17》Jangan Jatuh Hati

Tanpa riasan di wajah, Asti persis mayat hidup. Bibir gelap, wajah pucat, aura kehidupan seperti terempas dari dalam diri. Dia berjalan tanpa hasrat. Tujuannya menemui kepastian yang masih tergantung dalam harapan. Angan tak berhenti memohon. Untaian doa terus terpilin, berharap impiannya masih mengakar kuat. Berharap kerapuhan hubungan dengan wayan hanya ilusi. Berharap semua masih baik-baik saja. Hanya bisa memupuk harap dan berharap.

Di antara riuh debur ombak, suara Asti yang biasa seriang mercon itu tak terdengar sama sekali. Suara seraknya mencoba memecah berisik. Namun, lelaki yang teramat dia cintai hanya bergeming dalam bisu terduduk di bawah pohon nyiur.

Langkah Asti begitu berat. Dengan gontai gadis itu mendekat. Dalam diam yang hanya sesaat, Asti menelisik. Dia menilai dalam hati, masih adakah harapan untuknya?

"Kenapa Wayan?" Tetesan pertama air mata jatuh membasahi pipi tembamnya. "Kenapa menipuku?"

Asti bahkan kesulitan menelan ludahnya. Getaran suaranya begitu terasa saat berkata, "Katakan sesuatu, Wayan."

Lelaki yang paling dia percaya menghancurkan kepercayaan itu sendiri. Asti tak meminjam panca indera siapa pun saat Wayan menyanggupi menari dengannya. Entah apa yang terjadi dengan pacarnya itu sampai berubah pikiran. Wayan tidak datang!

Ralat, Wayan memang datang, tetapi bukan untuk menari.

"Apa Uka mengancammu lagi?"

Embusan angin yang menyisip sunyi bahkan terdengar. Pusaran itu mengacak resah di dalam sana.

"Apa arti diammu ini, hah?!" Asti menarik kerah kemeja sampai Wayan terpaksa berdiri. "Biar aku ingatkan jika lupa, Wayan. 'Kenapa harus menari Cenderawasih, Asti. Tanpa itu pun aku mencintaimu. Selamanya akan tetap seperti itu.' Begitu, kan, Wayan? Udah ingat? Katakan semua itu bukan sandiwara?"

"Asti," bisik Wayan. Suaranya masih selembut yang terakhir kali dia dengar. "Kita enggak bisa melanjutkan hubungan ini."

"Aku bisa! Kamu yang enggak bisa!"

Cengkeraman itu melonggar. Semua energi yang Asti miliki seolah tersedot habis. Kerangkanya seperti malfungsi. Dia begitu lemas. Organ sekepalan tangan dalam dadanya seperti tergilas terimpit beban berat.

"Katakan sekali lagi Wayan kalau kamu kamu enggak mau menemui Tukakiyang dan memperjuangkanku, begitu?"

"Ini yang terbaik Asti," jelasnya.

"Terbaik buat siapa, Wayan?"

"Kita berdua dari kasta yang berbeda Asti. Nyerod selalu berakhir tidak menyenangkan."

Alasan!

"Apa karena Santi kembali? Wayan, dia bekas orang lain! Kamu mau balikan sama Santi?"

Asti menunggu Wayan membantah, tetapi mulut Wayan terkunci rapat. Asti bagai dihantam palu raksasa yang tak terlihat.

"Aku mengerti." Asti mundur beberapa langkah sebelum berlari meninggalkan Wayan.

Untuk pertama kalinya dia lari dari sesuatu, melawan arah angin. Air mata terus mengalir, menyebalkan! Pandangan kabur, semua samar.

Apa Uka menekan Wayan lagi?

Asti menggeleng hebat. Dia ingat beberapa jam lalu saat mengunjungi rumah sakit daerah. Kamar beraksen merah muda yang Ukaysha tempati sudah kosong.

Pikiran Asti tidak fokus, dia menabrak seseorang wanita menggandeng bocah laki-laki berkaus merah menyala. Bocah berambut ikal itu memiliki kulit agak gelap. Dia mengusap lengan berulang.

"Ih, sakit, tahu!"

"Ssst, enggak boleh gitu sama yang lebih tua," kata sang ibu.

"Besar tanpa ayahnya membuat dia lebih manja." Santi menggendong bocah bermata gelap itu. Sekilas, bocah berusia kurang lebih tiga tahun itu memiliki ciri fisik seperti Wayan.

Jangan-jangan ....

Asti tak bisa berpaling. Dia penasaran, ke mana Santi pergi. Namun, bocah laki-laki bercelana chino memberontak dan berlari menubruk Wayan. Keduanya terlihat sangat akrab.

***

"Kenapa bisa kecolongan! Uka pergi seharian dan kamu tidak tahu? Buat apa aku membayarmu mahal-mahal? Enggak guna!" Dianti memaki seseorang dari ponselnya. Wanita itu begitu kesal.

Dengan jet pribadi, ibu tiri Ukaysha langsung terbang ke Parama Shidi setelah mendapat kabar buruk itu. Dia membayar orang seceroboh Wayan untuk mengawasi Ukaysha. Sayang sekali lelaki itu tidak becus!

Kilatan masa lalu terus berputar seperti menyambar-nyambar. Menyeret Dianti pada situasi dan kepelikan yang sama. Semua ini tidak akan terjadi, jika Asti tetap tenang di rumah. Gadis itu merengek minta perayaan! Jalan-jalan, hura-hura, dia tak mengerti betapa waktu Ukaysha begitu mahal. Nyawa Ukaysha sebagai taruhan, jika ada kesalahan dengan kesehatannya.

"Kenapa kamu merepotkannya? Bukankah kamu menyukainya? Apa kamu enggak mengerti. Ini tahun krusial baginya. Kenapa kamu melakukan ini?" Dianti mengembuskan napas kasar saat mengempaskan diri ke kursi beludru.

Dia sudah menampar gadis itu, tetapi rasanya masih kesal setengah mati.

Menyaksikan satu per satu orang-orang yang dicintai pergi itu sangat menyakitkan: Arkana, Rania, anak lelakinya, dia tak mau kehilangan Ukaysha.

"Lakukan yang terbaik!" teriak Dianti setelah menempelkan ponsel ke telinga. Kalimat terakhir yang dia dengar sebelum Asti memutuskan akan tetap menari. Namun, dia sama sekali tak menyangka Dianti membawa Ukaysha pergi saat Asti bilang akan kembali.

Asti mengurung diri berhari-hari dalam kamar minim dekorasi. Semuanya tampak berbeda tanpa Ukaysha. Asti membuka jendela lebar-lebar. Berulang kali dia berpikir, tetap saja tak menemukan alasan logis menyerahnya Wayan.

***

Jakarta berkemas. Lampu-lampu kota mulai menyala saat langit berubah jingga. Dari jendela kaca yang besar, lelaki itu menatap kejauhan. Berhutang penjelasan kepada seseorang membuatnya dirundung gelisah.

Ponsel di tangannya sudah diputar-putar berkali-kali. Keraguan telah mencegahnya menekan deretan nomor yang paling ingin dia hubungi. Ukaysha tak mendengar ada yang salah dari acara besarnya. Selain kata lancar, dia tidak tahu perkembangan di sana. Hal itu sangat mengganggu. Sebagai gantinya dia menghubungi Dianti.

Wanita itu mengurus Ukaysha dengan baik. Meninggalkan segala kesibukan demi bisa terbang ke Pulau Dewata untuk melihat langsung keadaannya. Dianti menunjukkan cinta. Cinta tulus tanpa batas, cinta seorang ibu. Tak peduli Ukaysha menganggapnya sebagai ibu tiri.

"Uka, kamu butuh sesuatu?" tanya Dianti. Wajahnya begitu cemas.

Ukaysha menunduk setelah mengamati ekspresi itu.

"Ada masalah?"

Ukaysha menggeleng dan berkata, "Aku butuh bantuanmu."

"Oke, tunggu di sana, aku akan sampai dalam waktu--"

"Bukan, bukan begitu. Aku mau kamu menghubungi Sandrina agar dia datang ke sini?"

"Apa? Apa aku enggak salah denger?"

"Aku serius."

"Aku masih enggak ngerti jalan pikiranmu itu, Uka. Kapan kamu ingin menemuinya?"

"Sekarang."

"Apa? Mana bisa Uka. Sandrina bukan lagi gadis single, dia sudah bersuami. Terlebih dia sedang hamil, mana boleh keluar sembarangan malam-malam." Dianti akhirnya melanjutkan perkataan yang terjeda melihat Ukaysha diam saja. "Ah, akan kucoba, tapi aku enggak janji dia akan menemuimu sekarang. Apa kamu sudah memakan makananmu?"

Ukaysha mengangguk. Dia mengarahkan kamera ke arah piring yang sudah kosong.

"Obatnya?"

"Sebentar lagi."

"Enggak. Kamu minum sekarang aku mau lihat."

Ukaysha memutar bola mata dengan malas. Dia enggan menelan puluhan butir obat itu. Namun, dia sudah berjanji akan tetap tersenyum, jadi dia harus sehat.

"Akan kututup panggilan videonya, jangan malam-malam tidurnya." Dianti hendak memutus panggilan, Ukaysha mencegahnya.

"A-aku ingin menemuimu," kata Ukaysha terbata-bata. "Besok, temui aku di GC, Ibu."

Dianti membeku, dia pasti bermimpi seseorang memanggilnya 'ibu'. Panggilan yang sangat dia rindukan. Namun, jika di depannya adalah Ukaysha kemungkinan besar Dianti hanya berhalusinasi.

"I-ibu?"

"Besok temui aku di GC, Ibu," ulang Ukaysha.

"Ka-kamu memanggilku ibu? Jadi aku tidak salah dengar? I-ibu?"

Ukaysha tersenyum tipis. Dianti mencium ponselnya. Ingin sekali dia mendekap Ukaysha saat itu.

"Aku akan ke sana, Uka. Aku akan memelukmu."

"Jangan, Ibu. Besok kita akan bertemu."

Dianti tersenyum, air matanya terus meleleh. Ukaysha merasakan ada yang menguap dari hatinya. Meringankan perasaannya. Benar kata Asti, kadang Ukaysha hanya berpikir terlalu jauh. Mengedepankan curiga dan prasangka daripada fakta-fakta di hadapannya.

Ada saat di mana dirinya tak perlu berpikir terlalu jauh untuk melakukan hal baik, meminta maaf misalnya. Terlepas dari siapa yang benar ataupun salah.

Ukaysha yakin, memberi Dianti kesempatan kedua menunjukkan siapa dirinya yang sebenarnya bukan hal yang salah. Dia yakin akan mengenali bagaimana sejatinya wanita itu. Mungkin butuh waktu menerima Dianti sebagai ibunya. Namun, dia akan mencoba.

Sampai kapan pun, posisi seorang ibu tak akan pernah tergantikan dan Dianti pun tak pernah berniat merebut posisi itu dari Rania. Bahkan jauh sebelum Dianti berstatus ibu tiri bagi Ukaysha, dia lebih dulu menjadi tante yang baik. Dia sangat menyayangi Ukaysha. Meski berkali-kali anak sambung Dianti menolaknya menjadi bagian dari keluarga, Dianti masih terus memberi Ukaysha dukungan dan kasih sayang.

Bukankah terlalu jahat, hanya ingin mendapat julukan ibu, Ukaysha bahkan tak mau menanggilnya ibu. Padahal, Dianti berkontribusi besar membesarkannya. Sudah saatnya Ukaysha memberi hak Dianti dengan memanggilnya ibu.

Waktu yang Ukaysha lewati terasa sulit. Berminggu-minggu terbaring di rumah sakit, menyaksikan pergantian siang dan malam dari ranjang sangat membosankan.

Perkataan Asti selalu terngiang-ngiang membuatnya merenungkan banyak hal. Termasuk apa yang dia lakukan hari ini, memaafkan diri sendiri atas kesalahan di masa lalu dan memaafkan orang lain. Dia akan memulai dari orang terdekat yang kehadirannya selalu terabaikan, Dianti.

Ketukan pintu mengumpulkan seluruh konsentrasi Ukaysha. "Apa aku boleh masuk?"

Jantungnya masih berdebar mendengar suara itu. Debarannya semakin menjadi-jadi saat derit pintu terdengar menyayat keheningan.

Anting pom-pom putih bergerak-gerak di telinga, wanita dengan terusan selutut itu berjalan cepat. Dia memangkas jarak yang menyekat. Bibir tipis tersapu lipgloss merah muda melengkungkan senyuman. Mata sipitnya berbinar-binar.

Jika enam bulan lalu, pertemuan ini akan menjadi momen yang paling Ukaysha nantikan. Melihat Sandrina sepanjang waktu tak pernah membosankan. Bertemu setiap saat pun tak pernah membuat penat. Hanya gelembung bahagia yang terus berkembang dalam dada. Namun, letusan terjadi di saat Ukaysha tak pernah menduganya sama sekali

"Kamu memanggilku?" tanya wanita bergaun kuning cerah. Senyum itu tak jua pudar dari rautnya.

"Ya."

"Kamu merindukanku?"

"Bukan untuk itu aku mengundangmu. Aku hanya ingin kamu mengatur pertemuan seluruh dewan direksi besok."

"Hanya itu?" Ada kekecewaan dalam kata-katanya.

"Ya, kamu sekretaris yang andal aku tak perlu menjelaskan detailnya, bukan?"

"Apa perasaanmu telah berubah, Uka?"

"Maaf, Sandrina, kamu harus menambahkan panggilan Pak di depan namaku sekarang."

"Apa sudah sejauh itu?"

Ukaysha tersenyum dan berkata, "Iya."

"Kamu enggak merindukanku?"

"Semua sudah berakhir dan selesai."

"Sama sekali enggak rindu?"

Ukaysha memegang pundak Sandrina, dia harus menunduk agar bisa melihat bola mata wanita itu yang sudah basah.

"Hiduplah dengan bahagia, Sandrina. Waktu begitu berharga untuk diisi dengan duka."

"Tapi aku menyayangimu, Uka. Aku merindukanmu."

"Aku memang sangat mendambakan hidup bersamamu," jelasnya. Ada senyum terukir di wajah wanita yang terlihat makin cantik. "Tapi itu dulu. Saat kesempatan dan impian kita sama. Aku sudah belajar menerima semua ini menjadi bagian dari hidupku, jadi tolong ... jangan persulit aku lagi."

Suara benda jatuh terdengar dari depan pintu, tak lama kemudian seorang perawat masuk dengan nampan silver di tangannya. Jarum suntik dan kelengkapan lain ada di sana.

"Kudengar kamu sudah dekat dengan seorang gadis di Bali. Apa dia cantik?"

"Ya," jawab Ukaysha tanpa berpikir. Senyum terbit di wajah pucat itu. Mudah sekali pikirannya menampakkan sosok Asti yang ceria. "Dia tak hanya cantik, tapi kepribadiannya sangat menarik."

"Siapa yang sedang kamu bohongi, Uka? Aku atau dirimu sendiri?"

"Apa maksudmu?"

"Kamu enggak mungkin bisa melupakan aku secepat ini, iya, kan?"

"Semua bisa berubah saat menginginkannya."

"Maaf, Pak." Suster itu sudah memegang jarum suntik yang sudah terisi. Ujung yang runcing meneteskan cairan bening saat sang suster menjentikkan jarinya.

Ukaysha mengangguk, lalu bergerak mendekati ranjang.

"Urusan kita sudah selesai, kamu boleh keluar sekarang."

"Ta-tapi aku mau di sini." Getaran suara itu membuat Ukaysha nyaris goyah dan ingin merengkuh tubuh itu.

"Jangan lupa beri Dianti undangannya."

Wanita itu melangkah gontai, saat berbalik dia berharap Ukaysha akan menghentikannya atau setidaknya akan memanggil namanya, tapi tidak. Lelaki itu sudah memejamkan mata.

Penyesalan selalu datang di belakang.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top