21》Menemukanmu
"Aku menemukanmu," kata Ukaysha matanya berkaca-kaca. Garis senyum tercetak di sana walau sangat samar. "Aku sudah menemukanmu."
Wajah bulatnya sepucat baju yang dikenakan. Tidak ada polesan lip tint pada bibir, pecah-pecah membuat warna alami pun memudar. Rambut yang membingkai wajah terjalin menjadi kepang tunggal yang kusut. Gadis itu bergeming. Dapat dilihat, dia mengamati botol transparan di tangannya. Harapan dan impian yang dia tulis dengan jepitan. Asti melepasnya hingga benda itu berguling-guling di batu, air laut menyambut dan menyeretnya.
Ada gumpalan air mata yang tertahan di sana. Ingin sekali Ukaysha merengkuh dan mengambil seluruh dukanya.
"Maaf." Ukaysha memulai. "Aku terlambat menemukanmu."
Asti mundur selangkah, kakinya terantuk batu. Dia masih bungkam. Kebisuan Asti merajam perasaan Ukaysha. Belum lagi tolakan saat Ukaysha hendak mendekat dan menjaganya agar terjatuh. Dengan isyarat tangan, Asti melarangnya mendekat.
"Aku tahu, aku sangat terlambat, tapi ... aku menemukanmu," lanjut Ukaysha sambil melangkah pelan.
Gerakan tiba-tiba bisa saja membuatnya melompat ke laut.
"Aku minta maaf," kata Ukaysha terus bermonolog. Asti masih diam, tetapi dia tidak mundur. "Aku terlambat memahamimu."
"Kenapa mencariku? Kamu enggak usah nyari-nyari aku!" Asti mengibaskan tangannya ketika hendak disentuh.
Penolakan Sandrina bahkan tak berdampak sesakit ini. Rasanya benar-benar tidak berdaya.
Ukaysha bahkan tak bisa menjawab pertanyaan sederhana itu. Membawa Asti pulang!
"Asti ...."
"Kamu, tuh, sama aja kayak Wayan, tahu enggak?"
"Marah aja, Asti. Tampar aku kalau mau. Mau pukul? Pukul aja di mana pun sesukamu. Jangan diam Asti itu bukan dirimu."
Asti membuang muka dan berjalan cepat melewati lelaki yang tak kalah lusuh saking lelahnya.
Sensasi dingin terasa saat kulit mereka bersinggungan. Keringat dingin sudah membasahi telapak tangan Ukaysha. Matanya yang gelap berusaha mengunci tatapan Asti. Namun, gadis itu menunduk melihat tangannya yang dicekal.
Asti berubah! Saat Gusti bilang Asti berubah, dia menyangkalnya walau tetap diam. Sama sekali tidak menyangka perubahan itu akan sedrastis ini.
Sebelumnya, mata besar itu akan menatap berani seolah menantang. Dunia dan permasalahan hidup selalu menemui solusi di mata Asti. Pengkhianatan Wayan membuat Asti begitu hancur dan kehilangan kepribadian diri yang sesungguhnya. Atau ... Ukaysha yang membuatnya begini? Mungkin, tanpa sengaja dia membuat gadis itu merasa salah tempat menaruh sebongkah kepercayaan.
Asti yang ceria, ambisius, dan penuh semangat entah ke mana perginya. Di hadapan Ukaysha saat ini hanyalah sosok berkebalikan dari Asti yang dia kenal.
Miris memang, di saat Ukaysha berhasil menjadi pribadi yang lebih baik karena Asti. Gadis itu justru terperosok sedalam-dalamnya. Kubangan lumpur penuh duka dan air mata itu terlalu pekat. Terlalu sulit menggapai impian yang dipandang mitos dan kemustahilan oleh masyarakat.
"Ida Ayu Kadek Suasti!
"Apa? Kamu mau apa?" Kibasan yang kuat membuat cekalan itu terlepas.
Ukaysha mendekapnya dengan cepat. Pelukan itu semakin erat seolah tak ingin gadis itu lepas lagi darinya.
"Jangan pergi, Asti," pinta Ukaysha sambil menutup mata. Dia menopangkan dagunya di bahu gadis itu tanpa melepas pelukannya. "Jangan, Asti."
Tidak mendapat respons membuat Ukaysha semakin takut. Dorongan kuat di dada membuatnya mundur selangkah.
"Kenapa kamu membuatku bingung? Kamu bersikap seolah-olah aku berarti untukmu. Di saat yang bersamaan, kamu membuatku merasa berada di tempat yang salah. Kenapa kamu bersikap seperti ini?"
"Ikut aku!"
"Aku enggak akan ikut siapa pun."
"Please, ikut aku."
"Kamu mau bawa aku pulang, kan? Aku engak mau ke mana-mana!"
"Apa kamu marah karena melihat Sandrina di rumah sakit?"
Asti menghentikan langkahnya. Jepit rambut itu, Ukaysha pasti menemukannya dan memasukkan ke dalam botol.
"Aku yakin kamu hanya mendengar sebagian dari kebenarannya. Apa kamu melihatku memegang tangannya?"
"Memegang tangan bukan indikator perasaan! Kamu bahkan sering memegang tanganku."
"Oke, apa kamu melihatku memeluknya? Mungkin kamu melihatku menciumnya? Kita pasti tidak akan memeluk dan mencium sembarang orang bukan? Kecuali orang-orang yang kita sayangi. Benar?"
Asti tak bisa menjawab pertanyaannya. Dia bahkan tak melihat sahabatnya itu memegang tangan, apalagi berpelukan dan mencium penuh hasrat.
"Laki-laki normal selalu ingin menyentuh wanitanya setiap saat, merengkuhnya, dan melindunginya dari predator lain. Sama seperti itu, aku ingin selalu berinteraksi denganmu, memeluk dan memastikan kamu aman bersamaku. Aku bahkan sudah lama sekali ingin menciummu, tapi ...."
"Buaya lebih baik diem! Deklarasi enggak ada gunanya. Wayan pun bilang cinta dan menciumku sesukanya, tapi apa? Dia mengkhianatiku! Dasar Buaya Darat! Kadal buntung aku membencinya," paparnya dengan meledak-ledak.
"Ini enggak ada gunanya," gumam Ukaysha. "Ikut aku!"
"Aku enggak mau pulang!"
"Oke, enggak pulang, tapi ikut aku. Aku tahu menghadapi gadis sepertimu. Emosimu ini hanya akan hilang jika kamu melepaskannya, makanya ikut!"
Ukaysha menarik paksa Asti menuju tempat mobilnya diparkirkan.
"Masih kesal sama Wayan?"
Pertanyaan itu hanya dijawab anggukan.
Ponsel di atas dasbor sudah diambil, setelah menemukan nama Wayan dia memanggilnya. Nada dering pun terdengar. Suara diseberang menyahut.
Ukaysha berkata, "Dengar, Wayan. Jangan berani matikan telepon sebelum pembicaraan selesai."
Tak menunggu jawaban, dia sudah memberikan ponsel itu kepada Asti. "Ambil!"
"Enggak perlu, a-aku ...."
"Masih kesel sama dia, kan? Ayo, ambil dan marahi dia. Keluarkan apa yang mengganjal di hati."
Dengan ragu pemilik jari-jari lentik itu mengambilnya. Mata itu pun mencuri pandang mencari keyakinan di mata Ukaysha. Anggukan sahabatnya itu memberikan kontribusi besar tumbuhnya keberanian.
"Berengsek, pecundang, pengecut, aku membencimu! Aku enggak mau deket-deket sama kamu. Dengar Wayan, hubungan kita selesai saat telepon ini mati!"
Awalnya ada getaran halus dalam bicaranya. Namun tak lama, setelah itu, Asti bahkan dapat meluncurkan serentetan kalimat panjang dalam satu tarikan napas.
"Tapi semua itu bohong," bisiknya menjatuhkan diri di atas pasir. "Aku sangat menyayanginya. Bohong kalau aku membencinya. Aku sudah membakar fotonya, memutus semua akses dengannya. Mengapa rasanya masih sakit?"
Ukaysha duduk di sebelahnya. Walau ingin merengkuh, dia menahan diri. Seandainya Asti tahu tentang Wayan. Dia merasa bersalah dengan tetap diam disaat dia tahu satu kebenaran tentang pemuda itu.
Lelaki di samping Asti berjanji, dia tidak akan menyimpan informasi itu sebagai salah satu dari rahasia. Dia akan mengungkapkannya di waktu yang tepat. Saat ini, fokusnya adalah melepaskan emosi negatif yang bersarang dalam diri Asti. Ukaysha berusaha keras menumbuhkan kembali kepercayaannya terhadap cinta.
***
Pukulan Asti selalu keras. Sialnya mendarat tepat di perut Ukaysha. Ponsel yang terpelanting mengundang sedikit kegaduhan. Namun, lelaki itu tak peduli. Dia mengerang kesakitan dengan serangan yang tiba-tiba.
"Kenapa Asti?"
"Sekarang udah mulai pinter bohong, ya? Katamu enggak akan membawaku pulang!"
"Siapa yang membawamu pulang Asti, aduh, sakitnya," katanya sambil memegang perut. "Aku memang tak membawamu pulang dan aku akan menepatinya."
"Oh, ya? Kenapa telepon Kak Gusti?"
"Aku memang udah janji, tapi aku enggak janji merahasiakan keberadaanmu." Ukaysha mengempaskan diri ke kursi penjalin di dekatnya.
"Sama aja ngeluarin aku dari kandang macan masukin ke kandang buaya! Gusti bakal jemput aku, lah!" Asti memegang keningnya.
"Maaf, permisi." Wanita bertubuh gempal menginterupsi. "Kadek, anak-anak mencarimu, temui mereka sebelum pergi."
"Baik, Meme."
Gadis itu pergi setelah menghunjamkan tatapan dingin kepada Ukaysha.
Wanita yang dipanggil Meme itu memungut ponsel yang terburai dan memberikan kepingannya kepada Ukaysha.
"Siapa sebenarnya dirimu? Kenapa Kadek sepertinya marah besar sama kamu? Bukan bermaksud ikut campur, tapi ... saya sudah menganggapnya menjadi bagian dari keluarga. Saya jelas tidak mau kalau dia akan mengalami hal yang sama lagi."
"Enggak akan Meme. Ini hanya kesalahpahaman. Saya enggak akan membiarkan siapapun menyakitinya lagi."
Wanita itu masih terlihat cemas dan berkata, "Kadek datang dalam kondisi yang sangat buruk."
Ukaysha tak berani membayangkan masa sulit Asti.
"Saat kami bertemu dengannya, diperkirakan sudah lebih dari tiga hari perutnya tak terisi. Semua makanan yang masuk selalu tertolak dan dimuntahkan. Mungkin Kadek juga sudah lebih dari seminggu dia tak bersentuhan dengan air, baunya menyengat."
"Apa dia sendirian waktu itu?"
"Ya, kami menghubungi rekan kami seorang psikolog. Dia pun datang untuk melihat Kadek. Saya berempati, kondisi emosionalnya sangat labil. Kadek mengingatkan dengan anak saya, jadi saya memutuskan untuk merawatnya. Kami sangat menyayanginya. Kami tahu, di luar sana keluarganya pun menyayanginya. Namun, saat kami mencari tahu tentang keluarga dan apa yang terjadi, dia selalu pergi meninggalkan pembicaraan."
"Meme," panggil Asti. "Tiang akan berangkat sekarang."
"Kamu yakin akan ikut dia?"
Butuh waktu sekian detik untuk mengangguk. Asti hampir saja membuat jantungnya lerai.
"Kalau begitu, tolong jaga dia jangan sampai sendirian lagi. Meme pergi dulu," kata Meme. Setelah menepuk pundak Ukaysha dua kali dia berbalik dan menyeka ujung mata yang berembun.
"Tiang sayang Meme."
"Meme juga."
Keduanya berpelukan cukup lama sebelum Asti meninggalkan panti asuhan yang menjadi tempatnya bernaung beberapa bulan terakhir.
"Mau Jeje uli?"
Asti hanya menunduk memainkan ujung selendangnya.
"Aku yang traktir, oke? Sebentar aku cari dulu tempatnya." Dia memainkan ponsel. "Nah, ini dia! Kebetulan searah. Nanti mampir, ya?"
"Terserah."
"Ayolah, Asti. Jangan bikin aku merasa bersalah terus-menerus."
"Iya, kita mampir."
Ukaysha menghentikan mobil di halaman yang luas. Dengan ragu, Asti pun ikut keluar. Dia memindai lokasi itu. Sebuah toko jajanan tradisional yang diberi sentuhan modern.
"Apaan, nih, sengaja banget kamu, ya?" Asti sudah berbalik, dia menubruk dada Ukaysha yang menghalanginya. "Minggir!"
"Enggak."
"Minggir!"
"Enggak Asti, kalian perlu bicara. Aku ngerti kamu masih kesal sama dia, tapi kamu terus memikirkan dia, iya, kan? Luapkan apa yang kamu rasakan. Marahlah, jika kamu mau. Pukul saja kalau belum puas. Keluarkan semuanya, bebaskan dirimu. Kamu akan tahu apa yang kamu inginkan," paparnya sambil memegang kedua bahu Asti. Gadis itu tetap bergeming. Tampaknya dia belum siap bertemu Wayan.
"Wayan, kamu juga. Berhenti membohongi diri sendiri. Kalian sudah cukup dewasa menyikapi ini."
Menjelang penutupan Jeje Uli BliWay yang sepi keributan itu tidak ada artinya.
"Jangan takut. Aku ada di dekatmu. Berteriak aja kalau Wayan macam-macam!"[]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top