraih tangan balita itu, membantunya turun dari pangkuan Esa. "Mas Esa bantuin, agak gede dioramanya, harus setting kabel juga."

"Oh, di mana?" tanya Esa yang ikut beranjak.

"Di belakang, Ravel jalan duluan, coba ikutin arah keramik yang batik di tengah," jawab Tsabitah, tersenyum karena Ravel sigap memperhatikan jalan.

Tsabitah berjalan pelan menunggu lelaki dewasa di samping kanannya mensejajarkan langkah, lalu ia meraih tangan kiri yang berayun tenang.

Esa tersenyum, paham maksud dukungan sederhana yang coba disampaikan. "Thank you, Little Bi."

Tsabitah menanggapi dengan mengeratkan genggaman tangan mereka. Siapa pun itu, tidak ada lagi yang boleh menyinggung atau melukai perasaan seseorang paling berharga di hidupnya.

***

Taher Ruslantama melepas kacamata bacanya perlahan. Buku terbuka di pangkuannya sudah mengabur, bukan hanya mata tuanya yang lelah, namun pikirannya semakin tidak fokus. Ia menghela napas panjang, beranjak dari kursi bacanya untuk mengembalikan buku.

Usai menempatkan buku, langkahnya bergeser ke pigura yang ikut terpajang di rak. Foto di dalamnya sudah berusia hampir tiga dekade. Tamara Annawati-Ruslantama, mendiang istrinya, yang dahulu mengambilkan foto itu. Foto Lutfan Kanantya memangku Esa bersama dirinya yang memangku Thomas. Kedua anak lelaki itu masih mengenakan seragam SD yang sama.

Taher Ruslantama mengangkat tangannya, meski telunjuknya sedikit gemetar kala mengelus wajah cucunya.

"Eyang ... pernah merasa sebel gitu enggak karena Esa lebih pintar dari aku, terus dia semakin potensial aja jadi calon dokter. The next Opa Lutfan gitu kata orang."

"Ngapain sebel, wong Esa juga cucu eyang, hahaha ... Tom, bagi Eyang sama Opa itu, kamu dan Esa ujung tombak dua keluarga, meneruskan apa-apa yang kami tinggalkan dan harapannya, kalian saling melengkapi ... Esa kelak punya rumah sakitnya sendiri, kamu besarkan itu klinik Ayah-Bundamu, jadi sepadan dan tolonglah lebih banyak orang."

Kenangan singkat itu membuat Taher Ruslantama menghela napas lebih dalam. Ia hendak kembali ke kamarnya saat mendapati pintu ruang baca terbuka.

"Tuh 'kan, udah aku tebak, ada di sini," ucap Tsabitah, berjalan masuk dengan selimut batik terlipat di lengannya.

"Baru selesai baca buku," ujar Eyang Taher meski segera melangkah pelan, menuju pintu penghubung ke kamarnya.

Tsabitah membuntuti. "Seru bukunya?"

"Lumayan, Tantemu belikan buku yang lumayan tebal, hahaha ... tapi hurufnya itu lho, kayak kabur kalau kelamaan dibaca."

"Bunda udah bilang lho, Eyang kayaknya harus ganti kacamata, udah cek belum?"

Eyang Taher menggeleng. "Enggak usah, paling cuma dipakai sebentar aja."

Tsabitah hampir menghentikan langkah mendengarnya. Sang Kakek memang sudah berada di usia yang sangat senja, bahkan menjadi orang tertua di wilayah kampung ini. Namun, dirinya tahu, Taher Pramodya Ruslantama masih sangat sehat.

Tsabitah menunggu kakeknya duduk di pinggiran tempat tidur. Ia menempatkan lipatan selimut ke dekat bantal dan memberi tahu, "Eyang harus ganti kacamata, beneran deh."

"Ck! Itu cuma—"

"Biar jelas nanti lihat Bita waktu menikah, semirip apa sama Eyang Putri dulu," sela Tsabitah.

Kakeknya segera menatap lekat. "Eyang sudah bilang Tantemu, Ayahmu juga itu, jangan ngawur kalau bikin rencana perjodohan ... Arghadinata bukan—"

"Mas Esa," sebut Tsabitah cepat. Ia segera duduk di samping kanan sang kakek, meraih tangan renta yang hingga kini masih terpasang cincin kawin perak. "Eyang, makanya bantuin Bita ... biar bisa perjodohan sama Mas Esa."

"Esa?" tanya Taher Ruslantama, mata tuanya mengerjap cepat. Ini benar-benar hal yang tidak pernah diduganya.

Tsabitah mengangguk. "Dulu sebelum aku lahir, eyang putri pernah bilang 'kan seandainya Ruslantama bisa berbesan dengan Kanantya."

"Ya, tapi itu dulu maksudnya ..."

"Iya, maksudnya Mamas sama Mbak Re, tapi 'kan udah enggak mungkin." Tsabitah mengangguk yakin. "Yang mungkin tinggal aku sama Mas Esa aja, iya 'kan, Eyang?"

Taher Ruslantama terdiam, mengingat semangat serta harapan mendiang istrinya dulu. Semangat yang kini terasa ada di diri cucu tersayangnya.

"Tapi, Bita, apakah kamu benar-benar ingin ... ng, maksud Eyang, apakah kamu yakin?"

"A hundred percent, Eyang." Tsabitah tersenyum sendu. "Dan kalau bukan sekarang, bisa jadi Mas Esa pergi lagi ... dua keluarga akan terus merasakan kehilangan."

Kehilangan.
Taher Ruslantama merenungi hal itu sejak kematian sang istri, semakin merenung kala cucunya berpulang secara tiba-tiba. Melihat Esa hadir di tengah keluarganya lagi, membuat dirinya tidak mau merasakan kehilangan itu lagi.

"Eyang harus bantu apa?"

Tsabitah lebih dulu memeluk kakeknya dari samping, senang bukan kepalang dengan kerja sama ini. Strategi keduanya siap dilaksanakan.

[]

❤️‍🩹

Paling bisa emang, lobi-lobi berkualitas, si Bita ini, ck ~

bisakah kalian menebak strategi kedua Tsabitah ft. Eyang-nya?
Hahahaha

.

Q&A Reputation

Q: Tahu sih ini ceritanya Esa sama Bita, tapi aku kangennya Kagendra.
A: Wah, bahaya 😭🙏🏻

Q: Bisa enggak skip moment dan langsung ke kawinan aja?
A: Ya ngana bacanya nanti saja kalau begitu, wakakakaka sabar guys, gregetnya ujian sebelum pernikahan itu uwaw sekali lho.

aku 'kan perlu nyiksa tokoh utamanya juga, lho lho lho lho

wkwkwkabur



.




















.



















scroll lagi




















⬇️





















spoiler scene

indikasi awal: Mas Bionic tester mulai ketularan duo babi :)

.

Ga papa Ga papa gundulmu, Esh!
remok iki akuu~
😭😭😭😭😭

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top