04》Sangat Payah.
Ukaysha merutuk Dianti dalam hati, bisa-bisanya tidak memesan penerbangan tercepat saja. Bukannya ketenangan dari perjalanan panjang yang didapatkan, seperti sarannya, Ukaysha justru terjebak dengan gadis sinting bernama Asti. Harus mengikuti arahan-arahan yang tidak berdasar pula, berlari, dan menghindari hal yang tidak jelas. Benar-benar melelahkan.
Seperti saat ini, jemari Asti terus menggandeng, membawanya menyelinap di antara desakan penumpang yang turun. Sesekali gadis itu berbisik untuk menundukkan tubuh Ukaysha yang terbilang tinggi.
"Nurut aja ngapa, sih!" Asti berdecak lagi-lagi kepala Ukaysha mendongak membuat tubuh tingginya semakin menjulang di antara yang lain. Belum lagi kulit pucatnya menarik perhatian. "Mereka ada di sana, di sana, dan di sana. Apa kamu enggak ngerti juga?"
"Mereka siapa? Kenapa harus menghindari mereka? Kita enggak melakukan kesalahan apa-apa, kan?"
"Masih enggak ngerti juga?" Asti menepuk jidat sambil geleng kepala sementara Ukaysha mengendikkan bahu.
"Si Mata Merah akan merampas hak orang lain. Berusahalah untuk tidak mencolok agar bisa lolos dari agennya."
Gadis di samping kanannya benar-benar Queen of Drama sejati. Mengkhawatirkan hal yang tak perlu. Ukaysha sudah memindai tempat itu orang-orang tampak biasa saja. Tidak ada yang terlihat ketakutan.
"Untuk tak terlihat, kita enggak perlu sembunyi, hanya perlu membaur." Ukaysha merangkul Asti dan mengajaknya berjalan cepat. Dia tak menurunkan kadar waspadanya dari orang-orang yang ditunjuk Asti.
Seorang ber-hoodie hitam duduk dengan kepala tertutup tudung dan wajah terhalang masker. Lelaki itu terlalu tertutup di cuaca yang sangat panas. Satu agen Mata Merah ada di dekat penjual balon. Seorang wanita yang mengucir kuda rambutnya tengah memakan gula kapas. Dia selalu mengulang menyibakkan rambut hingga menampakkan alat komunikasi di telinganya.
Dua orang yang terdeteksi Asti hanya berfungsi sebagai kamera pelacak calon korban.
"Jangan ke sana!"
"Udah, deh. Parno amat, enggak ada apa-apa. Lagi pula ini bukan pertama kali aku ke
Bali."
"Tapi aku yakin ini pertama kalinya kamu melewati jalur air."
"Ya, itu benar."
Situasinya sudah tidak mengenakan. Ukaysha merasa terganggu. Apa yang sebenarnya sudah menanti di depan sana sampai membuat Asti yang notabene penduduk lokal merasa ketakutan. Kalau dilihat-lihat, tidak banyak perbedaan. Gili Manuk seperti pelabuhan pada umumnya.
Tempat yang ramai jelas wajar berbagai aktivitas ada di sini. Aktivitas ekonomi pun berjalan lancar. Semua normal dan baik-baik saja, selain orang-orang yang ditunjuk Asti. Itu pun mungkin kebetulan. Beberapa orang memilih bersikap antimainstream dan mencolok daripada kebanyakan orang.
Bukankah Asti juga begitu? Berkeliaran dengan kulot loreng di pusat perbelanjaan. Ukaysha terkekeh mengingatnya.
"Ngetawain aku, ya?" Asti menyikut pinggang Ukaysha dan berbisik, "Wajahmu mencurigakan."
"Kamu lebih mencurigakan," jelas Ukaysha sambil berkecak pinggang. "Seorang gadis menarik-narik laki-laki asing yang enggak dikenal, benar-benar mencurigakan. Si Mata Merah itu enggak ada, kan? Itu pasti akal-akalanmu aja."
"Apa katamu? Aku mencurigakan? Oke, jangan bilang aku enggak pernah memperingatkanmu. Kita pisah di sini, aku pergi." Asti sudah berjalan beberapa langkah sebelum berbalik dan berteriak, "Kamu akan membiarkanku pergi? Keterlaluan! Ah, dasar enggak peka."
Baru beberapa langkah Ukaysha meninggalkan tempat itu, dia mendengar jeritan wanita dewasa. Jantung Ukaysha mencelus dibuatnya. Dia berlari secepat mungkin menuju sumber suara seorang bersweter fusia, tengah memberontak. Kedua lengannya dicekal. Rambut hitamnya tertiup angin menutupi wajah.
Satu tendangan diluncurkan cukup memberi efek kejut. Lelaki bertubuh sebesar kulkas yang mencekal gadis itu membentak dan menyalangkan matanya.
"Lepasin dia, berengsek!"
"Ngapain ikut campur, hah!?"
Tak terima kegiatan terusik, satu di antara mereka menyerang. Ukaysha berhasil mengelak. Namun, keberuntungan hanya berlaku sekali. Dia tak bisa menghindari pukulan dan tendangan lainnya. Sampai tubuh tinggi itu tersungkur. Darah kental merembes melalui celah bibirnya. Rasa ngilu mengentak punggung saat satu tendangan menghantam sekuat tenaga.
Ukaysha terhuyung lalu terjerembap.
Pandangan mulai mengabur, dia masih bisa mendengar suara melengking disertai tendangan dan pukulan. Dia yakin suara itu bukan dari gadis bersweter fusia karena Ukaysha masih bisa melihatnya samar-samar.
"Aku sudah memperingatkanmu sebelum ini," kata gadis yang Ukaysha kenali sebagai Asti. Sementara dirinya masih mencerna apa yang baru saja terjadi, tangan Asti sudah terulur ke arahnya. "Buruan, kita hanya punya waktu dua menit sebelum mereka bangun dan bisa mengejar kita."
"Tapi, dia--"
"Dia bukan urusanmu!"
"Dia--"
"Aku akan mencari bantuan!" Asti menekan suaranya agar tak terlalu keras. Melihat Ukaysha masih meragukan Asti, gadis itu menegaskan, "Aku akan menelepon Gusti."
Asti menarik paksa lengan Ukaysha. Membantunya berpindah secepat mungkin. Ukaysha tertatih, dia bukanlah orang terlatih. Berkelahi hanya berdasarkan insting. Suara wanita yang berteriak benar-benar membuat refleksnya diluar kendali. Otaknya berpikir hal buruk terjadi pada Asti. Namun, dia beruntung gadis bersweter fusia itu orang lain. Keduanya berhasil keluar dari situasi pelik itu.
Dia tidak akan melakukan kesalahan yang sama, mengabaikan teriakan wanita sekali lagi. Hal buruk itu jangan sampai dialami wanita lainnya.
Pertemuan singkat mereka cukup memberi ruang bagi Ukaysha untuk melindungi Asti. Gadis itu mampu menyisip ke sudut ruang yang jarang tersentuh. Bertemu Asti seperti menghadapi ilmu pengetahuan yang selalu berkembang dan tidak bisa diprediksi. Gadis yang sudah mengecat rambutnya menjadi hitam itu selalu sukses membuatnya bingung. Ukaysha selalu kesulitan menebak pola pikir dan tingkah lakunya.
"Apa mereka masih mengejar kita?"
"Sepertinya iya," jawab Asti seraya berbisik.
Ukaysha dan Asti menahan napas dan menunduk lebih dalam. Tong sampah jumbo di sampingnya menyamarkan keberadaan mereka saat ini. Harusnya mereka bisa keluar dari Gili Manuk dengan mudah, jika Ukaysha tidak gegabah menjadi pahlawan kesiangan menyelamatkan gadis--yang dikira Asti--bersweter fusia.
"Kita enggak bisa sembunyi terus. Kamu percaya sama aku, kan? Aku akan mengalihkan perhatian mereka, kamu lari ke Utara, lihat di sana ada taksi. Naik itu. Oke?"
"Tunggu!"
Terlambat! Asti sudah berlari. Ukaysha harus mengikuti instruksinya. Namun, rasa nyeri yang hebat menyerang dada seketika.
"Sial! Kenapa harus sekarang?"
Kamu percaya sama aku, kan? Suara Asti terngiang di kepala. Pandangannya sudah kabur, tetapi taksi biru itu sudah terlihat. Ukaysha menyeret kaki lebih kuat lagi. Sesuatu mendarat di tengkuknya. Penglihatannya sudah mengabur sempurna. Hanya gelap yang mulai menguasai Ukaysha.
Cahaya terang menerobos paksa retina, dia bisa melihat orang-orang bertubuh besar itu meninggalkan dirinya setelah mengosongkan dompet Ukaysha dan memberi beberapa tendangan.
Rencana sudah gagal. Sayup-sayup dia mendengar Asti meminta bantuan kepada orang di sekitar untuk mengangkat sebongkah daging yang tak berdaya. Taksi itu melaju dengan kecepatan tinggi. Dia merasakan air mata menetesi wajah Ukaysha yang terbaring di pangkuan.
"Maaf, aku terlambat. Harusnya aku kembali lebih cepat saat sadar mereka enggak terpancing sama sekali."
Sudut bibir Ukaysha terasa perih dan kaku saat memaksakan senyum. Di sela-sela napasnya yang tersengal-sengal, dia berkata, "Terima kasih, Asti."
***
"Aku terlihat sangat payah, ya?" tanya Ukaysha sambil terkekeh.
Cahaya matahari yang tegas menembus kanopi semitransparan. Ukaysha mendongak, dia merasa tidak berdaya, lemah, dan tak pantas melindungi siapa pun. Menyangga tubuh yang terbilang kurus saja perlu dibantu Asti. Sebagian beban tubuh bertumpu padanya.
Dia semakin kecil di hadapan bangunan kokoh berarsitektur khas Bali. Ukiran di sudut-sudutnya seperti bercerita dari generasi ke generasi. Bagian depan, tanaman hias Marigold memenuhi taman.
Asti membimbingnya ke masuk. Di dalam ruangan, sekelompok orang yang sangat familier bagi Asti menyambut dengan berbagai ekspresi yang tertahan. Ukaysha menelan ludah sampai jakunnya bergerak-gerak saat memindai wajah-wajah itu.
Di ambang pintu, dua gadis berwajah identik memasang wajah seolah ingin menggoda. Di sofa beledu, wanita paruh baya yang mengingatkan pada sosok Dianti. Di sampingnya, duduk lelaki gemuk yang kehilangan sebagian rambutnya. Keduanya menampilkan ekspresi cemas saat melihat Asti.
Di kursi goyang rotan yang berderit, duduk lelaki yang sudah dipenuhi uban di kepala. Kacamata berbingkai emas menjadi alat bantu penglihatannya. Dari balik lensa saja bisa dilihat tatapan tajam penuh ketegasan di dalam sana. Meliriknya tanpa sengaja membuat seluruh kekuatan otot yang tersisa seperti menguap tanpa alasan, lemas.
Ukaysha pun pasrah saat Asti menjatuhkan badannya ke sofa tunggal. Dia tak bisa berhenti mengikuti pergerakan Asti yang duduk di samping lelaki tertua di rumah ini. Di sampingnya, lelaki seusia dirinya melayangkan tatapan dingin. Daripada disebut korban kekerasan, di tempat itu Ukaysha lebih mirip seorang tersangka. Penjahat yang membawa lari putri kesayangan rumah ini.
Keheningan yang aneh tercipta. Orang-orang itu tidak bicara. Tak ada suara apa pun yang keluar selain detak jam dinding dan sesekali embusan napas panjang. Ukaysha hanya bisa menebak-nebak dari ekspresi Asti. Apa yang sedang terjadi sebenarnya. Dia sudah kehilangan tenaga, tidak mungkin pergi walau sangat ingin keluar dari situasi ini.
Keluarga ini penuh drama!
"Bantu dia ke kamar," titah wanita yang menyerupai Dianti. Suaranya yang rendah dan lembut malah mengingatkan ibu kandung Ukaysha. Pemuda yang diperkirakan seusia dengannya berdiri tanpa banyak bertanya. Dia hanya mengangguk kemudian membantu Ukaysha berdiri. Pemuda itu lebih kuat dari yang terlihat. Mungkin dia menguasai teknik bela diri. Cara dia memegang terasa kuat dan mantap.
Sepertinya terjadi pembicaraan serius selepas kepergian Ukaysha ke kamar. Saat dia menoleh ke belakang, semua orang menunduk. Tidak ada yang repot-repot memperhatikan lelaki yang babak belur tertatih-tatih pindah ruangan.
"Kamu berani, ya?" Lelaki yang memapahnya melontarkan sebuah pertanyaan. Namun, Ukaysha mendengar kalimat yang dilontarkan itu lebih mirip sebuah ultimatum.
Sialan! Beraninya bocah ini merendahkanku.
"Akan kubuat kamu lebih babak belur dari ini kalau sampai mempermainkan Asti, ingat itu. Ini bukan permintaan, tapi ancaman."
Berengsek!
"Semua ada masanya. Gunakan waktu ini sebaik mungkin untuk istirahat sebelum ...."
Ukaysha menahan napas dan keingintahuannya. Namun, pemuda yang diperkirakan kakak Asti itu memutuskan menahan kalimat selanjutnya. Hanya seringai tipis yang muncul di sana.
"Aku enggak suka melakukan ini."
Aku juga enggak sudi dirawat kamu!
Meski berkata seperti itu, dia tidak menggerutu saat menempelkan kain basah yang hangat. Dia melakukan segalanya dengan hati-hati.
"Di mana Asti?"
Satu-satunya pertanyaan yang meluncur setelah kebisuannya menghentikan aktivitas di kamar itu. Tatapan tajam pemuda itu pasti mewarisi lelaki tertua di rumah ini. Namun, tidak cukup untuk mengintimidasi karena Ukaysha mengulangi pertanyaannya.
"Di mana Asti?"
"Ini rumahnya. Dia baik-baik saja," katanya sebelum meninggalkan Ukaysha di ruangan yang minim perabot dan dekorasi[]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top