09》[Mungkin] Salah Paham
Terdengar desahan saat Ukaysha membuang muka dan berkata, "Sudah kuduga."
Lipstik merah satin di bibir Dianti berkilau tertimpa cahaya matahari. Lebih-lebih saat dia tersenyum anggun mendengar pernyataan putra semata wayangnya.
"Apa yang kamu pikirkan, Uka, Sayang?"
Ukaysha begitu kesal dengan kemunculan Dianti. Kadang-kadang Dianti adalah solusi terbaik Glorius Company. Namun, tak jarang Dianti menjadi masalah terbesar kehidupan pribadinya.
Ukaysha berdecak.
"Masih segar dalam ingatan saya. Beberapa minggu lalu Anda bilang tidak akan mencampuri urusan saya tentang festival budaya. Kenapa sekarang Anda ada di sini? Di tempat yang tidak seharusnya?"
"Maaf, Sayang. Aku harus datang. Kamu yang membuatku terpaksa datang ke tempat ini," jelasnya sambil memindai halaman luas gedung kesenian yang terlelak di Banjar Tegal, Buleleng. Tidak ada yang berubah. Semua masih kokoh seperti yang terakhir kali Dianti lihat. "Kamu tahu, Uka. Sejauh ini aku selalu bangga denganmu. Aku masih tidak percaya dengan cara yang kamu lakukan ini. Fokusmu sudah berubah. Aku pikir, kamu benar persis seperti ayahmu, tapi tidak. Ayahmu tidak akan melakukan hal bodoh dan rendah seperti ini."
Matahari yang bersinar begitu terik membuat udara pukul dua belas siang terasa hangat. Perasaan Ukaysha pun perlahan mendidih. Dianti selalu mencampuri urusannya. Turut mengasuh sejak Ukaysha masih bayi bukan berarti wanita itu berhak atas segala, meskipun statusnya sudah menjadi ibu sambung Ukaysha.
"Hanya karena aku ibumu tak akan cukup mengubah suatu kebenaran, Uka. Jangan kamu pikir aku akan membiarkanmu."
"Berhenti mencampuri urusan saya, Dianti. Anda sudah melewati semua batasan. Saya pun bisa melewati batasan lebih jauh lagi untuk menghapus Anda dari kehidupan saya dan Ayah Sasongko."
Dianti mencekal pergelangan tangan Ukaysha saat lelaki yang kini lebih tinggi darinya hendak pergi.
"Kapan kamu akan berpikir dewasa, Uka? Aku tidak ingin seseorang yang memberimu kehidupan kecewa melihat kekonyolanmu ini! Apa untungnya mengintimidasi Wayan? Glorius Company tak pernah melakukan hal rendahan semacam itu. Sudah kubilang, kamu masih terlalu mentah untuk memimpin Glorius Company."
Cekalan itu terlepas. Dianti yang meninggalkannya lebih dulu. Ukaysha bergeming di tempatnya beberapa waktu. Terlebih saat dia menoleh mengamati punggung Dianti yang semakin menjauh, wanita itu berhenti di antara Wayan dan Asti.
Akan kuhentikan. Semua jari-jarinya mencengkeram setir kemudi dengan kencang. Setelah termanggu beberapa saat di dalam mobil, dia sudah memutuskan apa yang akan dia lakukan ke depannya. Terlalu lama terombang-ambing dalam masalah selalu membuat gelisah.
Ukaysha melaju kendaraannya dengan kencang keluar dari jalan Veteran.
Dia sangat yakin, sampai kapan pun, dirinya tidak akan berkembang maksimal selagi Dianti selalu menjadi bayangannya.
***
Seseorang berdeham. Fokus Ukaysha terkumpul dengan cepat. Kabin-kabin otaknya terasa penuh. Dia ingin segera merebah. Sayangnya, lelaki tua disebut Tukakiang tak membiarkan dirinya lolos dengan mudah.
"Apa persiapannya berjalan lancar?" tanya lelaki yang rambutnya sudah beruban.
"Lancar."
"Bagaimana pendapatmu tentang Asti?"
"Dia penari yang andal."
Kakek mengangguk-angguk dan berkata, "Kamu tidak menyukainya?"
"Kenapa saya tidak menyukainya? Dia memiliki semua kualitas yang saya cari."
"Bagus kalau begitu. Minum dulu tehnya, nanti keburu dingin."
Ukaysha mengangkat cangkir dan menghirup aroma yang menguar. Sedap dan menenangkan meski sedikit berbeda dengan bau teh yang biasa dia konsumsi.
"Apa Asti membuatmu repot, Gus?"
"Tidak."
"Aku sangat menyayanginya. Dia tak banyak bicara dan menutup diri."
Tidak mungkin! Asti tidak banyak bicara dan menutup diri? Gejala menua Kakek pasti sudah akut. Suara seriang mercon Asti bahkan tak berjeda saat bersama Ukaysha. Kemampuannya berbicara di ambang batas wajar, malah bisa dikatakan berlebihan. Gadis itu selalu bicara pada setiap kesempatan.
Kalau Kakek menyebutnya pendiam dan menutup diri itu salah besar. Hanya ada tiga kemungkinan; Kakek sudah tuli, saat Asti berceloteh dia tak mendengarkannya. Kakek sudah amnesia, beberapa moment kebersamaannya dengan Asti tidak akan teringat. Namun, kedua asumsi itu terpatahkan.
Dalam setiap kesempatan, Kakek bisa menjawab semua pertanyaan dan bercerita tentang sesuatu dengan lancar. Kemungkinan yang paling masuk akal Kakek tidak mengenali Asti seutuhnya.
"Asti sangat kesepian," lanjutnya. "Kedatanganmu dalam hidupnya telah membuat perubahan besar pada Asti."
Ukaysha tak tahu ke mana arah pembicaraan berlangsung, tetapi apa yang terjadi hari ini membuat tubuhnya benar-benar lelah. Dia pun harus menunda mengutarakan niatnya untuk pindah dari kediaman Asti.
"Asti memang memiliki tiga saudara yang menyayanginya meski beda ibu. Namun, Asti terlalu banyak menyaksikan ketidakadilan atas ibunya saat mendiang istri saya masih hidup," paparnya sambil menunduk. Setelah menarik napas panjang dia melanjutkan. "Saya tidak bisa menyalahkan istri saya sepenuhnya yang memegang teguh tradisi. Pernikahan yang terjadi antara ibu Asti dan anak saya membuat istri saya tidak senang dan kerap berkata yang menyinggung perasaan. Asti terus tumbuh, lambat laun dia memahami segalanya. Meski tuniang Asti sangat mencintainya, istri saya tak bisa menyembunyikan ketidaksukaan pada ibunya yang dari kasta sudra."
"Terima kasih, tehnya, tapi ... saya harus istirahat."
"Baiklah."
"Permisi," pamit Ukaysha bangkit. Dia meninggalkan ruangan yang bersebelahan dengan ruang pameksaan itu. Rasa pegal menjalar di kaki yang kebas. Duduk lesehan berjam-jam ngobrol ngalor-ngidul membuatnya semakin letih.
Dia sudah cukup kesal terjebak di rumah itu lebih lama dari yang dia perkirakan. Walaupun sudah selama itu di kediaman Asti, dia terpaksa harus meminum teh yang rasanya cukup aneh dan tidak enak.
Seandainya dia mengutarakan niat itu, pasti akan tertahan di sana lebih lama lagi. Perbincangan tak kunjung usai dan dia sudah tak sanggup lagi, capek! Dia pun menundanya.
Hanya sebentar lagi.
Seseorang yang sedari tadi duduk di antara dirinya dan Kakek, turut berdiri dan mengikuti Ukaysha sampai ke kamar.
Kasihan Gusti, kata Ukaysha dalam hati. Dia dijadikan sebagai alat penyadap.
"Pakai mantra apa?" celetuk Gusti membuat Ukaysha tersentak. "Pakai mantra apa sampai Tukakiang semudah itu bertekuk lutut?"
"Aku tak mengerti."
"Jangan pura-pura bodoh. Aku enggak suka bertele-tele dan aku tidak menyukaimu."
"Aku tahu."
"Lalu?"
"Maksudmu?"
"Penampilan doang necis, akal pendek," kata Gusti sebelum meninggalkan kamar itu.
Gusti terlalu berani. Berbagai hinaan, sindiran biasa dia terima dari Dianti, tetapi pendek akal tidak pernah termasuk dalam daftar itu. Keterlaluan!
Entah mengapa dia merasa, hari ini semesta sekongkol menghancurkan dirinya.
Banyak hal yang terjadi menguras begitu banyak tenaga dan waktu. Satu per satu pertanyaan tubuh dan meliuk-liuk melahirkan buah pertanyaan yang lain.
Benaknya lelah, seberapa banyak pun kesimpulan yang dia kumpulkan tak akan memenuhi dahaga keingintahuannya. Semuanya samar.
Dari sekian banyak hal yang mengganggu pikiran, tiba-tiba otaknya memetakkan wajah Asti. Tawa yang selalu menampakkan seluruh barisan giginya. Rona merah muda yang sering muncul di wajah bulat Asti. Bahkan air mata Asti. Sial!
Ukaysha mengguyur badan. Dia berharap semua ingatan turut luruh bersama air yang membalur tubuh.
Asti telah menyita banyak waktunya. Memikirkan Asti lebih banyak dari yang seharusnya.
"Enggak boleh, Uka!" Dia mengerang. Gejolak dalam dada tak bisa dia tekan. Perasaan itu terus melembak. Dia tak mengerti, memikirkan seseorang yang tidak penting dalam hidup membuatnya sampai seperti ini.
***
Wajah yang bulat terlihat semakin lapang saat rambut lurusnya dikucir menyerupai ekor kuda. Rambut Asti berkibar saat berlari. Dia sudah menyisir area rumah, tetapi orang yang dia cari belum juga ditemukan.
Perasaan rumah itu tak begitu luas. Biasanya Ukaysha akan mudah ditemukan di kamar saat-saat seperti ini. Mengingat keadaan fisik lelaki itu tak prima seperti orang lain. Asti tahu, temannya itu sangat membatasi aktivitas fisik.
Dia sempat berpikir, apa senangnya hidup seperti itu. Kasihan sekali, pasti hari-harinya sangat monoton tanpa melakukan hal-hal yang menyenangkan.
Selain bekerja, Ukaysha akan berlama-lama duduk berdiam di tempat sepi. Di kediamannya hanya area gazebo yang memenuhi kriteria. Asti memacu kakinya ke tempat itu.
Di selasar penghubung gazebo, dia menabrak seseorang. Tubuhnya tinggi dan tegap. Rambut cepaknya hitam pekat. Dia memiliki mata besar dengan sorot yang dingin.
"Sori, Gusti. Tolong, jangan sekarang aku ada urusan. Kita bicara nanti. Aku mencintaimu, Kak," kata Asti mengecup pipi Gusti dengan singkat.
Dalam sekejap gadis terbalut celana training dan kaus oversized itu sudah berjarak dari kakaknya. Motif zebra di kausnya membuat Asti terlihat begitu ceria dengan senyum nakalnya. Gusti hanya menggeleng melihat polah adiknya itu. Dia memang berbeda.
Seperti tidak tumbuh dan besar dalam keluarga besarnya saja. Gusti pun setuju, sejak nenek tiada, Asti lebih menunjukkan kepribadian diri yang sesungguhnya.
Senyum di wajah Gusti memudar melihat Asti mendekati Ukaysha. Lelaki berkulit pucat itu sudah puluhan menit duduk di sana. Sebuah gazebo besar yang terletak di sebelah tenggara. Bambu-bambu wulung menjadi bahan utama gazebo.
Pandangan Ukaysha terlihat kosong meski tangannya tak berhenti melempar remahan roti tawar ke dalam kolam. Keributan ikan berebut makanan membuat air berkecipak.
Gusti yang berniat menemuinya memutuskan menunda.
"Aku menemukanmu!" Asti selalu menampakkan senyum terlebarnya saat menemui Ukaysha.
Gusti yang melihatnya beberapa saat berbalik dan menjauhi mereka.
"Aku heran, kenapa menemukanmu itu sulit sekali. Padahal rumah ini tak sebesar ballroom pernikahan," keluhnya. Dia sudah duduk di sebelah Ukaysha yang tak meresponsnya. "Ah, aku sampai lupa! Kenapa kamu melakukan itu sama Wayan?"
Ukaysha masih tak merespons, dia terus melempar roti tawar. Dia tak lupa, Asti ada di sana saat Dianti membongkar segalanya. Tentang dia yang mengintimidasi Wayan dan salah satu anggota keluarga agar menyetujui keinginannya.
Asti hanya mematung berada di antara Wayan, Ukaysha, dan wanita berambut sebahu yang tiba-tiba menemui Uka. Sifat impulsifnya tak bisa dikendalikan saat itu. Asti menghampiri keduanya. Sialnya, dia harus mendengar sesuatu tentang Wayan yang membuat dadanya bergemuruh.
Ukaysha bisa mengancam Wayan, sama sekali tak pernah terbayang olehnya. Dia menekan Wayan hanya untuk memenuhi keinginan seorang teman?
Asti berada di antara perasaan aneh yang membingungkan. Dia merasa seperti tersesat dalam labirin raksasa yang rumit. Di satu sisi, Asti terkagum-kagum atas langkah Ukaysha yang berani mengambil risiko demi impian Asti. Di sisi yang lain, orang yang diancam itu adalah lelaki yang paling dia cintai, Wayan. Asti tak tahu perasaan apa yang berputar dalam dadanya.
"Kenapa harus menari Cenderawasih, Asti? Tanpa itu, aku tetap mencintaimu dan selamanya akan tetap seperti itu," kata Wayan yang masih Asti ingat. Hal itu membuatnya tak henti tersenyum.
Bunga-bunga yang berkembang di hati Asti meruntuhkan semua bentuk kesalahan baik yang dilakukan Asti ataupun Uka[]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top