16》Cenderawasih

Sebenarnya Ukaysha berharap, Asti akan meringik meminta ganti. Ukaysha salah besar! Dia sama sekali tidak mengenal pribadi pragina yang gigih itu. Menyerah tak ada dalam kamus hidupnya. Udara di sekitar seolah menipis, Ukaysha melambatkan langkah. Dia menarik napas panjang, memasukkan oksigen sebanyak yang dia bisa. Dia berharap, rasa sesak seperti tertimpa batu besar di dadanya mereda. Lelaki berambut hitam itu tersentak, Asti memeluk dari belakang secara tiba-tiba. Dekapannya sangat erat, Ukaysha menoleh, dia menjumpai senyum lebar di wajah yang mendongak. Gadis itu begitu bangga saat berkata, "Aku menangkapmu!"

Dengan gerakan efisien, Asti menarik tangan Ukaysha dan menjatuhkan tubuh itu ke pasir. Tak kalah terkejut, Asti memekik saat tubuhnya turut terseret dan mendarat di atas Ukaysha. Keduanya jatuh dalam posisi terlentang. Asti berdebar hebat, separuh karena kaget. Sisanya dia mendengar detak jantung lelaki yang menjadi alas baginya.

Baik Asti dan Ukaysha melawan gelombang tak kasatmata yang melilit hati mereka. Menjerat dengan perasaan yang sulit dimengerti. Setiap sentuhan, walau tak disengaja, semua kecanggungan itu menyiratkan makna.

Disaat Ukaysha belum pulih dengan keterkejutan itu, Asti sudah melepas sepatu cokelat yang membalut telapak kaki itu dan dia benar-benar menciumnya. Tanpa ada keraguan sama sekali.

Ukaysha makin merasa bersalah, dia tak pernah berharap Asti melakukannya.

"Kenapa Asti?"

"Apa?"

"Kenapa kamu melakukannya?"

"Kamu tahu, ini sangat sulit. Mengejarmu itu enggak mudah, menangkapmu apalagi! Mana kaus kakinya bau! Mau gimana lagi, aku enggak pernah lari dari janji apapun."

"Maaf, ya?"

"Buat?"

Ukaysha mengusap puncak kepala Asti sampai rambutnya berantakan, kemudian berdiri menghadap laut.

Gadis yang penuh komitmen seperti Asti, bagaimana Ukaysha tidak jatuh hati? Masa lalu telah mengajarkan sakitnya patah hati. Kehadiran Asti membuat dirinya kembali memutuskan untuk menjatuhkan hati pada gadis Bali itu. Sayangnya, Asti sudah mempunyai tujuan jelas dalam hidup, Wayan. Hal itu memaksa Ukaysha berjanji dalam hati; jangan janji, jangan jatuh hati.

Dia tak bisa menjanjikan apapun untuk dirinya sendiri maupun Asti. Meski begitu, tekad Ukaysha mengakar kuat; akan menghidupkan Asti dalam dirinya, hati, dan kehidupan nyata seorang Ukaysha.

Mungkin sedikit terlambat menyadari pentingnya menjadi diri sendiri dan Asti menunjukkan hal itu. Berbagai hambatan yang menghalangi Asti mewujudkan impiannya--menari Cenderawasih bersama Wayan--festival budaya Buleleng menjadi jawaban atas doa-doa dan ikhtiarnya.

Semua batasan dan rintangan seperti menguap tak ada artinya.

Entah berapa lama mereka bermain sampai langit sudah merona. Warna jingganya membentang di ufuk barat. Bias cahaya keemasan itu memantul indah di air laut.

Asti dan Ukaysha menikmati momen itu dengan duduk berdua. Menyaksikan sang surya pulang ke peraduannya. Pergantian masa yang menakjubkan kala bias ungu menggantikan langit cerah. Perlahan, cahaya berkedip muncul di langit yang menggelap. Senja di pantai Lovina telah berakhir. Namun, keduanya enggan beranjak.

Seolah sesuatu menahan mereka dalam kebisuan. Keheningan yang turun melingkupi benar-benar aneh. Ada rasa takut kehilangan menguasai hati Ukaysha. Ada bias harapan yang menyala-nyala di dada Asti.

Hitungan mundur sudah dimulai dan pergelaran festival budaya akan direalisasikan besok.

"Mau balik sekarang?"

"Bisa kita di sini sebentar lagi?" pinta Ukaysha tanpa memalingkan wajah dari langit.

Begitu banyak kesepian datang memeluk dan enggan lepas. Ukaysha akan kembali ke dunianya. Bukankah ini yang dia inginkan? Lekas lepas dari Asti dan keluarganya? Semua akan baik-baik saja. Asti dan Wayan akan bahagia. Jika rumor itu nyata semua rintangan bisa dilewati oleh Asti dengan kekuatan magis tarian cinta Cenderawasih.

Sedangkan Ukaysha? Dia akan mencoba meraih bahagia.

Ukaysha menoleh ke arah Asti. Mengamati wajah bulat tersiram cahaya bulan. Raut penuh harapan yang nanti akan dia rindukan. Ada senyum tulus terpatri dan Asti bisa melihatnya. Firasatnya amat buruk. Tatapan Ukaysha seperti salam perpisahan. Cahaya iris sekelam malam itu menunjukkan kedalaman perasaan yang tak terjamah. Asti merasakan sakit yang tidak dia pahami. Impian ada di depan mata, sejengkal lagi dia akan mengapai dan memeluknya. Ke mana perginya rasa bahagia itu? Mengapa seolah membeku bersama dingin.

"Apa kamu punya keinginan lain?"

"Melihatmu tersenyum," jawab Asti.

Senyum membuat orang lebih menarik, walau tanpa itu Asti sudah tertarik olehnya.

"Aku akan lebih banyak tersenyum setelah ini, aku janji."

"Janji?" Asti menyodorkan jari kelingkingnya.

Dengan senyum lebar yang mengambang, Ukaysha mengaitkan kelingkingnya, "Janji."

Seperti langit malam yang penuh misteri, hidup tak pernah bisa diprediksi. Sengatan kuat menyerang dada Ukaysha, dinding kokoh tak terlihat perlahan mengimpitnya tanpa ampun.

***

Servicing in Harmony, slogan rumah sakit di mana Asti berada. Di depan ruang Maharloka, gadis itu menunduk cemas. Bibir tebalnya tergigit. Bulir bening sudah menetes berkali-kali. Penyesalan menggerogoti hati. Sakit, tercabik. Tamparan yang dia terima dari Dianti rasanya tak cukup menebus kecerobohan Asti. Keegoisan membuat sahabatnya terbaring tak berdaya. Berbagai selang dan kabel terpasang pada tubuh kurus itu. Ada ceruk di dekat tulang belikat Ukaysha, hati Asti bergetar hebat.

"Air matamu itu enggak ada gunanya!" Dianti masih jengkel. Tamparan yang dia layangkan tak meredakan emosinya sama sekali. Dia bertopang dagu tanpa melihat gadis itu. "Kamu menjanjikan sesuatu sama Uka?"

Asti mendongak, dia melihat Dianti menghunjamnya dengan tatapan dingin. Asti sudah berjanji, akan menampilkan bagian terbaik dari dirinya saat menari Cenderawasih bersama Wayan. Dia tidak akan mengingkarinya. Dia melihat Dianti mengangguk. Gadis itu menyambar jaket denim dan mengenakan dengan cepat.

"Aku akan menari dengan baik," katanya sambil menggenggam tangan Ukaysha yang terpasang infus. "Aku akan kembali."

Asti melangkah cepat setelah menyeka air mata. Dia berlari setelah keluar dari ruang VIP itu. Waktunya tidak banyak, pergelaran parade pasti sudah dimulai. Dia akan memenuhi janjinya, memberikan penampilan terbaik dalam momen ini. Demi senyum Ukaysha.

Motor matik melaju dengan kecepatan di atas rata-rata. Di jalan Udayana, dia nyaris menghantam trotoar saat belok kiri. Pandangannya kabur terhalang air mata. Dia tidak boleh terluka agar bisa menari dengan maksimal. Perlahan, dia mengumpulkan fokusnya. Dia berjalan lebih pelan. Asti melewati padatnya halaman Gedung Kesenian Gde Manik saat menuju ruang rias. Di tempat itu, dia melihat Santi sudah siap dalam balutan kemben merah dan rok motif keemasan. Gadis dengan riasan sempurna itu sedang memperbaiki posisi gelang bahu yang sedikit miring.

"Lama sekali," kata Santi tanpa menatapnya.

"Maaf."

Di depan cermin lebar dikelilingi lampu LED, Asti melihat dirinya. Ditempeli berbagai kosmetik, membuat topeng agar cantik dan menarik. Salah satu elemen penting tata rias dalam tarian Cenderawasih adalah riasan mata. Dengan sentuhan eyeshadow hitam membuat mata Asti yang besar semakin memikat.

Apa ini yang aku inginkan?

Air mata Asti kembali menetes.

Wanita bermasker yang merias Asti menggerutu. Air mata berpotensi merusak mahakarya sang perias. Penata rias itu mengeringkan wajah Asti dengan hati-hati.

"Selesai mekap, aku akan menemui Wayan sebentar," kata Asti.

"Sebentar lagi kamu ke panggung."

Santi memberikan mahkota berornamen jambul bergaya panji kepada Asti. Namun, belum sempat Asti mengambilnya, dia berkata, "Akan kupasangkan."

Asti menggigit bibir bawah, dia belum melihat Wayan. Ponsel dalam tas selempangnya berbunyi. Bergegas Asti mengambil benda pipih itu. Presentase baterai hampir habis. Dia tak ingat mengisi daya saat di rumah sakit.

Wayan

Semangat, Asti 💪

Anda

Kamu dateng, kan?

Wayan

Dateng, dong.

Anda

Kutunggu 😄

Wayan

Okey 👍

Asti tersenyum lega menerima pesan dari Wayan. Ponsel pun menggelap.

"Ayo, ke belakang panggung."

Asti mengangguk. Dia berjalan di depan Santi. Sesekali dia memilin sampur kuning cerah dengan jemarinya. Dia sangat gugup!

Apa ini akan bekerja?

Apa semua akan baik-baik saja?

Dia tak yakin, tetapi Asti hanya perlu melakukan yang terbaik. Dia menepis semua afirmasi negatif dalam dirinya.

Para penari pendet sudah keluar, Asti akan melakukan pepeson, gerakan babak awal saat pereret, rindik, cengceng, dan tabuhan lain mulai dimainkan.

Asti melirik ke arah Santi sebelum menginjakkan kaki ke atas panggung. Wanita yang ditatapnya hanya mengangguk. Itu pun sangat samar. Lagi pula, Asti sudah belajar banyak hal tentang tari Cenderawasih ini. Bahkan dia hafal di luar kepala sejarah tarian yang diciptakan seniman Bali, I Gede Manik. Detail tahun pertama ditampilkan, sampai gerakan koreografi hasil aransemen N.L.N. Swasthi Wijaya Bandem yang akan dia pentaskan.

Asti berputar setelah memasuki pentas, dia memerankan burung betina yang akan diikuti masuknya Wayan, Cenderawasih jantan. Keduanya akan melakukan gerakan manis yang harmonis. Kemudian, cenderawasih betina lain--Santi--menghampiri si jantan sebagai bentuk cobaan kesetiaan. Dia akan berusaha menghancurkan cinta itu, mencoba merebut, dan menjadikan Wayan kekasihnya.

Di tengah kebimbangan Cenderawasih jantan, memori-memori yang dilalui dengan si betina menguatkan cinta mereka. Betina lain memutuskan mengalah dan pergi. Sepasang burung itu memilin kisah mereka dalam bahagia.

Pengembangan skenario yang Ukaysha susun sangat indah, Asti menyukainya.

Gerakan bola matanya yang besar selaras dengan musik yang mengalun. Ekspresinya begitu memukau. Sayangnya, ekor mata Asti menangkap sosok yang sangat dia kenali, Wayan.

Lelaki berambut ikal itu berdiri di bawah pohon dan mengarahkan bidikan kamera ke arahnya. Asti berdebar hebat. Lirikkan gadis itu tak setajam sebelumnya.

Sudah saatnya Wayan masuk ke pertunjukan, tetapi lelaki tersebut justru menjauhi kerumunan dan Asti tidak bisa mengejarnya. Santi sudah memasuki arena dengan gerakan meiberan yang menandakan gerakan utama. Kini, mereka berdua berkolaborasi. Gerakan yang seharusnya dilakukan bersama Wayan agar magis itu bekerja.

Kenapa Wayan?

Asti terus bertanya dalam hati. Dia tak mengerti mengapa Wayan tega melakukan ini, menyakiti dirinya lagi. Jika menari Legong dengan Santi tidak keberatan, harusnya tidak masalah menari Cenderawasih bersama Asti. Batinnya terus bergejolak. Setiap argumen dalam dirinya tetap lemah meski berkali-kali mencari pembenaran.

Tubuh Asti bergetar, dia merasa lemah. Tenaga dalam dirinya seolah menguap. Namun, senyum Ukaysha menyambanginya dan Asti sudah berjanji. Perlahan, api dalam dada seolah menyala lalu membara dan berkobar-kobar.

Ada yang menaruh percaya penuh padanya bahwa Asti bisa melakukan tarian ini dengan baik.

Tanpa Wayan sekalipun!

Asti bergerak dengan gesit, ayunan kaki begitu ringan, kibasan sampur begitu estetik. Taksu dalam dirinya seolah keluar. Dia menari dengan hati, senyum tulus ada di wajah itu.

Dia Cenderawasih jantan yang kasmaran. Gerak ngengsong, ngombak angke, mekecog kanan, agem kiri, nyolsol, mencogan semua dilakukan tanpa berpikir, seperti punya nyawa sendiri. Sampai babak pengipuk, bayangan Ukaysha yang tertawa bebas berkeliaran di kepalanya. Bintik keringat mulai menyembul di pori-pori, pragina itu benar-benar totalitas.

Dia ingin ke Parama Sidhi, memastikan keadaan Ukaysha sudah lebih baik atau tidak .... Namun, Asti tak membiarkan pikiran negatif mampu menemukan celah dalam dirinya.

Dia tak pernah lari dari masalah apapun, sekarang pun tidak! Asti akan menyelesaikannya.

Sebelum itu, dia harus bertemu Ukaysha!

"Kamu sudah tahu tentang ini?" tanya Asti seraya mencekal pergelangan tangan Santi.

Pertunjukan telah selesai beberapa menit yang lalu.

"Apa maksudmu?"

"Kamu sudah tahu, kan, Wayan enggak akan tampil?"

"Gue datang memang buat ini."

Santi meninggalkan Asti yang bergeming.

'Memang buat ini?' Semua ini direncanakan? Apa artinya gladi bersih itu? Semua kesempurnaan itu palsu?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top