03》[Bukan] Melarikan Diri.
"Cari rute terpanjang kalau kamu berniat melarikan diri, Sayang," kata Dianti sebelum menyuapkan sepotong daging ke mulutnya.
"Melarikan diri? Anda sendiri tahu kalau saya pergi untuk sebuah pekerjaan."
Keduanya berpandangan cukup lama, masa lalu selalu menjadi pembicaraan sensitif di antara mereka. Namun, baik Dianti dan Ukaysha tak bisa menghindari topik itu selamanya.
"Ayahmu juga dulu sepertimu, persis kayak gitu. Sayangnya, sejauh apapun dia pergi, pada akhirnya kenyataan yang menghampirinya." Garpu dan pisau berdenting saat bersentuhan dengan piring. "Dia harus menghadapinya. Sendirian. Belajarlah dari kesalahan ayahmu, Uka. Sampai kapan kamu akan tenggelam dalam rasa sakit itu?"
"Dianti!"
"Apa yang ayahmu dapat selain pengkhianatan demi pengkhianatan? Lalu apa yang kamu dapat sekarang?"
Ukaysha membuang muka. Dia tahu persis, ayahnya berjuang banyak hal untuk ibunya. Semua yang terjadi sudah kehendak takdir. Bukan tentang kebodohan sang ayah ataupun keluguan si ibu. Semua sudah digariskan. Ukaysha yakin akan hal itu. Namun, tetap saja rasanya sakit mengetahuinya.
Perkara yang dia putuskan, lelaki itu sangat yakin. Ayahnya akan melakukan hal yang sama, jika dihadapkan situasi serupa. Dia sangat yakin akan hal itu.
"Aku mengerti, kamu butuh waktu. Karena itu aku tidak menghalangimu lebih jauh lagi. Festival Budaya ini sangat penting buatmu, kan? Kalau begitu pergilah. Kembalilah saat kamu merasa lebih baik."
Untuk pertama kalinya setelah puluhan tahun, Ukaysha yang sangat membenci Dianti, sepanjang malam itu justru mengingat detail percakapan saat makan bersama. Tujuh puluh dua jam sudah berlalu, percakapan itu terus berputar.
Pribadi yang tenang dan pemikir?!
Ukaysha tidak suka orang-orang mudah melabeli sesuka hati. Apalagi hanya untuk mengendalikan dirinya! Menekan segala hal yang dipikirannya.
Dia bersandar sambil menatap sekeliling. Langit biru, air yang tak kalah biru, dan embusan angin laut yang menyapu wajah. Keheningan aneh. Suara-suara selain deru mesin kapal seolah lenyap. Dirinya seperti di tempat yang asing. Pelarian diri yang terlampau sempurna.
Kata Dianti, rute yang panjang membuatmu lebih mudah untuk berpikir dan merenung.
Mungkin memang benar, sebelum suara yang mulai familier di telinga kembali terdengar. Dianti, asap daging panggang di restoran khas Jepang, dan pembicaraan itu lenyap seketika.
"Aku menemukanmu!" Tiba-tiba dia mengarahkan ponsel dan tersenyum sambil melambai-
lambai ke arah kamera yang menyala. Refleks Ukaysha menghalau agar benda itu tak mengekspos dirinya juga.
Meski sudah menghindar, gadis itu kekeuh membuat video bersama.
Demi apa pun yang dia ingat, Ukaysha yakin tidak mengenali gadis berambut hitam yang menghampirinya. Wajah tirusnya menonjolkan bagian mata yang terlihat lebih bulat dan besar. Impresi pertama saat melihatnya mengingatkan gadis berkulot loreng di pusat perbelanjaan. Namun, keduanya jelas sosok yang berbeda, menurut Ukaysha. Mau tak mau dia mulai mengamati lebih intens gadis yang mengibaskan rambutnya yang digerai.
"Apa aku mengenalmu?"
Asti menurunkan ponselnya, dia memasang wajah agak cemberut.
Enggak kenal, sok akrab, fiks, gadis ini gila!
"Ish, aku Asti! Aku mencarimu ke mana-mana. Kamu harus ganti rugi tahu enggak, sih. Malam itu tiba-tiba aja kamu ajak aku pergi tanpa mengambil tas, kostum tari, dan gajiku!"
Melihat tak ada perubahan ekspresi yang berarti, Asti melanjutkan. "Jangan menatapku seperti itu. Aku harus mengecat rambutku kalau tidak ingin didepak Kakekku. Kamu tahu, aku kehilangan semuanya. Parahnya aku harus ganti rugi. Kamu tahu apa yang aku lakukan membayar hilangnya kostum itu? Aku menjadi pembantu tanpa digaji. Itu menyebalkan sekali."
Oh, ternyata memang dia.
"Mengambil beberapa benda dan menyisakan ponselmu?" Nada yang keluar dari mulut Ukaysha terdengar menjengkelkan sekali. Tersirat ketidakpercayaan dalam pertanyaan itu.
"Aku tak pernah meninggalkan ponselku di mana pun, kamu ingat?"
Ukaysha tak perlu menjawabnya, memang, sepanjang perbincangan di acara malam itu, sesekali jari-jari lentik Asti sibuk mengetik. Kadang-kadang merekam gerombolan orang. Entah apa gunanya.
"Oh, iya. Bagaimana perasaanmu? Argh, jangan bilang masih patah hati!"
Asti memutar bola matanya, dia tidak menyangka akan bertemu dengan lelaki itu dalam keadaan yang masih sama. "Beneran masih sakit? Padahal udah dua minggu, loh."
"Berisik," umpatnya.
Umpatan bukan hal yang baru bagi Asti, melihat reaksi itu membuatnya terkejut. Sudah dua minggu waktu berlalu, tampaknya tidak ada kemajuan yang signifikan. Otak mungilnya terpaksa berpikir. Asti yakin tidak akan mendapat ganti rugi dari orang yang patah hati.
"Pemarah sekali," keluh Asti. Dengan nada lebih tinggi dia pun melanjutkan. "Kamu bisa ganti rugi, kan?"
"Astaga, mulutmu ini bisa diam enggak?"
Sambil berkecak pinggang dan suara yang merendahkan dia berkata, "Gimana bisa ganti rugi kalau keadaanmu aja begini kacaunya."
"Kamu meremehkan saya?"
Asti tertawa sambil menepuk pundak Ukaysha.
"Kenapa tiba-tiba berubah formal gitu? Enggak cocok buat kamu."
Sekacau apa memangnya? batinnya. Dia tak melawan saat lengannya ditarik paksa untuk mengikuti ke mana Asti pergi.
"Lihatlah dirimu, menyedihkan," kata Asti setelah susah payah menyeret lelaki itu ke sebuah cermin besar.
Ukaysha memandangi dirinya di depan cermin setinggi dua meter. Kemeja putih yang dua kancing teratas terbuka, rambut yang memanjang mencuat ke segala arah, dan wajah pucat yang mengerikan.
"Minum ini." Asti memberi sekaleng minuman soda yang sudah dibuka tutupnya. "Mana dompetmu!"
Asti meraba-raba saku celana Ukaysha. Seperti gerak refleks, dia sudah mengunci tangan Asti ke belakang punggung. Pekikan Asti mengundang beberapa pasang mata mulai memperhatikan mereka.
"Aku cuma mau membantumu, kamu malah giniin aku," keluh Asti. "Lepasin dulu."
Dengan ragu, Ukaysha memberikan dompetnya. Asti tak mengambil uang sepeser pun atau salah satu kartu miliknya. Dia hanya mengambil sebuah foto dari dompet.
Terdengar bunyi kertas dirobek. Ukaysha membelalak foto itu terbelah menjadi dua bagian. Asti menyimpan kembali sebagian foto yang bergambar Ukaysha ke tempat semula. Dia meletakkan sisanya yang bergambar wanita ke tangan lelaki itu.
"Sobek fotonya lalu bakar!"
"Apa?" Ukaysha tak mengerti apa maksud Asti.
"Kalau mau ini sembuh," Asti menunjuk dada bidang Ukaysha. "Sobek fotonya, bakar di sini."
"Itu kekanak-kanakan." Dengan kesal, Ukaysha mengentakkan kaleng minuman soda ke sebuah meja kecil di dekatnya.
"Kita enggak tahu ini akan bekerja atau enggak selama belum mencobanya, kan?"
Ukaysha tak percaya semua hal itu. Namun, jika melakukannya dapat melepaskan dirinya dari gadis aneh yang sok akrab itu dia tidak keberatan.
"Apa kamu perokok?" Ukaysha menahan napas saat menanyakannya. Entah dari mana tiba-tiba Asti sudah memegang korek gas di tangannya untuk membakar sobekan foto itu. Dibiarkan angin meniupkan abu ke laut.
"Tentu aja enggak."
Ukaysha tak mengerti kelegaan macam apa yang menyusup dadanya. Dia tenang saat gadis itu melempar korek ke seorang laki-laki. Ternyata dia hanya meminjamnya.
"Bagaimana?"
"Apanya?"
"Perasaanmu bagaimana?"
"Semua ini omong kosong." Ukaysha meninggalkan Asti. Dia melempar kaleng berisi sisa minuman ke tempat sampah. Tentu saja hal kekanak-kanakan kayak begitu tidak akan berdampak banyak. Ukaysha terkekeh. Mau-maunya dia dibodohi gadis asing seperti ini. Benar-benar konyol! Dengan sedikit membentak Ukaysha bertanya, "Apa lagi?"
Pasalnya, meski sudah melakukan keinginan Asti, gadis itu masih mengikutinya.
"Kamu tahu, lihat ini." Asti menyerahkan sebuah brosur. Tanpa dijelaskan dia tahu brosur festival budaya itu. Ukaysha bahkan mendesain sendiri untuk media promosinya.
"Lalu?"
"Baca baik-baik! Festival Budaya tak lengkap tanpa tarian, kan? Aku akan menari Cenderawasih bareng Wayan dalam acara ini."
"Pentingnya buatku apaan?"
"Aku berubah pikiran tentang ganti ruginya."
Ukaysha meremang melihat kedua alis nanggal sepisan milik Asti berkedut-kedut mencurigakan[]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top