14》Boysitter

Asti bisa mendengar burung peliharaan kakek sudah berkicau. Lembaran baru dimulai. Gadis itu sudah mengenakan celana training jogger dan kaus kuning cerah. Dia mengingat kembali perkataan Gusti tentang dirinya. Asti tak berniat membela Ukaysha, dia sendiri ingin menghajar lelaki itu. Kedua tangan miliknya saja sudah cukup melumpuhkan tubuh kurus Ukaysha. Namun, tidak jika dilakukan oleh Gusti, bisa-bisa temannya itu masuk rumah masa depan--kuburan--lebih cepat.

Sikap posesif Gusti lahir karena luka dan pengkhianatan. Rasa sakit itu mampu menggerogotinya. Tak peduli dirinya seorang lelaki yang kuat secara mental dan fisik.

Menikah usia muda tanpa pertimbangan yang matang, tanpa memedulikan apa pun atas nama cinta, Gusti melakukan itu. Tidak ada yang salah dengan cinta, kadar yang berlebihan telah membutakan dirinya. Menutup akses percaya. Gusti tidak mempercayai siapa pun selain cinta itu. Sampai semesta membukakan matanya. Menyodorkan bukti-bukti dan fakta pengkhianatan sang istri.

Cinta itu membuatnya rapuh dan sakit.

Gusti tak ingin kedua adik kembarnya dan Asti merasakan hal yang sama.

Rasanya canggung, Ukaysha tinggal di kediaman Asti lagi. Heran, dia justru memilih meninggalkan resor mewahnya di Ubud. Pengumuman yang dilontarkan Ukaysha secara tiba-tiba lebih mengejutkan lagi. Dianti dan tim Glorius Company pontang-panting. Tanpa mendiskusikan dengan siapapun tempat pelaksanaan parade diubah. Beruntung HRD Glorius Company hanya memilih orang-orang kompeten di bidangnya. Semua persiapan berjalan lancar.

Asti sudah memasang earphone di kedua telinga. Gadis yang mencepol rambutnya itu tak mau terlibat pembicaraan apa pun.

Perasaanku ....

Yang terlanjur sudah

Tersimpan dalam hatiku, tak begitu saja ....

Dapat terhapuskan, meski kau dengan mudahnya dapat pengganti diriku.

Lantunan lagu merdu itu mengalun indah di liang telinga. Menghanyutkan perasaan Asti yang terombang-ambing. Kehadiran Santi benar-benar mengusiknya. Ada ketakutan merayap perlahan. Seakan-akan Wayan akan kembali berpaling dan meninggalkannya. Asti meragukan kekasihnya sekali lagi. Dia menggeleng pelan, menepis pikiran yang bersarang. Gadis itu memejamkan mata sampai tak menyadari mobil yang membawanya telah berhenti di sebuah halaman yang luas.

Gadis itu sedikit kebingungan, dia melepas earphone dan melihat ke deretan pohon di sekeliling. Ada sebuah gedung berlantai tiga bergaya modern dengan material kaca yang mendominasi bangunan itu.

"Enggak ke tempat latihan?"

"Apa aku harus membungkam mulutmu lagi?"

"A-aku bisa ke sana sendiri," jawab Asti.

Dia merutuk Ukaysha di setiap langkah, hanya dalam hati tentunya. Seenaknya lelaki itu bilang akan membungkam mulut Asti!

Memangnya siapa dia? Berani benar mengambil kesempatan dalam kesempitan. Dasar, Kadal!

"Kadal tlisik pula," gumam Asti kelepasan bicara.

"Kamu ngomong apa?"

"E-enggak ada, kok! Nggak, nggak, nggak," elaknya sambil menggerakan jari telunjuk. "Dua es kelapa muda ekstra susu tanpa gula!"

Asti berteriak sambil mempercepat langkahnya menuju kedai es kelapa di pinggiran jalan. Payung kuning berukuran besar menjadi satu-satunya pelindung dari terik matahari.

Ukaysha tidak menjumpai adanya deretan kursi kayu ataupun meja. Hanya beberapa kursi plastik yang sudah rapuh termakan usia. Membayangkan terjatuh saat duduk di atasnya membuat lelaki berkemeja putih itu bergidik. Lagi pula tujuan awal mengajak Asti bukan untuk menikmati es kelapa ekstra susu tanpa gula. Terlebih minuman dingin itu hanya disajikan dalam kemasan plastik.

"Enggak jadi, Pak!" Ukaysha menarik lengan Asti.

"Tapi ini udah dibikinin," rajuk Asti melepaskan diri. Dia mengambil dua plastik es itu. Bola matanya nyaris keluar saat membelalak. Ukaysha merebut dua plastik itu dan melempar ke tempat sampah.

"Hei!"

Selembar uang bergambar sang proklamator diberikan pada pria tua itu.

"Kembaliannya ambil aja."

Asti kesulitan menyamai langkah jenjang Ukaysha. Dia sampai berlari kecil agar tak tertinggal. Kadar kekesalannya sudah berlipat-lipat sekarang. Terlihat dari bibirnya yang monyong beberapa mili.

Dinginnya es kelapa muda yang akan meniadakan rasa haus hanya ada di angan. Dengan kesal dia terus berkata, walau sangat yakin Ukaysha tidak akan mendengarkan ocehannya itu.

"Kamu tahu, membuang makanan dan minuman itu perbuatan mubazir? Numpuk-numpukin, kok, dosa. Emang ibumu enggak mendidikmu dengan benar untuk tidak seenaknya walau kaya?"

Ukaysha berhenti tanpa menoleh, jemarinya sudah terkepal. Gigi-giginya saling bertumbukan. Hawa panas merayap cepat dalam tubuh. Ukaysha tak boleh teralihkan! Dia menarik napas panjang dalam satu tarikan.

Asti menganga mendapati plang nama bertuliskan FLOP. Forever Love Project, wedding organizer terbaik di ibu kota yang baru-baru ini membuka cabang di pulau Dewata.

"Wow, luar biasa! Jadi Glorious Company bekerjasama dengan FLOP?!" Semudah itu perhatian dan konsentrasi Asti teralihkan.

"Enggak."

"Enggak? Maksudnya? Ngapain kita di sini? Di wedding organizer?"

Artis papan atas, orang-orang tersohor, dan para sosialita banyak yang memakai jasa FLOP. Wajar, jika aliran informasi tentang FLOP mudah diakses. Kualitas tidak diragukan lagi hingga keeksisannya melejit tajam.

"Kita enggak banyak waktu, kan?"

"Tunggu, tunggu. Maksudnya gimana, sih, ini?"

"Masih enggak ngerasa punya utang penjelasan tentang ini? Tentang waktu baik yang selalu dibicarakan Tukakiang? Tentang pingitan yang dikatakan ibumu waktu itu? Kamu enggak mau jelasin apa-apa gitu?"

Ingatan Asti terkumpul begitu cepat mendengar pertanyaan Ukaysha. Mana mungkin bisa lupa! Gadis itu sudah menggigit bibir bawahnya dengan resah. Dia masih tak tahu bagaimana menceritakan kepada temannya ini.

"Kamu suka model apa? Modern dengan sentuhan etnik? Kita bisa memesannya, iya, kan, Hera?"

Wanita berambut sebahu itu begitu antusias saat menerima telepon dari Ukaysha beberapa waktu yang lalu.

"Tentu, kami bisa mendesain model yang--"

Asti memotong dengan cepat. "Tunggu, tunggu. Maaf, sebenarnya ini hanya--"

"Hera, apa kamu bisa menunjukkan koleksi terbaik dari FLOP? Aku mau pernikahan yang sempurna dengan tema--"

"Enggak usah ditunjukin! Ma-maksudnya, begini ... Sayang, kita bahas ini nanti, ya?" Asti memulai drama micinnya. Dia harus menyeret lelaki itu keluar ruangan penuh busana pengantin. "Kita akan datang lagi nanti, ayo, Say!"

"Permisi," pamit Asti kepada Hera. Pemilik FLOP yang sengaja terbang dari Jakarta hanya untuk melayani klien sepesialnya, Ukaysha.

"Ayolah, ada tempat lain membicarakan hal ini selain di sini." Asti berkecak pinggang. "Kunci mobil, biar aku yang nyetir!"

"Latihan dulu, baru bicara," kata Asti memecah kesunyian.

"Enggak."

"Wayan pasti udah nunggu!"

"Bisa enggak, sih, berhenti mikirin Wayan saat bersamaku? Cenderawasih ini penting, kan, buat kamu? Sama! Parade ini penting buat aku. Kamu yang memperumit segalanya, Asti."

"Aku tahu, aku belum sempat--"

"Belum sempat apa? Belum sempat memberitahuku? Apa menurutmu ini enggak penting buatku? Apa menurutmu hal sepele?"

"Bukan begitu, tapi ...."

Ukaysha menahan diri untuk tidak memarahi gadis yang hampir menangis itu. Dalam hati dia hampir menyumpahi Asti. Dua jam Ukaysha harus terjebak bersama Kakek. Terpaksa mendengarkan banyak hal.

Dua jam itu, penilaian Ukaysha terhadap Kakek berubah total. Lelaki tua itu tak secuek yang dia kira. Banyak kecemasan yang dipendam dalam hatinya. Terutama tentang Asti yang terobsesi menari Cenderawasih bersama Wayan.

Sedangkan tarian itu, meski menarikan tarian cinta perkawinan sepasang burung, mayoritas penari wanita. Satu orang berperan sebagai pejantan dan lainnya betina. Desahan napas panjang

yang diembuskan Kakek membuat Ukaysha sedikit mengerti kekhawatirannya.

Tentu saja, mendatangkan Santi bukan tanpa alasan.

"Aku sangat mencintai Wayan." Tangisnya pecah.

"Nenek tidak pernah menyetujui hubungan kami, kasta kami berbeda, katanya. Itu kuno sekali, kan?" tanya Asti sambil membersit ingus. "Aku enggak ngerti kenapa Kakek juga enggak setuju! Makanya aku mau menari Cenderawasih dengan Wayan. Aku yakin, semua akan baik-baik saja setelah semua ini. Aku dan Wayan akan bersama selamanya. Semua penghalang akan hilang."

"Kamu seyakin itu sama mitos?"

"Itu bukan mitos! Lihat aja, saat aku dan Wayan berdiri dalam pelaminan nanti," jawab Asti dengan ketus.

Ukaysha membatalkan niatnya membongkar tujuannya menghadirkan Santi, masa lalu Wayan.

"Ada maksud apa mendatangkan Santi, hah? Kamu sengaja, kan? Ini konspirasi, iya, kan? Enggak usah mungkir, ayo, ngaku!"

***

"Briefing sekarang!" perintah Ukaysha menghentikan latihan yang sedang berlangsung.

Penabuh gamelan berhenti, Santi dan Wayan pun menepi. Ukaysha mengambil alih kendali. Dia membagikan konsep baru. Tanpa memberi waktu bagi siapapun untuk menyanggah apalagi menyela perkataannya. Keputusan yang diambil itu mutlak!

Selain anggukan, terdapat keluhan yang berdengung. Perubahan konsep yang tiba-tiba disaat waktu semakin menipis membuat semua orang bekerja lebih keras.

"Acara inti akan dimulai pukul 10.00 WITA. Enggak boleh molor barang semenit pun. Penyambutan berupa hiburan akan dimulai sejak pagi. Persiapkan semuanya. Detail acara dan perubahannya ada dalam dokumen ini. Tolong, jangan sampai mengecewakan Glorious Company," papar Ukaysha memberikan dokumen kepada seorang yang dipercaya mengurus acara ini. "Wayan, ikut saya."

Ukaysha melempar kunci mobil ke arahnya yang ditangkap dengan gesit oleh lelaki itu. Keduanya meninggalkan gedung kesenian. Namun, Asti berlari menghentikan mereka. Gadis itu terlihat cemas. Hubungan Wayan dan Ukaysha tidak terlalu baik, dia takut hal buruk menimpa keduanya dan Asti tidak bisa memilih.

"Aku ikut!"

"Kamu harus berlatih dengan Santi." Seseorang berkaus biru menjelaskan. Lelaki itu orang yang sama, orang yang telah mendapat mandat--dokumen perubahan konsep acara--dari Ukaysha mengatur acara ini. Kedatangan Asti yang terlambat saja sudah membuat pemimpin sakehe tari itu cukup dongkol. Untung Asti datang bersama pemilik Glorious Company.

"Ke mana kita akan pergi?" Wayan memulai pembicaraan. Dia mengamati wajah pucat yang bersandar di jok mobil.

"Tempat ayahmu," jawabnya tanpa membuka mata.

"Tapi kenapa?"

Ukaysha menarik napas panjang dan menoleh ke arah Wayan yang fokus mengemudi.

"Aku merasakan banyak perubahan sejak bertemu Asti," katanya lalu menunduk. "Aku salah menekanmu, tapi ... terima kasih tidak datang tadi pagi."

"Aku tahu bukan itu alasannya."

Ukaysha tersenyum getir, "Menyedihkan memang, saat aku sendiri persis ada di posisimu dan aku malah menekanmu."

Ukaysha mendongak, dia tidak akan menangis. Apalagi depan orang lain, terlebih Wayan. Dia tidak pernah gagal. Keinginannya jarang sekali tertolak. Apa pun caranya, tujuan itu harus menemui jalan keluar, termasuk menekan Wayan agar mengikuti perintahnya. Keadaan ekonomi Wayan menurun drastis sejak sang ayah sakit. Latar belakangnya membuat kehidupan sosial Wayan cukup sulit. Hal itu memberi keuntungan pada Ukaysha. Meski terbilang sulit, pada akhirnya lelaki itu bisa dia kendalikan.

Terlepas dari kesalahan dan perbuatan buruk yang orang tua lakukan, seorang anak pasti ingin melakukan hal terbaik untuk mereka.

Begitu juga dengan Wayan, kehidupan memang lebih pelik sejak ayahnya terserang hipertensi yang membuatnya struk. Pemuda itu nyaris putus asa. Sudah lebih dari dua bulan dia bekerja serabutan. Mulai dari menjadi kuli panggul di pasar tradisional, menjadi pelayan di rumah makan, dan menjadi juru potret di tempat wisata saat akhir pekan.

Adanya festival ini sebenarnya sangat menarik perhatiannya. Namun, dia pasti akan bertemu dengan Asti. Lelaki berkaus oblong itu sudah dua bulan mencoba menjaga jarak dari Asti, terlebih hal itu berkaitan dengan sakehe dan tarian.

Pacarnya itu tak akan berhenti membicarakan rumor, mitos, dan tarian Cenderawasih. Wayan tak ingin fokusnya teralihkan.

Ukaysha datang dengan sebuah tawaran yang menarik asal Wayan mau menari untuk perusahaannya, Glorius Company. Upah yang ditawarkan begitu menggiurkan. Dia pun mulai mempertimbangkan kebimbangannya. Dia masih belum siap bertemu dengan Asti sejak kejadian di ballroom.

Lelaki yang diketahui datang bersama Asti malam itu mulai memanfaatkan Wayan dan keadaan ayahnya. Kesepakatan pun terjalin. Sayangnya, Ukaysha tidak menjelaskan secara gamblang tarian apa yang harus ditampilkan hingga perdebatan kembali terjadi. Ancaman akan keselamatan ayah Wayan menjadi solusi terakhir.

"Anda pasti sangat lelah hari ini," kata Wayan. Dia merasa sedikit bersalah menerima tawaran Dianti.

Waktu itu, Dianti datang lagi setelah kesepakatan pertama ditolak. Mengkhianati sebuah kesepakatan jelas bukan pribadi Wayan. Namun, wanita itu datang dengan penawaran baru. Tanpa mengancam, Wayan juga tak perlu mengkhianati Ukaysha.

Mengawasi, menjaga, dan melaporkan. Terdengar jahat memang, daripada disebut boysitter, dia lebih mirip penguntit.

Memenuhi satu keinginan Ukaysha pagi ini, Wayan harus mengalami pergolakan batin. Dia tidak ingin memakan gaji buta dari Dianti tanpa melakukan pekerjaannya. Namun, sisi kemanusiaannya juga memahami bagaimana perasaan Ukaysha. Setiap orang memiliki ruang pribadi yang tak pantas dijamah siapa pun.

"Aku lihat kamu ini bukan tipe yang aneh-aneh, aku bahkan bisa melihat perasaanmu ke dia tulus, tapi kenapa, Wayan? Apa yang menghalangi hubunganmu dan Asti sebenarnya?"

"Kasta kami berbeda dan terlebih ... aku anak Si Mata Merah," paparnya.

Ukaysha masih tak percaya dengan fakta yang ada di depannya. Sejak awal, dia sudah menduga kakek Asti dan Si Mata Merah orang yang sama. Beberapa kali dia menemukan kejanggalan saat berinteraksi dengan lelaki itu. Dompet dan ponsel Ukaysha yang hilang di Gili Manuk dapat ditemukan, sebenarnya tampak mustahil. Namun, Ukaysha membiarkan hal itu tak mengganggu dirinya lebih lama.

Mendengar penuturan Wayan barusan membuka pertanyaan baru yang ingin dikuak. Seberapa dekat kakek Asti dan Si Mata Merah, alasan yang merintangi cinta Wayan dan Asti, dan masih banyak lagi.

"Gimana menurutmu tentang Asti?" tanya Ukaysha membuka percakapan.

"Aku sangat menyukainya."

"Aku tahu."

"Aku enggak ingin Asti dipandang buruk di lingkungannya. Menari Cenderawasih denganku akan melanggar beberapa aturan yang ada dan dia pasti akan kena efeknya. Aku tak mau itu terjadi padanya. Dia memang akan sedih dan terluka, tapi bukankah itu lebih baik daripada semua orang mengucilkannya? Keputusanmu itu sudah benar."

"Lakukan yang terbaik, Wayan." Terdengar napas berat disertai desahan panjang.

"Apa kita perlu ke rumah sakit?"

***

"Dengan uang yang kamu miliki sekarang, kenapa tidak membawanya ke rumah sakit yang lebih besar?"

Ukaysha memindai tempat itu. Seperti rumah sakit kelas bawah pada umumnya, ada lebih dari satu ranjang single dalam satu ruangan.

Tanpa sengaja seseorang menyenggolnya sampai terhuyung. Ukaysha menyibak gorden pembatas antar ranjang dengan wajah merah padam. Namun, Wayan sudah memegang pundaknya lebih dulu.

Ukaysha mengerti maksud Wayan, 'kita di rumah sakit, dilarang berisik apalagi membuat keributan'.

Dia berbalik dan duduk di kursi plastik berwarna hijau. Sedangkan Wayan tetap berdiri. Lelaki yang sebagian rambutnya sudah memutih terbujur terbalut selimut loreng.

Wajahnya melukiskan lelah. Keriput di muka itu seolah bercerita lika-liku kehidupannya yang tak mudah. Lelaki tak berdaya ini si mata merah yang ditakuti banyak orang?

Ukaysha menghela napas panjang. Dia tak melihat otot-otot kekar membalut tubuhnya. Masa otot menyusut drastis termakan waktu dan penyakit. Dia tak mengerti mengapa suruhan si mata merah menyerangnya saat di Gili Manuk. Kalau pemimpin mereka terpuruk tak berkutik di tempat ini, lantas siapa yang menggerakkan komplotan itu dan apa tujuannya?

Apa mungkin Wayan?

Ukaysha berpaling melihat ke arah Wayan. Begitu banyak pertanyaan di kepalanya, tetapi melihat Wayan tak putus-putusnya tersenyum dan bercerita kepada ayahnya yang memejamkan mata ....

Ah, Ukaysha tak mengerti rasa bingung yang melilitnya lebih sulit dipecahkan daripada membongkar komplotan terselubung yang membelot dari Glorius Company.

***

Ukaysha tertegun di dalam kamar. Lelaki itu sering terhanyut dalam pikirannya sendiri. Seolah di sekitar hanya ruang hampa yang kosong.

"Kuharap kamu enggak keberatan," kata Asti sambil bertopang dagu. Dia tersenyum saat lelaki di depannya menoleh. "Aku akan jadi boysitter-mu, jadi ke mana kita akan pergi?"

"Kita enggak akan ke mana-mana."

"Oh, ayolah ... ini hari tenang. Aku sangat puas dengan gladi bersih kemarin. Rayakan, yuk. Makan-makan, jalan-jalan. Lagian selama di Bali aku belum melihatmu ke mana-mana selain bekerja. Padahal refreshing juga penting."

"Buang-buang waktu."

"Ayolah, hanya hari ini. Aku akan menuruti apapun permintaanmu hari ini. Aku janji."[]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top