Aku sekali lagi meneguk saliva. Tidak bisa berhenti-hentinya cemas pada apa yang akan terjadi. Layar komputer Kak Aysa menampilkan sederet informasi lebih mudah dimengerti, sedangkan milik Kak Aes sekejap saja membuatku balik ke kursi SD lagi.
Angka, foto ..., semua coret-coretan dalam bukunya tidak bisa kumengerti. Coretan yang telah dirapihkan di laptop, yang nantinya akan disebar ke seluruh medsos untuk menjadi barang bukti. Segala informasi bukan hanya dari penelitian Kak Aes, melainkan pula informasi dari duo bapak-bapak bau duit di belakang kami saat ini. Awas memperhatikan kinerja rekannya.
Aku berbalik dan berjalan mondar-mandir sambil memperhatikan ponsel. Membaca unggahan terbaru Kak Saymay, juga komentar yang dalam sekejap langsung ratusan itu.
Gadis berhijab itu berbalik, secara tak langsung beradu pandang denganku. "Bagaimana? Apa sudah selesai dengan begini?"
Pak Nate memandang lurus ke laptop Saymay, lantas ke Kak Aes. "Bagaimana menurutmu?"
"Belum."
Satu kata itu bagai bom juga air dingin, membuat orang di ruangan ini sontak melirik satu sama lain.
"Apanya yang kurang? Aku berhasil mendapatkan serum." Itu Zee, gadis yang sering memeluk tangan Pak Anas.
"Bukan itu saja." Kak Aes memutar kursi, menghadap kami semua kecuali Kak Aysa di sampingnya. "Rencananya nggak bakal sempurna. Bener-bener kurang. Apa menurut kalian kita harus nyebarin bukti ini ke internet sekarang? Atau besok aja? Karena kalaupun protes pad mau divaksin, mereka jg pasti ada penjagaannya sendiri. Tetep bakal ada korban kalau rencananya masih kayak yang awal."
"Kalau gitu sebarin aja?" timpal Zee, alisnya naik penuh pertimbangan dan pertanyaan.
Aku mengembuskan napas gusar. Memegang tengkuk, berpikir. "Rasanya ada yang aneh," ucapku tiba-tiba. Jeda, mereka menunggu. "Seperti terlalu mudah?"
Wajah Zee tertekuk tidak terima. "Kamu pikir ngambil serum itu mudah?! Aku nyaris---"
"Bukan. Seharusnya pasti mereka tau kita ngerencanain sesuatu. Nggak mungkin semudah ini, walaupun ada hambatan sekecil apapun itu yang pasti bisa kita lewati."
"Bukannya harusnya bersyukur kita bisa melewatinya?"
"Bener kata Desta, ini aneh." Kami sontak berpaling ke Kak Aes. Ekspresi wajahnya tampak keras dan saat kuedarkan pandangan, ternyata bukan hanya dia saja. "Sebagai orang yang pernah mengabaikan perasaan aneh ini dan akhirnya gagal, aku tidak bisa melakukan rencana."
Desahan panjang keluar dari Zee. Dia melepas pegangannya dari Pak Anas, yang serta-merta merasa lega. "Pergantian rencana?"
"Bukan, penambahan rencana." Kak Saymay memutar kursi dan mengetik sesuatu. Layar menunjukkan galeri, sedetik kemudian beralih ke Instagram.
"Kak Aysa mau upload bukti?" tanyaku spontan.
Dari samping, gadis cantik itu terlihat tersenyum miring. "Ini lebih baik daripada bukti."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top