[ 10. ]


Aloha,
Siapa yang dari Karya Karsa langsung cuss ke sini? Ngakuuuu~

wakakakaka aku bonusin nih.

.

2.030 kata untuk Bab ini
selamat membaca

&

terima kasih banyak~

🍯

[ 10. ]

"Udah otw katanya tadi, Bun?" Theo Ruslantama memastikan pada sang istri.

"Iya, phone track juga udah nyala, haduh benar-benar deh Bita ini."

Theo menerima uluran ponsel dari sang istri, melihat peta digital yang menampilkan koordinat lokasi Tsabitah, terlihat melaju mendekat ke rumah mereka. "Aku kira kemarin dia makan siang sama Dana itu diantar Bunda lho."

"Anaknya enggak mau, katanya udah gede, bisa handle kenalan ... enggak tahunya malah bablas ke Jakarta segala. Ampun-ampun," keluh Inge, sebaik mungkin menenangkan dirinya.

"Harusnya Pak Aji enggak nyopirin aku sama Bapak ya, Mas ... bikin Bita naik taksi terus jadi kemana-mana gitu," ujar Rika Ruslantama yang sejak pagi sudah bertamu di rumah kakaknya itu.

"Enggak, Rik, bukan salahmu, memang Bita ini kadang ada aja kejutannya," kata Theo dan mengembalikan ponsel sang istri. "Kabarin Yaya, Bun."

"Udah, Yaya juga udah telepon, langsung diangkat sama Bita." Inge Razi benar-benar tidak habis pikir terhadap putrinya. "Bunda telepon diresponnya pakai chat, giliran Mama Yaya-nya langsung diangkat, langsung nurut disuruh pulang juga, ampun!"

Rika berusaha menahan tawa. "Saking kecilnya keseringan dititip ke Kanantya ya, sampai sekarang kebawa terus, mbok-mbokan kalau istilah jawanya."

Inge Razi mengangguk, tatkala memiliki Tsabitah keadaan RUBY belum stabil. Dirinya dan suami kelewat fokus dalam mengembangkannya, bekerja nyaris dua belas jam sehari dan membuat Tsabitah kecil ada dalam asuhan Soraya Baiharni yang kala itu sudah fulltime ibu rumah tangga. Dahulu, rumah mereka juga berhadapan, benar-benar saling bergantung satu sama lain terkait pengurusan anak.

"Mbak Yaya masih laris aja ya usaha pudingnya, oleh-oleh ke Jakarta sebenarnya pengin puding karamel ... eh, waiting list tiga bulan."

"Iya, puasa sama lebaran juga mau close order, Lyre lama di rumah katanya," kata Inge.

Rika menyipitkan mata, penasaran. "Eh, itu jadinya cerai enggak? Beritanya langsung ilang begitu aja, ngeri deh."

Theo menggeleng. "Enggak cerai, tapi ya tinggal terpisah sementara. Luki cerita kalau Lyre memang enggak dilepas sama besannya. Kalau nekat gugatan cerai juga, ancaman Pradipandya lebih nekat, rebutan hak asuh anak sekalian."

"Astaga, anaknya masih balita 'kan wajar diasuh ibunya," ujar Rika.

Inge geleng kepala. "Kata Yaya, dalam prenup-nya Lyre hak asuh anak di suami, makanya kacau banget ... ditambah Lyre hamil anak kedua, kondisi pemulihannya harus diprioritaskan juga."

"Iya, makanya Luki memilih damai juga, daripada makin ngotot, makin runyam dan hancur semuanya," imbuh Theo dengan raut pemahaman.

"Padahal Mas Luki itu tegas banget ya dari dulu, kaku dan serius ... kalau udah bikin keputusan A ya harus jalan A." Rika Ruslantama cukup takjub dengan sikap damai yang dipilih. "Masalah yang dulu juga, sampai Esa memilih pergi juga tetap kukuh membersihkan nama baik. Lyre pergi juga terkesan dibiarkan aja."

Inge merasakan sedikit rasa nyeri di dadanya jika mengingat masa lalu. "Haduh, serba salah memang kalau ngomongin yang dulu ... mana Ayah, Ibu sama Mas Indra juga enggak mau kalah, Irhan ikut emosi. Kita di sini fokusnya Bita sama Bapak yang drop."

Theo bergeser ke sisi sang istri, merangkul dan mengelus-elus ke bahu.

"Aku rasanya masih kayak mau nangis setiap ingat Yaya malam-malam ngabarin Esa kecelakaan, langsung kritis sampai harus diterbangkan ke Jakarta dan saat pulang ternyata lengan kanannya enggak bisa diselamatkan." Inge begitu saja terisak sampai sang suami harus memeluknya. "Aku ingat ibu waktu itu justru ngomong rasain, kena karma dan sebagainya ... tapi Yaya tetap minta maaf. Yaya bilang dia enggak apa-apa, Esa juga nanti sembuh, yang penting Bita jangan sampai tahu."

"Pas akhirnya ketahuan Bita, dia langsung anfal parah. Esa juga drop banget ... baru semuanya mau berhenti," kenang Rika dan geleng kepala. "Amit-amit ah, jangan sampai ada kejadian sekalut itu lagi."

"Iyalah, Rik, Bapak pasti makin sakit juga kalau Bita kenapa-napa," ujar Theo sembari terus menenangkan sang istri.

"Soal Bapak, Mas ... katanya enggak senang tuh Bita mau dijodohin sama Pradana. Katanya Bayu Arghadinata iku kemaruk, anake yo ngono."

Inge menghela napas pendek. "Pradana sebenarnya juga kelihatan ambisius, tapi dia kelihatannya bisa diharapkan untuk RUBY, Rik ... Bita kalau diminta pindah jalur juga kasihan, pasti terbebani sekali."

"RUBY belum bisa autopilot emangnya, Mas?" tanya Rika dengan penasaran.

"Bisa dibilang belum lolos dari krisis investor ... karena skema selama ini 'kan kolaborasi terus. Kami juga khawatir kalau mau berbagi porsi pengelolaan RUBY, nanti ada intervensi produk atau perubahan brand."

Inge menegarkan dirinya. "Kadang aku sama Mas Theo itu sampai ngayal, Rik ... seandainya tiba-tiba aja ketiban rejeki, undian apa kek dua puluh lima em gitu."

Rika Ruslantama tertawa. "Lumayan ya, Mbak ... minimal bisa renovasi semua cabang, nambah alat dan nambah tim promosi kayak Bita bilang."

"Itu tuh!" kata Inge.

Theo mengecup pelipis istrinya sekilas. "Kita dulu mulai dari nol, sekarang masih naik-turun itu wajar ... tetap progress, yang penting enggak balik ke nol lagi."

"Apa aku bilang ke Mas Sult—"

"Enggak, enggak, ya ampun, Rik." Inge segera menggeleng cepat dan serius menolak. "Ini masalah kami, kamu yang bahagia-bahagia aja."

Theo setuju dengan sang istri. "Iya, paling kalau aku sama Inge balik nol, minta tolong soal Bapak sama Bita aja."

Rika tersenyum semringah. "Anything buat si anak baik itu."

"Oh, ini Bita udah deket, Ayah." Inge menunjukkan layar ponselnya lagi.

Rika memeriksa chat yang masuk ke ponselnya. "Lha, ini Sharga sama Wyna juga ngabarin udah masuk komplek ... kompak banget barengan."

"Tunggu depan yuk," ajak Theo pada adik dan istrinya.

Inge lebih dulu memastikan situasi, "Aku tetap harus tegur Bita dulu ya, Ayah jangan keburu bela-belain."

"Yang penting anaknya baik-baik aja, Nge ... kalau capek juga biar istirahat, jangan malah diomelin."

"Nih 'kan, Ayah belain Bita terus."

Rika terkekeh memperhatikan kakak dan kakak iparnya berunding dalam menangani situasi dengan Tsabitah. Ia mendahului keluar rumah, meminta sopir untuk menggeser gerbang ketika mobil Sharga terlihat dan berbelok masuk. Tidak lama setelahnya, ada taksi online berwarna perak yang ikut menepi.

Rika terkesiap sebagaimana anak tiri dan menantunya yang baru keluar dari mobil. Pasalnya, saat sopir taksi keluar untuk membuka pintu penumpang belakang, terlihat Tsabitah pulas bersandar di bahu Esa Kanantya.

***

"Mas, bantuin ya, biar enggak dimarahin Bunda ..." ujar Tsabitah dengan penuh harap.

"Bantuin ..." sebut Esa dan segera geleng kepala begitu sadar bantuan macam apa yang dimaksud. "You're not ten anymore."

Tsabitah sejenak terkikik. "Pokoknya pastikan aku sama Ayah, jangan sampai Bunda duluan yang deketin, susah nahan ketawanya."

"Kamu pikir Bunda enggak tahu?"

"Pokoknya asal aku sama Ayah, udah aman." Tsabitah kemudian mengatur napas, segera merebahkan kepala ke bahu Esa, berpura-pura membuat suara dengkuran.

"It sounds really fake," ucap Esa dengan jujur.

"Ssttt ..." desis Tsabitah seraya berkonsentrasi penuh agar akting tidurnya bisa lebih meyakinkan. Ia juga perlu sebaik mungkin menenangkan debaran jantungnya, jangan sampai jam tangan pintarnya kembali berbunyi karena deteksi lonjakan detak jantung.

Esa menghela napas pendek, memperhatikan kendaraan yang mendahului masuk ke area perumahan. "Pak, maaf, nanti minta tolong dibukakan pintu samping ya."

"Siap, Mas ..."

Esa mengangguk, perhatiannya kembali terarah pada kendaraan yang berbelok ke gerbang rumah keluarga Ruslantama yang terbuka lebar. Ia kemudian mendapati sosok familiar menyapa pasangan yang baru keluar dari mobil tersebut. Sharga Daharyadika dan Edwyna Hagne.

"Pokoknya Ayah dulu," bisik Tsabitah yang begitu saja menyadarkan Esa.

"Iya ... kamu juga yang konsisten napas tidurnya." Esa memberi tahu dengan ikut berbisik. "Small breath in, small breath out."

Tsabitah mempraktikannya sembari menunggu taksi sepenuhnya berhenti dan sopir keluar untuk membukakan pintu.

Esa memastikan suaranya tidak terdengar ragu atau gemetar saat meminta tolong. "Siang, Tante Rika ... bisa minta tolong panggil Om Theo? Bita tidur."

"Oh ... oh, iya, tunggu ... Mass ..."

Esa mendapati Sharga melangkah mendekat ke pintu penumpang yang sudah terbuka.

"Kalau soal bawa Bita masuk rumah, aku aja bisa," kata Sharga yang kemudian setengah membungkuk.

Tsabitah langsung memegangi bagian depan kaus Esa, secara tersirat memberi tahu bahwa dia tidak mau.

"Bita maunya sama Om Theo," kata Esa, menahan tangan yang terulur ke arah gadis di sampingnya.

"What?" tanya Sharga dengan bingung.

"Oh, jangan Sharga, biar sama Om saja ..." panggil Theo Ruslantama yang bergegas mendekat, membuat Sharga mundur untuk memberi jalan.

Ini pertama kali Esa bertatapan lagi dengan ayah sahabatnya. Theorama Ruslantama merupakan gambaran bagaimana Thomas akan menua dan kesadaran itu membuat Esa sejenak mematung.

"Lukesh!" sebut Theo dengan wajah gembira sekaligus lega. "Wah, kejutan hebat ini ... Alhamdulillah, pulang juga kamu, ya."

Esa mengusahakan senyum kecil, perlahan melepas pegangan tangan Tsabitah dari bagian depan kaus. "She ask a help."

"Sssttt ..." desis Tsabitah membuat ayahnya sulit menahan tawa.

"Hahaha, tahu aja Bundanya siap ngomel ..." Theo berujar dengan maklum saat mendekap tubuh sang putri, membopongnya keluar dari taksi.

Esa ikut keluar untuk memastikan barang bawaan Tsabitah sudah diantar dekat teras rumah. "Pak, tunggu sebentar ya, setelah ini antar saya ke alamat Palagan tadi."

Sopir mengerjapkan mata. "Lha? Balik ke sana lagi?"

"Iya, tolong tunggu sebentar," pinta Esa lalu mengambil botol minum berisi air yang tersisa.

"Wyna masuk," kata Sharga saat Esa berjalan ke teras rumah. Wyna menurut dengan langsung berlalu pergi.

"Esa juga, masuk yuk," ajak Rika dengan senyum, membuat anak tirinya memasang wajah datar yang jelas menunjukkan keberatan.

Esa menggeleng, menyerahkan botol minum di tangannya. "Bita bilang waktu sarapan udah minum sekitar seratus mili, tadi ini sekitar dua ratus mili ..."

Rika menerimanya dan agak takjub. "Oh, iya, ya ampun kamu masih teliti banget ... ayo, masuk, Esh."

"Eng, saya tinggal Lyre sama Mbak Anas aja di rumah, jadi harus segera pulang juga," kata Esa lalu menatap Inge Razi yang tampak terharu dan bergegas keluar untuk memeluknya.

"Ya ampun, Bita pasti ngerepotin kamu, astaga anak itu ..." isak Inge atas luapan perasaan yang sulit dijelaskannya saat menatap Esa.

"Enggak kok, Bita bilang kabarnya baik, itu melegakan saya."

Inge mengangguk, mengurai pelukan dan berusaha tidak menangis saat kembali menatap Esa. "Kalau kabar kamu gimana? Ayo masuk dulu ..."

"Lain kali aja mampirnya, ini enggak pamit Mama dan di rumah cuma ada Lyre sama Mbak Anas." Esa kemudian mundur selangkah, memastikan pikiran sekaligus kesadarannya cukup stabil. "Maaf karena sa—"

"Sshhh ..." sela Inge dan berusaha tetap mencairkan keadaan. "Bunda beneran tagih pokoknya, lain kali Esa mampir beneran ke sini."

Esa mengangguk kemudian setengah membungkuk untuk mencium tangan Inge dan sebelum semakin sulit untuk menahan kesedihan, ia segera pamit. "Saya pulang dulu."

"Iya, hati-hati ya," pesan Inge dengan tulus.

Esa kembali mengangguk, bergegas mendekati taksi dan memasukinya. Ia sengaja tidak menurunkan jendela samping, setenang mungkin mengendalikan gejolak emosi dan kesedihan yang mendadak memenuhi benaknya lagi.

***

"Apa maksudnya tadi itu?" tanya Sharga saat ibu tirinya berjalan masuk ke ruang tamu dengan sebotol air mineral dari Esa. "Kenapa ngomong soal minumnya Bita?"

"Orang yang lemah jantung enggak boleh kelebihan cairan, Mas," kata Wyna, sedikit banyak tahu karena menyimak Esa dulu.

Rika mengangguk. "Iya, Bita itu toleransinya sekitar 1.100 CC per hari."

Inge menimbrungi dengan suara yang agak serak, "Esa dari dulu memang suka begitu, kalau habis ajak Bita jalan-jalan atau keluar, pasti bilang Bita makan apa, minum berapa banyak. Supaya yang di rumah juga notice sisa kebutuhan airnya."

"Ooh ... Bita baik-baik aja, Tan?" tanya Sharga.

"Biasa itu, dia kira Tante enggak hafal akal-akalannya ... oh, kalian mau minum teh?"

"Boleh," jawab Wyna.

"Tunggu ya ... Rik tolong, tasnya Bita dibawakan ke atas ya."

"Oke, Mbak."

Begitu ditinggalkan berdua di ruang tamu, Sharga menyandarkan tubuh dan menarik pinggang Wyna agar ikut bersandar bersamanya.

"Mas ..." ujar Wyna, enggan terlalu menempel saat bertamu di rumah orang lain.

Sharga memperhatikan wajah sang istri dan berujar pelan, "Tadi, kamu bengong lihat orang itu."

"Karena aku enggak menyangka, dia akan antar Bita pulang," jawab Wyna dengan suara yang sama pelannya.

"Bukannya dulu juga selalu begitu ... kamu bukan prioritas pertamanya makanya cari-cari hiburan dan—"

"Mas," sela Wyna cepat.

Sharga mengangkat tangannya, menyentuh dagu sang istri dan mengelusnya pelan. "Aku enggak merasa memenangkan apa pun darimu, kalau tatapanmu masih kayak gitu setiap lihat dia."

"Aku enggak—"

"Di depannya kamu bisa berlagak innocent, di depanku, kamu sama sekali enggak selugu itu." Sharga semakin merendahkan suaranya kala melanjutkan kalimat, "Perhatikan sikapmu dengan baik. I'm not an option anymore."

[]

❤️‍🩹


Mba Wyna kalau capek sama insecurity swamiknya jangan lantas mencoba mengenang masa yang telah lalu yha, Mas Esa udah ditandai pakai stabilo ijo neon sama Dedek Bita, pfftt ~

.

Dunia permantanan memangs mendebarkan, tapi sungguh Mas Esa siap bingit untuk move on ... bersama daku ~~~

Asha-Esa Jaya 🔥


.







scroll lagi ya







⬇️

*spoiler chat gemec masa depan


btw aku iri, aku bilang 😭😭

MAAAAA, MAU MAS ESA SATU
ATUHLAH JEBAAAAL~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top