15》Sehari dengan Asti
Asti sudah siap dalam balutan jaket denim yang membungkus kaus loreng. Dia terlihat sangat santai dengan celana pendek berbahan katun yang dikenakannya. Senyum yang terlukis begitu lebar. Dia puas berhasil membujuk lelaki sedingin kulkas itu. Entah mengapa dia merasa perlu melakukan ini.
Sejak sampai di Bali, lelaki berdagu meruncing itu tak pernah menghabiskan waktu untuk bersenang-senang. Dalam tempurung kepala yang keras itu pasti hanya kerja, kerja, kerja. Hidupnya benar-benar monoton.
Lagi pula, Asti merasa perlu berterima kasih. Ukaysha berhasil menyeting segalanya dengan sempurna. Dari gladi bersih yang dilakukan semua lancar dan sesuai rencana.
Asti akan menari Cenderawasih bersama Wayan!
Catat itu! Asti akan mencapai impiannya. Dengan mudah, indah, dan penuh keajaiban. Kekuatan magis yang terpancar nanti akan menghancurkan berbagai hambatan dalam hubungan mereka.
Happily ever after tidak hanya dalam novel-novel romansa atau dongeng pengantar tidur, Asti sendiri akan merasakan kekuatan cinta itu. Gadis itu sempat cemas Wayan tidak kembali saat latihan. Namun, Ukaysha menjelaskan melalui sambungan telepon kalau Wayan akan datang. Raut Asti yang berseri-seri sejak mengganggu Ukaysha di kamar, membujuknya agar mau keluar di hari tenang, bahkan sampai lelaki itu keluar, senyum tak putus dari wajah bulat itu.
Kedua tangan Ukaysha tersembunyi dalam saku jaket baseball yang dikenakannya. Dia terlihat enggan dan malas. Terlebih waktunya yang berharga akan dibuang dengan percuma tanpa kegiatan produktif sama sekali.
Sekali aja kayaknya enggak masalah, pikirnya saat dia akhirnya menyambar handuk putih dan menghilang ke dalam kamar mandi. Tak lama setelahnya, dia muncul masih dengan ekspresi wajah sedatar itu.
"Berangkat sekarang? Kita enggak akan jauh-jauh, kok."
Meski tanpa jawaban, Asti tahu lelaki di sampingnya setuju. Wajah bingung Ukaysha selalu menggemaskan, apalagi saat dia tidak menjumpai mobil mewahnya.
"Aku enggak bisa nyetir, kamu ingat? Tapi, karena aku udah janji akan jadi boysitter-mu hari ini. Kita akan tetap pergi," jelasnya dengan girang memamerkan kontak sepeda motor. "Ini akan menyenangkan!"
Asti menaiki Beat Pop merah muda beraksen putih. Tampaknya lelaki itu ragu. Ukaysha belum pernah naik motor lagi setelah kejadian itu, kecelakaan yang merenggut paru-parunya.
"Ayo, naik. Ntar kesiangan," ajak Asti.
Motor itu melaju pelan saat keluar kompleks perumahan, perlahan kecepatan bertambah. Angin meniupkan aroma bunga dari tubuh Asti. Dia tak bisa mengendalikan detak jantungnya yang berdebar lebih cepat.
Apa belanja dan wanita enggak bisa dipisahkan?
Mood Ukaysha turun dengan cepat saat sepeda motor yang mereka naiki berhenti di sebuah pusat perbelanjaan. Dia hampir lupa, pertemuan mereka pun terjadi di tempat seperti ini. Ukaysha mengikuti Asti tanpa gairah sekali. Dia tak suka menghabiskan waktu di tempat yang terlalu ramai kecuali dalam urusan bisnis.
"Apa ini cocok? Bagus mana? Warna magenta atau fusia? Duh, aku bingung, ngung, ngung! Bantuin, dong."
Ukaysha melongo melihatnya. Di matanya lelaki itu hanya melihat warna yang sama, merah muda.
Ribet amat jadi cewek! Ukaysha sudah bosan berputar-putar dari satu toko ke toko lain. Dia akan pulang! Dengan taksi daring pun tak masalah. Namun, dia baru menyadari, dirinya meninggalkan ponsel dan dompet di rumah. Mau tak mau dia berbalik arah mencari Asti dan memuaskan nafsu belanjanya itu.
"Duh, Asti, kamu tahu enggak kenapa aku memberi waktu tenang sebelum acara itu? Kita buang-buang waktu dan energi tahu enggak, sih, di sini."
"Kamu enggak suka jalan sama aku?" Asti mengetuk jemarinya di meja membentuk irama. Baru lima menit keduanya masuk sebuah resto yang menyajikan makanan khas daerah Singaraja.
Enggak ada yang lebih enak selain makanan rumahan, kata Asti saat menyeret Ukaysha masuk.
"Kita bisa istirahat seharian di rumah biar bisa tampil maksimal besok."
"Aku janji akan menampilkan yang terbaik untukmu, untuk Glorius Company maksudnya. Ayo, makan!" Asti meninggikan suaranya saat satu per satu pramusaji membawakan pesanan mereka. Gadis di hadapan Ukaysha terlihat mengendus dan menikmati aromanya sebelum mencicip makanan yang tersaji. Blayag, laklak, jeje uli, dan es ancruk sudah terhidang.
"Makan ini, ini Blayag. Rasanya maknyos, lihat bumbu kuningnya, hm ...."
Asti menyodorkan makanan yang sekilas mirip gado-gado, tetapi keduanya berbeda. Tidak ada bumbu kacang di atas ketupat, telur rebus, sayur bayam, dan tauge.
"Gimana, enak?"
Ukaysha tertegun sejenak sebelum tersenyum setelah menatap Asti. Mulutnya masih dipenuhi daun bayam.
Asti terlihat bangga, lelaki itu sudah melukiskan senyum di wajah yang biasanya menampakkan ekspresi datar. Tanpa berpaling dari Ukaysha yang lahap menyantap blayag, Asti memasukkan laklak dalam mulutnya. Ukuran gigitan yang besar membuat kedua pipi menggembung lucu.
Ukaysha dan Asti terlibat aksi saling pandang sesaat.
Seolah ada yang menghantam dada Asti hingga dia terbatuk-batuk.
Refleks Ukaysha menghentikan makan dan mengambilkan air putih untuk Asti. Gerakan keduanya terhenti, kedua tangan mereka bersatu memegang gelas. Sensasi aneh menyedot perhatian mereka. Entah mengapa bersentuhan menjadi asing bagi Asti. Bukannya sebelum ini dia mudah sekali menyentuh Ukaysha. Menarik tangan, menyentuh jidat saat meledek, bahkan menarik ujung bibir memaksanya tersenyum.
Ukaysha selalu diam dan menatap dengan cara yang sama saat Asti menyentuh, mengganggu, dan meminta perhatiannya.
Asti menyelami perasaan aneh itu, pikirannya menjadi tidak fokus. Dia terus meminum air putih itu sampai habis.
"Udah mendingan? Kita pulang aja?" tanya Uka.
"Enggak, nggak, nggak! Kita bahkan belum ke lokasi masa udah mau pulang aja," kata Asti sambil cemberut. "Abisin dulu, mubazir buang-buang makanan."
Jeje uli dari ketan disajikan dengan tape, laklak yang diguyur larutan gula merah, bahkan segarnya es ancruk dengan mudah menetralkan perasaan Asti. Dia terlihat baik-baik saja. Hanya saja, sesekali wajahnya merona. Entah apa yang dia bayangkan.
Menari Cenderawasih membuat Asti sangat senang bahkan hanya dengan membayangkannya saja.
"Udah? Mau nambah?" Pertanyaan sederhana Asti membuat Ukaysha tersentak. Dia hanya mengamati wajah Asti, tetapi jantungnya berdebar hebat. Seperti kepergok melakukan skandal hebat.
***
"Sebenarnya, aku mau ajak liat air terjun, tapi takut kecapekan dan besok enggak bisa tampil maksimal. Next time, saat kamu kembali, aku akan menunjukan tempat terjun yang oke di Singaraja, setuju?"
Lagi-lagi lelaki itu hanya tersenyum. Bahkan senyumnya sangat samar. Dalam keadaan berlibur pun dia terlihat banyak berpikir.
"Udah capek?"
Ukaysha mengabaikan pertanyaan Asti. Entah kapan dia merasa benar-benar sehat, tidak mudah merasa kelelahan. Dia menarik napas panjang dan menatap langit-langit. Warnanya masih biru cerah dengan beberapa awan tipis yang menggantung di sana.
"Di sini indah, ya? Tenang, sepi ... seolah semuanya sempurna. Lupa duka, sakit, dan rasa tak nyaman seolah hanya mitos. Iya, kan?" Asti bermonolog tanpa henti.
"Hm."
"Kita, tuh, ke sininya kesiangan tahu enggak, sih?"
Asti menampakkan wajah cemberut yang lucu. Ukaysha menoleh dan berkata,"Kenapa?"
"Kita bisa liat sunrise yang indah dihiasi tarian lumba-luma di sini."
"Pasti menarik."
"Senjanya juga indah, mau lihat sunset bareng di sini?"
"Kamu mau?"
Asti mengangguk.
"Nanti kita lihat sunset di sini, ya."
Asti menjatuhkan kepalanya di pundak Ukaysha dan membisikkan terima kasih. Sudah siang hari, aroma tubuh Asti yang tertiup angin masih tak berubah. Wangi yang mungkin akan dia rindukan kelak.
Meski ingin menghirupnya lagi, mungkin, setelah hari ini tidak akan ada lagi kesempatan yang dia miliki. Jika mitos dan rumor itu benar dan Wayan mau menari Cenderawasih bersama Asti, Ukaysha tidak ada peluang sama sekali.
Ukaysha menahan gejolak yang mulai memberontak dalam dada. Dia yakin, mulai menyukai Asti. Namun, sakit hati untuk kesekian kali ... dia tidak siap.
Asti menyukai Wayan begitu juga sebaliknya. Tidak ada kekuatan semesta yang akan menghancurkan kekuatan cinta keduanya.
Ukaysha sudah tahu, mempertahankan orang yang sangat dicintai itu perlu dan penting. Namun, jika orang yang dipertahankan juga memiliki perasaan yang sama. Kalau pun memaksa, hati terkoyak adalah taruhannya.
"Seru-seruan, yuk!" ajak Ukaysha membuat Asti melongo takjub.
Lelaki yang mengajaknya seru-seruan adalah Ukaysha Athalla Gandasasmita! Mana mungkin Asti menolak sesuatu yang seru dan menyenangkan.
Satu-satunya jepit rambut mutiara imitation yang Asti pakai sudah tidak bertengger di kepala. Ukaysha sudah mengambilnya dan gadis itu tak menyadari sama sekali. Dia pikir, lelaki di sebelahnya mengelus kepala untuk membuang daun kering yang jatuh di sana. Ternyata daun itu memang sengaja dijatuhkan di sana agar dapat mengambil benda pemberian Wayan itu. Dasar modus!
"Enggak akan ngebosenin kalau ToD-nya pakai ini," jelasnya sambil menyeringai. "Aku akan melemparnya ke udara. Siapa pun yang memegang jepitan ini selama lima detik, dia berhak mengajukan Truth or Dare kepada yang kalah. Gimana?"
Asti manyun sesaat sebelum berkata, "Oke, tapi aku melempar pertama kali."
"Enggak masalah. Ambil!"
Asti berhasil menangkap jepit mutiara itu dan melemparnya tinggi-tinggi. Matanya yang besar menyipit saat mendongak. Cahaya matahari yang memantul cukup tajam. Benda mungil itu berkilat mendekat. Baik Asti ataupun Ukaysha telah bersiap merebut benda itu.
"Aku dapat!" Asti mulai menghitung cepat sampai lima.
"Woy, itu hitungan apaan? Cepet banget, gila!"
"ToD, truth or dare?" tanya Asti girang. Dia terlihat menyeka kening dengan punggung tangan.
"Dare," jawab Ukaysha sambil berkecak pinggang.
"Tapi aku belum pikirin mau kasih dare apaan. Hm, truth aja, ya?"
"Ish, mana boleh gitu?"
"Bolehlah, kapan terakhir kali kamu kentut di depan pacar?"
"Pertanyaan macam apa itu enggak berbobot sama sekali."
Ukaysha terlihat malas, tetapi dia tetap menjawab, "Saat rapat tahunan."
"Rapat sama pacar? Kencan kali." Asti tergelak saat mencoba mengoreksi jawaban Ukaysha. Namun, lelaki itu tidak tertawa. Walau tidak marah, wajahnya terlihat masam. Jelek sekali.
"Rapat, dia sekretaris pribadi."
"Oh."
Ukaysha melempar jepitan yang dia ambil dari Asti.
"Hah? Itu kamu sebut lemparan? Gimana aku merebutnya?"
Lelaki itu mengabaikan ocehan Asti. Dia terus menghitung. "Empat, lima. Truth or dare?"
"Dare!"
Ukaysha berlari menyusuri pantai tanpa melepas sepatunya. Dia harus menghindari gadis berambut sepunggung yang terus mengejar. Tubuhnya yang sintal memiliki gerakan yang gesit. Keringat sudah membasahi ponytail-nya. Namun, dia pantang menyerah. Meski dare-nya adalah mencium salah satu kaus kaki yang sedang Ukaysha pakai[]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top