13》Pesona Pragina Bali
Panggil saja Santi, siapa yang tidak mengenal pragina berparas cantik dari Singaraja. Wajahnya bulat dengan mata besar yang menawan. Rambut seperti gelombang laut yang lembut mempermanis penampilan. Saat tersenyum, bibir tebal itu menebarkan aura sensual. Semua orang mengagumi kesempurnaan ciptaan Tuhan yang ada pada dirinya. Tak terhitung berapa banyak orang menyukai Santi.
Kata orang, kesempurnaan gadis Bali melekat dalam dirinya.
Bukan hanya Wayan dan teman-teman yang terpikat Santi, wisatawan lokal bahkan mancanegara menyukai wanita berparas dewi itu. Sebut saja Will, Jack, Alex, Eboni, Marshal, dan beberapa lelaki lain yang tidak terlalu mencolok keberadaannya hingga nama pun terlupakan dengan mudah. Kabar terakhir yang tersebar Santi kawin lari dengan orang asing yang tinggal di ibu kota.
Lenggokan tubuh sintal saat menari mengunci berpasang-pasang mata yang menyaksikannya. Kelihaian Santi dalam menari sudah mencuri perhatian sejak duduk di sekolah menengah pertama.
Dia tak seberuntung Asti yang mengenyam pendidikan tinggi. Keadaan ekonomi memaksa Santi bekerja keras dan menghentikan pendidikan saat duduk di bangku kelas sebelas sekolah menengah.
"Aku kembali, Wayan. Hanya untukmu."
Seluruh syaraf Asti terasa membeku. Ludahnya terasa pahit saat tertelan. Dia sudah menghabiskan begitu banyak waktu untuk menunggu, ketika cintanya bersambut, ketika segalanya terasa baik-baik saja, mengapa Santi harus kembali.
Mengapa tidak lenyap saja ditelan bumi atau terhisap lubang hitam di luar angkasa. Asti sudah mengepalkan tangannya. Dia mampu melihat seringaian tipis Santi yang sengaja ditunjukkan untuknya.
Santi mendekati Wayan yang diam saja, walau Asti sangat berharap lelaki yang sudah menjadi kekasihnya akan melakukan sesuatu.
Penari tidak pernah menundukkan wajah, Asti!
Dia meyakinkan diri sendiri dengan mengingat petuah guru tarinya, Luh Kenten.
"Hyang Widhi, tiang kira taksu ini tidak akan menetes lagi sampai aku mati. Akhirnya ... kutemukan muara yang tepat untuk menumpahkan seluruh limbahku," katanya waktu itu sambil memegang pundak Asti.
Taksu dari dewa tari yang Kenten miliki. Wanita itu berkaca-kaca, dari matanya tersirat keputusasaan yang menguap saat itu juga.
Asti dan Santi yang berusia lima belas tahun saling bertatapan.
Titik balik pertemanan mereka ada di hari itu. Sikap Santi perlahan berubah. Kehangatan seorang sahabat perlahan menyusut. Segala sesuatu dijadikan perlombaan. Semua hal dinilai tentang siapa yang terbaik. Perlakuan Luh Kenten yang dirasa membeda-bedakan antara Asti dan Santi memperluas jarak persahabatan itu.
Bersaing. Bersaing. Bersaing.
"Kita lihat, taksu-mu itu apa lebih baik dari tiang? Siapa pun nantinya yang menari bersama Wayan, dialah yang terbaik." Santi menyeringai saat meninggalkan ruang musik. Tempat mereka bertiga berlatih menari bersama.
Kata Luh Kenten, Asti penari yang baik, pemegang taksu yang layak. Namun, takdir tidak menginginkan dirinya menari bersama Wayan dulu. Bahkan mungkin sekarang. Asti berdebar hebat dia tidak akan pernah melupakan masa-masa kedekatan antara dirinya, Santi, dan Wayan.
Asti dan Santi berlatih bersama. Tarian Legong Keraton yang lembut dan sarat makna. Gerakan feminin yang memperkuat aura kewanitaan mereka.
"Wayan akan menjadi milik tiang," kata Santi saat berjalan bersama menuju sanggar tari. "Tiang suka Wayan!"
Santi menjadi cadangan saat itu, pementasan Oleg Tamulilingan hanya tinggal menghitung mundur. Sebagai media promosi, akan diadakan pemotretan antara Asti dan Wayan.
Mengikuti sekehe tari yang sama membuat tiga sahabat itu kerap ke mana-mana bersama. Mereka harus siap menari di mana pun saat dibutuhkan.
Asti sudah berias dengan kostum tari Oleg. Tarian penuh sentuhan hasrat dan keintiman. Tarian romantisme yang ditarikan pemuda-pemudi Bali. Wayan dan Asti semakin dekat. Kepopulerannya tak hanya menyebar seantero SMA dan sekehe. Poster dan foto-foto mereka yang menghiasi papan reklame dan baliho seminggu penuh menyita perhatian publik, pasangan serasi, kata mereka.
Pada waktu yang ditentukan, banyak warga berkumpul untuk menyaksikan keanggunan Asti dan kelihaiannya menari.
"Asti haus?" tanya Santi. "Gugup?"
Santi terus bermonolog. Dia melanjutkan perkataan yang belum tuntas. "Minum dulu, As."
Tinggal hitungan menit waktu yang ditunggu-tunggu, lehernya terasa begitu kering dan gatal. Minum tak meredakan batuk-batuk yang sudah menyerangnya.
"Kamu enggak bisa menari dalam keadaan seperti ini, Asti. Kita tidak bisa menunggu. Siapkan Santi!"
***
"Kamu ingat ini Wayan?" Pertanyaan Santi membuat Asti sepenuhnya sadar, dia masih belum bisa menerima kekalahan di masa lalunya.
Sahabat terbaik yang dia miliki sudah merenggutnya.
Santi berjalan ngegol perlahan, kedua tangan seolah-olah memegang selendang, walau tidak ada sehelai sampur pun di sana. Kemudian memungkah lawang agem kanan, nyeledet, dan menggelengkan kepala. Gerakan Santi masih luwes. Saat Santi metimpuh, matanya nyeledet menggoda. Saat itulah penari oleg lelaki seharusnya masuk.
"Kamu tidak akan menghampiriku, Wayan?"
Sengaja banget! batin Asti.
Dia tidak meminjam bola mata siapa pun saat menyaksikan keintiman mereka di depan umum tiga tahun lalu.
Harus banget, ya, nostalgiaan gitu! Bibir Asti tampak maju walau tak sepatah kata pun terlontar.
Asti tak bisa menutupi keterkejutannya. Wayan mendekati Santi. Ada kerinduan di mata itu. Perasaan yang teramat dalam. Sesuatu yang belum selesai.
Asti terkulai di bangku. Dia tak percaya dengan penglihatannya.
Penabuh gamelan saling bersorak, refleks mereka menabuh dan mengiringi tarian itu. Di belakang Asti, Ukaysha bersedekap menyaksikan opera sabun seperti di drama televisi.
Wayan tak menari, dia berdiri dari jarak yang sangat dekat menyaksikan Santi menari.
"Kamu menolakku, Wayan?"
Wayan seperti kehilangan suaranya. Sejak bertemu Santi setelah sekian lama, tak satu pun kata meluncur dari bibirnya.
Tak bisa dimungkiri, dia tidak bisa melupakan momen itu. Menari Oleg Tamulilian yang terkenal indah. Mengisahkan kumbang penghisap madu bunga. Tarian yang gemulai ditutup dengan kreasi yang tidak dipelajari di sekehe mana pun. Bibir sensual santi yang menyentuh bibirnya.
Santi tersenyum sekali lagi, Ukaysha tak tahan melihat Asti seolah sudah tidak ada pada raganya.
"Ehem."
Setelah berdeham, Ukaysha melangkah maju. Drama pun berakhir.
"Saya tidak mempekerjakan kalian untuk ini. Lebih baik, kerjakan bagian kalian."
Lelaki bertuksedo itu menggenggam tangan Asti dan mengajaknya ke ruang pribadi yang sudah dipersiapkan oleh timnya.
Asti seperti mayat hidup. Tidak ada perlawanan saat Ukaysha membawanya pergi membuat lelaki itu ingin mengulik lebih jauh lagi.
Dia mendudukkan Asti pada kursi kayu.
Membiarkan diam yang membelenggu akan mencair dengan sendirinya.
Dering ponsel di saku celana memaksa Ukaysha harus menepi. Ditempelkan benda pipih itu ke telinga.
"Kerja bagus," kata Ukaysha mendapat laporan tentang keberhasilan tugas yang diberikannya. "Pastikan semua berjalan sesuai rencana. Ubah lokasi ke Gde Manik."
Ukaysha tersenyum tipis, "Sementara biarkan seperti itu."
"Kamu terlihat bahagia, ya, Teman?"
Ukaysha menoleh ke arah Asti dan memutus panggilan secara sepihak.
"Apa rencanamu, hah? Ini konspirasi, kan? Pasti disengaja! Maumu apa, sih? Niat bantu beneran enggak? Kalau enggak jujur aja, enggak usah bikin drama! Kamu--"
Asti membatu dengan apa yang baru saja terjadi. Ukaysha meraih bahunya dan menempelkan bibirnya. Sensasi dingin yang merambat ke pori-pori membuat bulu kuduk meremang.
"Maaf, aku harus membungkam mulutmu, Teman."
Dua detik pertama, Asti belum memperoleh kembali kesadarannya. Dia seakan masih tersesat dalam roda waktu. Menatap Ukaysha penuh tanya.
"Hei, tapi tidak dengan ciuman!"
***
"Tarian yang bagus, San!" Remaja berkostum oleg itu tersenyum puas. "Aku baru sadar, kamu punya tubuh yang bagus dan gerakan yang sangat luwes."
"Bagaimana Wayan mau lihat? Di mata Wayan cuma ada Asti."
"Itu ...." Wayan menunduk.
"Jadi Wayan suka sama tiang?" Santi nyaris memekik.
"Kayaknya enggak ada yang tidak suka Santi."
"Tiang juga suka Wayan," kata Santi kemudian dia mencium pipi Wayan. "Itu tandanya Wayan jadi milik tiang."
Gejolak aneh menghantam dada, seperti arus listrik ribuan volt tiba-tiba menyerang Wayan. Tubuhnya yang berlumuran keringat membeku. Telapak tangannya mendingin.
"Wayan grogi, ya?" Santi mengusap tangan kokoh itu berkali-kali.
Asti mundur tiga langkah dari ambang pintu, bergerak cepat ke arah kanan. Namun, gerakan panik tak terkontrol itu membuatnya menabrak tempat sampah.
Dia ingin berlari, tetapi Wayan sudah memegang jemarinya. Mati-matian gadis itu menahan air mata yang akan meleleh. Dia berusaha menampakkan senyum terbaiknya saat berbalik dan berkata, "Maaf, a-aku ... enggak tahu ada Wayan di sini."
Asti menunduk, rasa panas sudah merajah kedua matanya. Setetes bulir bening berhasil menjebol pertahanan yang Asti buat.
"Asti jangan pergi, ya? Kamu pasti capek. Biar aku yang keluar." Wayan mengusap puncak kepala Asti.
Gimana bisa capek saat enggak ngapa-ngapain?
Asti memandangi punggung bidang Wayan yang menjauh dari ruang ganti.
"Asti! Wayan baru aja nembak tiang," katanya dengan bangga.
Asti tersenyum kecut.
Memiliki Wayan adalah kemenangan terbesar bagi Santi. Sayangnya, lelaki itu tidak menunjukkan reaksi positif atas perasaannya. Lelaki berambut ikal itu memperlakukan Santi seperti teman-teman yang lain.
Sedangkan Wayan, tanpa mengungkapkan perasaannya sekalipun, orang sejagat paham perasaan apa yang dipendam untuk Asti. Gadis itu selalu dihujani perhatian kecil.
Keduanya mencintai dalam diam. Sampai Asti menyadari, tidak akan ada yang tahu perasaan orang, jika dia tetap menyembunyikannya.
Asti sudah cukup lama menunggu. Dia membiarkan kedekatan Wayan dan Santi terus mengalir. Terlebih nenek Asti pernah berkata, "Jangan terlalu dekat dengan lelaki sudra itu, Asti. Mungkin kamu akan menyesali apa yang terjadi padamu nanti."
Itu dulu, saat nenek belum tiada.
Perlahan sikap Asti mulai mencair dan makin terbuka. Dia merasa bebas. Seperti menemukan muara setelah melakukan pencarian panjang. Tidak ada yang melarangnya mencintai Wayan. Tidak ada yang menghalanginya. Santi sudah pergi.
Konon, gadis itu menerima pinangan lelaki asing dari Jakarta. Seorang pelukis yang bisa membuatnya kaya. Santi membuat Wayan terikat dengannya, dia pula yang mengkhianati lelaki yang dicintai Asti sejak lama.
"Aku enggak cinta sama Santi, cintanya sama Asti, tapi ... kamu tahu sendiri." Rasanya, ada sesuatu yang tertahan dalam dada Wayan. "Kita berbeda, Asti."
***
Selepas kejadian itu, Asti tak pernah berhenti mendekatkan diri kepada Wayan. Membujuknya menari lagi. Ternyata tak semudah yang dia duga.
"Menari mengingatkan pengkhianatan Santi," kata Wayan setiap kali menolak ajakan Asti.
Ketika segalanya mulai membaik, seolah semua sudah normal, Santi datang kembali. Entah Wayan akan kuat bertahan dengan Asti atau memutuskan memperbaiki hubungan lama itu. Asti merasa dadanya sesak.
Meski di ruangan luas, dia tak dapat meraup kebebasan itu. Asti mulai kehilangan arah dan takut. Kehilangan Wayan sekali lagi sudah menggelayut dalam matanya.
Rasanya berjuta serapah pun tak cukup untuk mengutuk Ukaysha. Ingin sekali dia menonjok dada lelaki itu sampai paru-parunya rontok. Asti kesal bukan main, belum lama dia berbaikan dengan Wayan, kesalahpahaman tercipta gara-gara Ukaysha!
Ngapain, sih, main nyosor aja!
Seharian Asti menghabiskan waktu mondar-mandir dalam bilik kamar sambil menggigiti ujung kukunya.
Sialan, cowok itu! Sengaja banget. Asti terus berprasangka.
Kedongkolannya semakin menjadi-jadi saat tak bisa menyingkirkan kejadian siang tadi.
Udara di ruangan berpendingin itu tetap terasa panas. Kekacauan pikiran Asti yang terus berspekulasi tentang kedatangan Santi benar-benar membuyarkan konsentrasinya.
Raga Asti di ruangan ini, pikiran dan hatinya tertinggal bersama Wayan dan Asti di aula yang luas itu. Seolah masih menyaksikan pertunjukkan tari Oleg Tamulilian yang fenomenal beberapa tahun lalu. Walaupun sebenarnya Wayan tidak ikut menari. Namun, tindakan impulsif pacar Asti yang mendekati Santi jelas menggores perasaannya.
Tidak mungkin Santi kembali secara tiba-tiba. Lelaki bertuksedo yang mengajaknya ke ruangan ini terlibat percakapan mencurigakan melalui saluran telepon.
"Apa rencanamu, hah? Ini konspirasi, kan? Pasti disengaja! Maumu apa, sih? Niat bantu beneran enggak? Kalau enggak jujur aja, enggak usah bikin drama! Kamu--"
Asti membatu dengan apa yang baru saja terjadi. Ukaysha meraih bahunya dan menempelkan bibirnya. Sensasi dingin yang merambat ke pori-pori membuat bulu kuduk meremang.
"Maaf, aku harus membungkam mulutmu, Teman."
Asti mengacak rambutnya dengan kasar, dia nyaris berteriak. Namun, dia ingat keberadaannya sekarang. Meninggikan suara lebih tinggi dari orang tua akan mendapat pelajaran berharga apalagi seorang anak gadis berteriak, di tengah malam pula. Dia benar-benar frustrasi.
Hanya dua detik bibir Ukaysha dan bibirnya bersemuka. Namun, dirinya seperti tersedot ke dunia lain yang tidak dikenali. Menjelajahi perasaan asing yang menggelitik ulu hatinya.
"Hei, tapi tidak dengan ciuman!" Maki Asti saat berhasil mengumpulkan puing kesadarannya.
Lelaki itu membuka tuksedo hitamnya dan tertawa. Tawa kaku yang sangat dipaksakan.
"Kamu menyebutnya ciuman?"
"Ya, i-itu emang ciuman. Memangnya apaan?"
"Mau tahu ciuman itu seperti apa?" Ada seringai tipis yang menyeramkan dari wajah itu.
Asti susah payah menelan ludahnya. Dia mundur beberapa langkah saat Ukaysha tak menghentikan langkahnya.
"M-mau apa?"
"Menciummu," jawabnya dengan begitu enteng.
Asti sudah terkunci, punggungnya sudah menempel pada tembok. Jantungnya berdebar kencang. Sampai lelaki itu berani melakukannya, dalam hati Asti berjanji akan memukul kepala Ukaysha. Dia tak peduli apa yang terjadi setelahnya.
Sialnya, Asti justru menutup matanya saat ponityle Ukaysha yang sudah panjang menyentuh keningnya lebih dulu. Gadis yang mengikat seluruh rambutnya itu mulai menghitung dalam hati.
Tiga detik, lima detik ... tak terjadi apa-apa. Pelan-pelan Asti membuka mata. Posisi Ukaysha masih belum berubah. Sebelah tangannya bertumpu pada tembok. Dia menunduk untuk bisa melihat reaksi lucu dari Asti.
Asti sudah mengepalkan tangan, seringai licik Ukaysha membuatnya mual.
"Latihan enggak akan dimulai tanpa Asti," kata seorang bertopi kelabu. Lelaki itu menunduk cepat dan bergegas pergi.
"Wayan?"
"Wayan!" panggil Asti. Dia yakin, Wayan pasti salah paham. Asti harus mengejarnya. "Lepasin!"
Ukaysha yang awalnya mencegah Asti melepaskannya. Gadis itu berlari secepat yang dia bisa. Namun, di tempat latihan, Asti tak menemukannya di mana pun.
Bagaimana bisa berlatih menari Cenderawasih tanpa Wayan?
"Ayo, latihan sekarang!" titah Santi yang menarik lengannya tanpa izin.
Ketukan pintu di kamarnya membuat Asti tersentak. Gusti sudah masuk, meski Asti belum mengizinkannya.
"Apa dia menyakitimu?"
Asti menurunkan tangannya, tetapi gigi-giginya mengganti kuku dengan bibir bawah yang terus tergigit.
"Apa Ukaysha menyakitimu?"
"Apa?! U-Ukaysha?"
Sesaat Asti lupa caranya berbicara dengan benar.
"Akan kuberi pelajaran," kata Gusti seraya keluar kamar[]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top