07》Tentang Sebuah Permintaan.
Dianti pernah bercerita, lima tahun lalu pada sore hari di bulan Desember, langit seolah marah. Guntur yang menggelegar terdengar di sela-sela hujan. Lebatnya tetesan tirai air bahkan menyamarkan pemandangan. Angin dingin bahkan tak berhenti bertiup.
Dianti duduk di samping wanita yang terus tersedu-sedu. Bibir tipis yang sudah membiru itu terus bergumam, "Semua ini salahku."
Bicara dan diam tak ada bedanya. Dianti memilih membungkam mulut dan menjadi pendengar yang baik. Sebagai sekretaris pribadi dan rekan baiknya, Dianti hanya menyalurkan ketenangan melalui sentuhan. Dia terus mengusap punggung sahabatnya, membelai rambut, dan mendekapnya.
Tidak ada seorang ibu yang tahan melihat anak tunggalnya terkapar di HCU. Kabel-kabel dan alat penopang hidup melekat di seluruh tubuh. Matanya terkatup rapat meski berkali-kali sang ibu memanggil, "Uka."
Waktu seperti membeku, detik berlalu begitu lambat. Dianti membujuk ibu Ukaysha mengistirahatkan tubuhnya. Namun, dia sendiri pernah merasakan hal serupa. Masa-masa kehilangan putra kandung yang hanya satu-satunya.
Dianti mengerti, sahabatnya tidak ingin melewatkan detik krusial kehidupan anak kesayangannya, Ukaysha.
"Kamu dengar, kan, Di. Kata dokter, Uka ...."
"Ssst! Uka anak yang tangguh dia akan baik-baik aja."
"Tapi kondisi Uka kritis, Di," katanya sambil memeluk Dianti. Dia kembali tersedu sedan di bahu sahabatnya.
Dianti tidak mengerti kasus sito, Hematoraks. Dia hanya tahu tensi 80/50 dan nadi 123 itu indikasi yang buruk. Namun, dia tidak ingin mendahului takdir. Dia percaya, keajaiban selalu datang pada mereka yang percaya.
"Bu, dokter meminta disediakan darah cadangan. Stok di kami sudah habis. Hari ini banyak kecelakaan. Kami sudah memberitahu PMI, tapi lebih baik menyiapkan darah cadangan. Golongan darah Uka A+," kata suster ketika keluar dari ruangan.
Dianti mengamati dua lelaki yang sedang duduk bersebelahan di ruang periksa. Keduanya duduk penuh rasa cemas.
Lelaki berkemeja biru adalah Sasongko, istri sahabatnya. Di sebelah kanan, adik Sasongko
yang bernama Arkana merupakan mantan kekasih Dianti. Keduanya saling menatap dingin. Namun, mereka sama-sama menyayangi Ukaysha.
"Periksa darah saya juga," kata Arkana beberapa waktu lalu.
Darah Rania, ibu Ukaysha tidak cocok dengan putranya. Melihat kesedihan di wajahnya, Arkana tidak bisa menahan diri.
"Pak Arkana, mari ikut saya. Golongan darah Anda sesuai."
Kabar itu seperti petir yang menggelegar di telinga semua orang. Kecuali lelaki berjaket kelabu itu. Dia tersenyum lebar penuh kelegaan.
Dianti menyaksikan segalanya. Bahkan saat Rania merosot dari bangku dan tak sadarkan diri. Sebagai wanita, Dianti mengerti bagaimana posisi Rania saat ini.
Anak yang Rania rawat selama 19 tahun, tidak memiliki kesamaan darah baik dengan dirinya atau suami. Kebingungan, ketidakpercayaan, dan keputusasaan jelas menguasai dirinya. Apalagi saat didikan orang tua benar-benar dipertanyakan seperti sekarang.
"Sebelah paru-parunya luka parah. Paru kanan hanya bisa diselamatkan lobus bawahnya. Sementara, Uka bisa dibantu respirator, alat bantu pernapasan. Kalau tidak, dia bisa sesak napas dan kemungkinan tidak tertolong," jelas dokter yang baru keluar dari ruang operasi.
"Apa yang bisa kami lakukan, Dok?" Dianti masih memeluk Rania.
"Prognosisnya sangat buruk," kata pria ber-snelli kepada suster di sebelahnya. "Kita akan pantau 24 jam ke depan. Baru setelah itu, kita bisa putuskan tindakan yang tepat untuk Ukaysha."
Semua orang terpekur di ruang tunggu. Bergelut dengan pikiran masing-masing. Dianti yakin, baik Arkana ataupun Sasongko pasti rela mempertaruhkan segalanya demi kesembuhan Ukaysha. Namun, paru-paru yang rusak ke mana mencari gantinya?
"Harusnya sudah plus, tapi keinginan hidupnya sangat kuat." Dokter itu menghela napas panjang. Suster mencatat dengan cekat setiap perubahan kecil pada pasien itu.
Dua puluh empat jam berhasil Uka lewati. Kondisinya masih buruk. Kesempatan untuk pulih sangat kecil. Kedua belah paru-parunya rusak, sebelahnya malah sangat parah. Pendarahannya banyak. Darahnya sudah memenuhi paru-paru menekan jantungnya. Ukaysha masih bertahan walau beberapa kali jantung itu berhenti berdenyut.
Para dokter sudah pesimistis, tetapi mereka terus berjuang keras. Ada Tuhan yang Maha Perencana.
"Dia gila," desis Dianti sambil menutup mulutnya dengan kedua tangan. Air mata sudah membanjir. Namun, dia tetap menjaga konsentrasinya agar bisa mendengar segalanya.
Hanya sejengkal pintu terbuka. Di depan sana, Dianti tetap membeku. Kakinya seakan menginjak ranjau-ranjau yang menyakitkan. Dua meter dari tempatnya berdiri, dia melihat lelaki berjaket kelabu menemui dokter tanpa sepengetahuan siapa pun. Gestur yang mencurigakan menarik keingintahuan Dianti.
Perkara masa lalu Arkana dan Rania bukan lagi sebuah rahasia. Bisa dikatakan Dianti adalah bagian dari kisah mereka. Sedikit banyak dia tahu detail percintaan mereka yang tertunda. Namun, tidak di masa lalu mereka. Tidak ada yang tahu sedekat apa keduanya sampai menghadirkan buah cinta bernama Ukaysha.
Ukaysha Athalla Gandasasmita, anak laki-laki yang menyandang nama belakang Sasongko.
"Prognosisnya sangat buruk," kata lelaki berbaju batik dengan wajah datar. "Dia belum komposmentis."
Suster di ruangan itu terperanjat, Arkana menggebrak meja dan berkata, "Kalian ngomong apa saya enggak ngerti!"
"Masa kritisnya belum lewat. Keadaan umumnya dia bisa melewati malam ini. Namun, kami tidak bisa menjanjikan apa-apa. Sebelah parunya tak dapat diselamatkan. Sebelahnya lagi rusak parah. Seandainya sembuh pun, Uka akan mengalami fibrosis."
"Apa itu?" Suara yang bergema bergetar hebat.
"Jaringan parut. Kalau pun Uka berhasil melewati masa kritis dan lukanya sembuh, dia tetap akan mengalami dispnoe."
"Dia akan mengalami sesak napas?" Nadanya terdengar meninggi.
Dokter itu mengangguk dan berkata, "Sesak napas yang hebat."
"Apa tidak ada solusi untuk menyelamatkannya?"
"Harapan hidup Uka sangat kecil, kecuali ...."
"Kecuali?" Arkana tampak berapi-api.
"Transplantasi paru."
Terdengar desahan dari dalam. Dianti menajamkan pendengarannya. Dia tak ingin melewatkan pembicaraan penting itu.
"Saya siap jadi donor, Dok."
"Untuk donor sepasang paru atau sebelah paru dibutuhkan donor mati, kecuali kalau donor lobus baru bisa dari donor hidup."
Arkana begitu frustrasi. "Berapa peluangnya?"
Dokter itu berkata, di Universitas Standford, operasi transplantasi paru-paru sudah dilakukan sejak tahun 1981 dan operasi berhasil dengan sempurna dua tahun kemudian. Sejauh ini, operasi sukses untuk jenis penyakit paru tertentu yang sudah memasuki fase akhir.
"Untuk kasus kecelakaan semacam ini baru sebatas eksperimen."
Arkana menjambak rambutnya sendiri dengan gemas. Air mata meleleh dari ujung matanya. Jangankan sebelah paru, dia rela menukar hidup jika bisa.
"Operasi ini belum bisa dilakukan di sini. Saya ada kenalan dokter bedah toraks di Melbourne dan Amerika. Saya akan memasukkan Ukaysha ke daftar tunggu penerima donor. Jika sudah ada pendonor yang cocok, kita bisa melakukan operasi di Australia atau Amerika. Namun, organ yang didonorkan hanya bisa bertahan selama tujuh jam, Australia tempat paling efisien."
"Berapa lama Uka harus menunggu, Dok?"
"Tidak pasti, sekalipun semua oke, itu pun harus mengantre."
Arkana siap pergi ke mana pun, menunggu sampai kapan pun, tetapi apa Ukaysha bisa bertahan? Kematian selalu mengintai dan bisa terjadi sewaktu-waktu.
Melihat reaksi Arkana, Dianti sangat yakin dialah ayah biologis Ukaysha yang sesungguhnya.
Fakta itu menyakiti banyak pihak. Kemungkinan besar ayah biologis Ukaysha bukanlah Sasongko seperti yang dia duga selama ini pasti menguliti perasaannya, jika dia tahu. Tentu saja, cepat atau lambat dia akan tahu.
Dianti tahu, Rania dan Arkana memutuskan menjaga jarak satu sama lain, meski memiliki perasaan yang sama. Keputusan Rania mempertahankan rumah tangganya bersama Sasongko sejauh ini berjalan baik. Namun, setelah hasil cek darah itu keluar, entah apa yang akan terjadi dengan rumah tangga mereka. Dianti menahan napasnya. Seolah dengan melakukan itu dia bisa menekan banyak hal; terutama semua dugaan yang berputar di kepalanya.
Arkana berjalan keluar dari ruangan sempit dengan gontai. Wajahnya pucat dan basah. Dianti masih mengikuti dari jarak aman. Sebelum Glorius Company berpindah tangan ke Rania, Arkana adalah atasannya. Sedikit banyak, wanita berambut sebahu itu tahu karakteristik mantan atasannya.
Dia cemas, lelaki itu akan mengambil keputusan di luar nalar. Dianti berdebar kencang, meski dia berusaha keras menenangkan diri.
"Aku tidak ingin membicarakan apa-apa denganmu," kata Rania saat Arkana menemuinya.
Di lorong rumah sakit, di sudut tersepi keduanya bertemu setelah sekian lama. "Inilah kebenarannya, Rania. Ukaysha anak kandungku."
"Bagaimana bisa aku tidak mengingat apapun tentang kamu sebelum pernikahanku dan Sasongko?!"
Dari balik dinding, Dianti melihat Arkana menarik napas dalam-dalam. Dia menempelkan punggung ke dinding sambil terus mendengarkan penjelasan Arkana.
Lelaki berambut keriting itu menceritakan dengan cepat kronologi perjodohan yang dilakukan ayah Rania. Wanita di hadapannya menunduk sesekali mengangguk mengiyakan. Ayah Rania memang pernah bilang akan menjodohkannya dengan seorang laki-laki. Rania tak mau perjodohan itu terjadi.
Sasongko yang dia cintai mempersunting dan membawanya pergi. Dia tak tahu menahu kalau lelaki pilihan ayahnya adalah orang yang sekarang menjadi adik ipar Rania.
Penyesalan yang memenuhi wajahnya menggambarkan bagaimana Arkana tampak enggan menceritakan kenangan usang itu.
Dianti menunduk. Telinganya masih menangkap pembicaraan terus berlanjut. Dia menelan ludah dengan kasar.
"Maaf atas kebodohanku di masa lalu, Ran."
"Kamu tahu, didikan orang tuaku dipertanyakan di sini?"
"Aku mengerti, tapi ada hal penting yang harus kita bahas. Ini tentang Uka. Aku ... akan menjadi donor buat Uka."
"Itu gila, donor hanya bisa dilakukan saat orang itu sudah mati."
"Tidak perlu kalau untuk donor lobus," jelas Arkana sambil menggenggam tangan Rania.
Dianti memutuskan pergi dari tempat itu[]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top