20》Merindukan Jawaban
"Ngapain?" Ukaysha kebingungan melihat gadis di sampingnya menyalakan aplikasi kekinian yang tengah naik daun.
"Enggak pernah bikin tik tok?"
Dia merapatkan kain tenun berwarna merah keemasan hingga badan mereka berimpitan. Gadis itu mulai mengoceh, sesekali memaksa Ukaysha untuk tersenyum menghadap kamera. Tampaknya Ukaysha lebih tertarik dengan kain itu. Dia mengusapnya berkali-kali.
Asti berkata, "Ini kain ajaib, kamu tahu kenapa?"
Gadis itu sengaja menggantung kalimatnya. Menunggu respons seberapa antusias sahabatnya itu. Walau sebenarnya dia pasti akan melanjutkan meski tidak didengarkan sekalipun.
"Kain Gringsing memiliki arti tidak sakit. Aku mau kamu selalu sehat."
"Mi--"
"Ini bukan mitos! Ini kepercayaan," sanggah Asti.
"Aku pernah membaca tentang kain ini, Urs Ramseyer menulisnya dalam buku Clothing, Ritual and Society in Tenganan Pegringsingan Bali."
"Wow." Wajah Asti tak bisa hilang dari ingatan walaupun perbincangan ringan di Pantai Lovina sudah berlangsung cukup lama.
Tiba-tiba dia ingin sekali melihat wajah itu lagi. Diambilnya ponsel dari saku dana memencet sesuatu. Video itu langsung muncul. Ukaysha senyum-senyum sendiri. Dia sudah meminta seseorang melacak sinyal keberadaan ponsel Asti. Namun, nomornya sudah lama tidak aktif.
"Kita sudah sampai, Pak." Suara laki-laki berkemeja biru laut itu mengembalikan seluruh fokus Ukaysha.
"Beneran di sini?"
Ukaysha memindai toko makanan khas yang tidak terlalu besar. Jeje Uli BliWay, nama yang tertulis di atas pintu masuk. Pencahayaannya estetik dengan pendar kuning yang lembut. Memberi kesan tenang dan romantis.
Kabar Wayan mendirikan sebuah toko Jeje Uli ternyata benar.
"Titiknya ada di sini, Pak."
Ukaysha membatalkan niatnya masuk saat sang sopir berdiri sambil menyeka keringat.
"Pri, ayo, masuk," ajak Ukaysha.
"Enggak usah, Pak. Tunggu di mobil saja."
"Ayo, masuk. Pesan sesuatu untukmu selagi menunggu."
"Tapi--"
"Ini bukan tawaran, tapi perintah."
"Baik, Pak."
Lelaki tua bernama Jupri itu menjaga jarak dari majikannya. Dia pikir berubahnya sikap tuan muda hanya rumor. Ternyata dia merasakan sendiri sisi positif itu.
Material kaca menampakkan pelanggan di Jeje Uli BliWay dari luar. Satu per satu mereka keluar. Malam memang semakin pekat, beberapa orang memilih kembali atau tetap berada di dalam rumah. Apalagi suhu udara terus menurun.
"Maaf, Pak. Kami akan tutup." Seorang wanita bertopi hitam menghalau Ukaysha yang hendak masuk.
"Saya ingin bertemu Wayan."
"Beliau tidak ada."
"Di mana dia sekarang?" Sepuluh jarinya sudah terkepal.
"Keluar sepuluh menit yang lalu. Kabarnya ayahnya akan dipindahkan hari ini."
"Ke mana mereka pergi?"
"Maaf, Pak. Saya kurang tahu."
Berengsek! Umpatnya dalam hati.
Secepat mungkin dia harus menemukan Wayan agar bisa mengetahui keberadaan Asti.
Informan macam apa, informasi sepenting ini sampai lolos dari pantauan?
Ukaysha memerintahkan mereka memeriksa setiap titik krusial seperti bandara, stasiun, terminal, bahkan pangkalan angkutan umum. Tentu saja tak melewatkan pelabuhan. Tempat itu sangat memungkinkan sekali bagi seseorang keluar Bali dengan sangat mudah.
Panggilan video dari Dianti menginterupsi sebagian perintah Ukaysha.
"Lagi di mana, Sayang? Kupikir sudah di penginapan. Kok, berisik."
"Laper, Bu. Mampir bentar beli makan."
"Jangan lama-lama, angin malam enggak baik buat tubuhmu."
"Iya, Bu. Udah dulu, ya, mau pergi."
"Ke?"
"Pulang."
"Bagus." Panggilan pun terputus. Dianti mulai posesif. Dalam dua jam perjalanan, dia sudah memanggil dua kali via panggilan video.
Ukaysha menarik napas panjang.
Parama Sidhi adalah tujuannya. Informan itu berhasil mendapat info yang valid. Melalui pesan WhatsApp, dia bisa melihat Wayan meneguk segelas teh manis.
Ukaysha tak pernah lagi merutuki semua hal, tetapi tetap saja dia merasakan kesal.
Sesampainya di rumah sakit, dia tak mau membuang waktu. Dia pun bergegas menemui Wayan yang belum beranjak dari kantin.
"Apa maksudmu enggak tahu?" Jemari Ukaysha yang meremas gelas sudah memutih. "Bukannya kamu akan menikah?"
"Menikah? Kita bahkan enggak ketemu lagi selepas parade."
"Enggak mungkin, dia bilang akan menemui dan memintamu datang menemui Tukakiang."
"Itu dulu, tapi sekarang ...."
"Kamu bahkan malu mengakui pernah main gila sama Santi."
Menjijikkan!
***
Ukaysha hanya perlu memeriksa hasil akhir dan mengirimnya kepada Sandrina. Dianti sudah menelepon berkali-kali. Seperti biasa, ketenangan belum terkumpul kalau telat memastikan putranya minum obat dan istirahat.
Sepulang memberikan ATBM--alat tenun bukan mesin--untuk pengrajin kain endek, lelaki itu menghabiskan berjam-jam di depan MacBook. Pikirannya tidak terlalu fokus saat melihat fail berupa video itu. Proses produksi kain endek yang memiliki tiga tahap; pembuatan benang lungsi, pembuatan benang pakan, dan penenunan.
Dalam video yang dipercepat pun, Ukaysha memerlukan waktu yang lama menyaksikan proses itu. Pembuatan benang lungsi saja melalui empat proses; pengelosan, pencelupan warna, penganihan, dan pencucukan.
Meski lama Ukaysha tak boleh melewatkan sedikit pun. Ketika dia melihat pada menit ke sekian yang tengah memutar gambar pengobatan atau fiksasi, yaitu proses pembuatan benang pakan sesudah pemintalan dan pemberian warna, tetapi sebelum pengiciran dan pemaletan dilakukan dengan cairan Fixanol. Di sana dia melihat wanita berkepang itu lagi. Orang yang ingin dia sapa saat melihatnya di Pantai Lovina. Dia yakin itu orang yang sama.
Tiba-tiba jari-jari Ukaysha bergetar, dia sudah memperbesar bagian itu. Sayang gambarnya menjadi pecah.
Wanita itu tak terlihat seperti Asti, bajunya saja berlengan panjang, celana gombor yang dikenakan juga panjang. Belum lagi selendang yang dibawa ke mana-mana itu bukan style Asti. Entah mengapa Ukaysha merasa punya suatu ikatan. Dia merasa mengenal gadis itu. Sangat mengenalnya.
Dianti sudah menghubunginya entah sudah panggilan ke berapa kali. Dia meminta Ukaysha segera kembali karena acara peluncuran DinAsti enggak bisa ditunda.
Ukaysha pun mengirim fail itu setelah memeriksa proses akhir, penenunan.
Satu klik pada tetikus menyelesaikan satu masalahnya.
"Jupri!"
Seorang mengenakan kaus oblong bergambar lumba-lumba menemuinya. Warna kuning kebiruan memadukan nuansa laut dan keindahan fajar. Hal itu mengingatkan Ukaysha akan sesuatu yang penting.
"Kunci mobil," pinta Ukaysha sambil menengadahkan tangan.
"Mau ke mana, Pak? Biar saya antar."
Jupri adalah sopir yang ditunjuk Dianti untuk menemani selama di Pulau Dewata. Dia terlihat ketakutan. Mungkin, membayangkan Dianti akan memarahinya jika tahu majikan muda pergi sendiri.
"Saya pergi sendiri."
"Tapi, Pak anu ... saya--"
"Ibu enggak akan tahu. Mana kuncinya?"
Dengan berat hati, Jupri menyerahkan benda itu. Ukaysha berbalik dan berkata, "Cuma pergi sebentar."
Sunrise Pantai Lovina menjadi daya tarik bagi banyak orang. Terlebih, akan disuguhkan pemandangan unik, ratusan lumba-lumba melompat ke permukaan laut. Asti bilang, dia ingin melihat lumba-lumba itu lagi. Kalau dewi fortuna ada di pihaknya, mungkin bisa bertemu. Ukaysha terus menguntai harap.
Dia menyewa perahu nelayan berkapasitas 5 orang. Sembari menunggu penuh, Ukaysha membuka aplikasi yang lagi hit itu dan membuat konten. Seolah-olah Asti akan melihatnya. Membuat konten salah satu cara menghidupkan Asti dalam dirinya bukan? Dia merasa Asti akan selalu dekat dengan melakukan hal yang dia suka.
"Ehem." Lelaki bertubuh atletis mendekat. Ukaysha gelagapan dibuatnya. "Di sini rupanya," lanjutnya sambil bersedekap.
"Ngapain?"
Sial, kenapa ada Gusti di sini, sih!
"Kak Gusti ngapain di sini?"
"Kak, Kak! Sejak kapan aku jadi kakakmu? Mana Asti? Pembual," katanya.
Ukaysha menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Dia tidak menduga akan bertemu Gusti dalam keadaan seperti ini.
"Mau lihat lumba-lumba juga?" sambung Ukaysha pada akhirnya. Dia tak tahu harus bicara apa.
Ukaysha merutuki dirinya, bagaimana bisa dia melontarkan basa-basi kelas teri. Mana mungkin Gusti akan melihat lumba-lumba menari di bawah guyuran mentari pagi. Tidak cocok dengan penampilannya yang macho, garang, dan enggan menunjukkan sisi melankolis. Sepertinya Gusti bukan tipikal orang yang manis.
"Menemuimu," jawabnya membuat Ukaysha tersentak.
Akhir-akhir ini dia kerap melamun meski di tempat umum. Berhari-hari memikirkan Asti membuatnya kehilangan kemampuan mengendalikan diri.
"Sebenarnya kamu belum menemukan Asti, kan?"
Ukaysha mengangguk kemudian menunduk. Mau bicara apalagi, sepandai apa pun menyimpan rahasia pasti akan terbongkar juga.
"Sudah kuduga."
"Aku sudah janji, aku akan membawanya kembali."
"Asti yang kukenal enggak akan semudah itu," kata Gusti nyaris putus asa. "Dia memakai topeng untuk menutup jiwanya yang kesepian. Dia punya tekad yang kuat yang tak mudah tergoyahkan. Kalau dia akan kembali, dia pasti udah kembali."
Alih-alih menikmati atraksi mamalia air itu, kedua orang ini sibuk sendiri. Tidak ada yang menikmati keindahan langit yang merona. Tidak ada yang menikmati hangatnya cahaya matahari tatkala mulai mencium kulit. Keduanya tersesat pusaran perasaan masing-masing.
Kehilangan bisa sesakit ini.
"Asti mempercayai mitos demi menghidupkan impian-impiannya."
"Maksudmu?" Ukaysha tahu akan hal itu, tetapi mendengar dari Gusti rasanya agak aneh.
"Saat Asti kecil, ibu Asti bercerita tentang kepercayaannya. Setiap mitos memiliki efek magis yang nyata. Beberapa telah dibuktikan olehnya. Meski Asti dibesarkan ibu kami, pemahaman itu sudah mendarah daging dalam dirinya," tutur Gusti. Dia menarik napas panjang menjeda cerita. "Ibu Asti pelayan kami, tapi Asti tetaplah adik kami. Berada dalam keluarga yang terhormat belum tentu memiliki sifat penuh hormat juga. Ayah kami melakukan itu dan ...."
Gusti tak sanggup meneruskannya dan Ukaysha mengerti. Kakek telah mengisahkannya lebih dulu. Namun, lelaki tua itu menutup sebagian faktanya.
Sekarang dia mengerti mengapa sikapnya kepada Dianti begitu lembut. Asti dirawat ibu sambung sama seperti dirinya. Bedanya, Asti menerima wanita itu menjadi bagian hidup sedangkan Ukaysha mencoba menghilangkan Dianti.
"Tentang Wayan ...." Ukaysha memulai, tetapi dia bingung bagaimana mengakhirinya.
Kemarin malam, Wayan menceritakan tentang masa lalunya yang tak lepas dari Sri Santika Devi.
"Kamu sudah tahu rupanya." Ukaysha menoleh ke arahnya. Lelaki di sampingnya pun melanjutkan, "Sekarang mengerti, kan?"
Mengerti? Apa yang harus dimengerti?
"Jauh-jauh Asti ke Jakarta untuk apa? Dia mempercayaimu melebihi siapapun. Bahkan dia tak percaya kepadaku."
Menjadi pimpinan komplotan itu bukan hal yang sulit untuk tahu segalanya. Wayan memang menolak meneruskan kejayaan sang ayah. Hal itu tak cukup menunjukkan Wayan lelaki baik untuk Asti. Lelaki itu terlalu sulit terikat hubungan yang serius, Gusti sangat tidak menyukainya. Bahkan sekali pun Gusti sudah menduduki posisi yang seharusnya ditempati Wayan.
Gusti bilang, anak buah Si Mata Merah melihat Asti naik kapal keluar dari Gili Manuk. Sang kakak langsung menyusulnya. Namun, di Jakarta tak menemukan si adik.
Mungkin aku tahu!
Dadanya seperti dihantam sesuatu. Jika tebakan Ukaysha benar, Asti harusnya ada di tempat itu.
"Balik ke pantai sekarang, Pak!"
"Tapi baru seben--"
"Sekarang!" bentaknya.
"Kamu tahu sesuatu?" tanya Gusti sambil menepuk bahu Ukaysha.
"Mungkin aku tahu." Matanya yang berkilauan karena gumpalan air mata membuat Gusti mengangguk. Dia sangat berharap lelaki itu tahu sesuatu yang membawanya ke Asti.
"Aku antar."
Ukaysha menggeleng dan berkata, "Asti akan pulang."
***
Aroma yang tercium masih sama, hangatnya udara pun tak ada yang berbeda. Ukaysha terengah-engah. Dia ingat Asti hanya memberitahu tentang tempat ini padanya. Seminggu sekali, Asti pasti datang. Duduk di batu, mendengar ombak. Dia akan datang di saat pagi yang tenang dan sejuk.
"Semoga enggak terlambat," gumamnya seorang diri.
Tidak ada siapa pun sejauh mata memandang. Hanya tiupan angin dan suara ombak saling bersahutan. Sekali-kali terdengar suara burung di ketinggian. Nuansa alam yang alami, pantas Asti menyukainya. Masih banyak pohon besar dan burung liar. Jauh dari ingar bingar kehidupan perkotaan yang pelik.
Digundukan batu, sesuatu terlihat berkibar. Benda putih berukuran panjang. Ukaysha menuju tempat di mana benda itu berada.
Selendang ini milik Asti?
Selendang itu sama persis dengan kain yang tak sengaja menyentuhnya saat berpapasan di Pantai Lovina.
Gadis itu Asti!
Mereka sangat dekat dan Ukaysha tidak menyadarinya.
Ingatannya terkumpul dengan cepat. Dia mencari-cari botol permintaan yang mereka simpan di antara celah bebatuan. Saat menemukannya dadanya berdebar hebat. Ada kertas lain selain label minuman vitamin C.
Setelah menemukan catatan itu, Ukaysha sering mengunjungi tempat rahasia itu. Kadang pagi, pernah dia datang sore hari. Namun, kali ini dia memutuskan datang di jam makan siang. Pikirannya tak tenang sepuluh harinya hampir berakhir dan dia belum menemukan Asti.
Dia pikir, Asti mungkin akan datang siang hari untuk menenangkan diri. Namun, sampai waktu Ashar tiba tak ada tanda-tanda kedatangannya. Ukaysha hampir menyerah. Dia akan beranjak, tetapi wanita berpakaian serba putih muncul. Ukaysha bersembunyi di balik batu. Dia ingin memastikan gadis itu benar-benar Asti. Ukaysha juga harus memastikan gadis itu tak kabur saat melihatnya ada di tempat ini.
Kakinya yang telanjang terpeleset, darah segar pun mengalir. Namun, gadis itu tak berhenti. Dia terus berjalan dan mendaki gundukkan batu setelah memeriksa lukanya.
Angin memainkan anak rambut yang lolos dari ikatan.
Ukaysha ingin sekali menghentikan aliran darah itu dan membalutnya. Ukaysha pun ingin menautkan anak rambut yang mengganggu pemandangan sampai Asti kesal. Tidak ada kekesalan di wajah itu dan Asti benar-benar berubah.
Gadis itu terkejut mendapati jepit rambut mutiara miliknya ada di dalam botol.
Ukaysha sudah berdiri beberapa meter saat pandangan mata gadis itu menjelajah. Genggamannya pada botol menguat. Asti bergeming kala tatapan mereka saling mengunci satu sama lain[]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top