12》Seperti Mimpi

Ukaysha sudah mengenakan kaus lengan panjang berbahan katun yang nyaman. Di tepian

ranjang, dia terduduk dan termenung. Entah mengapa dia merasa akhir-akhir ini sering terbawa perasaan, memikirkan ulang, dan berujung melamun berkepanjangan. Siluet beberapa orang yang dia sayangi kerap muncul dalam ingatan.

"Uka, kamu pakai baju harus menjahit dulu, ya? Lama banget! Aku udah nungguin dari tadi." Lelaki itu terkejut. Suara melengking yang mencerocos itu bukan Dianti.

Ukaysha menelan ludah dengan kasar, terlihat dari jakunnya yang bergerak pelan.

Seseorang sudah duduk di sebelahnya. Aroma mawar yang lembut menyusup cuping hidung. Ukaysha memejamkan mata. Wangi itu ... dia mengenalinya. Beberapa kali Ukaysha mencium bau tubuh itu; Di mobil, gedung kesenian, dan gazebo. Wangi itu mengiringi keberadaan Asti.

Ukaysha terkesiap. Tidak mungkin Asti ada di tempat ini, di dalam suite miliknya. Meski lelaki itu mulai terbiasa dengan kedatangan Asti yang selalu tiba-tiba, dia berdebar hebat saat kesadaran menguasai diri sepenuhnya.

Meski berkedip berkali-kali, gadis yang mengaku kembaran Beyonce itu memang ada di depannya. Nyata!

"Maaf, Uka. Aku lupa memberitahumu, kalau kamu kedatangan tamu. Apa kita bisa makan sekarang? Aku sangat lapar," beber Dianti dari ambang pintu.

"Aku udah masak. Makan, yuk!"

Asti sudah berdiri dan menarik tangan Ukaysha. Dianti duduk di kursi kayu berpelitur. Di depannya, makanan yang kemungkinan besar dimasak Asti.

Aroma gurih ayam tercium mengundang ketidaksopanan perut Ukaysha yang bergemuruh. Wajah Uka yang pucat menjadi lebih berwarna. Semburat merah muda terlukis samar di mukanya yang terkesan cantik.

"Ayo, makan. Ntar, nyanyi lagi perutnya," ledek Asti dengan terbahak-bahak.

Dilihat dari sisi manapun, tidak ada kelucuan di sana. Asti memang aneh. Dia bisa tertawa begitu lebar untuk hal sederhana macam ini.

"Kebanyakan bengong, nih. Kamu tahu ini namanya apa?"

"Orang buta juga tahu itu bubur ayam."

"Wah, wah, wah jago ngereceh juga ternyata."

Kedua alis Ukaysha nyaris bersatu, perpaduan ekspresi bingung dan ingin mengumpat.

"Ini bubur Mengguh bukan bubur ayam," jelasnya dengan cepat. "Penampilannya aja yang mirip, rasa jelas beda. Kamu tahu, bubur sehat ini berasal dari mana? Desa Teja Kula. Kok, kamu biasa aja dengernya. Kamu tahu enggak artinya apaan? Bubur ini spesial karena asli dari daerah Buleleng."

Asti mulai mengaduk makanan yang memiliki berbagai toping itu. Mulai dari ayam suwir dan kacang. Asti sendiri memakai urapan kacang panjang dan taoge. Telur rebus yang sudah dipotong kecil menambah gizi makanan itu.

Ukaysha masih tak berpaling. Dia nyaris muntah melihat makanan lembek itu membaur menjadi satu kesatuan yang ... menjijikkan menurutnya.

"Kenapa?" tanya Asti dengan mulut penuh.

Melihat gadis itu memakan bubur dengan lahap, Ukaysha pun ingin mencicipinya. Lagi pula perut yang berdendang memalukan tidak bisa menunggu. Dia mengambil sedikit nasi lembek dan suwiran ayam.

Dia sedikit terkejut dengan rasanya. Kuah santan yang kental memberi sensasi gurih di lidah. Rempah-rempah dalam bumbu sangat kuat. Namun, dia tidak bisa menjabarkan selain dengan kata enak. Suapan kedua dan seterusnya menjadi lebih cepat.

"Kamu tahu yang membuat bubur Mengguh spesial?" bisik Asti. Embusan napas Asti yang membelai leher membuatnya meremang. "Dulu banget, bubur ini hanya disajikan saat upacara adat. Sekarang, sih, udah banyak yang jual. Nah, yang terpenting dari bubur yang kamu makan ini, dibuat dengan bumbu rahasia."

Asti terus mengoceh di sela-sela acara makan.

"Selain cinta, rempah yang dipakai seperti kemiri, kunyit, bawang merah dan lain-lain memiliki kualitas yang terbaik," jelasnya sambil mengerlingkan mata.

Astaga, mirip sekali dengan Dianti! Banyak bicara. Uka membatin.

"Biasanya bubur ini pedas, loh, tapi aku kurangi cabai dan merica karena kamu ...."

"Sekarat?"

Asti menelan ludah, "aduh, duh, duh! Salah ngomong."

Piring Ukaysha sudah kosong, dia melirik piring Asti. Bubur diaduk itu benar-benar ....

"Aku kasih saran gratis, karena kamu pernah memberi masukan waktu itu. Lebih baik, habiskan makanan di depanmu dulu, baru berkicau semaumu."

"Berkicau, emang burung? Aku enggak serewel itu." Asti menyuapkan sesuap bubur. Wajah jengkelnya menggemaskan.

Selepas membuat piring bersih, suara serdawa yang begitu keras memenuhi ruangan.

Dianti yang menyaksikan interaksi keduanya sejak tadi tersenyum tipis. Tidak lama, saat Ukaysha menangkap basah dirinya tengah mengamati, dia pura-pura biasa saja.

Lelaki itu berdeham menyita atensi di ruangan dan berkata, "Pagi-pagi udah di tempat ini enggak latihan?"

"Latihan, kok, Wayan bilang dia akan ke sini."

"Ngapain?"

"Mana kutahu," jawabnya sambil mengendikkan bahu.

Rahang Ukaysha terlihat kaku. Dia menatap Dianti yang masih menyantap bubur dengan anggun. Dia sangat yakin, kedatangan Wayan jauh-jauh dari Buleleng ke Ubud ada kaitannya dengan Dianti.

Benar-benar keterlaluan! Dianti mengambil keputusan sesuka hatinya.

Sudah ditegaskan berkali-kali, keputusan terkait dengan dirinya harus dengan persetujuan Ukaysha.

Lihat apa yang bisa aku lakukan!

***

Bali menyuguhkan pemandangan yang menakjubkan. Pemilihan akomodasi yang tepat memaksimalkan apa yang kita lihat, meski di waktu rehat. Dianti ahli dalam bidang itu. Dia pemerhati detail yang baik. Mengetahui selera dan keinginan orang-orang di sekitarnya. Tak heran, baik dalam urusan sosial ataupun bisnis, Dianti begitu disegani para relasinya. Namun, tak berlaku bagi Ukaysha. Orang yang bisa melihat sisi lain Dianti disaat yang lain tidak melihatnya.

Sayangnya, Ukaysha harus mengakui pilihan Dianti lebih sering tepat daripada tidak. Dalam sekejap dia merasa nyaman dalam biliknya. Dari balkon yang besar dan luas, dia bisa menikmati panorama alam Ubud yang memesona. Meja kecil persis di samping kursi yang nyaman sangat pas untuk meletakkan cangkir yang dipegangnya. Minuman rendah gula yang masih mengepulkan uap di atasnya.

Dianti terlalu sering meremehkan dirinya. Mungkin, dia pikir Ukaysha tidak bisa bergerak tanpa wanita itu. Dia salah besar. Lihat apa yang bisa dia lakukan!

Ukaysha mulai menghitung. Jika prediksinya tepat, Dianti akan menemuinya dalam waktu lima menit. Rolex Submariner di tangannya sudah dilirik sekian kali.

"Uka, apa ini?" Dianti sudah di balkon dan Ukaysha menyeringai.

"Saya sudah bilang bisa melakukannya. Anda selalu bertingkah seenaknya dan membuatku jengkel."

"Anda akan tetap tinggal di rumah, tapi ... Anda tidak memiliki akses di Glorious Company lagi. Saya sudah siap melanjutkan bisnis ini sendirian."

"Oke, aku turuti selama kamu masih menuruti protokol yang saya tetapkan," kata Dianti. Suaranya lebih dingin dari yang biasa dia dengar.

Dianti meninggalkannya dengan langkah cepat.

Menyusul Ukaysha ke Bali, bukankah itu menjengkelkan? Selain menganggap dirinya sekarat, dia selalu menganggap anak sambungnya seperti anak kecil. Udara segar yang dia hirup terasa berat. Setiap oksigen yang masuk dalam paru-parunya seperti ranjau.

"Aku cuma mau bilang, Wayan udah dateng." Gadis itu langsung meninggalkan Ukaysha sendiri. Ukaysha bahkan tak tahu Asti sudah ada di sana berapa lama.

Berapa banyak yang Asti dengar? Ah, sial!

Wayan benar-benar datang. Dianti membuktikan ucapannya sekembalinya dari tempat praktik dokter Tini.

"Berengsek!" Ukaysha menyambar cangkir dan melemparnya. Tampaknya cangkir itu terbuat dari bahan berkualitas tinggi. Benda terbuat dari keramik itu tidak pecah, benturan dengan tiang kayu hanya menciptakan bunyi yang mengejutkan. Isi cangkir yang masih setengahnya meleler membasahi lantai.

Ukaysha membiarkan cangkir menggelinding saat pergi dari tempat itu.

Seharian penuh dengan Wayan?!

Membujuknya menari untuk parade saja membuat Ukaysha nyaris naik darah. Meski dibayar mahal, lelaki itu terus menolak sampai akhirnya persetujuan didapat setelah perundingan yang alot.

Mengapa dia mau menjadi sopir? Ukaysha tak menemukan benang merahnya. Semua masih seputar kesimpulan subjektif. Dia tak pernah senang saat belum menemukan faktanya. Alasan Wayan menerima tawaran Dianti. Hal itu terus berputar di benak Ukaysha. Pekerjaan itu jelas tidak mudah, Dianti pasti tak hanya menyuruh lelaki berlesung pipi itu menjadi sopir semata.

Sialnya, selain sopir, dia menjadi penari utama di acara besar yang dia rencanakan jauh-jauh hari. Mau tak mau, Ukaysha harus mengikuti beberapa kegiatan Wayan. Segala yang berhubungan dengan Glorious Company tak bisa diganggu gugat.

Dia tak mau acaranya gagal dan Dianti menertawakannya. Ukaysha juga belum ingin kembali ke Jakarta. Di sana pasti bertemu sekretarisnya--mantan kekasih--apalagi dia dengar dari Dianti, wanita itu sedang mengandung.

Ukaysha keluar dengan langkah lebar. Asti sudah tidak ada di ruangan. Kaki jenjangnya melangkah semakin cepat.

"Enggak usah buru-buru check-out," katanya pada Dianti saat melewatinya. Wanita yang mengenakan blus satin itu tengah memberi arahan kepada orang yang menjadi kepercayaannya--Wayan--bisa Ukaysha pastikan, tugas yang diemban menguntit dirinya dan melaporkan kepada Dianti.

Ukaysha melempar kunci yang ditangkap dengan gesit oleh Wayan.

Lelaki itu tak pernah melepas tutup kepalanya. Setelah melempar senyum ke arah Dianti, dia mengikuti Ukaysha.

Sampai di tempat parkir, dia tak melihat Asti ada di sana.

"Di mana Asti?"

"Peduli banget sama pacarku," tukas Wayan dengan judes. "Kamu menyukainya?"

"Enggak usah sok tahu apalagi sok akrab. Kita belum sedekat itu untuk memanggil aku-kamu. Lagi pula, kasta kita terlampau berbeda, iya, kan, Sopir?" Tekanan pada kata sopir membuat urat-urat di leher Wayan menonjol. Matanya yang besar memelotot tajam.

"Wayan, apa kita bisa pergi selepas latihan?" Asti yang baru muncul menepuk pundak Wayan dan menebar senyum termanis.

"Kita terlambat," sela Ukaysha. Tanpa permisi, dia membelah jarak Wayan dan Asti sampai keduanya mundur beberapa langkah.

"Hei, apaan, sih! Sebelah sana juga lebar, kok," protes Asti. "Pakai nabrak-nabrak segala."

Ukaysha membiarkan pintu Rolls Royce Ghost miliknya tetap terbuka, tetapi Asti memilih duduk di depan disamping Wayan.

Perjalanan yang tidak menyenangkan. Beruntung keahlian Wayan dalam berkendara bisa diacungi jempol. Dianti memang hebat dalam memilih dalam bidang apa pun.

Mobil dengan aksen merah itu berhenti. Gedung megah Gde Manik masih seperti terakhir kali dia lihat.

Ukaysha tidak berjalan masuk, tetapi dia berjalan ke arah plang besar bertuliskan Gedung Kesenian Gde Manik. Bukan itu yang membuatnya berbalik dari arah seharusnya, melainkan seorang yang duduk di pembatas jalan itu.

Seorang gadis bercelana jin dipadukan tunik berwarna ungu gelap berdiri setelah melihat Ukaysha mendekatinya. Bibir tebalnya yang berisi tersenyum seksi.

Gadis setinggi Asti itu mengulurkan tangan seraya berkata, "Gue Sri Santika Devi."

"Sori, gue kelamaan tinggal di ibu kota," katanya sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Ukaysha mengendikan bahu sebagai pertanda tidak masalah.

"Oke, San--"

"Panggil gue Devi," pintanya. Senyum lebarnya menunjukkan dua gigi seri yang lebih panjang dari gigi lainnya.

Uh! Ukaysha hampir mengeluh. Entah mengapa dia merasa bertemu duplikat Asti dalam versi lain.

"Oke, Devi, apa dia sudah menjelaskan segalanya padamu?"

"Iya."

"Secara detail?"

Gadis berponi itu mengangguk yakin.

"Tunjukkan sisi terbaik dalam dirimu."

"Tentu. Kesempatan ini enggak akan gue sia-siain."

Gadis itu berjalan bersisian dengan Ukaysha. Kelakar Asti dan Wayan terhenti. Nuansa tempat itu semakin kaku dengan kedatangan owner Glorious Company dan rekannya yang baru.

Penabuh gamelan yang tadinya tengah menabuh asal-asalan untuk pemanasan menghentikan permainan. Mereka tertarik dengan gadis seksi yang ada di sisi Ukaysha.

"Kapan balik, San?" tanya seorang penabuh seraya berteriak.

"Devi, Bli," tegas gadis itu sambil tersenyum.

"Hai, Asti, lama enggak ketemu kamu semakin ...."

"H-hai, San," jawab Asti dengan canggung.

"Ah, udah lama enggak pakai nama itu lagi."

"Astaga, Wayan? Kamu terlihat ... em, tampan dan manis."

Gadis itu seketika mencubit pipi Wayan dengan manja. Cubitan di pipi itu cukup membuat kesal. Lama sekali Santi pergi. Sekarang dia kembali setelah meninggalkan begitu banyak hal.

"Aku kembali, Wayan. Hanya untukmu," bisiknya.

Wayan dan Asti mematung. Melihat Santi di hadapannya terlalu luar biasa disebut kenyataan[]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top