11》Dentuman Keras

Sudah hampir sembilan belas menit sejak Ukaysha melucuti pakaiannya dan berdiam diri di dalam kamar mandi. Dia tidak benar-benar mandi. Dibiarkan aliran air dari shower mengucur deras di atas kepala. Lelaki yang tubuhnya makin menyusut itu ingin memastikan dirinya masih dalam keadaan waras.

Otaknya tak pernah berhenti berpikir dan mengingat. Kadang-kadang memiliki ketajaman ingatan akan sangat menyebalkan. Beberapa detail yang ingin dilupakan akan terus berputar tanpa henti seperti puting beliung. Bagi Ukaysha jelas sangat melelahkan. Memasuki tahun ke-5 pascaoperasi yang dijalaninya, kenangan yang dimiliki didominasi kejadian dan memori buruk.

Transplantasi paru-paru memperpanjang harapan hidup bagi orang-orang seperti Ukaysha, tetapi bagi lelaki yang usianya memasuki seperempat abad itu kadang-kadang mati mungkin lebih baik.

Tidak ada yang tersisa baginya. Tragedi itu merenggut segalanya.

"Jangan sia-siakan pengorbanan ayahmu, Ukaysha." Entah berapa kali Dianti mengucapkan kalimat itu. Namun, yang paling dia ingat, ekspresi wajah saat wanita itu menceritakan kejadian itu.

***

Empat tahun yang lalu.

Dianti tak pernah mengerti cara kerja otak Arkana. Dia tidak mempercayai apa yang dikatakan lelaki yang sudah menjadi atasannya bertahun-tahun sebelum digantikan Rania. Apa lagi setelah mendengar pembicaraan di ruang dokter. Delapan puluh persen tebakan Dianti, semua yang Arkana katakan Arkana kepada Rania itu bohong!

Lelaki berjaket itu terlihat sibuk beberapa hari terakhir. Gelagatnya aneh dan mencurigakan. Dia selalu gelagapan saat ditanyai sesuatu. Kadar kepercayaan Dianti menurun, berbanding terbalik dengan kewaspadaan yang melonjak tajam.

Dianti memutuskan menguntit Arkana. Siang hari yang mendung, lelaki bersepatu bertali. disampingnya menggerakan kaki tanpa henti. Sesekali jari telunjuk mengusap bibir. Tampaknya dia sudah lelah mondar-mandir sejak pagi dengan tangan tetap di belakang punggung.

Walau sudah tahu visit dokter sekitar jam sepuluh, sejak pukul enam dia sudah menanyakan apa dia melewatkan visit dokter saat ke toilet.

Dianti yang saat itu menggantikan Rania yang mulai drop tak mau melewatkan hal temeh sekalipun.

Dugaannya benar! Diam-diam Dianti mencuri dengar Arkana dan dokter itu sudah merencanakan donor lobus di Melbourne. Artinya semua aspek yang sudah diuji dinyatakan cocok.

Dianti menutup mulutnya dengan telapak tangan. Dianti belum percaya seutuhnya. Dia berlari kecil menjauh dari pintu dan bersembunyi tak jauh dari tempat itu.

Dugaan Dianti semakin memuncak. Tak selang berapa lama, Arka berkeliling tak jelas. Mungkin sadar merasa diikuti. Mobil yang dilajukan Arkana melesat melewati jalanan padat kendaraan. Dia menyalip dengan gesit seperti melarikan diri dari sesuatu.

Cuma lima tahun? tanya Arkana dalam hati.

Dia memejamkan mata sejenak meyakinkan diri. Lima tahun waktu yang begitu singkat. Namun, putranya bisa mengembuskan napas terakhir kapan pun juga. Lima tahun yang singkat itu akan sangat berharga.

Arkana yakin, lima tahun waktu yang dia berikan akan dimanfaatkan dengan baik oleh Rania. Mantan kekasihnya itu pasti tidak akan membiarkan sesuatu yang buruk terjadi pada sang buah hati. Dia pasti akan mengupayakan pengobatan terbaik untuk memperpanjang angka harapan hidup Ukaysha.

"Penderitaan akan berakhir," gumam Arkana. Dia menyunggingkan senyum.

Saat Ukaysha sembuh, kondisi Rania akan membaik. Dia akan menerbitkan senyum di wajah orang-orang yang sangat dicintai. Dengan begitu, Arkana juga akan membebaskan segala kebimbangan Rania. Sang kekasih tak perlu memilih antara dirinya dan Sasongko. Semua akan terkendali.

Ukaysha meraba saku celana kakhi yang dikenalannya. Ponsel genggam yang dicari sudah diletakan pada stand holder. Panggilan video sedang terhubung ke nomor Sasongko, kakaknya.

"Apa sudah semuanya, Mas?"

"Ya, masih antre." Lelaki berjas hitam itu menggerakan ponselnya agar sang adik bisa melihat situasinya.

Beberapa orang duduk di bangku tunggu.

"Kalau bisa percepat prosesnya, ya, Mas."

"Tentu," katanya sambil mengangguk. Di sana, terdengar suara dari mikrofon. "Sebentar lagi nomorku dipanggil. Udah du--"

"Mas, aku minta tolong. Jaga Rania dan Ukaysha."

"Kamu ini ngomong apa, sih. Tentu saja mereka, kan, anak dan istriku."

Ukaysha memaksakan senyum sebelum memutus panggilan video. Dadanya terasa nyeri. Meski bukti-bukti medis menunjukkan dirinya ayah biologis Ukaysha, tetapi dunia memandang Sasongko ayah dari anak itu.

Noda yang membekas begitu lama akan butuh waktu menghapusnya. Meski Arkana sudah mencoba, dia menyadari segalanya. Semua sudah terlambat. Kadang-kadang menggenggam bukan pilihan. Layaknya pasir yang digenggam erat, butiran kecil itu akan keluar melalui celah jari.

Dia semakin mantap dan yakin dengan keputusannya.

Arkana memutar balik mobilnya membuat Dianti mengerutkan kening. Mungkin ada yang kelupaan, pikirnya. Namun, kecepatan yang meningkat di atas rata-rata membuat Dianti membelalak.

Dianti mulai panik, dia meminta sopir terus mengikuti Arkana.

"Dia kenapa, sih, Mba. Nyetirnya kayak setan."

"Ikutin aja, Pak!" Dianti nyaris berteriak sampai sopir berbaju biru itu menggerutu. "Ntar, aku tambahin ongkosnya, Pak."

Sopir pun mengerahkan kemampuan terbaiknya dalam mengendarai mobil. Keahlian si sopir patut diacungi jempol. Meski terseok-seok, jarak mereka bisa dikatakan dekat.

"Apa Ukaysha baik-baik aja? Kenapa Arkana kembali ke arah rumah sakit dengan kesetanan seperti itu?" Dianti tahu, pertanyaan itu tak bisa dijawab siapa pun.

Pandangannya tak terputus dari mobil yang ditumpangi Arkana.

Dianti menekan detak jantungnya dengan menahan napas. Mobil itu tidak mengurangi kecepatan padahal di depannya sebuah tikungan.

Dianti memejamkan mata mendengar dentuman keras setelah mobil Arkana tak terlihat. Jika dugaannya benar, sejak awal lelaki itu memang tidak berniat mendonorkan satu lobusnya. Namun, dia memberikan seluruh hidupnya.

Rasa hangat mengalir dari ceruk mata. Dianti tak bisa menahan emosi yang meluap-luap.

"Ya, Tuhan! Mobilnya kecelakaan, Mba." Sopir itu mengusap wajah dan mengempaskan diri ke sandaran jok. Dari spion, dia melihat penumpangya begitu ... dia tak bisa menggambarkan emosi yang terpancar dari wajah Dianti. Begitu banyak emosi yang menggelayut di wajah itu.

Ketukan pintu membuyarkan ingatan itu, cerita yang hanya didengarnya melalui Dianti.

***

"Kamu baik-baik aja, Uka, Sayang?" Suara ibu tirinya menggaung di liang telinga. Entah sejak kapan perangai Dianti mulai berubah.

Suaranya menjadi lebih tinggi terdengar dibuat-buat. Penampilannya apalagi, riasan di wajah jauh lebih tebal dari yang dia ingat. Entah itu topeng atau menyamarkan keadaan dirinya yang sedang tidak baik-baik saja. Ukaysha tak peduli!

Sepanjang yang dia ingat, wanita paling pandai berkamuflase, termasuk Dianti.

Ukaysha tak akan memberi celah kepada siapapun memanfaatkan dirinya, kekuatan, apalagi kelemahan yang dimilikinya.

Dibiarkan gedoran itu terus berlanjut sementara dia mematikan air yang mengguyurnya sejak tadi. Handuk putih sudah ditempelkan di badannya. Lonjakan emosi yang sangat dia kenali selalu muncul saat melihat guratan di dada. Secepat kilat, dia mempercepat aktivitas itu.

"Kamu terlihat baik-baik saja," kata Dianti menoel dagu Ukaysha saat dia keluar dari kamar mandi.

Ukaysha hanya membuang muka tanpa menunjukkan ekspresi apa-apa.

Dianti memindai tubuh Ukaysha yang setengah telanjang dan berkata, "Astaga, pakai bajumu dulu dengan benar. Kutunggu di meja makan," titahnya sambil mengerling.

***

"Jangan perlakukan aku seperti orang yang sekarat!" bentak Ukaysha selepas menemui dokter Cokorda Kartini.

Diagnosis dokter Tini tak jauh beda dengan dokter sebelumnya. Setelah melihat salinan rekam medis yang dia terima dari dokter Eka, wanita yang mengenakan snelli putihnya itu memberikan serentetan saran seolah Ukaysha akan meninggal esok.

"Kamu memang sekarat! Tidak dengar apa katanya tadi? Kamu ...." Dianti tak sanggup melanjutkan perkataannya.

Ukaysha tak pernah melihat Dianti begitu frustrasi.

"Oke, lupakan itu. Tidak masalah, jika kamu tak mau mendengarkanku. Setidaknya tetap bertahan hidup untuk orang-orang yang menyayangimu, Uka."

Di dalam mobil, Dianti sudah menguasai diri dengan sepenuhnya. Senyum lebar terpatri di wajah.

"Uka, Sasongko mungkin akan memenggal kepalaku, jika dia bangun. Jangan bilang-bilang padanya kalau aku gagal. Aku gagal menjadikanmu seseorang Ukaysha Athalla Gandasasmita yang dia inginkan. Kata Arkana, mendiang ayahmu, 'Aku melewatkan sembilan belas tahun pertumbuhannya, tapi aku tahu Uka anak yang kuat.' Ayah Sasongko juga bilang, kamu adalah hartanya yang paling berharga. Bisa kamu bayangin, dong, apa yang bisa Sasongko lakukan, jika mendengar keadaanmu begini menyedihkan."

"Aku enggak semenyedihkan itu."

"Kalau begitu, selamatkan aku dari kemarahan Ayah Sasongko," ungkap Dianti. "Dengan terus hidup dan berbahagia."

"Aku sehat dan aku tidak sedang se--" Rasa nyeri yang muncul tiba-tiba membuat refleks tangan menyentuh dada.

Sial, kenapa harus sekarang?

Ukaysha mengatur pernapasan. Dia beruntung sakit itu menyerang hanya sebentar. Perjalanan ke resort pun dilanjutkan. Suka tak suka, dia harus menuruti Dianti, tinggal bersamanya lagi. Entah apa yang dia katakan pada kakek Asti hingga melepas kepergian Ukaysha dengan wajah berseri-seri.

Lima tahun, semua orang memprediksi sisa usianya dan kini dia memasuki tahun terakhir.

Apa separah itu?[]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top