30 Days Remaining
THE COUNTDOWN - Kekasih Hitung Mundur
30 Days Remaining
Terima kasih dan selamat membaca 💕
•°•°•
KAMAR 219 bangsal jantung adalah kewajiban Patra setiap hari sejak sebulan terakhir. Sejak konsulen senior bedah toraks dan kardiovaskular sebelumnya meninggal karena usia. Pasien di kamar itu adalah gadis remaja yang tidak peduli meski dia sebentar lagi mati. Orang tuanya adalah konglomerat supersibuk yang rela menggelontorkan berapapun demi jantung baru bagi putri mereka. Dan Patra adalah dokter yang merasa lemah setiap kali harus visite ke kamar itu.
Lemah. Patra benar-benar lemah dengan air mata keluarga pasien meski sudah lebih dari 15 tahun terjun di dunia medis. Air mata orang tua, terutama. Di depan mereka, Patra sudah terlatih mengabarkan kondisi kritis bahkan kematian dengan wajah tenang. Namun setelah meninggalkan mereka, tidak jarang pria itu harus membasuh wajah dengan air dingin sebab wajahnya panas dan matanya perih.
Patra mempersiapkan hati untuk air mata orang tua pasien kamar 219 siang ini. Air mata kepedihan lagi pastinya. Tapi dia salah, yang menyambutnya ketika baru saja membuka pintu adalah wajah panik Bapak Fajar, ayah si pasien.
"Dok, Akasia hilang! Ini-" pria itu menunjukkan pakaian hijau pupus dalam genggamnya, "-baju rumah sakitnya juga dilepas. Tolong, Dok!"
Patra baru akan merespon sebelum Ibu Yana, ibu si pasien, tidak kalah panik menyerobot sambil menunjukkan ponselnya. "Nggak. Akasia masih di rumah sakit, ini dia bilang cuma mau jalan-jalan. Tapi dia nggak mau bilang ada di mana, Dok!"
Niat Patra membaca pesan itu dipecahkan oleh dering nyaring dari ponsel dalam snelinya. Bahkan Fajar dan Yana berjengit terkejut. Buru-buru Patra merogoh benda itu, namun ketika melihat layar, bola matanya nyaris mencelat keluar.
---
⚠️ MADAM'S DATE ALERT ⚠️
5 minutes before your date with
Akasia C
💡 Today Madam's Tip 💡
Hurry up! Love doesn't wait!
---
Matikan ini. Matikan, goblok!
Segera Patra menjejalkan gawainya kembali setelah mematikan jeritan reminder sialan tersebut. Hening menguasai. Kini tersisa Fajar dan Yana, terbengong menatap Patra yang kesulitan mencari kalimat.
"Saya ...," ditunjuknya arah keluar, kemudian menelan ludah kasar, "saya akan mencari putri Bapak dan Ibu."
•°•°•
Kafetaria rumah sakit Gema Medika di lantai satu tidak seluas itu, hanya terdapat sekitar lima belas meja persegi dengan masing-masing empat kursi. Seharusnya menemukan seorang gadis remaja tidak sulit, tapi nyatanya nihil meski Patra sudah bolak-balik mengedarkan pandang.
Patra menyugar dahi frustrasi, sementara satu tangan lain bertolak pinggang. Mana bocah itu?!
Hingga kemudian matanya menemukan sosok mencurigakan di meja sudut kafetaria. Perempuan bertubuh kecil yang mengerucut di tempat duduknya, berusaha menyembunyikan wajah di balik papan nomor meja. Senyum Patra mengembang lebar setelah menemukan siapa yang dicarinya.
Namun baru saja Patra menghampiri meja tersebut, Asia mengentakkan kaki lantas menengadah. Alisnya menukik tajam. Terang-terangan menampakkan ketidaksukaan atas munculnya sang dokter di sini.
"Dokter disuruh Papa, kan? Pergi sana. Aku lagi nungguin pacar!"
Patra merapatkan bibir kuat-kuat. Berusaha tidak tertawa. Senyum saja cukup untuk saat ini.
"Saya baru tahu Akasia punya pacar. Yang sering datang selain orang tua, hanya kakak laki-laki dan satu teman perempuan."
"Dokter bisanya cuma bilang aku mau mati. Udahlah, Dok. Bahaya kalo pacarku lihat aku sama Dokter aku bisa diputusin!"
"Oh, ya?" Satu alis Patra terangkat. Lalu dengan sengaja, dia duduk di depan gadis itu. Melipat tangan dan mencondongkan tubuh. "Kalau begitu saya tunggu. Saya mau kenalan dengan pacarnya Akasia. Siapa namanya?"
Asia mendengkus tertahan. "Aksa."
"Wah. Ganteng, nih."
"Oh ya jelas!" sambut Asia jemawa.
"Kalau saya ganteng, nggak?"
Tatapan Asia menilai dari atas, ke bawah, ke atas lagi. "Ganteng, sih, tapi om-om."
Patra mengulum lidah. "Sama Aksa, ganteng mana?"
"Mas Aksa lah!"
Nyaris saja Patra terbahak saat mendengar 'Mas Aksa'. Raut galak Asia mendukung situasi terasa makin menggelikan bagi Patra. Pria itu menunduk dalam-dalam, menyembunyikan senyum lebar yang tak bisa ditahan lagi.
"Dok, nggak usah ketawa!" desis Asia, merapatkan gigi.
Patra meluruskan senyumnya sebelum menengadah kembali. Mengaitkan tatapan lembut dengan pemilik mata bulat di depannya.
"Aksa tidak akan datang. Bagaimana kalau Akasia kembali ke kamar sama saya?"
Satu tangan Asia menggebrak meja. Didekatkan wajahnya pada pria itu. "Nggak. Sebelum Mas Aksa datang!"
Bukan sekali-dua kali Patra berhadapan dengan pasien keras kepala apalagi usia remaja seperti Asia. Tanpa menghapus senyuman, Patra mundur bersandar punggung. Melipat tangan di dada dan menyilangkan kaki panjangnya.
"Sepuluh menit. Jika dalam sepuluh menit Mas Aksa tidak datang, saya akan beritahu orang tua Akasia bahwa Akasia ada di sini."
Asia menganga.
Dia baru akan menyuarakan protes namun Patra lebih cepat melambaikan tangan pada pramusaji perempuan berseragam yang kebetulan lewat. Keduanya bercakap singkat sebelum Patra memesan secangkir kopi pekat, lalu pria itu menatapnya kembali.
"Akasia mau pesan sesuatu?"
"Nggak. Mau makan sama Mas Aksa!" Dia mendelik lagi.
"Ya sudah. Kopi saja, Mbak-"
"Eh, eh, boleh deh! Dokter yang traktir, kan?"
Dasar labil. Patra membatin, tertawa ringan sebelum menganggukan kepala. Dia persilakan Asia memesan apapun yang diinginkan.
Hening menguasai keduanya setelah pramusaji pergi. Asia yang enggan berbasa-basi lebih memilih tunduk, sok sibuk main ponsel, daripada berinteraksi dengan dokter om-om. Sedangkan Patra kembali bersandar dan bersedekap, namun matanya tak dapat lepas dari sosok judes di depan. Ada magnet yang menarik fokusnya tetap lengket pada gadis itu.
Karena apa? Entah.
Mungkin karena pakaiannya. Hari ini Asia mengenakan blus floral pink pastel, model A-line sebatas lutut. Bukan gaun pasien hijau pupus yang sehari-hari dilihat Patra.
Mungkin karena riasannya. Hari ini Asia membubuhkan bedak, sapuan blush on, sedikit maskara, dan pemerah bibir. Setidaknya itu yang bisa diidentifikasi Patra. Rona yang selalunya pucat itu kini terkesan segar, kecuali wajahnya yang tertekuk masam karena mulai bosan menanti pujaan hati.
Mungkin karena potongan rambutnya. Hari ini Asia menguncir tinggi rambut panjangnya. Menegaskan leher jenjang yang biasanya tertutup gerai rambut kusam. Poninya yang jatuh, lembut, tepat membingkai wajah mungilnya.
Di masa preklinik, Patra bersama grupnya sering secara diam-diam menilai fisik teman-teman mahasiswi mereka dengan skala 1 sampai 10. Jika dulu makhluk seperti Asia ini ada di fakultasnya, Patra tak akan ragu memberi nilai 8. Bisa jadi 9 andai saja Asia mau tersenyum sedikit.
Bukannya memelotot bengis seperti saat ini.
"Apa lihat-lihat, hah?! Baru tau orang cantik?!"
Patra mengerucutkan bibir. Cantik, sih. Sungguh Patra tidak mengira gadis ini berubah drastis hanya karena pakaian yang berbeda dan riasan tipis. Lebih takjub lagi sebab Asia melakukan ini semua demi kencan dengannya ... eh, dengan Aksa.
Patra mengecek arloji di pergelangannya, dan membuang napas malas. "Seven more minutes."
Asia mengerjap cepat, lalu menggeleng.
Sesaat barusan pandangannya gelap total. Kemudian buram. Napasnya memendek, Asia memejam keras-keras, kepalanya menggeleng makin lekas.
"Akasia?" Patra maju menyentuh jemari Asia. Dingin.
Tetapi gadis itu menepisnya. Asia kembali menekan-nekan ponselnya disertai raut marah bercampur kecewa. Lalu segera ditempelkannya ponsel itu di telinga kanan. Entah apa yang dilakukan Asia, namun kemudian ponsel di saku celana Patra berdering.
Asia menyipitkan mata.
Nada dering asing yang belum pernah Patra dengar sebelumnya. Ketakutan mencengkramnya seketika, dan benar saja, saat dia menarik keluar ponselnya yang langsung terpampang adalah panggilan masuk berlatar belakang merah bergairah, lengkap dengan hujan kelopak bunga mawar.
---
📞 MADAM'S VOICE CALL 📞
Incoming call from
Akasia C
---
Kalang-kabut ditolaknya panggilan masuk itu, tetapi-
"DOKTER!"
Patra memejam sesaat. Mati. MATI!
Menelungkupkan ponselnya di meja, Patra kemudian tersenyum simpul di balik jantungnya yang kocar-kacir. "Ya?"
Dengan kasar Asia merampas ponsel sang dokter. Patra tak sempat lagi berkelit. Pasrah, dibiarkannya gadis itu menggeledah ponselnya. Amarah berkilat pada sepasang iris hitam itu kian membara seiring detik berlalu. Patra terperangah saat tiba-tiba ponsel itu dilemparkan ke dadanya; untung saja sempat dia tangkap.
"Jelasin!" geram Asia, tertahan oleh sesak yang menggumpal di dada.
Oke. Menjaga kestabilan pasien adalah yang utama. Patra melunakkan senyumnya.
"Yang bicara dengan Akasia kemarin siang bukan saya, tapi adik saya. Dia yang memasang Madam Rose tanpa sepengetahuan saya."
"Aksa itu adiknya Dokter?!"
"Tidak pernah ada Aksa. Kalaupun ada, itu saya sendiri. See?" Patra menunjuk name tag pengenal dokter di dadanya. "Patraksa. Adik saya mengambil bagian belakangnya. Adik saya perempuan."
"Terus fotonya?!"
"Itu pas foto ijazah sarjana kedokteran saya, 15 tahun lalu. Adik saya nggak bisa menemukan foto terbaru saya."
"Bohong!"
"Memangnya kami nggak kelihatan mirip? Saya dan Mas Aksa?" Patra menunjuk wajahnya.
"Mas Aksa mah Oh Sehun!"
Hampir kelepasan tersipu, Patra menggigit bibir. "Terima kasih."
"Kenapa Dokter yang salting, sih!?"
"Dokter Patra, ini kopinya."
Seorang ibu bertubuh tambun datang membawa nampan berisi secangkir kopi dan segelas jus alpukat-kopi. Menginterupsi kemarahan Asia dengan senyum ramah saat menyajikan minuman tersebut di meja. Setelah si ibu pamit, Patra meraih cangkir dan menyesap kopi panasnya berhati-hati.
Dari balik bibir cangkir, pria itu menatap lurus dan tersenyum tipis. "Jadi, Akasia tidak suka minum sama om-om, kan?"
Asia tertunduk lunglai.
Dia marah, tapi lelah. Lelah, tapi marah. Diputuskannya untuk sejenak mengisap jus alpukat, mendinginkan kepala yang berdenyut kencang seakan hendak meledak. Setelah sekian tegukan membasahi tenggorokan, Asia merasa sesak dadanya sedikit melonggar.
Sementara kedua tangannya menggenggam gelas, sesekali Asia melirik pria di hadapannya.
Jika diamati secara seksama, memang terasa kemiripan fitur antara Patra dan foto Aksa. Aksa memang lebih muda, tetapi bukankah pria dewasa jauh lebih menggoda?
Maksud Asia, coba lihat rahang bersudut yang ditumbuhi cambang tipis itu. Tulang hidung panjang yang sedikit berminyak sangat menegaskan bangir alaminya. Sepasang alis tebal dan gelap begitu teduh menaungi tatapan mata dalamnya. Jangan lupakan bibir atas yang tipis, diimbangi bibir bawah bervolume yang pas untuk sekadar dikecup, lebih-lebih diisap.
Satu alis Asia terangkat. Yah, sebagai om-om, Patra boleh juga.
"Dokter ... umur berapa?" selidiknya.
Patra meletakkan cangkir, sedikit bingung dengan intonasi Asia yang mendadak lembut. Ditambah senyumnya yang semanis gula-gula, menambah kuat rasa curiga.
Patra berdeham. "Yang pasti, dari sisi Akasia saya ini om-om."
"Om mau nggak jadi pacarku?"
Patra menganga jatuh.
"Maaf?" Dia mengerjap tak yakin.
"Jadi pacarku. Mau, ya?" Asia menyodorkan sorot berbinarnya, semakin dekat. "Mau, kan? Nggak lama, kok. Cuma sampai akhir tahun. Dokter Patra mau ... ya?"
Patra mematung di tempat.
"Apa Dokter sudah punya pacar, atau istri? Kalau iya juga nggak papa. Kita backstreet aja. Pokoknya aku mau punya pacar. Mau tahu rasanya pacaran. Aku nggak mau mati menyesal karena belum pernah merasakan jatuh cinta. Dokter mau, kan?"
"Sa-" susah-payah Patra mengumpulkan suaranya, "saya belum menikah, tapi bukan berarti-"
Patra bergidik sebab tiba-tiba jemari kecil Asia menggenggam kuat jemarinya. Gadis itu menatapnya tepat di kedua mata.
"Jadi pacarku. Dokter nggak akan menyesal. Dokter akan jadi laki-laki paling beruntung sedunia; aku jamin itu."
"Maaf, Akasia-"
"Hatiku, tubuhku, semua masih bersih. Aku perawan. Pakai aku semau Dokter. Semua yang kupunya aku serahkan cuma untuk Dokter. Aku nggak punya banyak waktu. Aku memilih Dokter sebagai pertama dan terakhirku. Dokter nggak harus cinta sama aku. Cukup bilang 'ya', dan biarkan hatiku yang jatuh sejatuh-jatuhnya untuk Dokter Patraksa Basudewa."
Patra memejam sesaat, sebelum membuang napasnya yang sempat tertahan sepanjang kalimat nekat Asia. Perlahan namun pasti mengurai jemari gadis itu hingga melepaskan diri sepenuhnya.
"Maaf, Akasia." Memohon pengertian, Patra mengulas senyum teduh. "Maaf."
Sedangkan senyum Asia kontan musnah.
Dunianya menggelap. Harga dirinya tercecer bercampur malu. Namun sumpahnya masih terjaga: tak ada waktu untuk air mata. Karena itu Asia hanya mengangguk singkat dan tersenyum samar.
Asia bangkit dari kursinya, berpegang dinding sebab merasa pusing. Tak diacuhkannya Patra yang turut beranjak karena khawatir. Dia melewati sang dokter begitu saja, menuju meja kasir di mana seorang pemuda berseragam pegawai sedang menghitung uang di dalam mesin.
Menyadari kehadiran Asia, pemuda itu tersenyum ramah. "Iya, Mbak?"
Entah mengapa oksigen di sekitarnya seakan menipis. Asia membalas senyum pemuda itu setelah berhasil mengatur tempo napas.
"Apa Mas punya pacar?"
Pemuda itu mengernyit. "Gimana, Mbak?"
"Saya mau jadi pacar Masnya."
Di belakang Asia, Patra terbeliak syok.
Siapapun akan bereaksi sama syoknya jika tak ada angin tak ada hujan, tahu-tahu diminta jadi pacar oleh orang asing. Termasuk pemuda kasir ini yang menurut Asia cukup manis dengan rambut belah samping dan lesung pipi. Lelaki normal sudah pasti langsung menolak seperti Patra, namun ada pengecualian untuk beberapa lelaki oportunis.
"Wah, kaget saya, Mbak." Pemuda itu kembali tersenyum, kali ini lebih manis bahkan disertai uluran salam. "Mbaknya siapa? Saya Rio."
"Aku Akasia!" Gadis itu menyambut semringah. "Mas Rio boleh panggil Asia kalau mau jadi pacarku."
Rio melayangkan lirik jahil. "Boleh, nih?"
"Boleh banget!" Asia mengangguk bersemangat. "Aku masih perawan. Mas Rio boleh pakai a-"
Tangannya terlepas dari pemuda itu. Semua terjadi begitu cepat saat Patra merenggut paksa lengan atasnya. Menarik tubuhnya berhadap-hadapan hingga menubruk dada bidang itu.
Asia menengadah, Patra menunduk.
Jantungnya hilang kendali sebab sepasang mata Patra menikam tajam, seakan mengancam, tak ada senyum. Pria itu hanya mengatakan dua kalimat.
"Hitung mundur mulai hari ini. Kita pacaran sampai kamu mati."
•°•°•
Silakan membayangkan sosok Patra sesuai imajinasi masing-masing. But here's mine, in case ada yang mau tau 😋
bujangan masak sendiri
Judul setiap babnya hitung mundur, sesuai judul cerita.
30 Days Remaining
29 Days Remaining
.
.
.
1 Day Remaining
Yap. Kisah mereka cuma 30 hari. Yang nggak sabar menunggu sisa 1 hari kebersamaan mereka, cung! 🙋🏻♀️
Kusatsu, Shiga, 19 Desember 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top