08》Helo, Wayan!
Ukaysha memacu kakinya. Tubuh Asti sudah tak terlihat. Sementara ingatan tentang cerita Dianti berdesakan di kabin otaknya. Sudah lama dia jarang mengingat segala hal berhubungan dengan masa lalunya. Entah kenapa bersama Asti hal-hal semacam itu mudah sekali menyembul dan menyita hampir seluruh perhatian. Napas Ukaysha sudah memburu, dia berkacak pinggang mengatur ulang oksigen yang masuk ke paru-parunya. Konsentrasinya tetap terjaga. Dia terus mencari sosok Asti yang meninggalkan dirinya dalam dalam keadaan menangis. Ukaysha bertanya-tanya, alasan jatuhnya air mata gadis itu. Ketakutan macam apa yang bersarang dalam dadanya.
Angin bertiup lebih kencang. Sayup-sayup isak terdengar di sela-sela cicitan burung. Ukaysha terkesiap dan mencari dengan cekat. Disibakkan rambut yang menutup sebagian kening, pandangan matanya terus menyusuri lokasi. Dia harus menemukan keberadaan Asti secepatnya. Senyum tipis tersungging saat isakan semakin jelas.
"Aku menemukanmu!" kata Ukaysha terengah-engah.
Gadis yang menyembunyikan wajah dalam lutut yang ditekuk itu kemudian mendongak. Ada keheranan di wajah bulat yang penuh air mata. Tidak ada yang bisa menemukan persembunyian Asti sebelumnya. Gadis itu menubruk dada bidang Ukaysha dan menangis di sana.
"Aku, enggak mau kehilangan siapa pun lagi." Asti melepas pelukan itu dan berkata, "Apa lagi karena ini."
Ukaysha membeku saat gadis itu membuka satu per satu kancing yang terkait pada kemeja yang dipakainya.
"Seseorang telah memberikan kehidupannya untukmu, kan? Jangan sia-siakan pengorbanannya. Dia pasti menganggapmu sangat berharga. Aku enggak suka kamu
menyepelekan makna hidup yang kamu miliki."
Asti menjauh dan duduk pada sebuah bangku. Mata bulat yang biasa berbinar penuh semangat memandang langit dengan tatapan kosong penuh kehampaan.
Ukaysha tidak mengerti apa yang bergumul di hati Asti, tetapi dia paham satu hal. Demi bisa melihat sorot yang berapi-api dari mata besar itu, dalam hati Ukaysha berjanji akan memenuhi impian terbesarnya, menari Cenderawasih bersama Wayan.
***
"Ini kejutannya?" Asti tak percaya dengan indra penglihatannya. Dia mengucek mata berkali-kali kemudian senyum lebar tersungging sampai menampakkan gigi-giginya. "Serius?"
Seorang lelaki berkulit agak gelap mendekat ke arah gedung kesenian. Rambutnya yang keriting tertutup topi rajut buatan Asti yang bertengger di kepala. Bola matanya besar beriris hitam. Lesung pipi akan muncul di wajah dengan mudah bahkan saat dia tertawa.
Wayan, nama yang selalu ada di setiap doa-doa yang mengudara. Melenggok bersama pada sebuah panggung idaman nan megah impian terbesar Asti. Tarian Cenderawasih akan memberitahu semua orang betapa dekat kedua keduanya. Kekuatan magis yang terkandung dalam keyakinan tarian itu akan memperkuat ikatan cinta mereka.
Hal yang sudah Asti tunggu-tunggu sejak gadis itu menginjak usia tujuh belas tahun. Namun, aturan membatasi impiannya.
"Tidak mungkin laki-laki dan perempuan menari Cenderawasih bersama," ucap Kakek kala Asti mengutarakan keinginannya empat tahun silam. "Sejak turun-temurun, tarian itu hanya ditarikan pragina putri. Bukan berpasang-pasangan laki-laki perempuan."
Umumnya, tarian Cenderawasih ditarikan sepasang pragina putri. Keindahan dan keluwesannya akan tampak sangat nyata. Sejauh ini tarian kreasi Cenderawasih yang ditarikan secara berpasangan dengan lawan jenis belum banyak dijumpai. Khususnya dalam keturunan keluarga Asti. Asti berbinar-binar memandang sosok terbalut kaus putih berpadu jin belang terus memangkas jarak. Kedua tangannya dimasukkan ke saku seperti kebiasaan lama, tidak ada yang berubah.
"Wayan kejutannya? Beneran? Kok kamu tahu, sih, kalau aku pengin banget ketemu dia?" Asti begitu menggebu-gebu. Kedua telapak tangannya sudah bertengger di bahu Ukaysha. Lelaki di depannya terlihat malas. Bola matanya sempat berputar. Mungkin, dia pikir Asti sudah mengalami amnesia. Jadi, gadis yang menggerai total rambutnya itu tak ingat setiap kali bertemu selalu membahas tentang Wayan dan Cenderawasih. Tanpa memedulikan waktu. "Ih, aku menyukaimu! Aku bener-bener menyukaimu, Ukaysha. Kamu, tuh, selalu tahu apa yang aku pikirin. Seandainya belum tahu pun, kamu selalu mencoba untuk memahaminya. Pokoknya aku suka kamu, Ukaysha. Sangat!"
Asti melompat-lompat tanpa melepas pegangannya. Perasaan yang dia miliki begitu bebas. Ukaysha sangat suka melihat hal itu. Kadang dia masih tidak mengerti, mengapa respons biologis dalam diri mulai berlebihan. Seperti beberapa detik yang lalu, dia tahu benar, bagi Asti mencintai Wayan itu mutlak. Namun, entah apa yang membuat organ sekepalan tangan dalam dada mengentak begitu kuat. Debarannya menjadi sulit dikontrol. Napas pun langsung memburu, walau dia tahu suka yang Asti maksud adalah jenis suka biasa. Tidak ada maksud terselubung lain.
"Aku enggak akan melupakan ini, Ukaysha." Dia mengempaskan diri ke dada Ukaysha dan berterima kasih tanpa henti. "Sungguh, aku enggak akan melupakannya. Sudah kubilang, memenuhi impianku ini terlalu mudah untukmu, iya, kan?"
Pelukan itu terlerai. Wayan bergeming beberapa meter dari Asti. Dia tak percaya akan disuguhi pemandangan yang menyayat perasaan. Kesepuluh jarinya sudah mengepal. Wajah jirus itu terlihat kaku tanpa senyum.
"Rahajeng semeng, Wayan? Keken kabare? Becik-becik?"
"Ngudiang?"
Asti tak mengerti mengapa Wayan berbicara dengan nada seperti itu. Terdengar agak kasar dan tak tulus. "Apa maksudmu, Wayan?"
"Asti peluk-pelukan?" Lelaki berkulit tan tersenyum getir. Ada kecewa yang menyelimuti wajah itu. "Lagi ngapain Asti? Peluk-pelukan dengan orang asing dan itu di tempat umum. Enggak malu?"
"Dia bukan orang asing, dia--"
"Aku tahu. Enggak mungkin asing lagi kalau udah dibawa buat gandengan ke pernikahan orang," tuduhnya sambil terkekeh-kekeh. "Memang aku yang bodoh, Asti."
"Kamu ini ngomong apa, Wayan?" Gadis itu memegang kedua lengan lelaki yang selalu disebut pacar olehnya. Dia tak tahan kekasihnya itu membuang muka dan berprasangka. Apa lagi meragukan kesetiaan yang hanya dipersembahkan untuk Wayan seorang.
Demi Wayan, Asti melakukan banyak hal. Bahkan melewati batasan yang menurut kakeknya sudah pakem. Mengapa Wayan tidak mengerti semua yang telah dilakukan hanya berpusat pada dirinya. Lelaki itu prioritas dalam hidup Asti selama ini. Menginginkan bisa menari Cenderawasih pun hanya karena Wayan. Dia ingin menjadi kekasih abadi yang tak terpisahkan.
"Oke, lupakan ini. Mari fokus kedatanganku ke sini," paparnya melirik Ukaysha yang sudah bersedekap mengawasi keadaan.
Dia sudah siap kalau-kalau suasana memanas dan tak bisa dikendalikan.
"Terima kasih sudah datang memenuhi undangan saya, Wayan. Saya Ukaysha Athalla Gandasasmita owner Glorius Company."
Wayan menyambut uluran tangan itu. Jabat tangan yang kurang wajar, keduanya saling menaut dan melayangkan tatapan sama tajamnya dalam waktu cukup lama.
"Wayan."
"Kamu mengerti apa yang harus dilakukan dalam festival budaya ini, kan? Kamu harus menari tarian kreasi modern Cenderawasih bersama Ida Ayu Kadek Suasti. Acara ini sangat penting, jangan melakukan kesalahan."
"Tari Cenderawasih? Hei, tapi bukan itu kesepakatan awalnya. Ini penipuan!"
Wayan tampak kesal dia baru saja akan meninggalkan ruangan luas gedung kesenian ini. Suara bernada rendah yang terdengar dingin menghentikan langkahnya.
"Kamu yakin akan membatalkan perjanjian kita?"
Ketukan pantofel makin keras saat Ukaysha mendekat. Ditepuk dua kali pundak itu dari belakang. Pemilik Glorious Company mensejajarkan diri. Dia memindai wajah Wayan yang menahan marah.
Ukaysha tersenyum tipis dan mendesah saat berkata, "Sangat disayangkan. Kamu mengambil keputusan yang salah, Wayan."
Dua ketukan sepatu terdengar jelas, Ukaysha membuat jarak. Dengan ponsel di tangannya, dia siap menghubungi seseorang atau mungkin instansi.
"Kamu masih bisa mengubah keputusan sebelum telepon ini berakhir, Wayan."
Ukaysha menempelkan benda pipih itu ke telinga tanpa memutus pandangannya dari Wayan.
"Maaf, pengobatan atas nama pasien dengan nomor--"
"Saya menerimanya!"
Ukaysha bergeming, dari ponselnya terdengar suara wanita meminta perhatian.
"Saya menerima tawarannya," ulang Wayan.
Ukaysha kembali tersenyum dan berkata, "Saya hanya memastikan perawatan atas pasien dengan nomor 797AE harus mendapat perawatan terbaik."
Sambungan telepon pun terputus.
"Keputusan yang bijak, Wayan. Selamat berlatih." Ukaysha menepuk bahu Wayan dua kali sebelum meninggalkannya berdua dengan Asti.
Dia merapikan tuksedo sebelum keluar dari gedung kesenian itu, dia merasa lega. Sebelumnya sempat cemas, kemungkinan gagalnya kesepakatan alot yang dibuat bersama Wayan.
Ukaysha ingat, sebelum lelaki yang diperkirakan sepantar dengan dirinya itu menyetujui datang ke tempat ini.
"Saya tidak mau tahu! Semua harus berhasil," titahnya pada seseorang melalui saluran telepon.
Sejak melihat Asti menangis begitu lepas dalam pelukannya siang itu, perasaan Ukaysha terusik. Dia merasa terganggu. Perasaan asing dalam dirinya kerap muncul tiba-tiba. Dia pun sudah berjanji pada diri sendiri akan memenuhi impian terbesar gadis yang sempat menyelamatkan nyawa dan bersedia menjadi temannya itu.
Dan seorang teman harus saling membantu, kata Asti yang tak pernah bisa dia lupakan.
Meski belum terbukti kebenarannya, setidaknya gadis itu sudah mencoba untuk membantu; membantu keluar dari keadaan sulit orang yang sedang menderita karena patah hati.
Kehilangan binar yang biasanya penuh semangat dan berapi-api membuat Ukaysha terdampar pada kehampaan tak berdasar. Kesedihan dan keputusasaan di wajah Asti memantik ketakutan dalam diri Ukaysha.
Kehilangan sesuatu yang berharga selalu menyakitkan. Tampaknya, jika kehilangan Asti akan memberi dampak yang serupa.
Tidak mudah menemukan detail informasi tentang Wayan. Namun, selagi hal itu mungkin, bukan hal mustahil. Setelah berhari-hari mencari, informan Ukaysha telah berhasil mendapatkan informasi yang berguna.
Lagi pula, gagal itu tidak ada dalam kamus Ukaysha dan menyerah bukanlah dirinya.
Lelaki bertuksedo hitam itu menengok ke belakang.
Semua akan baik-baik saja, Ukaysha membatin. Asti pandai membujuk, dia tidak perlu khawatir hal buruk akan terjadi. Terlebih yang Asti hadapi adalah pacarnya. Uka, dia pacarnya. Ukaysha tak bisa melanjutkan perjalanan. Seorang wanita berkacamata hitam menghentikan langkahnya. Dalam balutan setelan biru dongker, wanita berambut sebahu itu mendekat tanpa ragu. Siapa lagi yang berani melakukan hal itu padanya selain Dianti. Ya, ibu tiri Ukaysha. Wanita itu ada beberapa meter di depannya. Di gedung kesenian Gde Manik, Bali! Dianti ada di Bali[]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top