05》Tak Terduga
Ukaysha terbangun di ruangan yang sama. Dia melirik kalender yang menunjukkan pertengahan bulan Juni. Sudah seminggu sejak dirinya dibawa ke rumah Asti, batang hidung gadis itu tak pernah terlihat lagi. Selama itu juga Ukaysha menghabiskan waktu terbaring di atas ranjang kayu. Sesekali mata sipitnya melihat pergantian waktu melalui jendela yang terbuka. Pemuda yang pernah mengancamnya selalu membukakan jendela itu setiap pergantian hari dan menutupnya saat gelap tiba. Lelaki itu juga setiap hari berbaik hati menyobek lembar demi lembar kalender yang menempel di dinding berbatu bata. Keadaan Ukaysha tak terlalu baik, tetapi dia menolak dibawa ke rumah sakit.
Tanpa mendengar celoteh riang Asti rasanya aneh apalagi di kediaman gadis itu. Tanpa Ukaysha sadari dia menghela napas panjang dan memejamkan mata sejenak.
"Apa kamu memikirkanku?"
"Ah!" Ukaysha yang masih merebah terperanjat. Sontak dia bangun dan mundur sampai punggung mentok dengan tembok. Refleks dadanya berdebar hebat, mata itu jelalatan ke arah pintu dan berkata, "Masuk dari mana?"
Daun pintu kecokelatan itu masih tertutup rapat. Dia tak habis pikir. Terlebih Asti menunjuk ke arah jendela yang terbuka.
Ukaysha menarik napas pendek berulang kali sambil mengamati penampilan Asti. Rambut hitamnya dikucir menyerupai ekor kuda. Dalam balutan kebaya sederhana berwarna salem dan kain batik cokelat. Ukaysha berani bertaruh tidak ada yang tahu kalau kain itu dimodifikasi oleh Asti menjadi celana.
"Bagaimana keadaanmu?" Belum mendapat jawaban, Asti sudah kembali berceloteh, "Kamu tahu, aku sangat menyesal. Kenapa kamu enggak bilang kalau kamu sakit? Aku benar-benar frustrasi enggak bisa menemuimu."
Ukaysha menatap ke luar jendela. Senyum samarnya yang singkat tak disadari siapa pun. Wajah itu kembali sedingin Arktika.
"Udah berapa lama?" tanya Asti menghadapkan wajah tirus itu ke arahnya. Tatapan mereka beradu beberapa detik sebelum Ukaysha kembali membuang muka. "Udah berapa lama kamu sakit?"
"Kita belum sedekat itu untuk berbagi hal pribadi, mengerti?"
"Kita harus sedekat apa untuk bisa berbagi cerita? Apa kamu pikir aku mengasihinimu?"
Ukaysha kembali mendongak, Asti sudah beranjak dan duduk di depan cermin.
"Kamu tahu, kamu enggak pantas dikasihani," oceh Asti tanpa berpaling dari cermin. Gadis itu membuka ikatan rambutnya. Rambut hitam yang tebal itu satu per satu lolos dari ikatan. Dia mengibas-ngibaskannya sampai menjuntai seluruhnya ke depan dada. "Kamu terlalu egois, tapi enggak apa-apa. Semua orang punya hak untuk memilih menjadi apa. Bener, kan?"
Gadis itu tersenyum menampakkan gigi gingsulnya saat menoleh. Tak lama dia kembali becermin. Melihat lelaki berkaus putih terus menatap ke bawah membuatnya begitu penasaran. Pemandangan apa yang begitu menarik dari selimut bergambar bunga-bunga.
Dengan cepat kursi yang dia duduki diputar sampai menghadap ke Ukaysha saat mendengar suara menyerupai bisikan, "Gimana kabarmu?"
"Hai, halo! Aku di sini," tegur Asti sambil menggerakkan kedua tangannya. Seolah suara nyaring miliknya tidak cukup merebut perhatian lelaki itu. Dengan semangat membara Asti melanjutkan niat untuk menggoda. Semburat merah muda yang menjalar di wajah pucat Ukaysha amat menggemaskan menurut Asti. "Serius kamu mengkhawatirkanku?"
"Ah, jangan tanya! Aku enggak akan pernah baik-baik saja saat di rumah," keluhnya sambil memasang wajah cemberut. "Lihat ini, bukankah penindasan hak asasi? Rambut indahku harus diikat sepanjang hari. Lihat, Tukakiang memintaku memakai pakaian ini selama aku menghabiskan masa hukuman. Menyebalkan bukan?"
"Kamu beruntung," lirihnya. Segaris senyum samar tercetak. Senyum yang menyiratkan kepedihan.
"Tentu saja aku beruntung kapan lagi bisa mendengar teriakan si kembar, 'Asti kapan balik?' Belum lagi saat Tukakiang memberi wejangan 'jangan begini Asti! Jangan begitu.' Tak kalah seru melihat tatapan dingin Gusti astaga, dia tidak banyak bicara meski banyak banget yang mau diomongin." Asti menjelaskan dengan menggebu-gebu. Di sela-sela cerita ada tawanya lepas yang membingkai wajah yang merona. Dia kembali menirukan logat kedua orang tuanya. "'Asti apa-apaan ini? Asti tolong, dong, nurut kali ini! Asti, nanti--'"
"Apa Asti?" Suara wanita yang begitu familier menghentikan Asti yang langsung menepuk jidat. "Sedang apa di sini, Asti?"
"Mampus, pus, pus," gumamnya. Asti berbalik menghadap wanita yang telah merawatnya. Dia tersenyum kikuk. "Mam?"
"Biang." Wanita itu geleng kepala melihat tingkahnya.
"Mam, Mami," ledek Asti.
"Lihat, Asti selalu mengganggu semua orang, apa dia mengganggumu?"
"Enggak ... Tan." Bukan bermaksud berbohong dia meneruskan dalam hati, enggak salah. Ganggu banget malah.
"Maklumin, ya. Asti memang udah nakal sejak kecil."
Ukaysha hanya tersenyum tipis menanggapi curahan hati itu.
"Mam," rajuk Asti. Berharap ibunya berhenti membicarakan dirinya dengan sebutan dia. Dia yang dibicarakan ada di hadapan mereka. Asti tidak suka keberadaannya tak dianggap.
"Kalau Tukakiang tahu akan buruk, Asti."
"Mam, Asti cuma sebentar."
"Enggak, Asti!"
"Dua puluh lima ribu kata aja, Asti janji."
"Dasar, Nakal. Itu memakan waktu berjam-jam," ucap ibu Asti mencubit pinggang anaknya.
"Asti enggak butuh waktu selama itu untuk mengucapkan dua puluh lima ribu kata."
"Simpan dulu dua puluh lima ribu katamu itu, Tukakiang sudah menunggumu di aula," jelasnya.
"Kalian enggak boleh ketemu dulu sampai hari baik ditentukan."
"Mam, ngomong apaan, sih. Jangan dengerin!"
***
Tujuh orang yang pernah Ukaysha lihat di hari pertama ada di aula ini. Duduk bersimpuh di depan meja-meja kecil. Dia melangkah mendekati satu-satunya meja kosong. Di sana telah tersaji berbagai jenis makanan.
Ukaysha menelan ludah menatap begitu banyak makanan yang tersaji.
Semua orang mulai memakan hidangan setelah kakek Asti mempersilakan. Tidak ada sendok, garpu, atau pisau. Mereka melahap makanan dengan khidmat walau menggunakan tangan. Asti yang duduk di depannya memberi kode melalui tatapan mata. Ukaysha pun mencelupkan tangan kanan ke dalam air kobokan yang disediakan sebelum mencubit ikan bakar.
Masakan yang lezat itu terasa hambar di mulut. Perpaduan bumbu yang gurih tak bisa dinikmati sepenuhnya. Dia merasakan firasat yang buruk. Meski saat melirik ke kakek Asti dan orang tuanya tidak ada yang memperhatikan gerak-geriknya. Semua orang fokus pada nasi putih hangat yang mengepulkan asap beserta lauk pauk di depan mereka.
Selesai makan, muncul beberapa wanita bersanggul dari arah dapur. Piring kotor dan perkakas makan lain dibereskan. Tidak ada yang terburu-buru beranjak dari tempat mereka. Mungkin sudah menjadi tradisi ada acara ngobrol santai selepas makan.
Para abdi itu keluar dengan nampan-nampan di tangan mereka. Masing-masing meja disuguhi semangkuk kecil potongan buah segar dan secangkir air panas.
"Sudah kamu bawa benda itu, Gusti?" Kakek Asti membuka percakapan.
Pemuda bernama Gusti hanya mengangguk dan memberikan benda yang dimaksud.
"Ini milikmu," kata sang kakek sambil menyodorkan dompet beserta ponsel genggam. Ukaysha membelalak melihat dompet kulit seharga tujuh juta miliknya ada di salah satu anggota keluarga Asti[]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top