06》Pokoknya Jangan!
Sebotol vitamin C disodorkan ke arah Ukaysha setelah dibuka tutupnya. Lelaki yang duduk di karang itu menerima dan langsung meneguk hingga sisa setengahnya. Rasa asam menguasai lidah seketika. Namun, tak meluruhkan rasa heran yang melingkupinya sejak berjam-jam yang lalu.
Dia masih tak menemukan alasan logis bagaimana bisa ponsel dan dompet yang raib di Gili Manuk berada di tangan keluarga Asti. Garis dagu yang meruncing lembut makin mengeras diiringi gertakan gigi-giginya.
"Ini milikmu," kata kakek Asti saat memberikan barang-barang yang sempat hilang itu. Dengan gamang, Ukaysha menerimanya. Dia memeriksa seluruh isi dompet. Aneh, semua utuh.
Ada yang enggak beres!
Ukaysha tak memutuskan pandangannya dari lelaki tertua di rumah ini. Keriput yang menghias wajah semakin bertambah saat lelaki yang dipanggil Tukakiang tersenyum. Mata tuanya berbinar-binar. Ukaysha yakin, bukan karena barang-barang sang tamu yang ketemu dalam keadaan masih utuh membuatnya terus tersenyum. Pasti ada maksud lain!
"Jadi keberadaanmu di sini terkait Festival Budaya itu?"
"Iya," jawabnya disertai anggukan.
"Jadi festival itu akan diadakan di Buleleng?"
"Iya."
"Pemilihan tempat yang bagus. Persisnya di mana?"
"Singaraja."
"Setahu saya Glorious Company perusahaan yang bergerak di bidang fesyen. Bukankah lebih baik jika diadakan di tempat yang lebih ...."
"Saya mengerti maksud Anda. Kami tidak memilih tempat wisata yang kekinian karena suatu alasan."
"Menarik." Kakek Asti mengangguk takjub.
"Kami akan membuka cabang yang nantinya akan meluncurkan fesyen dengan sentuhan etnik. Untuk itu kami memilih tempat wisata yang eksotis agar sesuai dengan target market kami nantinya."
"Itu bagus. Kalau mau, saya bisa menghubungi seorang penari andal dari kota ini untuk memeriahkan acara itu."
"Terima kasih, tapi kami sudah merencanakan segalanya dengan konsep yang matang."
"Pengusaha muda yang hebat," kata kakek Asti sebagai penutup pembicaraan.
Satu per satu anggota keluarga Asti meninggalkan aula setelah kakek beranjak. Begitu juga dengan Ukaysha, lelaki itu memilih berjalan mencari udara segar.
Diam dan Asti dua hal yang sulit disandingkan. Sikap ceriwisnya tak bisa ditutupi. Tak heran apapun yang dia pikirkan sulit disembunyikan.
"Aku belum pernah melihatmu seperti ini," ujar Asti.
Seperti apa memangnya? kata itu yang tersirat dari tatapan malas Ukaysha.
"Aku juga baru pernah melihat Tukakiang seperti itu. Kamu tahu, itu luar biasa!" pekik Asti melanjutkan monolognya. "Kamu tahu, wajah bangga itu sangat jarang terlihat. Biasanya wajah keriput itu selalu terlipat-lipat menyebalkan. Enggak suka senyum, apalagi tertawa. Kamu tahu, itu artinya apa? Tukakiang menyukaimu!"
"Jangan menatapku seperti itu!" Bibir tebalnya maju beberapa mili saat meneguk vitamin C cair miliknya. Terdengar desah nikmat kala setiap tetes menyusuri leher. Kemudian dia menggunakan punggung tangan untuk mengusap mulut yang basah.
"Ternyata kamu terlibat dalam Festival Budaya yang akan diadakan Glorious Company, ya? Bagus, dong. Jadi nanti gampang urusan pelunasannya. Iya, kan?"
"Pelunasan apa?"
"Ganti rugi! Bisa-bisanya melupakan hal sekrusial itu."
Dia tak menghiraukan gadis menyebalkan yang terus mengikutinya. Ukaysha bukan alasan hilangnya kostum tari ataupun Asti yang harus bekerja tanpa digaji. Lantas mengapa dirinya diwajibkan mengganti segalanya? Lebih-lebih untuk hal yang tak pernah dia lakukan. Persetan dengan ganti rugi!
"Menyeting agar aku dan Wayan bisa menari Cenderawasih pasti mudah, dong, buat kamu?"
"Enggak semudah itu."
"Aku enggak peduli."
"Kenapa aku harus menurutimu?"
"Alasannya karena kita berteman dan teman harus saling membantu." Ucapan itu begitu renyah dan santai. Tidak ada rasa canggung apalagi bersalah dalam setiap ekspresinya.
"Kalau begitu teman, bisakah membantuku dengan tidak menggangguku terus menerus?" Ukaysha menangkupkan kedua tangan dan mengangkatnya tinggi-tinggi sambil menunduk. "Aku senang sekali kalau kamu mau melakukannya, Teman."
"Gimana, ya?" Asti mengetuk-ngetuk dagu seolah berpikir. "Sayangnya ... belum bisa, tuh! Karena kita terikat. Kamu harus ganti rugi dan itu bukan sebuah pilihan."
"Sayangnya ... kamu dalam keadaan yang tidak bisa memerintah," jawab Ukaysha menirukan logat Asti yang khas. "Tapi, aku bisa memikirkannya lagi. Dengan syarat tentunya."
"Gimana bisa begitu? Kamu udah bikin aku rugi, gantilah. Mana ada pakai syarat segala. Mau cari di seluruh dunia pun enggak akan nemu. Padahal, ya, kalau aku lihat, kamu ini tipe yang tanggung jawab, kok. Masa gitu, sih!"
"Don't judge someone by the cover."
Asti cemberut maksimal, tetapi dia tidak punya pilihan lain. Mengikuti keinginan Ukaysha jelas lebih baik untuk semua rencana-rencananya. Di posisinya sekarang, lelaki itu jelas memegang kendali permainan. Dia bisa membantu dengan mudah ataupun sebaliknya. Menggagalkan semua rencana hanya dalam sekedip mata. Mengerikan.
"Oke, apa syaratnya?"
"Tidak mempertanyakan apapun yang aku perintahkan."
Kedua bola mata Asti nyaris keluar saat memelotot. Namun, hanya sesaat. Ekspresi Asti berubah netral bahkan dia mengumbar senyum lebar tanda persetujuan.
Memenuhi keinginan lelaki pendiam yang sedang patah hati pasti tak sulit-sulit amat, pikir Asti. Kesepakatan pun terjalin. Dia mengajak bersulang-sulangan. Mereka mengangkat botol kaca berisi vitamin C itu tinggi-tinggi dan menyesap isinya hingga tandas.
Keduanya duduk bersisian menghadap laut. Ada kebahagiaan terpancar dari wajah Asti. Sementara Ukaysha bergelut dengan pikirannya sendiri. Segalanya terasa membelukar membentuk labirin yang tak bisa terdeteksi dengan mudah.
"Mau bikin permintaan?"
Ukaysha menengok dengan wajah penuh tanya. Sekali lagi gadis di depannya tersenyum. Refleks bibir Ukaysha tertarik ke atas membentuk dua titik. Bertemu orang yang bisa tersenyum dengan mudah tanpa perlu berpikir mengingatkan pada ibu kandungnya.
Apa wanita selalu seperti itu?
Mungkin, orang-orang bisa bebas berekspresi di dekat orang yang mereka sukai. Selain ibu kandungnya, seingat Ukaysha dia pernah melihat ibu sambungnya, Dianti sering tersenyum lepas saat anaknya--kakak tiri Ukaysha--masih hidup. Ukaysha juga melihat mantan terindahnya tersenyum lepas di pelaminan. Hal yang tak pernah dia lihat sebelumnya saat masih bersama dirinya. Rasa nyeri tiba-tiba menyengat. Ukaysha menahan diri untuk tidak menyentuh dada.
Hidup lebih dari lima tahun setelah menjalani transplantasi paru merupakan sebuah keajaiban baginya. Pasalnya tim medis memprediksi Ukaysha hanya mampu bertahan selama itu.
Alasan terbesar Dianti selalu menolak berbagai keinginan pewaris Glorious Company itu. Dia hanya ingin anak sambungnya fokus pada kesehatan dan masa-masa krusial dalam hidup.
Sayangnya, mengasihani Ukaysha adalah kesalahan besar yang Dianti lakukan.
"Gimana mau enggak?" Asti melepas kertas merek yang menempel pada botol.
"Duh, duh, duh enggak bawa pena." Dia menggigit bibir tebal yang terlapisi lipbalm.
Rasa terkejut tak bisa disembunyikan saat tangan Ukaysha terulur ke kepalanya. Dia melepas dua jepit rambut menyerupai lidi.
"Maaf," katanya. Tatapan keduanya bertemu. Waktu seolah berhenti. Mereka tak pernah sedekat itu sebelumnya. Rasa nyeri kembali menyerang dada. Ukaysha yakin, debar itu bukan dari paru-paru yang sakit. Jantungnya memang berdetak lebih kencang dari seharusnya.
Sekali lagi Ukaysha tersenyum tipis menunjukkan jepitan itu. Dia membentangkan kertas itu kemudian meminta Asti memegang sisi sebelahnya. Terdengar debur ombak menghantam karang saat Ukaysha menusuk-nusukkan jepitan itu membentuk serangkaian huruf membentuk kata.
Asti memperhatikan wajah serius Ukaysha. Sesekali dia mengaitkan rambut yang tertiup angin menutupi wajah. Gadis itu gelagapan ketahuan mengamatinya. Namun, hari ini lelaki itu memang terlihat berbeda.
Beberapa kali terjadi perubahan emosi yang cepat dan dia menunjukkannya. Asti sangat tertarik dibuatnya. Kisah hidup lelaki yang baru dikenalnya beberapa waktu yang lalu pasti sangat kompleks dan menarik.
Ukaysha yang memendam banyak hal dalam diamnya. Namun, sorot mata sekelam malam mendobrak paksa ingin bercerita. Asti menangkap adanya ketidakpercayaan yang terpancar dari iris itu.
Asti menghubungkan benang-benang dari sikap-sikap preventif, waspada, dan menjaga jarak dari orang lain yang Ukaysha lakukan. Semua itu hanya upaya menjaga diri. Agar hati itu tak terluka berkali-kali, menurut Asti.
"Pegang sebentar." Ukaysha menyerahkan kertas itu. Dia menggeser tubuh lebih dekat dengan Asti. Jari-jarinya sudah mengumpulkan rambut panjang Asti. Dia memisahkan beberapa helai untuk melilitkannya menjadi pengikat. Terakhir, dia meminta satu jepitan lidi untuk mengait.
Rasa hangat menjalar saat kulitnya tak sengaja bersinggungan dengan pipi tembam Asti. Dia bisa melihat semburat kemerahan merambat di wajah bulat itu.
"A-aku akan menulis permintaanku sendiri."
***
Kikuk tidak pernah ada dalam kamus Ida Ayu Kadek Suasti selama ini. Tampaknya hari ini pengecualian. Dia begitu canggung saat kulit pipi bersinggungan dengan tangan Ukaysha. Lelaki itu tiba-tiba mengikat tunggal rambut Asti. Hal yang sangat mengejutkan baginya. Entah mengapa perbuatan kecil seperti itu terasa mendebarkan.
Aneh, dia tak menyadari sejak kapan bersama Ukaysha menimbulkan perasaan asing yang membingungkan. Tidak selalu menyenangkan saat dia bersama Wayan, tetapi ada sisi hati di mana dia ingin menikmatinya lagi dan lagi. Berkali-kali.
Gugup juga jarang Asti rasakan. Namun, mengucapkan sebaris kalimat saja terbata-bata. Benar-benar memalukan saat mengingatnya. Asti sibuk melubangi kertas dengan jepitan. Kadang dia berhenti dan memikirkan sekali lagi. Tak lama bunyi kertas ditusuk-tusuk terdengar. Sebuah permintaan yang akan dia layangkan telah selesai.
"Udah?"
Ukaysha tersenyum dan memberikan kertas yang sudah digulung.
"Akan kita apakan?"
"Mau dilempar atau dikubur?" tanya Ukaysha setelah melihat Asti memasukkan dua gulungan kertas ke dalam botol kaca berukuran kecil, bekas minuman vitamin C yang dia minum.
"Kita lempar aja gimana?"
Hanya anggukan yang terlihat dari Ukaysha. Dia tidak merasakan efek dari tindakan kekanak-kanakan ini, mungkin belum.
"Kita lempar bareng, ya? Aku hitung sampai tiga. Satu, dua, ti--" Asti berhenti dan menguarkan tawa yang meledek. Seluruh barisan giginya terlihat. Wajahnya sangat bercahaya saat tertawa. Anak rambut yang lolos dari ikatan menari-nari menghias wajah bulat itu. "Aku ulangi, ya. Satu, dua, tiga!"
Melihat Asti tersenyum dengan harapan yang menyala-nyala mengalirkan sensasi tersendiri. Asti adalah pribadi yang Ukaysha impikan. Memiliki segalanya; kesehatan yang prima, kebebasan berekspresi, dan bebas dari ketakutan.
Botol itu melambung bersamaan ombak yang berdebur. Benda silinder itu kembali terbawa ombak yang datang bergelinding setelah mendarat di bebatuan.
Ukaysha dan Asti saling berpandangan.
"Apa laut menolak keinginan kita?"
"Apa yang kamu minta?"
"Aku tidak punya apa-apa yang berharga untuk diminta, jadi aku hanya menulis semoga permintaanmu dikabulkan," jelas Ukaysha.
"Apa? Kamu nulis gitu? Gila!"
"Kenapa?"
Asti membuka kedua kertas dalam botol itu. Dia membukanya cepat-cepat. Butuh waktu membaca titik-titik itu. Namun, dia menganga setelah membaca keduanya.
"Kebetulan yang unik."
Ukaysha mendekat, dia menyamakan posisi dengan Asti yang jongkok. Dia memusatkan fokus pada kedua kertas itu. Kabulkan doa Asti. Tangan Asti bergetar. Dia menatap Ukaysha dengan masam.
"Kenapa kamu nulis ini di saat aku meminta Tuhan mengabulkan keinginanmu?"
"Bisa samaan gitu, ya?" Ukaysha memeriksa kedua kertas itu sambil tertawa pelan.
Asti sudah membuat jarak. Ukaysha sempat melihat bulir bening sempat jatuh dari matanya sebelum berbalik.
"Apa semuanya sia-sia?" Ukaysha bergumam pada diri sendiri.
Dia tak mendapat jawaban apa pun dari pertanyaannya. Ukaysha pikir, reaksi Asti berlebihan.
Apa yang salah dengan permintaannya? Apa yang membuat Asti begitu terluka dengan permintaan itu? Kenapa Asti meminta sesuatu untuk dirinya yang baru dikenal dalam hitungan minggu?
Semakin Ukaysha berusaha mengabaikan, pertanyaan demi pertanyaan justru bermunculan. Dia tak bisa menahannya. Sesuatu seperti mendorong untuk mengejar.
Setelah bersusah payah menaklukan dan hidup dengan mengunci berbagai gejolak rasa. Namun, sensasi itu datang lagi. Ketakutan demi ketakutan menggempur berbagai sisi. Bertubi-tubi.
Air mata membuatnya muak. Begitu banyak orang di sekitar Ukaysha menumpahkan air mata atas kehilangan demi kehilangan[]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top